29. Brotherhood
Elijah meninggalkan balairung Istana Avery dengan wajah merah padam. Kemarahan jelas terpancar dari sepasang netra birunya. Peri laki-laki itu sama sekali tak mengacuhkan panggilan Raja Brian dan para keluarga kerajaan lainnya yang coba mencegahnya pergi.
"Pangeran Elijah, jangan pergi!" teriak Elwood.
Claude yang melihat Elijah telah menghilang dari pandangannya, sontak berdiri dan mengejar pangeran peri bersurai cokelat itu. Ia memohon ijin sekilas pada Raja Brian untuk menyusul saudaranya, sementara Elwood menyusul di belakangnya.
Archibald mendengkus saat melihat Claude dan Elwood sibuk membuntuti Elijah. Setelah Raja membubarkan pertemuan di balairung, peri laki-laki itu lantas menyusul kedua saudaranya yang sedang bersama Elijah di istal kerajaan.
"Jangan dengarkan mereka, Elijah!" seru Claude.
Elijah berbalik dan menatap Claude dengan wajah yang masih merah padam. Matanya melotot pada Claude nyalang. "Sayang sekali, telingaku menangkap jelas apa yang dikatakan sang ratu. Dan, mataku menangkap sangat jelas pandangan-pandangan meremehkan dari seisi ruangan. Jangan membodohiku, Claude. Apa aku kurang menyedihkan bagimu?!" decak Elijah kesal.
Claude menggeleng cepat, tak habis pikir dengan ucapan Elijah. "Kau salah besar. Kata-kata sang ratu tidak berarti apa pun. Demikian pula kata-kata orang lain. Perkataan mereka tidak akan bisa melukaimu, jika kau tidak mengijinkannya. Jadi, jangan biarkan kata-kata mereka melukaimu, Elijah," ucap Claude lirih.
"Kau tahu Claude, andai yang kualami sesederhana yang kau katakan, aku tidak perlu merasa seperti ini!" seru Elijah marah. Napasnya turun naik dengan cepat. Ia berbalik memunggungi Claude, kemudian berlari cepat menuju kandang unicorn. Di belakangnya, Claude, Elwood dan Archibald yang baru saja bergabung, ikut berlari, membuntutinya.
"Kau mau ke mana?" tegur Claude saat mendapati Elijah mempersiapkan tunggangannya.
"Tidak ada hubungannya denganmu!" bentak Elijah seraya mendorong pelan Claude yang menghalangi jalannya. Ia bersiap hendak naik ke atas punggung unicorn bersurai hitam.
"Kau sudah siap, Tuan?" tanya unicorn hitam itu pada Elijah.
Elijah mengangguk.
Namun, Ellwood dengan sigap, maju lebih dulu ke hadapan unicorn hitam. Pangeran peri bermata biru itu merentangkan kedua tangannya, menghalangi Elijah yang hendak menaiki unicornnya.
Elwood menggeleng pelan. "Tidak baik pergi dalam keadaan marah," decaknya.
Elijah menghela napas kasar. "Kalian ini benar-benar merepotkan!" geramnya. Pangeran peri dengan wajah memerah itu kini memegang gagang pedangnya seraya mendelik ke arah Elwood.
Elwood sontak mundur beberapa langkah, menatap Elijah tak percaya.
"Elijah, tenanglah. Kami saudaramu. Kau selalu bisa berbagi dengan kami, jika ada yang membebani pikiranmu. Akan tetapi jangan pernah pergi dalam keadaan marah seperti ini," timpal Claude seraya mengangkat tangannya dan menyentuh pundah Elijah.
Dengan berang, Elijah menepis lengan Claude terlalu keras, hingga peri laki-laki itu terhuyung mundur. Tubuh Claude tanpa sengaja menabrak Archibald yang berdiri di belakangnya.
"Elijah!" teriak Elwood. Emosinya sedikit tersulut. Refleks, ia mendorong tubuh Elijah hingga tubuh peri itu hingga terjengkang menghantam tumpukan buah di dekat istal unicornya.
