30. Broken Princess
Tatianna duduk termenung di bawah gazebo taman Istana Avery, tempat ia dan saudara-saudaranya biasa bermain, bersenda gurau dan menghabiskan waktu. Netra peraknya menyorot danau dengan permukaan air berwarna kehijauan yang terhampar di depan gazebo. Bunga Lupin berwarna merah muda dan ungu mengelilingi danau itu, menjadi pagar hidup, dengan para Pixie beraneka warna berterbangan di permukaannya.
Tatianna mengingat bahwa di danau itu ia dan kakaknya pernah berlayar dengan perahu sederhana buatan Elwood. Putra Mahkota Albert dengan susah payah mendayung untuk mereka, sementara ia dan Elwood bernyanyi dan bersenang-senang dengan para nimfa penghuni danau.
Tatianna tersenyum sekilas saat bayangan masa lalu yang menyenangkan itu hadir di pandangannya. Namun, wajahnya kembali muram saat teringat bahwa sang kakak kini telah tiada. Bahkan, kini salah satu saudaranya yang lain, Elijah, telah pergi dari istana. Semua tidak sama seperti dulu lagi.
Tatianna mengembuskan napas panjang, merasa sakit setiap kali mengingat kenangan yang pernah ia lalui bersama saudara-saudaranya, terutama Albert, kakak kandungnya. Para nimfa sering mengatakan bahwa semua hal-hal buruk akan menghilang bersama berjalannya waktu. Namun, kali ini Tatianna tidak yakin. Baginya, berjalannya waktu bisa saja malah memperburuk keadaan, seperti saat ini.
Tiba-tiba suara gemerisik daun mengagetkannya. Tatianna memalingkan wajah dari danau dan mendapati sosok sang ibu yang berjalan mendekat. Gaun panjang sang ratu menyapu dedaunan kering di sepanjang jalan yang ia lalui hingga menimbulkan bunyi tersebut.
"Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata kau ada di sini," sapa Ratu Serenity seraya duduk di samping putrinya. "Apa yang kau lakukan di sini, Putri? Kau melewatkan pelajaranmu lagi?" tanyanya dengan tatapan menelisik.
Tatianna mendengkus. "Aku merindukan Albert, Bu," sahutnya pelan. Ia kembali melayangkan pandangan pada danau kehijauan di hadapannya.
Ratu Serenity mengikuti arah pandang putrinya. "Ibu juga merindukannya," ucap sang ratu. "Dia pribadi yang sangat menyenangkan, bukan? Ia selalu ingin membuat orang-orang di sekitarnya bahagia."
Hening sesaat. Dua peri perempuan itu sama-sama larut dalam lamunannya masing-masing untuk beberapa saat lamanya.
Tatianna tiba-tiba berpaling pada ibunya. "Ibu, kenapa Pangeran Elijah pergi pada saat pertemuan di balairung? Apa dia marah pada kita? Apa dia membenci Ibu?" tanya Tatianna dengan wajah polos.
Ratu Serenity mengerutkan keningnya. Ia menarik napas dalam-dalam, sebelum membuka suaranya dengan hati-hati. "Kau ingat peri unsheelie yang datang pada saat penaburan abu Albert di Taman Peristirahatan Terakhir?" tanya sang ratu. Setelah Tatianna mengangguk pelan, ia melanjutkan kata-katanya. "Dia merupakan ibu biologis Pangeran Elijah. Peraturan Dewan peri jelas mencantumkan bahwa keturunan peri Unsheelie tidak dapat menjadi Putra Mahkota. Tentu saja Elijah marah dan membenci ibu karena ibu bersikeras menentangnya menjadi putra mahkota. Ibu sudah tahu betapa ambisiusnya Elijah untuk menjadi raja sejak dulu. Ia selalu membayangi Albert, karena pangeran itu ingin menjadi seperti kakakmu. Wafatnya Albert membuat Elijah kembali berharap dan Ibu tidak akan membiarkan itu terjadi," ucapnya panjang lebar dengan pandangan menerawang.
"Bagaimana mungkin Ibu Elijah adalah peri unsheelie? Apakah Raja Brian menikah dengan unsheelie?" tanya Tatianna sambil mengernyitkan alis.
