26. Mourning Kingdom

Kereta Ailfryd tiba di Kerajaan Avery hampir tengah hari. Padahal mereka berangkat dari rumah cendawan pada sore hari sebelumnya. Jarak antara Fairyfarm dan Avery memang sangat jauh jika ditempuh melalui jalan darat. Andai saja Ailfryd bisa menggunakan sihir seperti yang biasa dilakukan Ella, maka jarak Fairyfarm dan Avery hanya memakan waktu beberapa jam saja.

Sepanjang perjalanan Ammara hanya membisu seraya memandang keluar jendela. Matanya bengkak karena separuh perjalanan ia habiskan dengan menangis sesenggukan. Entah apa yang ia tangisi. Pikirannya terus dipenuhi dengan percakapan para kepik ajaib, terlebih sepanjang perjalanan matanya menangkap bunga-bunga Camellia yang terus tumbuh. Ammara berjuang sekuat tenaga untuk mengenyahkan berbagai asumsi buruk yang menggelayuti pikirannya, tetapi sepertinya ia gagal.

Begitu kereta berhenti, Ammara langsung melompat turun tanpa memedulikan panggilan ayahnya. Jantungnya berdebar kencang saat melihat keramaian yang tidak biasa di Avery. Bahkan, telinganya menangkap sayup-sayup tangisan dan lolongan sedih.

Ammara terus berlari, mencari wajah yang mungkin ia kenali untuk bertanya. Ia menyusup di antara peri-peri berwajah sedih dan bermata bengkak seperti dirinya. Tunggu dulu. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar ada anggota kerajaan yang meninggal?


Ammara mencari jalan menuju istana utama, tetapi beberapa gerbang dan pintu masuk terlihat diblokade oleh para kesatria Elf. Istana Avery juga sangat kacau dengan bekas reruntuhan bangunan yang berserakan di mana-mana. Sesuatu yang buruk benar-benar telah terjadi di tempat itu rupanya.

Ammara semakin panik. Ia berlari tak tentu arah, bahkan sempat beberapa kali menabrak tubuh peri di hadapannya. Tiba-tiba ekor matanya menangkap salah satu sudut halaman istana yang dipadati peri Elf.

Ammara mendekat pada kerumunan itu, mengintip di balik punggung peri Elf yang sedang berkumpul dengan wajah-wajah sedih. Matanya membelalak saat menangkap pemandangan mengerikan di balik kerumunan itu.

Mayat-mayat peri terlihat sedang di bakar dalam api-api biru yang cukup besar. Ammara segera menyadari bahwa bau aneh yang menyeruak ke seluruh penjuru istana sejak ia menjejakkan kaki di sana adalah bau mayat peri yang sedang dibakar. Namun, siapa mereka dan mengapa ada begitu banyak mayat peri yang dibakar, pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.

Iris mata hijau Ammara tiba-tiba menangkap sosok-sosok yang ia kenal sedang berkumpul di satu sudut, dengan blokade ketat dari para kesatria Elf. Peri-peri yang berkumpul di sudut itu terlihat jauh lebih ramai. Ammara dapat melihat Putri Tatianna, Pangeran Archibald, Pangeran Claude dan Pangeran Elwood berjajar dengan wajah sedih dari posisinya. Mereka mengelilingi sebuah nyala api biru yang paling besar.

Ammara terkesiap. Ia mencari sosok Pangeran Elijah dan Putra Mahkota Albert di antara kerumunan itu. Namun, ia tak dapat menemukannya. Hatinya mendadak tidak enak.

Ammara berusaha mendekati tempat putri dan pangeran berdiri. Ia menyelinap melewati tubuh-tubuh peri yang saling berhimpitan. Begitu sampai di depan blokade kesatria Elf, ia tidak dapat masuk. Tak peduli seberapa keras ia berusaha memohon bahkan mendorong, para kesatria Elf tetap menghalanginya dengan tombak-tombak yang menyilang.

Ammara mulai merasa tenaganya terkuras. Pelipisnya dibanjiri keringat, sementara napasnya terengah-engah. Ia nyaris putus asa ketika tubuhnya membentur dada bidang sesosok peri laki-laki.

"Aww...!" desis Ammara seraya memegang keningnya yang terasa berdenyut.

"Kau mencariku?" tanya suara peri laki-laki berdada bidang di hadapan Ammara. Suaranya terdengar familier.

Ammara mengangkat wajahnya dan mendapati raut Elijah yang terlihat kaget. "Pangeran Elijah!" seru Ammara lega. "Apa yang terjadi?" tanyanya tanpa menunggu respon Elijah. Kekalutan membayangi wajahnya.

Sorot mata Elijah berubah sendu. "Monster Hydra menyerang Istana Avery. Darah dan Napas beracunnya membuat para peri berubah jadi mayat hidup... Mayat-mayat hidup yang terinfeksi menularkan racun yang sama..."

Kalimat Elijah menggantung di udara, sementara mata pangeran peri itu mulai berkaca-kaca. Ia membuang pandangan, tak mampu menatap iris mata hijau Ammara yang menuntut penjelasan.