Elijah mengernyit menahan sakit pada punggungnya. "Kurang ajar!" raung Elijah. Ia bangkit dengan cepat sambil mencabut pedang sihir dari sarungnya. Matanya melotot marah pada Elwood. Tanpa berpikir panjang, peri laki-laki itu mengayunkan pedang sihirnya menyerang Elwood.
Dengan gelagapan, Elwood menghindar. Sabetan pedang sihir Elijah luput mengenai salah satu bahunya. Namun, sepersekian detik kemudian, Elwood harus menangkis lagi serangan Elijah yang datang bertubi-tubi. Lambat laun, wajah Elwood mulai memucat dan napasnya terengah.
"Cukup, Elijah!" seru Archibald. Peri laki-laki bersurai keemasan itu merangsek maju mendekati Elijah yang masih menyerang Elwood tanpa ampun.
Elijah tak menghiraukan seruan itu. Ia tetap fokus pada Elwood yang mulai kewalahan. Sebuah sabetan pedang sihir akhirnya berhasil mengenai salah satu lengan Elwood.
Elwood berteriak kesakitan, tetapi peri laki-laki itu sama sekali tak merasakan iba sedikit pun terhadap saudaranya.
Elijah mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, setelah berhasil membuat Elwood terjengkang ke tanah oleh serangannya yang terakhir. Ia mengambil kesempatan lagi untuk menghunjamkan pedang sihirnya pada tubuh Elwood.
Saat mata pedang itu nyaris menancap pada dada Elwood, Archibald tiba-tiba melesat cepat ke arahnya, menangkis pedang sihir Elijah. Bunyi pedang berdenting memenuhi istal. Kini kedua peri itu saling berhadapan dengan dua bilah pedang yang saling beradu di antara mereka.
Rahang Elijah mengeras dan mulutnya terkatup rapat, tetapi urat-urat tersembul di lehernya mengutarakan betapa kuatnya tenaga yang ia gunakan untuk mendorong pedang sihir Archibald. Iris mata birunya menghunjam netra hazel green Archibald. Amarah dan benci tergambar jelas di mata sang peri.
"Berhentilah ikut campur urusanku!" geram Elijah.
Salah satu sudut bibir Archibald terangkat. "Aku tidak berniat ikut campur dalam urusanmu. Namun, kau menyerang saudaraku!" balas Archibald sengit.
Elijah semakin kuat mendorong Archibald dengan pedangnya, hingga tubuh peri bersurai keemasan itu terdesak mundur beberapa langkah. Elijah berteriak parau. Bersamaan dengan itu, tubuh Archibald terjengkang dan bokongnya medarat terlebih dahulu ke atas tanah. Elijah terengah-engah. Napasnya memburu dan keringat membanjiri pelipisnya.
Archibald meringis pelan dan susah payah berusaha bangkit dari duduknya. Netranya menatap Elijah dengan waspada, berjaga-jaga jika peri laki-laki itu akan kembali menyerangnya.
"Sudah cukup!" sergah Claude, yang kini berdiri di antara mereka. Peri laki-laki bersurai hitam itu menyorot pada Elijah dengan tatapan serius. "Elijah, aku melarangmu pergi karena aku melihatmu di dalam mimpiku. Aku bermimpi tentang sesuatu yang ... tidak baik. Untuk itu, aku mohon kau jangan pergi. Kali ini, percayalah padaku," lirihnya.
Elijah menggeleng cepat. "Omong kosong!" bentaknya. "Kenapa aku harus mempercayai kalian?! Kalian adalah para pangeran yang berpotensi untuk menggantikan Putra Mahkota. Kalian pasti mengincar posisi itu juga, 'kan? Kalian bukan saudaraku, kalian adalah sainganku! Tidak ada yang bisa menjamin jika kalian tidak akan mencelakaiku. Aku tidak akan mempercayai kalian!"