Ratu Serenity menggeleng. "Ibu Elijah berubah menjadi unsheelie setelah menikahi Raja Brian. Banyak yang mengira peri perempuan itu meninggal saat peristiwa pengusiran mantan ratu. Namun, ternyata ia masih hidup dan berubah menjadi peri unsheelie yang sangat kuat," paparnya. Sang Ratu mengembuskan napas panjang. "Kembalinya Minerva sudah pasti ada hubungannya dengan keinginan Elijah untuk menjadi raja. Semuanya pasti sudah ia rencanakan, Tatianna. Semua. Hingga kematian kakakmu!" imbuh sang ratu dengan suara bergetar. Matanya memicing setiap kali menyebut nama Minerva.
Tatianna membelalak seraya menggeleng cepat. "Ibu, Pangeran Elijah tidak mungkin merencanakan pembunuhan Putra Mahkota Albert. Ia sangat baik pada kakak. Ia menyayangi kakak sama seperti kita. Ia bahkan yang menyelamatkan kakak saat diculik makhluk Hutan Larangan," bantah Tatianna yang tak percaya dengan perkataan ibunya.
"Jangan terlalu polos, Putriku. Elijah tidak sebaik yang kau kira. Terlebih, dia adalah putra peri unsheelie, tidak menutup kemungkinan sifat jahat ibunya menurun padanya. Bisa saja pertolongannya saat itu untuk menyembunyikan kedok dan rencana busuknya. Kita tidak bisa membiarkan ia menggantikan Albert, Tatianna," ujar Ratu Serenity. Kebencian terdengar jelas dalam suaranya.
Tiba-tiba Ratu Serenity menatap ke dalam netra perak Putri Tatianna lekat-lekat. "Tatianna ... Bagaimana jika kau yang menjadi Ratu. Kaulah satu-satunya penerus Avery dengan darah peri sheelie murni. Kau anakku dan adik Putra Mahkota Albert. Kaulah satu-satunya peri yang layak memimpin Avery!" ucapnya setengah berbisik.
Tatianna mengerutkan kening, kemudian menggeleng cepat. "Ti-tidak, Bu. Aku sama sekali tidak tertarik! Yang benar saja, aku sama sekali tidak berbakat memimpin, Ibu," bantahnya.
Ratu Serenity mengernyit tidak senang. "Kau tidak bisa berkata seperti itu, Tatianna," sergahnya. "Kau harus menggantikan Albert menjadi pemimpin Avery. Aku tahu kau bisa Tatianna, meskipun kau tak ahli bela diri. Namun, kau bahkan memiliki kemampuan sihir dan kemampuan membaca rahasia yang lebih baik dari kakakmu. Itu cukup untuk menjadi bekalmu memimpin Kerajaan, Tatianna."
Putri peri itu melotot pada sang ibu. Ratu Serenity ternyata masih bersikeras untuk memaksanya menjadi ratu. "Ibu, aku benar-benar tidak bisa menjadi pemimpin dan tidak mau. Saudara-saudaraku yang lain lebih baik untuk memimpin. Bagaimana dengan Pangeran Archibald atau Pangeran Claude atau Pangeran Elwood? Mereka sangat pintar. Ibu bisa meminta salah satu di antara mereka. Mereka pasti bersedia," sahut Tatianna seraya mendengkus.
"Tatianna!" bentak sang ratu marah.
Tatianna terkesiap.
"Archibald tidak jauh berbeda dengan Elijah. Ibunya adalah pengkhianat, Tatianna, ratu yang terusir. Sementara Claude, ibunya yang telah wafat juga merupakan penyihir hitam. Dan Elwood, dia tidak suka belajar dan sangat tidak layak untuk menjadi raja, Tatianna, kau tahu itu, 'kan? Jadi, Tolong jangan sebut mereka lagi. Anak ibu kini tinggal dirimu, Tatianna. Kaulah satu-satunya yang berhak menjadi pemimpin Kerajaan Avery," ucapnya berapi-api. "Apa bisa ibu mengandalkanmu, Tatianna?" tanyanya lagi dengan mata berkaca-kaca.
