3. Ammara dan Para Pangeran Peri
Derap langkah kaki unicorn memecah keheningan dini hari di Fairyfarm, sebuah daerah di dekat portal Utara Fairyverse. Empat orang pemuda peri elf menghentikan unicorn mereka tepat di depan portal Utara. Satu per satu pangeran peri itu melompat turun dari punggung unicorn masing-masing lalu berjalan mendekati para Pixie kerajaan yang tergeletak tak sadarkan diri di atas tanah.
"Seorang unsheelie telah menyihir tempat itu," ucap salah seorang pangeran ketika ia melihat para Pixie kerajaan yang tertidur dalam keadaan tidak wajar. Pangeran bersurai gelap itu bernama Claude, pangeran termuda di kerajaan Avery. Ia memiliki beberapa jenis keahlian di bidang sihir serta kemampuan melihat masa lalu. Wajah rupawannya memiliki rahang berbentuk tirus sempurna. Surai hitamnya yang berkilat terpantul cahaya bulan malam itu. Iris mata obsidiannya menyisir keadaan di sekitar. Ia merasakan aura tak biasa yang menyelimuti tempat itu.
"Apa kau juga merasakan kehadiran seorang manusia di sini?" tanya pangeran Archibald yang menyadari perubahan raut wajah Claude. Salah satu tangan peri laki-laki bersurai keemasan itu menghunus sebilah pedang perak yang berkilat. Dalam remang cahaya bulan purnama, iris mata hazel green sang peri berkilat memindai sekeliling Portal Utara. Rahang persegi sang pangeran peri mengeras dengan tubuh tegapnya berdiri waspada merespon keheningan yang seolah menyimpan misteri.
"Entahlah. Aura bekas sihir unsheelie ini terlalu pekat. Aku tidak bisa merasakan yang lainnya," sahut Claude dengan kening berkerut. Entah mengapa pandangannya menumpu pada gundukan akar yang muncul ke permukaan tanah tepat di bawah pohon oak. Padahal, Ia tak melihat apapun di bawah sana. Berulang kali peri laki-laki itu mencoba menajamkan mata batinnya untuk melihat tempat itu, tetapi sia-sia. "Seperti ada yang aneh di sini ..." gumam pangeran peri itu pada akhirnya.
Untuk beberapa saat lamanya para pangeran peri hanya berdiam diri dalam keheningan dengan pandangan yang menjelajahi tempat itu.
Claude memunculkan sebilah tongkat sihir di genggamannya lalu mengarahkan bola kristal bening di puncaknya pada tubuh para Pixie kerajaan. Bibirnya merapalkan mantra singkat. Dalam sepersekian detik kemudian, cahaya biru berpendar dari bola kristal di puncak tongkat sihir menuju tubuh-tubuh para Pixie kerajaan hingga mereka sontak terbangun saat cahaya biru memasuki tubuh mereka.
Makhluk-makhluk kecil itu terkejut dan merasa sangat bingung demi melihat para pangeran peri Kerajaan Avery yang telah berdiri di hadapan mereka. "Ampun tuanku, kami lalai dalam bertugas," ucap salah satu dari mereka. Pixie itu membungkukkan badannya diikuti oleh Pixie lainnya. Wajah mereka tertunduk karena merasa bersalah.
"Lanjutkan saja tugas kalian. Kami hanya sedang melihat-lihat di sekitar sini." Claude mengibaskan tangannya acuh hingga para peri pixie itu mengangkat wajah mereka dengan bingung. Pangeran peri itu sama sekali tidak marah dengan para Pixie kerajaan karena ia telah memahami situasinya.
Demi mendengar itu, para Pixie sontak membungkuk takzim memberi hormat, kemudian terbang dan kembali ke posisi mereka masing-masing. "Baik, tuanku!" sahut mereka bersamaan.
