32. Monster Pohon Oak
Ammara mengumpulkan segenap kekuatannya untuk berguling ke samping secepat mungkin, saat ujung tombak yang runcing menancap dalam tepat di tempat gadis itu terduduk sebelumnya. Nyaris saja, Ammara akan berakhir seperti itu.
Ammara terengah-engah. Dadanya turun-naik, tak beraturan, sementara pelipisnya basah dibanjiri keringat dingin sebesar biji jagung.
Monster pohon itu meraung marah karena targetnya meleset. Ia sibuk menarik ujung tombaknya yang tertancap cukup dalam di tanah.
Melihat adanya kesempatan untuk melarikan diri, Ammara segera bangkit dan berlari menjauhi si monster. Beberapa kali langkahnya tersandung batu atau akar-akar pohon besar yang tak terlihat karena tertutup kabut, tetapi ia tetap bangkit dan melanjutkan larinya.
Sementara Monster Pohon Oak, terus mengamatinya dengan mata memicing. Begitu ujung tombaknya tercabut, si monster segera berlari memburu Ammara. Langkah besarnya yang berdebum saat beradu dengan tanah, seketika dapat menyusul Ammara. Makhluk itu mengayunkan tongkat sabitnya sekali lagi sambil berteriak nyaring.
Ammara terkesiap. Dengan cepat, gadis itu akhirnya berhasil menghindar. Namun, kali ini ia menginjak tanah yang tidak rata sehingga tubuh kecilnya seketika terjengkang dan jatuh menggelinding.
Monster Pohon Oak itu menyeringai menampakkan gigi-geliginya yang runcing dan penuh liur. Monster itu terus merangsek maju. "Kali ini kau tidak akan bisa lolos lagi, manusia!" raung Monster Pohon Oak saat berada tepat di hadapan Ammara yang belum bangkit dari jatuhnya. Si monster kembali mengayunkan tongkat sabitnya ke arah gadis itu.
Ammara mendongak panik. Refleks, satu tangannya terangkat ke atas, menangkis mata tombak runcing yang akan menghantam kepalanya. Darah segar mulai mengalir di lengannya disertai rasa perih dan panas di telapak tangan saat mata tombak menggores permukaan telapak tangannya. Gadis itu sungguh tak kuat untuk bertahan lebih lama lagi.
Tiba-tiba suara gulungan angin berbunyi nyaring hingga membuyarkan konsentrasi Monster Pohon Oak. Makhluk itu menarik tongkatnya untuk melihat makhluk-makhluk yang mendatanginya.
Tiga gulungan angin berwarna hitam berputar cepat dari arah Hutan Larangan yang kini tak memiliki segel. Tiga makhluk kegelapan itu mengelilingi Monster Pohon Oak dan Ammara. Sepasang mata merah bercahaya terlihat di balik gulungan-gulungan angin tersebut.
Monster Pohon Oak dengan cepat mengayunkan tombak sabitnya ke arah gulungan-gulungan angin yang mencoba menyerang. Namun berkali-kali meleset.
Salah satu gulungan angin akhirnya berhasil memukul mundur tubuh raksasa itu. Bunyi berdebam yang sangat nyaring disertai sedikit guncangan terasa saat monster pohon itu roboh menghantam tanah.
Ammara dapat mendengar raungan kesakitan si monster. Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu segera beringsut pergi dari tempatnya seraya mengikat sobekan gaun pada telapak tangannya yang terluka.
Dengan langkah terseok, Ammara menjauh. Tiba-tiba ekor matanya menangkap sesosok peri perempuan yang terlihat sedang kewalahan melawan menghadapi tiga gulungan angin hitam yang tadi menyerang monster pohon dan sesosok Orc.
Ammara menghentikan langkah dan mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata di sekitarnya. Netranya menangkap sebilah kayu dengan ujung runcing yang sepertinya bisa ia gunakan untuk membela diri.
Ammara meraih kayu itu dan mendekati peri perempuan yang nyaris terdesak dengan lawan yang tidak imbang. "Putri Tatianna?!" jerit Ammara.
Netra perak Tatianna sesaat beradu dengan netra hijau milik Ammara. Tak ada kata yang terucap di antara mereka. Masing-masing menyimpan tanya yang tak sempat terungkap karena keadaan.
Orc besar menggeram marah dengan salah satu tangan menghunuskan pedang ke arah Tatianna. Makhluk itu menyerang dengan gesit.
Dengan cepat pula, Ammara menjadikan tubuhnya tameng di antara Tatianna dan orc. Gadis itu menangkis serangan pedang orc dengan sebilah kayu yang digenggamnya. Tatianna selamat. Namun, kayu yang digenggam Ammara seketika terbelah menjadi dua.