Claude terkesiap mendengar ucapan Elijah. Tanpa sadar mulutnya ternganga. Kepalanya menggeleng pelan, menolak untuk mempercayai ucapan Elijah yang baru saja didengarnya. Ia tidak menyangka jika Elijah tidak pernah menganggap ia dan saudara-saudaranya yang lain tulus.
"Betapa kotornya pikiranmu tentang kami, Elijah!"decak Archibald seraya bangkit dari posisinya. Pedang sihirnya belum lagi kembali pada sarung kulit yang tersampir di pinggang. Pedang itu masih terhunus siaga sebagai respon dari Elijah yang mulai berjalan mendekatinya.
"Terutama kau!" teriak Elijah berang. Pedang sihirnya mengacung pada Archibald, meskipun jarak mereka tidak terlalu dekat dan Claude masih berdiri diantara mereka. "Kau ingin menjadi raja bukan? aku ingatkan kau sekali lagi, kita sama-sama keturunan unsheelie. Jadi kita sama-sama tidak berhak menggantikan Albert. Dan, kau harus tahu, aku sangat tidak menyukaimu!" hardiknya.
Wajah Archibald seketika memerah begitu mendengar Elijah menyinggung tentang ibunya. Matanya membelalak menatap Elijah sengit. "Kau tidak tahu apa-apa tentang ibuku!" balas Archibald seraya mengayunkan pedang sihirnya, melewati Claude yang mencoba menangkap tangannya. Arcibald, tentu saja, jauh lebih cepat dan lebih kuat, hingga Claude tersingkir beberapa langkah dari tempatnya berdiri.
Elijah menyambut serangan Archibald dengan seringai penuh kemenangan. Ia sengaja memancing emosi Archibald. Kata-katanya berhasil memancing peri angkuh itu untuk bertarung dengannya. Dengan sigap Elijah menangkis setiap serangan yang datang dari Archibald.
Denting pedang sihir yang beradu nyaring, memancing beberapa kesatria Elf untuk hadir dan menonton perkelahian antar pangeran di istal. Namun, tak satu pun di antara mereka yang berani melerai dan memisahkan dua pangeran yang sedang berduel.
"Kau sama sepertiku, Archibald. Tidak pantas menjadi raja!" teriak Elijah di tengah-tengah pertarungan mereka.
Kata-kata itu semakin membuat darah Archibald mendidih. Semangatnya untuk menyerang dan melukai Elijah semakin berkobar. Archibald mengayunkan pedang sihirnya semakin cepat dan kuat hingga Elijah mulai terlihat kewalahan. Saat pangeran peri itu terlihat lengah, dengan gesit Achibald menebaskan pedang ke salah satu bahu Elijah.
Elijah yang tak sempat lagi mengelak tebasan Archibald akhirnya harus merelakan salah satu bahunya sobek dan berdarah. Tubuhnya seketika jatuh terkulai dengan darah yang mengucur deras membanjiri separuh pakaiannya. Pedang peraknya terpental dan terjatuh di bawah kaki Archibald.
Demi melihat itu, seketika Archibald berhenti menyerang Elijah. Ia menurunkan pedang sihirnya yang kini bernoda darah. Peri laki-laki itu terengah-engah, nyaris kehabisan napas. Tubuhnya mendadak limbung, ia terjatuh di atas lututnya sendiri. Netranya menyorot Elijah dengan tatapan getir.
Elijah menyunggingkan seyum asimetris, saat merasakan bahu kanannya basah oleh darah sendiri. Sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Kita saling membenci, Archie. Sejak dulu. Bagaimanapun juga, kita tidak akan pernah menjadi saudara," ucapnya dengan suara parau. Ia meringis menahan sakit lukanya. "Kita akan selalu berakhir seperti ini. Siapa pun yang menjadi raja ...."