Tatianna menggeleng mantap. "Aku tidak bisa, Bu. Aku tidak mau, seberapa keras pun Ibu memaksa akan sia-sia. Jadi, tolong, jangan paksa aku, Bu," lirihnya pelan.
Ratu Serenity melotot geram. Rahangnya mengeras. "Kau tidak punya pilihan lain, Tatianna. Apa kau mau kita terusir dari istana? Para selir tidak menyukai ibu. Mereka akan dengan mudah menjatuhkan ibu jika ibu tidak lagi memiliki kuasa. Apa kamu tega jika ibu diperlakukan seperti itu?" tanya sang ratu dengan wajah memelas yang terlalu dibuat-buat.
Tatianna mendengkus, kemudian kembali menggeleng mantap. "Tidak, ibu!" jawab sang putri tegas.
Seketika wajah Ratu Serenity menjadi muram. Netra peraknya menatap tajam pada Tatianna. Sang ratu mendekat pada wajah anaknya, kemudian merenggut dagu sang putri. "Ibu benar-benar kecewa padamu, Tatianna. Ibu beri satu kesempatan lagi. Ibu memberi waktu tiga hari bagimu untuk berpikir, Tatianna. Ingat ini, aku tidak menerima jawaban selain 'iya' atau kau akan merasakan akibatnya!" ancamnya dalam suara rendah yang menusuk.
Tubuh Tatianna menegang karena rasa takut yang menyergap seketika. Bola mata sang putri seketika memanas dan pandangannya menjadi buram. Setetes air bening lolos pada pipi putihnya ketika Ratu Serenity melepaskan dagunya kasar.
Sang ratu segera beranjak dari taman istana itu dengan tampang kesal. Wajahnya memerah padam. Sementara, Tatianna yang tertinggal sendirian, perlahan larut dalam tangisan pelan yang semakin lama semakin keras dan menyayat hati.
* * *
Archibald berjalan perlahan melewati pintu gerbang taman istana Avery yang setengah terbuka. Peri laki-laki itu mengerling sekilas pada gerbang taman, ketika sebuah suara tangisan tertangkap pendengarannya.
Archibald mendekati gerbang taman itu untuk mendengar lebih jelas, sekaligus mengintip empunya suara. Peri laki-laki itu mengerutkan kening saat iris matanya menangkap sosok peri perempuan bersurai perak yang sedang duduk di tengah-tengah gazebo di seberang danau. Peri perempuan itu pastilah empunya suara tangisan karena kedua telapak tangan terlihat menutupi wajah.
Archibald mengenali sosok itu. Ia berjalan memasuki taman istana dengan langkah pelan, tidak ingin mengganggu peri perempuan yang sedang menangis itu. Peri laki-laki itu berjalan mengitari separuh danau untuk mencapai gazebo.
"Tatianna?" sapa Archibald setelah melihat sosok peri perempuan itu dari dekat.
Peri perempuan itu sontak mengangkat wajahnya yang sembab, berurai air mata. Mata bengkaknya menyorot Archibald yang baru saja memasuki gazebo. Tatianna bangkit dari duduknya dan menyongsong Archibald dengan pelukan. Tangis putri peri itu pecah lagi saat ia menenggelamkan wajahnya di dada Archibald.
Archibald terkesiap. Tubuhnya mendadak kaku saat Tatianna tiba-tiba memeluknya seraya menangis. Ini perkara sulit baginya, menghadapi seorang peri perempuan yang menangis tanpa mengetahui penyebab tangisnya.
Kedua lengan Archibald terangkat untuk membalas pelukan Tatianna. Namun, seketika pangeran peri itu ragu dan kembali menurunkan lengannya.
"Hei, apa yang sebenarnya terjadi, Tatianna?" tanya Archibald bingung.
Tatianna terlihat masih enggan membuka suara. Peri perempuan itu masih larut dalam tangisannya, menumpahkan setiap tetes air mata yang ia miliki di dada Archibald.