Ammara membelalak. Ia tanpa tameng dan kini hanya berjarak beberapa jengkal saja dari mata pedang Orc yang tajam. Tubuh gadis itu seketika menggigil. Kepanikan menyergapnya.
Sesuatu di luar dugaan terjadi. Orc menarik pedangnya dan mundur beberapa langkah seraya mengamati Ammara. Begitu juga halnya dengan ketiga gulungan hitam yang hanya berputar di tempatnya, mereka urung mendekati Tatianna saat gadis manusia itu muncul.
Keempat makhluk itu serentak mundur dan malah menyerang Monster Pohon Oak yang baru saja bangkit dan kembali mendekati Ammara. Dengan sigap, monster pohon itu menangkis setiap serangan makhluk yang serupa gulungan angin hitam.
Dengan gesit, Monster Pohon Oak bahkan menusukkan tombak sabitnya pada gulungan angin hitam yang merangsek maju secara bergantian. Tubuh makhluk-makhluk kegelapan itu berubah menjadi asap hitam saat ujung sabit mengoyak tubuh mereka.
Kala ketiga gulungan angin itu telah musnah, Monster Pohon Oak kembali berhadapan dengan Orc yang telah bersiap dengan sebilah pedang di tangannya.
Ammara terperangah menatap makhluk-makhluk raksasa yang sedang beradu senjata di hadapannya. Suara dentingan sejata perak mereka yang besar beradu memenuhi Fairyfall.
"Makhluk apa sebenarnya kau?!" tanya Tatianna dengan nada tinggi.
Ammara terkesiap. Ia menoleh pada peri perempuan yang kini telah berdiri di sampingnya. Netra sang putri peri menusuk padanya dengan tatapan penuh penghakiman.
Ammara gelagapan. "A-aku tidak mengerti apa maksudmu," sahutnya. Ia bermaksud mengalihkan pembicaraan sang putri peri. "Putri Tatianna, kita harus cepat pergi dari sini." Gadis manusia itu segera menarik pergelangan tangan Tatianna, tetapi si empunya tangan segera menepis ajakan itu.
"Kau jangan berpura-pura!" hardik Putri Tatianna dengan wajah merah padam. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Kau membuka segel Hutan Larangan. Para monster kegelapan keluar dari sana dan mereka menyelamatkanmu dari Monster Pohon Oak milik peri Sheelie, yang selama ini menjadi penjaga segel perbatasan. Lebih baik kau jujur padaku, Ammara, siapa kau sebenarnya?!" cecarnya lagi.
Mulut Ammara sontak ternganga. Ia tak menyangka jika Tatianna berasumsi begitu buruk tentangnya, bahkan menganggapnya berkomplot dengan peri Unsheelie. Gadis manusia itu menggeleng cepat. "Aku bisa jelaskan semuanya, Putri Tatianna. Semua yang kau bilang itu salah," bantah Ammara dengan suara meninggi.
Tatianna menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Kau tidak perlu menjelaskannya padaku. Lebih baik kau siapkan alasan yang tepat untuk kau ungkapkan di hadapan Para Dewan Peri, karena aku akan melaporkanmu pada Ratu!" semburnya.
"Tatianna! Ammara!"
Tatianna dan Ammara sama-sama menoleh ke arah suara yang datang. Mereka mendapati Archibald, Elwood dan Claude yang mendekat dengan masing-masing pedang terhunus di tangan.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Archibald seraya mengerling sekilas ke arah Tatianna dan Ammara.
Tatianna dan Ammara serentak mengangguk. Sementara tanpa basa-basi, Ammara segera mendekati Elwood.
"Elwood, bukankah kau bilang kita dapat menyelamatkan Elijah jika aku melepas segel perbatasan Hutan Larangan? Tetapi kenapa malah kekacauan seperti ini yang terjadi?" tanya Ammara. Gadis itu menatap ke dalam netra biru sang pangeran peri.
Elwood mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, Ammara," sahut Elwood.
Iris mata hijau Ammara melebar. "Akan tetapi, bukankah kau yang membawaku ke sini Elwood? Kau menjemputku di Fairyfarm dan mengatakan jika Elijah dalam bahaya. Dia menemui ibunya. Untuk menyelamatkannya, kau memintaku membuka segel Hutan Larangan? Kau melupakannya?" teriak Ammara frustrasi.
Elwood menggeleng pelan seraya menggigit bibir bawahnya. "Aku bersama Claude sejak tadi. Kami kemari karena Archibald mengajak kami untuk menyusul Tatianna. Dan, Elijah ... dia sama sekali tidak dalam bahaya, Ammara," imbuhnya.