Archibald mengembuskan napas panjang. Sesuatu di dadanya terasa nyeri saat mendengar kata-kata saudaranya. "Aku ... tidak pernah ingin peduli padamu. Namun, kali ini, aku mohon tinggalah di sini. Jangan pergi. Karena sekali kau keluar dari gerbang itu, kau tidak akan pernah bisa kembali pada kami," tukasnya dengan suara melembut.
Elijah bungkam. Ia bangkit dari posisinya seraya menekan lukanya dengan tangan. Peri laki-laki itu berjalan tertatih, menjauhi Archibald, Claude dan Elwood, sementara darahnya berceceran di sepanjang jalan yang ia lalui. Ia mendekati unicorn hitamnya.
"Elijah, kau terluka. Setidaknya biarkan aku membawamu untuk menemui Penyembuh Istana," tawar Elwood yang mengikutinya. Peri laki-laki bersurai cokelat itu meraih pergelangan tangan Elijah, untuk membantunya berjalan. Namun, dengan kasar, Elijah menepis tangannya.
"Jangan khawatir. Aku akan kembali untuk merebut apa yang seharusnya menjadi milikku," ucap Elijah sinis. Matanya menyorot pada Archibald, Elwood dan Claude bergantian. Setelah itu, Ia menaiki unicornnya dengan susah payah. Elijah menendang perut unicornnya dengan salah satu tumit, makhluk itu sontak melaju kencang melewati pintu gerbang Istana Avery.
Archibald mengela napas berat saat menatap tubuh Elijah yang semakin menghilang ditelan kegelapan malam Fairyverse. Ia menyarungkan kembali pedang sihirnya. "Semoga kau tidak akan pernah berubah, Elijah," gumamnya tertelan deru angin malam.
* * *
Raja Brian bergeming di atas balkon salah satu biliknya, yang menghadap tepat ke arah istal Kerajaan Avery. Ia berdiam dalam kegelapan di sana cukup lama, hingga ia dapat menyaksikan pertengkaran putra-putranya dari tempat itu.
Sang raja mengembuskan napas panjang saat melihat kepergian Elijah sebagai akhir dari pertengkaran yang diamatinya dari atas balkon. Keningnya mengerut dan rahangnya mengeras. Tanpa sadar, Raja Brian bahkan mengepalkan kedua tangannya.
"Yang Mulia, apakah Yang Mulia mencari Hamba?" tanya Maurelle. Suara peri laki-laki itu seketika membuyarkan lamunan sang raja.
Raja Brian menoleh dan mendapati Maurelle sedang membungkuk takzim di sampingnya. Sang raja mengangguk dan serta merta peri peramal itu menegakkan tubuhnya.
"Ya," sahut Raja Brian. Pandangannya teralih kembali pada istal istana yang kini telah sepi. Para pangeran tampaknya telah kembali ke istana utama. "Katakan padaku, Maurelle, siapa yang akan menjadi Raja Avery dalam penglihatanmu?" tanyanya.
Maurelle tersentak, benar-benar tak menyangka dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut sang raja. "I-itu ... penglihatan Hamba bersifat subjektif, Yang Mulia. Lagi pula, nasib sesosok peri bisa saja berubah jika pilihan hidup mereka berubah," sahut Maurelle, mencoba menjawab sediplomatis mungkin.
Raja Brian menggeleng cepat. Tubuhnya kini menghadap Maurelle dan menatap peri laki-laki itu serius. "Apa yang kau lihat dari Putra-putraku? Apakah kau sudah tahu bahwa Albert tidak akan pernah menjadi raja?" desak sang raja. Netra cokelatnya tampak berkaca-kaca.