"Apa menurutmu saat ini purnama merah sedang berlangsung di dunia manusia?" Salah seorang pangeran peri bermata biru bertanya kepada Claude. Wajah tirusnya yang sepucat pualam menengadah menatap bulan purnama yang bercahaya kekuningan di langit Fairyverse. Elwood seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. "Harusnya saat ini dunia manusia juga sedang purnama," ucapnya pelan.
"Kau terlalu banyak membaca buku, Elwood," sela salah seorang pangeran bersurai gelap bergelombang sambil terkekeh. Pangeran Elijah merasa apa yang diucapkan saudaranya sangat menggelikan. Ia tak dapat menahan tawanya terlebih saat mengamati wajah tegang pangeran peri yang lain. Netra birunya berkilat penuh pesona, sementara sepasang piercing di bibirnya bergetar seirama dengan suara tawanya yang mengalun memecah hening.
"Aku bisa mengeceknya ke dunia manusia, kalau kau mau," imbuhnya lagi sambil terkekeh. Sontak seluruh pandangan para pangeran menghunus tajam padanya. "Ada apa?!" tanyanya berpura-pura bingung.
"Kita sedang serius di sini Elijah, berhentilah menggodanya!" sergah Archibald dingin.
"Hei, sepertinya ada yang sedang naik darah di sini!" balas pangeran Elijah tanpa perasaan bersalah. Peri laki-laki itu menyunggingkan senyum mengejek pada pangeran Archibald hingga kedua lesung pipinya tercetak jelas.
"Sudahlah, Elijah." Claude menengahi. Ia tahu bahwa perdebatan ini akan berakhir buruk jika dibiarkan. "Yang jelas, segel pada portal itu tidak terlihat rusak, tidak mengalami serangan apapun. Dan, kau tidak perlu menggunakan cara licikmu untuk melintasi portal utara, Elijah. Itu tidak legal. Kecuali, kalau kau mau dicap sebagai unsheelie...?"
"Ayolah, Claude, aku cuma bercanda!" bantah Elijah sambil menahan tawanya. "Tidak adakah yang tau caranya bersenang-senang di sini?"
Elwood mendelik ke arahnya. "Tidak di saat seperti ini, Elijah!"
"Baiklah, kutu buku, aku tidak akan ikut campur," sahut Elijah pada akhirnya. Ia menjauh dari para pangeran lainnya lalu duduk bersandar di bawah pohon oak.
"Mungkin cahaya ungu tadi tidak berasal dari sini," terka Archibald. Ia menanti respon Claude, tetapi sepertinya pangeran peri bersurai kelam itu tengah serius memperhatikan butiran tanah yang berasal dari jejak kaki yang tertinggal.
"Bisa jadi," sahutnya sambil berpikir. Ternyata Claude masih mendengarkannya. Peri laki-laki itu tampak sedang menimbang sesuatu selama beberapa saat sebelum melanjutkan ucapannya. "Bagaimana kalau kita memeriksa perbatasan Hutan Larangan?"
"Nah, itu baru menyenangkan!" Pangeran Elijah menimpali seraya bangkit dari duduknya. Sebelah tangannya menepuk-nepuk bagian belakang pakaiannya hingga bekas tanah yang menempel jatuh berguguran. Peri laki-laki itu sudah merasa sangat bosan berada di sana tanpa melakukan apapun.
Pangeran peri lainnya hanya bungkam. Mereka menyetujui usulan Pangeran Claude dalam diam. Begitu banyak dugaan mengenai kejadian di tempat itu berkecamuk di dalam pikiran mereka. Para pangeran kembali menunggangi unicorn masing-masing dan memacunya kencang menuju perbatasan Hutan Larangan.
* * *
Matahari telah terbit, ketika sepasang peri mendekati sosok Chiara Wyatt yang tergeletak tak sadarkan diri di bawah pohon Oak di dekat perbatasan portal utara Fairyverse. Sepasang peri itu mengamati Chiara dengan penuh selidik.