"Jangan mencari pembenaran!" hardik Tatianna seraya menarik surai keemasan Ammara dengan kasar. Si empunya surai meringis menahan sakit. "Jelas-jelas aku melihatmu membuka segel itu, Ammara!"
"Hentikan!" geram Archibald seraya menepis tangan Tatianna yang sontak melepaskan cengkeramannya pada surai Ammara. "Kita harus membicarakan semuanya dengan tenang," ucapnya pada Tatianna.
Wajah Tatianna seketika merah padam. Ia hendak menyemburkan kata-kata lagi tetapi tertahan ketika suara raungan Monster Pohon Oak terdengar sangat dekat. Monster itu menghampiri mereka.
Langkah-langkah besar nan berat itu menimbulkan getaran yang kentara setiap kali telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Salah satu ranting pohon yang menyerupai tangan menggenggam erat tongkat sabit bermata runcing. Ujung tongkat itu terlihat berlumuran cairan kental kehijauan. Rupanya, ia telah berhasil mengalahkan beberapa makhluk Hutan Larangan yang tadi menyerangnya.
"Hormat hamba kepada para pangeran Kerajaan Avery!" sapa si monster seraya membungkukkan tubuhnya beberapa saat. Ia menegakkan tubuhnya kembali, kemudian menyorot tajam ke arah Ammara. "Hamba harus menghukum manusia yang telah lancang membuka segel Hutan Larangan," lanjutnya dengan suara yang berat dan dalam.
Archibald, Elwood dan Claude serentak melotot kaget. Mereka saling bertukar pandang penuh arti. Sementara, Tatianna menyunggingkan seulas senyum asimetris. Ia merasa tuduhannya pada Ammara mendapat dukungan dari Monster Pohon Oak.
Ammara menggeleng cepat. "A-aku bisa jelaskan!" bantahnya. Setetes air bening terbit di pelupuk matanya.
"Tidak perlu, Monster Pohon Oak. Tidak perlu gegabah. Kami sangat berterima kasih. Namun, permasalahan ini akan kami bawa ke hadapan Dewan Peri," kilah Claude setenang mungkin.
"Baiklah, Pangeran. Jika itu mau kalian. Aku mohon pamit. Tugasku telah usai. Aku harus segera melapor pada Raja," putus sang monster. Dalam sepersekian detik makhluk besar itu menghilang tanpa jejak.
"Aku tidak akan membelamu, manusia!" desis Tatianna dengan tatapan memicing pada Ammara. Kemarahan terpancar jelas di kedua netra sang putri peri terlebih saat mengetahui jika Ammara adalah manusi.
Ammara bergeming. Bahunya mulai bergetar pelan. Gadis itu terisak. "Aku tidak bersalah," ucapnya lirih.
Archibald menarik napas panjang setelah menimbang sesuatu dalam pikirannya. "Elwood, kembalilah ke Istana bersama Tatianna!" titahnya, yang dijawab dengan anggukan oleh Elwood.
"Dan, Claude, bawalah Ammara kembali ke Fairyfall," ucapnya lagi, kali ini pada Claude.
Claude mengangguk mantap. "Bagaimana denganmu, Archibald?" tanya Claude sebelum beranjak meninggalkan Fairyhill.
"Aku harus memeriksa Hutan Larangan terlebih dahulu," jawabnya seraya menghunuskan pedang sihir yang langsung bercahaya terang sebagai respon terhadap aura kegelapan di sekitarnya. Peri laki-laki itu menoleh sekilas sebelum memasuki Hutan Larangan. "Cepat pergi. Tempat ini berbahaya!" teriaknya kemudian menghilang ke dalam hutan.
* * *
Langit Fairyverse seketika berubah menjadi kelabu. Matahari yang mestinya masih bertahta di puncak langit mendadak hilang ditelan gumpalan awan hitam. Embun tipis seketika muncul bersamaan dengan suhu udara yang terasa lebih dingin dari biasanya.
Fairyverse tidak pernah seperti ini sebelumnya. Langit dunia peri tak mengenal mendung, kelabu, juga embun. Sepanjang waktu di Fairyverse adalah musim semi yang cerah. Namun, tidak hari ini.
Raja Brian menengadah ke langit dengan raut wajah bimbang, sementara kedua tangannya mengeratkan jubah tebal yang tersampir di bahu untuk membungkus tubuhnya yang mulai menggigil. Sang raja sedang berdiri di balkon kamarnya. Netra cokelatnya mengamati alam yang berubah drastis seolah sedang memberi pertanda.