Maurelle menarik napas panjang. Pandangannya menerawang ke langit Fairyverse yang dipenuhi bintang-gemintang beberapa saat, kemudian kembali menyorot sekilas kepada Raja Brian. "Ampun, Yang Mulia. Putra Mahkota Albert memang tidak ditakdirkan menjadi Raja," jawabnya dengan suara tercekat . Ia memperhatikan perubahan raut wajah sang raja yang mendadak sendu. "Hamba melihat dua putra Yang Mulia lainnya memiliki aura raja yang sangat kuat, tetapi hanya satu yang akan menjadi raja sejati--"
Raja Brian mengangguk mantap seraya menghembuskan napas lega. "Cukup, Maurelle!" sergah Raja Brian dan Maurelle sontak menghentikan ucapannya. Seketika kedua sudut bibir Raja Brian tertarik ke atas. Senyumnya terkembang. Kelegaan tergambar jelas di wajahnya. "Malam ini sepertinya aku akan tidur dengan nyenyak. Aku akan menunggu takdir itu menunjukkan jalannya sendiri. Jadi Maurelle, kau tak perlu repot-repot menyebutkannya. Terima kasih," ucap Raja Brian. Ia menatap Maurelle yang sedang menatapnya heran. "Terima kasih karena telah setia menemaniku selama ini," lirih sang raja.
Maurelle hendak membuka suara untuk mengucapkan sesuatu, tetapi Raja Brian telah beranjak meninggalkan balkon. Kini tinggallah Maurelle yang bergeming menatap bintang-gemintang di langit Fairyverse yang sepenuhnya gelap. Ia menghela napas beras, raut wajahnya gusar. Betapa ia sangat ingin menceritakan tentang Ratu Serenity yang membubuhkan wolfsbane di dalam minuman sang raja. Namun, sebagian hatinya menentang keinginan itu, mengingat kondisi Raja Brian yang sangat rapuh. Ia tak punya kesempatan.
Maurelle meneguk ludahnya kasar. Matanya menyorot pada sebuah bintang dengan sinar paling terang, yang dikelilingi beberapa bintang kecil di sekitarnya. Cahaya bintang itu terlihat berkedip-kedip. Jika peri kebanyakan melihat pemandangan itu sebagai bintang, maka netra Maurelle menangkapnya sebagai pertanda. Semoga Kerajaan Avery baik-baik saja, batinnya.
* * *
Elijah memerintahkan unicornnya untuk berhenti tepat ketika ia mencapai perbatasan Hutan Larangan. Kabut tipis perlahan hadir menyelimuti permukaan tanah di sekitar Elijah. Unicorn bersurai hitam yang ditunggangi Eijah tiba-tiba meringkik gusar seraya berputar-putar di tempatnya. Beberarpa kali Elijah menepuk punggung makhluk tersebut untuk menenangkannya, tetapi kegusaran makhluk itu tak kunjung reda.
Elijah berdecak kesal menanggapi unicornnya yang tak kunjung tenang. Sedetik kemudian, peri laki-laki itu melompat turun dari punggung tunggangannya, sementara makhluk itu masih meringkik seolah melarang empunya untuk mendekati Hutan Larangan.
"Dasar makhluk pengecut!" gerutu Elijah. "Kalau kau takut, tunggulah di sini," ucap peri laki-laki itu seraya menggeleng cepat.
Elijah mengeluarkan pedang sihir dari sarungya. Pedang itu memancarkan cahaya sangat terang sebagai respon terhadap kekuatan sihir hitam yang terasa sangat pekat dari Hutan Larangan. Dengan langkah hati-hati, Elijah melewati perbatasan. Tubuhnya seketika tertelan oleh kabut tebal yang menjadi pembatas antara Fairyhill dan Hutan Larangan.
Elijah terbatuk hebat saat memasuki kabut di perbatasan. Ia terus berjalan dengan tersuruk-suruk dalam minimnya cahaya serta permukaan tanah yang tidak rata. Berapa kali, peri laki-laki itu jatuh terguling karena tersandung akar-akar besar yang nyaris tak terlihat.
Sayup-sayup suara-suara bisikan mulai menghampiri pendengaran Elijah. Bisikan-bisikan yang tak terdengar begitu jelas itu sontak membuatnya gelagapan. Tubuhnya bergetar bersamaan dengan rasa takut yang perlahan menyelinap dalam benaknya. Panik melandanya.