"Sayang, aku rasa dia bukan sebangsa peri," bisik peri perempuan berwajah pucat rupawan pada peri laki-laki yang ada di sebelahnya. Peri perempuan itu adalah Ella. Sementara peri laki-laki yang berdiri di sampingnya merupakan suaminya yang bernama Ailfryd. Sepasang suami istri peri itu adalah pemilik kebun buah di Fairyfarm yang terletak tak jauh dari perbatasan Portal Utara.
"Apa maksudmu, Sayangku?" tanya Ailfryd. Peri laki-laki itu mengernyit. Raut kebingungan terpampang jelas pada wajah rupawannya. Perkataan sang istri benar-benar mengusiknya. Jika sosok yang mereka temukan bukanlah sebangsa peri berarti bisa saja sosok itu adalah makhluk yang berbahaya. Ailfryd menarik tangan istrinya yang terulur hendak menyentuh sosok itu.
Ella terkesiap. "Jangan, Sayang! bagaimana kalau makhluk itu ternyata berbahaya?!" seru Ailfryd panik.
"Aku harus memastikannya, Ailfryd!" Ella melotot ke arah sang suami seraya melepaskan tangannya dari genggaman peri laki-laki itu. "Bagaimana aku bisa tahu dia makhluk apa kalau aku tidak menyentuhnya. Yang jelas, dia tidak memiliki telinga yang runcing seperti kita. Lagi pula dia sedang tak sadarkan diri, sayangku. Dia tidak mungkin membahayakan kita."
Ailfryd mendengkus, akhirnya dengan enggan ia membiarkan Ella melakukan apa yang semestinya dilakukan. Ella adalah keturunan peri penyembuh, meskipun ia tidak pernah menunjukan kemampuan penyembuhannya di depan banyak orang. Ella yang telah ia nikahi selama ratusan tahun itu juga memiliki kemampuan sihir yang luar biasa.
Ella mengulurkan tangannya perlahan lalu menyentuhkan jari tejunjuknya pada kening Chiara. Cahaya hijau seketika berpendar pada kening gadis. Ekspresi Ella yang awalnya biasa saja, berubah menjadi keruh. Ia menarik jarinya dari kening gadis itu lalu meraih tubuh itu ke atas pangkuannya. Ia mendekatkan telinganya pada dada gadis itu, berusaha mencari tarikan napasnya. Setelahnya, ia juga memeriksa pergelangan tangan makhluk itu untuk mencari denyutnya.
Ailfryd yang sedari tadi hanya mengamati apa yang dilakukan istrinya, kini ikut duduk bersimpuh di dekat Ella. Ailfryd dapat merasakan kekhawatiran dari sikap dan ekspresi sang istri.
"Ada apa sayang?" tanyanya cemas dengan alisnya bertaut.
"Ailfryd, gadis ini adalah manusia ... dia telah terkena sihir hitam unsheelie," ungkap Ella dengan suara tertahan. Ada kengerian lain yang masih belum bisa ia sampaikan pada sang suami. Ella tampak sedang menimbang sesuatu. Di satu sisi ia sangat ingin menyelamatkan gadis itu, tetapi di sisi lain sebuah keraguat terselip di hatinya. Terlebih saat ia mengetahui jika yang memberikan sihir pada gadis manusia itu bukanlah peri unsheelie biasa.
"Jadi apa yang akan kita lakukan, Sayang?" Ailfryd bertanya dengan hati-hati.
Ella menatap suaminya lekat-lekat. "Kita harus menolongnya, Sayang. Aku tahu ini akan sangat sulit. Bisa saja kelak kita akan berhadapan dengan peri unsheelie yang sangat berbahaya. Tapi gadis ini ... sesosok makhluk bahkan telah menghapus seluruh ingatannya." Suara Ella bergetar menahan emosi yang membuncah di dalam dadanya. Entah mengapa peri perempuan itu merasa sangat iba pada makhluk asing di pangkuannya. Gadis manusia itu mengingatkannya pada Celeste, anaknya yang telah lama meninggal.