"Yang Mulia!" sapa Maurelle dari balik punggungnya.
Raja Brian menoleh dan mendapati wajah gusar sang cenayang. "Ada apa, Maurelle?" tanyanya dengan suara tercekat.
Sang cenayang serta merta berlutut dengan wajah tertunduk.
"Bangunlah, Maurelle ... Apa yang sebenarnya terjadi?" tuntut Raja Brian seraya menuntun tubuh cenayangnya untuk berdiri.
"Ramalan itu terwujud, Yang Mulia!" lirih Maurelle. Peri laki-laki itu menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang telah mendesak di pelupuk mata. "Manusia yang selama ini kita cari telah berhasil membuka segel Hutan Larangan. Monster Pohon Oak telah kembali dan hendak bertemu Baginda Raja."
Mulut Raja Brian ternganga. "A-apa katamu, Maurelle?!"
"Hamba pantas mati, Yang Mulia. Hamba gagal menemukan manusia itu. Hamba mohon ampun, Yang Mulia!" erang Maurelle penuh penyesalan.
Mata Raja Brian seketika membulat sempurna. Wajah sang raja mendadak pucat. Ia bungkam. Enggan menanggapi laporan Maurelle yang telah membuat hatinya terguncang.
Netra cokelat sang raja beralih pada Langit Fairyverse yang semakin menggelap. Malam bahkan belum juga akan tiba, tetapi kegelapan telah menyelimuti Fairyverse. Ia tampak sedang menimbang sesuatu.
Raja Brian lantas menadahkan salah satu telapak tangannya ke arah langit. Sebuah bongkahan es kecil jatuh menerpa telapak tangan itu. Kemudian serpihan-serpihan es tipis menyusul runtuh dari langit Fairyverse yang kelabu.
Raja Brian mengembuskan napas panjang yang terasa berat dan sesak. "Lakukan apa yang harusnya kita lakukan, Maurelle. Tangkap manusia itu dan siapa pun yang telah melindunginya. Kumpulkan seluruh penyihir peri Sheelie di Fairyverse dan berusahalah untuk memperbaiki segel tersebut," titah sang raja getir.
Maurelle mengangguk takzim, setelah membersihkan linangan air mata di kedua pipinya. Sang cenayang segera pamit hendak beranjak pergi, ketika sang raja kembali menyebut namanya.
"Maurelle!" panggil Raja Brian ketika pikirannya mendadak ingat akan sesuatu.
"Ya, Yang Mulia," sahut Maurelle.
"Tolong, temui Ratu Breena. Lihatlah apakah ia sudah memenuhi permintaanku. Kau akan tahu apa permintaanku saat kau telah bertemu dengannya," tutur sang raja lirih.
Maurelle mengangkat wajahnya dan mendapati sang raja sedang menerawang pada langit Fairyverse. Setetes air mata bergulir lembut di pipi Raja Brian. Wajah sang raja terlihat sendu.
"Lakukan secepatnya dan secara rahasia. Jangan sampai ada yang mengetahui jika kau bertemu Ratu Breena," lanjut sang raja.
Maurelle mengangguk cepat.
"Aku akan merasa sangat tenang ketika permintaanku itu telah dipenuhi." Raja Brian menarik napas dalam-dalam. "Jika kau telah bertemu dengannya, segera beritahu aku. Aku tahu jika waktuku tidak akan lama lagi, Maurelle," ujarnya pelan.
Manik mata cokelat sang raja beradu dengan manik mata gelap milik Maurelle untuk beberapa saat. "Terima kasih, Maurelle," ucapnya lirih.
Raja Brian segera beranjak dari balkon biliknya saat salju pertama mulai turun dari langit Fairyverse yang gelap. Bunga-bunga dan dedaunan seketika membeku. Dingin yang sama dengan cepat menular seperti wabah yang menyebabkan danau, sungai dan mata air juga tiba-tiba menjadi es.
Jauh di ketinggian langit gelap Fairyverse, kelebat-kelebat bayangan hitam terbang hilir-mudik dan berputar-putar tak tentu arah. Suara lolongan terdengar pula sayup-sayup bersahutan dari atas sana. Makhluk-makhluk kegelapan itu sedang berpesta untuk merayakan kebebasan mereka dari Hutan Larangan dan merayakan kemenangan mereka atas penjajahan yang berabad-abad lamanya dari para peri Sheelie.
❄️❄️❄️❄️❄️⛄🦄
Jangan lupa vote dan komentarnya yaaa zeyenk😘
Terima kasih,,, love you to the moon and back ❤️❄️❄️❄️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top