Elijah berlari tak tentu arah, sekencang mungkin. Dari kegelapan di sepanjang jalan yang Elijah lalui, muncullah berpasang-pasang mata merah menyala yang seolah melotot tajam ke arahnya.
Sang pangeran telah tiba.
Calon raja! Anak Ratu Kegelapan!
Hari kebebasan kita akan segera tiba.
Suara bisikan yang awalnya terdengar bagaikan gumaman itu perlahan semakin jelas hingga Elijah dapat memahaminya.
Selamat datang, Pangeran Elijah!
Apakah dia bisa mendengar dan memahami kita?
Hmmm ... sepertinya aku pernah melihat peri tampan itu, tapi di mana ya.
Elijah menutup kedua telinganya dengan tangan. Ia telah menghentikan larinya karena merasa mata-mata merah itu bukanlah sesuatu yang mengancamnya. Peri laki-laki itu terus berjalan dengan langkah-langkah lebar dan napas terengah.
Tiba-tiba bunyi kepakan sayap makhluk yang besar memenuhi Hutan Larangan. Suara bisikan-bisikan tadi seketika menghilang, bersamaan dengan lenyapnya berpasang-pasang mata merah yang muncul dari kegelapan.
Elijah mengacungkan pedangnya dengan waspada, menatap nyalang pada kegelapan pekat di sekitarnya. Ia memasang telinganya, mencoba menerka dari mana asal bunyi kepakan sayap besar itu. Napasnya memburu, tak beraturan, sementara pedang sihir yang teracung itu bergerar.
Dalam sepersekian detik, sebuah cahaya yang sangat terang mendadak muncul di hadapan Elijah. Makhluk dengan kepakan sayab sesar itu berubah menjadi cahaya.
Elijah bergeming.
Sesosok naga besar berwarna hitam tiba-tiba muncul di hadapannya. Naga itu kemudian berubah menjadi Lucifer. Peri laki-laki unsheelie itu menyunggingkan seulas senyum lebar, seraya memberi salam takzim pada Elijah.
"Selamat datang di Hutan Larangan, Putra Mahkota Elijah. Ratu Minerva telah menanti!" sambutnya ramah.
Elijah terkesiap. Tanpa sadar mulutnya ternganga. Sebutan 'Putra Mahkota' benar-benar telah membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Tanpa suara, pangeran periitu mengikuti Lucifer yang menuntunnya berjalan ke pinggir jurang. Jurang yang dulu pernah ia lalui untuk menyelamatkan Putra Mahkota Albert.
Di tepi jurang, sosok Lucifer berubah kembali menjadi naga hitam besar. Naga itu menunduk rendah saat Elijah melompat duduk ke atasnya. Sang naga terbang tinggi menembus kegelapan jurang menuju salah satu menara tertinggi Kastil Larangan.
Halooo aku update lagi lebih awal dari jadwal yang seharusnya karena aku lagi semangat dan ingin segera menamatkan Fairyverse. 😆
Seperti biasa, jangan lupa vote dan komentarnya yaaa supaya aku makin semangat update.
Maaf kalo misalnya banyak typo dan kalimat-kalimat rancu, mohon ditandai karena begitu cerita ini tamat, aku akan segera revisi.
Buat yang masih sedih atau gagal move on (aku juga 😭) karena wafatnya Putra Mahkota Albert, please jangan berkecil hati masih ada pangeran-pangeran lainnya. Doakan yang terbaik aja yaa buat Putra Mahkota Albert. Doa-doa kalian akan menerangi istirahat panjang Albert. 🥺🌻🌻🌻
Terima kasih banyak yaaa buat yang selalu mampir di cerita ini, yang selalu memberikan saran dan masukan, semangat, memberikan vote dan komentar atau yang sekedar mampir buat baca diam-diam ... Aku sayang kalian semuaaaa .... 😊❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top