Ailfryd menghembuskan napas panjang seraya membalas tatapan sang istri. Ia sangat memahami mengapa Ella ingin menyelamatkan gadis manusia itu. Gadis itu mirip dengan Celeste, warna kulitnya juga surai panjangnya yang sewarna emas.
Peri laki-laki itu menggenggam tangan istrinya menyerahkan dan mendukung seluruh keputusan peri perempuan itu.
Ella seolah mengerti dan untuk beberapa saat kemudian mereka saling bersitatap saling menguatkan. "Mari kita bawa dia ke rumah, Sayang."
Seulas senyum terbit di wajah Ella. Senyum yang selalu membuat Ailfryd jatuh hati pada peri perempuan itu setiap hari selama ratuhan tahun. Hati peri perempuan itu menghangat seketika. Para leluhur peri sepertinya ingin agar Ella merasakan kebahagiaan serupa lagi, kebahagiaan saat ia memeluk Celeste dalam dekapannya. Peri penyembuh itu telah memutuskan, apapun yang akan ia hadapi kedepannya, ia tidak perduli selama Alifryd berada di sisinya.
Ella memandang lekat wajah gadis manusia yang tengah tak sadarkan diri itu. Surai panjangnya yang keemasan sama persis dengan surai Celeste. Kulit wajah gadis itu sebening milik putrinya dengan bintik-bintik kemerahan samar bertahta di kedua pipi yang merona. Peri perempuan itu membayangkan netra sewarna zamrud terpampang saat kelopak mata gadis itu terbuka. Ia menyadari bahwa sekilas gadis itu memang serupa bangsa peri, kecuali telinganya.
Ella menimbang sesuatu. "Tidak boleh ada peri lain yang tahu kalau dia adalah manusia," putusnya.
Ella kemudian menjentikkan jarinya, netranya melebar. Sebilah tongkat kecil berwarna hitam kemudian muncul secara ajaib dalam genggamannya. Tongkat itu memiliki bola kristal berwarna hijau zamrud yang bertahta di atasnya. Peri perempuan itu mulai merapalkan mantra, sementara bola kristal pada tongkat sihirnya mulai berpendar mengeluarkan cahaya. Ia mengarahkan tongkat sihir itu pada gadis manusia di pangkuannya. Garis-garis cahaya kehijauan memancar ke arah Chiara mengeluarkan serbuk-serbuk peri dari bola kristalnya.
Sepasang telinga lancip serupa telinga para peri terbentuk melalui cahaya kehijauan yang menyapu wajah gadis manusia itu. Kemudian percikan cahaya lainnya menyelubungi seluruh tubuh Chiara untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghilang. Ella telah selesai membacakan mantra dan tongkat sihirnya telah menghilang dengan sendirinya.
"Nah, sekarang ia sudah terlihat seperti peri," gumamnya sambil tersenyum.
* * *
"Ammara..."
Gadis itu menggeliat di atas dipan, merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Ia meluruskan kakinya dan terdengar bunyi gemeretak. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri, gadis itu tak dapat mengingatnya dengan pasti. Setelah puas menggeliat dan merenggangkan otot-otot tubuhnya, gadis itu membuka matanya perlahan. Cahaya terang yang masuk dari jendela tampak menyorot dan menyilaukan matanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa saat sebelum akhirnya membuka kelopak matanya dengan sempurna.
"Kau sudah siuman, Ammara ?" Seorang perempuan dengan wajah rupawan yang keibuan menyapanya sambil tersenyum.
Gadis yang dipanggil Ammara itu mengamati perempuan yang menyapanya. Dahinya mengerut berpikir keras untuk mengingat-ingat wajah itu dalam memorinya. Namun, nihil.
"Ella, beri dia sedikit waktu. Dia baru saja siuman, Sayang," ucap Ailfryd yang muncul di samping perempuan itu. Peri laki-laki itu merangkul Ella sambil menyorot gadis yang baru saja siuman itu dengan simpati.
"Apa kau tidak mengingatku Ammara?" Kedua netra Ella berkaca-kaca. Ella menggigit bibir bawahnya seolah menahan tangis. Ia menyandarkan kepalanya di bahu lelaki yang merangkulnya.