Beberapa peri Pixie yang kebetulan lewat atau yang memang berdiam di pinggir danau mulai memperhatikan Archibald dan Tatianna. Hati mereka yang masih diliputi kesedihan pasca meninggalnya Putra Mahkota Albert merasa terenyuh. Mereka iba terhadap sang putri karena mereka mengira pastilah Tatianna sedang memikirkan kakaknya.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam di sana dengan hanya suara tangis Tatianna yang terdengar.
Setelah tangisnya reda, Tatianna mengangkat wajah dari dada Archibald. "Terima kasih," lirihnya seraya menyedot ingus. Kedua tangannya sibuk membersihkan sisa-sisa air mata di kedua pipi.
Archibald mengangguk pelan seraya mengembuskan napas lega. Peri laki-laki itu kemudian mengikuti Tatianna yang mengajaknya duduk di tengah-tengah gazebo. Berbagai pertanyaan berputar di dalam kepalanya mengenai mengapa peri perempuan itu menangis. Namun, mengingat kepergian Putra Mahkota Albert yang baru beberapa hari, kemungkinan besar, Tatianna menangis karena teringat akan kakaknya. Lagi pula, Archibald merasa ada yang perlu ia sampaikan pada peri perempuan itu.
"Aku minta maaf, Tatianna," ucap Archibald dengan suara yang tercekat. Ada emosi tertahan yang sulit untuk ia keluarkan.
Tatianna mengangkat wajahnya. Manik mata peri perempuan itu beradu dengan manik mata Archibald.
Archibald menunduk. "Kau pasti sudah tahu, kalau aku yang menusuk Putra Mahkota Albert. Aku ... aku tidak punya pilihan lain. Aku hanya ingin menyelamatkan jiwanya, walaupun sedikit terlambat. Akan tetapi, aku tahu, ia pasti akan berterima kasih padaku," paparnya getir.
Tatianna menggeleng pelan. "Aku tahu, ini bukan salahmu. Berhentilah mendengarkan para peri yang menyalahkanmu, Archibald," sahut Tatianna lirih. Ia menyedot hidungnya lagi, kemudian melanjutkan ucapan. "Aku tahu, saat seperti ini juga sangat berat bagimu ... bagi kita semua. Aku hanya berandai-andai jika segala sesuatunya dapat kembali seperti dulu."
Hening seketika di antara mereka. Archibald maupun Tatianna sama-sama terdiam menatap danau hijau dengan permukaan berkilauan memantulkan cahaya matahari. Kenangan tentang kebersamaan mereka bermain di danau itu terlintas begitu saja di dalam pikiran Archibald. Hingga tanpa sadar, peri laki-laki itu mengembuskan napas dengan berat.
"Archibald!" sapa Tatianna.
Archibald mengalihkan tatapannya dari danau dengan gelagapan. Lamunannya mendadak buyar. Netra hazel green-nya mendapati netra perak Tatianna yang sedang menatapnya intens.
"Ada apa?" tanya Archibald seraya mengangkat salah satu alisnya.
"Aku ..." Kalimat Tatianna menggantung, penuh keraguan. Tatianna meneguk salivanya. "Ada yang ingin aku sampaikan," katanya dengan suara bergetar.
"Katakan saja," sambut Archibald tak acuh. Ia baru saja hendak beranjak dari duduknya, tetapi saat mendengar kalimat Tatianna, peri laki-laki itu urung melakukannya.
Tatianna terlihat menunduk sebentar sambil memainkan salah satu ujung gaunnya. Peri perempuan itu menggigit bibir seraya mengerling sekilas ke arah Archibald yang sedang menanti ucapannya. "Aku sebenarnya ... aku menyukaimu Archibald," cetusnya cepat. Ia menunduk, tak berani menatap netra peri laki-laki di hadapannya. Pipinya seketika memerah dan terasa panas.
"Apa katamu?!" seru Archibald terkejut. Ia menatap lurus wajah Tatianna yang tertunduk malu. Bibirnya terkatup, sementara wajahnya menjadi datar tanpa ekspresi.
Tatianna menggigit bibir bawahnya lagi. Dadanya berdebar sangat kencang saat mendengar respon pangeran peri itu. Setelah menguatkan hati, ia akhirnya mengangkat wajah dan mendapati netra Archibald menatapnya tajam, seolah menghakimi. "Aku menyukaimu, Archibald. Aku ... jatuh cinta padamu sejak lama. Dapatkah kau menerima cintaku?" ulang Tatianna dengan suara bergetar.
Archibald terkesiap. Peri laki-laki itu tanpa sadar membuka mulutnya. "Kau ... tidak bersungguh-sungguh, kan?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Aku bersungguh-sungguh," sahut Tatianna lirih. Matanya berkaca-kaca menatap Archibald.
Archibald menarik napas dalam-dalam. Peri laki-laki itu membalas tatapan Tatianna, sementara wajahnya menunjukkan ekspresi yang tak dapat ditebak. "Maafkan aku Tatianna, aku tidak bisa. Kau sudah aku anggap seperti adik kandungku sendiri ... aku tidak bisa," ujar pangeran peri bersurai keemasan itu dengan nada mantap.
Setetes air bening langsung luruh dari salah satu pelupuk mata Tatianna, saat mendengar jawaban itu. Sesuatu di dalam dadanya terasa pedih dan sakit, serupa pedang yang dicabut paksa keluar dari tubuh yang terluka. "Tidak bisakah kau mencoba menerimaku?" tanya Tatianna masih mencoba peruntungannya. "Aku tidak akan pernah mengecewakanmu, Archie. Aku berjanji!"
Archibald menggeleng pelan. "Tidak bisa, Tatianna," tolak Archibald lembut. "Hatiku sudah milik yang lain. Aku juga tidak ingin kau terluka. Jadi, jangan pernah berharap padaku," imbuhnya lagi.
Tatianna sekuat tenaga menahan tangisnya yang hampir meledak. Ia menghirup napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara agar kepalanya dapat berpikir jernih. Dengan gerakan cepat, Tatianna meraih salah satu tangan Archibald dan menggenggamnya erat selama beberapa detik, sementara Archibald yang sangat terkejut segera menarik kembali tangannya.
Bayangan tentang sesosok peri bersurai keemasan hadir dalam penglihatan di alam bawah sadar Tatianna. Sosok peri itu berdiri di tengah-tengah sebuah padang Dandelion yang tampak asing. Peri perempuan itu menoleh, kemudian tersenyum dengan sepasang netra hijau yang begitu ekspresif. Tatianna terkesiap saat mengenali peri perempuan itu. Ammara ....
"Kau?! apa yang kau lakukan?!" teriak Archibald gusar. Ia memicingkan matanya. Ia tahu persis apa yang telah dilakukan Tatianna. Peri perempuan itu baru saja membaca rahasianya, yang memang merupakan keistimewaan dan keahlian Tatianna.
Tatianna menggeleng cepat seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya membelalak. Tangisnya mendadak pecah tak terbendung lagi. Secepat kilat ia bangkit dari duduknya dan berlari menjauhi Archibald. Hatinya hancur berkeping-keping karena cintanya yang tertolak, seperti yang selama ini ia takutkan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sang pangeran pujaan hati ternyata menyukai peri lain, dan peri itu adalah Ammara, peri perempuan biasa dari Fairyfarm yang tidak begitu ia sukai.
Tatianna berlari dan terus berlari meninggalkan Istana Avery, membawa tangis dan sakit hatinya. Ia tak ingin menoleh ke belakang, di mana terdengar suara-suara yang memintanya untuk berhenti dan memintanya kembali. Ia hanya ingin sendirian dan berharap sakit hatinya sembuh setelah ia menjauh dari istana.
* * *
Tatianna terengah-engah ketika ia berhenti berlari. Telapak kakinya yang telanjang terasa perih dan melepuh. Peri perempuan itu meringis seraya meluruskan kakinya saat ia terduduk di bawah sebatang pohon wilow.
Tatianna bersandar pada sebatang pohon wilow seraya menatap ke sekelilingnya. Entah telah berapa jauh dan berapa lama ia berlari, yang jelas saat ini ia merasa sangat kelelahan. Pelipisnya basah oleh peluh, sementara napasnya turun naik dengan cepat.