"Maafkan aku," sahut gadis yang yang dipanggil Ammara itu dengan suara serak, "Aku sama sekali tidak mengingatmu."
Ella mulai terisak lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Anak-anak rambut yang menyembul dari sekitar telinganya, sedikit basah terkena air mata.
Ammara merasa bersalah atas jawabannya, Namun ia benar-benar tak mengingat perempuan dan laki-laki itu sama sekali. Ia tak mmapu mengingat apapun. Ia bahkan tak mengingat namanya sendiri. "Bantu aku mengingatmu ... bantu aku mengingat semuanya," cetus Ammara lirih. Ia berusaha sekuat tenaga menelan emosi dan tangisnya yang mulai melesak di tenggorokannya.
Ella membuka tangan yang wajahnya. Bekas air mata yang menggenang di kedua pipinya tak mampu memudarkan kecantikan parasnya. Seulas senyum tipis seketika tersungging di bibir merahnya, "Aku ibumu, Sayang. Kau adalah Ammara... kami adalah orang tuamu," sahut Ella sambil menyedot ingusnya. "Aku Ella... dan dia adalah ayahmu Ailfryd."
Lelaki tampan berbadan besar yang bernama Ailfryd itu tampak tersenyum ramah pada Ammara sambil mengangguk. "Kau tertidur selama seminggu penuh, Nak. Ibumu terus-terusan merasa khawatir. Ia takut kalau kau tidak bangun lagi." Ailfryd berkata dengan suara bas-nya yang dalam.
"Apa? Seminggu? Apa yang terjadi padaku?" tanya Ammara dengan gusar. Ia memegangi kepalanya yang mendadak terasa pusing.
"Iya, Sayang. Kau terjatuh saat menunggang unicornmu. Kepalamu membentur tanah dengan keras hinggs kau tak sadarkan diri selama seminggu," sahut Ella dengan wajah khawatir. Ia duduk di samping tempat tidur Ammara dan merangkul gadis itu.
"Unicorn?!" Ammara mengernyit kebingungan. Ia memang tidak mengingat apa pun, tapi menunggang unicorn adalah hal yang benar-benar asing baginya. Ia merasa semuanya sangat aneh dan tidak masuk akal sekarang.
Dengan panik, gadis bersurai keemasan itu melihat kesekelilingnya. Ia baru menyadari bahwa ia juga berada di sebuah ruangan yang sangat asing. Ruangan itu memang seperti kamar, kamar yang terbuat dari batang pohon yang dijalin dengan rapat. Kamar itu tidak memiliki perabot yang banyak, hanya sebuah dipan tempatnya kini berbaring, sebuah lemari kayu,dan sebuah tanaman bunga yang menjulang dengan kelopak bunga besar dan berwarna cerah. Tepat di depan dipan, terdapat sebuah jendela kecil tanpa kaca yang menghadap ke taman bunga. Bagi Ammara, seluruh pemandangan ini tampak aneh dan tidak biasa.
Ella menggenggam tangan Ammara untuk menenangkannya. "Ini rumahmu, Nak. Rumah kita di Fairyfarm. Kami akan membantumu mengingat semuanya, perlahan-lahan. Tidak perlu tergesa-gesa. Kita masih punya banyak waktu," ucapnya lirih di telinga Ammara.
"Fairyfarm?!"
"Ya, Ammara, kita ada di Fairyfarm, bagian dari kerajaan Avery." Ella kembali menjelaskan.
Ammara merasakan pusing luar biasa seketika menyengat kepalanya saat ia mendengar semua informasi asing dari Ella tersebut. Tiba-tiba kepalanya bagaikan dihantam sebuah palu besar. Pandangannya kembali berkunang-kunang. Tak lama kemudian ia terkulai tak sadarkan diri.
Salam kenal dari Ammara dan Para Pangeran Peri❤️
Please, vote dan komentarnya yaa
Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top