Netra perak Tatianna menangkap pemandangan hutan yang rimbun berwarna hijau di salah satu sisi, sementara sebuah hutan berkabut di sisi lainnya. Dari kejauhan, ia dapat melihat siluet gunung-gunung yang mengelilingi tempat itu. Tidak salah lagi, ia pasti sedang berada di Fairyhill sekarang. Berlari sambil menangis ternyata membuatnya tak sadar betapa telah sangat jauh ia dari Istana Avery.
Pandangan Tatianna kemudian sepenuhnya teralih pada pemandangan hutan berkabut yang terlihat jauh lebih gelap dan suram daripada daerah lain di sekitarnya. Ia tak pernah melihat tempat seperti itu sebelumnya di sekitar Istana Avery, karena ia memang tidak pernah pergi jauh dari kediamannya. Namun, ia dapat menebak dan ia yakin tebakannya tidak meleset, tempat itu adalah Hutan Larangan.
Tiba-tiba Tatianna melihat sebuah pergerakan di salah satu sisi perbatasan Hutan Larangan dan Fairyhill. Punggungnya seketika menegak. Peri perempuan itu menyeret tubuhnya yang masih kelelahan untuk bersembunyi di balik sebatang pohon wilow. Ia menajamkan penglihatannya. Pergerakan itu semakin lama semakin jelas, menampakkan sesosok peri Elf bersurai keemasan.
Tatianna menahan napas, takut jika sosok itu tiba-tiba menyadari keberadaanya. Sosok peri bersurai keemasan itu bergerak keluar dari kabut tipis di depan Hutan Larangan, hingga Tatianna dapat melihat parasnya. Sosok itu mendekati sesuatu yang tak dapat Tatianna lihat dengan jelas.
Tatianna beringsut maju pada sebatang pohon wilow di hadapannya, agar dapat melihat sosok itu lebih jelas. Peri perempuan itu membelalak seraya menutup mulutnya saat mengenali sosok peri di perbatasan.
"Ammara?! Apa yang ia lakukan di tempat itu?!" decak Tatianna dengan suara tertahan.
Dari kejauhan, Tatianna tiba-tiba melihat sosok Ammara yang mendadak terjengkang beberapa meter ke belakang. Pada saat yang bersamaan, kabut dan kegelapan yang memenuhi Hutan Larangan seolah terlepas oleh sesuatu yang selama ini menahannya.
Kabut tipis perlahan memenuhi Fairyhill, tempat di mana Tatianna bersembunyi dari balik sebatang wilow, hingga peri perempuan itu memekik panik. Ia mencari sosok Ammara yang tadi dilihatnya, tetapi sosok itu telah menghilang seolah tertelan kabut.
Langit Fairyverse seketika berubah menjadi kelabu, dengan kilat yang sesekali menyambar. Suara raungan dan lolongan makhluk-makhluk kegelapan mendadak terdengar memenuhi tempat itu.
Tatianna terkesiap saat sebuah sosok hitam besar tiba-tiba telah berdiri di hadapannya, diselimuti kabut tipis. Peri perempuan itu berteriak ketakutan saat sosok makhluk hitam dengan mata merah menyala merangsek mendekatinya.
Tubuh Tatianna bergetar hebat, sementara kakinya seolah terpaku pada tanah hingga tak mampu beringsut sedikitpun. Ia hanya dapat berteriak dengan suara parau.
"Tolong! Tolong!"
Halooooo readers .. akhirnya aku berhasil update 2x minggu ini. Seperti biasa, please, vote dan komentarnya. Terima kasih yaaa sudah baca cerita buah kehaluanku sampai sejauh ini hehehe jangan ragu buat ngasih kritik dan saran yaa, aku kuat kok, gak nangis, cuma mewek aja wkwk🤣🤭
Sekali lagi terima kasih banyak dan semoga terhibur yaaa .....❤️
kalau kalian suka banget sama cerita ini silahkan share ke teman-temannya dan follow penulisnya untuk tahu info-info seputar Fairyverse atau cerita-cerita lainnya... Terima kasih....❤️❤️😍
Salam sayang dari, Zu
ohiya, jangan lupa vote, tekan tanda bintang 🌟
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top