"Lalu?" desak Ammara dengan suara tercekat.

Elijah kembali menatap mata peri perempuan itu, mulutnya membuka dan menutup sebelum akhirnya menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab desakan Ammara. "Putra Mahkota Albert terinfeksi mayat hidup. Archibald terpaksa harus menusuknya," ucap Elijah getir.

"A-apa?!" Ammara membelalak. Ia menggeleng cepat, menolak untuk mempercayai kata-kata Elijah. Ia segera membalik badan dan berlari ke arah blokade kesatria Elf. Ia menabrakkan tubuhnya sekuat mungkin, mencoba untuk menerobos blokade tersebut. Matanya fokus menyorot tubuh peri yang terbakar di dalam api biru besar di balik blokade.

"Ammara!" panggil Elijah yang menyusul di belakangnya. Ia mencoba meraih tubuh peri perempuan itu.

Ammara menepis kasar tangan Elijah seraya mendelik sekilas ke arah pangeran peri yang mengekorinya. "Kau pasti salah!" desisnya marah.

Peri perempuan itu mencoba sekali lagi menerobos blokade. Kali ini salah satu kesatria Elf mendorong tubuhnya sedikit keras hingga Ammara terpental.

Dengan sigap Elijah menyambut tubuh terhuyung Ammara. Ia membalik tubuh Ammara dan membenamkan wajah peri perempuan itu ke dadanya. Ia memeluknya erat seraya menepuk lembut punggung Ammara yang kini mulai menangis dalam pelukan.

"Kau pasti salah!" raung Ammara. Suaranya teredam di dalam pelukan Elijah. Sesekali tangannya memukul gusar pada dada sang pangeran peri.

Elijah bungkam, membiarkan Ammara meluapkan kesedihan untuk beberapa saat lamanya.

"Semua akan baik-baik saja," bisik Elijah, setelah tangis Ammara lamat-lamat mulai mereda. Sorot matanya menerawang ke arah langit kelabu yang menaungi Fairyverse.

Ammara mengangkat wajah dan merenggangkan tubuhnya dari dada Elijah. Ia menatap api biru yang membakar tubuh Putra Mahkota Albert dari kejauhan. Air mata masih terus mengalir di kedua pipinya seolah enggan berhenti.

"Sebelum peristiwa ini, Putra Mahkota sempat menemui Dewan Peri untuk memberikan kesaksian bahwa Ibumu bukan pelaku kekacauan di Pesta Putri Tatianna." Elijah akhirnya membuka suara. Ia berbicara cukup hati-hati sembari memperhatikan perubahan raut wajah Ammara.

Perkataannya sontak membuyarkan lamunan Ammara. Ia menatap Elijah dengan kening berkerut, meminta penjelasan lebih pada peri laki-laki yang kini berdiri sejajar dengannya.

Elijah mengendikkan bahunya. "Ibumu sudah dibebaskan dari segala tuduhan. Semua itu berkat Albert."

Suara isak tangis kembali terdengar. Ammara menutup mulutnya dengan telapak tangan agar suara tangisnya sedikit teredam. Ia menghela napas kasar melalui hidung yang telah dipenuhi cairan. "Aku bahkan tak sempat mengucapkan terima kasih padanya!"

"Maaf jika ceritaku malah membuatmu semakin sedih. Aku hanya ingin kau mengetahuinya," ucap Elijah lirih.

Ammara menggeleng, masih dengan tangis yang sulit dibendung. "Kau benar. Aku sangat menyesal karena tak sempat mengucapkan terima kasih padanya," kata Ammara di sela-sela tangisnya.

"Semua akan baik-baik saja, Ammara. Dia sudah berada di tempat terbaik," sahut Elijah seraya menepuk punggung Ammara pelan.

Seketika mereka bungkam. Ammara dengan tangisnya, sementara Elijah dengan lamunannya. Mereka sama-sama menyorot api biru yang kini tengah melahap tubuh tak bernyawa sang putra mahkota.

Jasad para peri yang dibakar api biru akhirnya berubah menjadi abu. Api-api biru itu secara ajaib mengecil dan menyisakan tungku-tungku menghitam yang dipenuhi abu.

Suara tangis dan lolongan sedih perlahan mereda. Para pelayat perlahan-lahan pergi meninggalkan tempat itu. Namun, prosesi belum usai, selanjutnya mereka akan berpindah menuju Taman Peristirahatan Terakhir yang tak jauh dari lingkungan Istana Avery. Setelah para petugas kremasi dalam pakaian formal kerajaan mengumpulkan abu Putra Mahkota Albert dan peri Elf lainnya dalam masing-masing bejana yang terbuat dari perak, rombongan peri yang menyaksikan prosesi kremasi segera ikut berpindah ke Taman Peristirahatan Terakhir. Lambat laun, suasana halaman utama Istana menjadi lenggang.

"Apa kau ingin bertemu ibumu?" tanya Elijah memecah keheningan di antara mereka.

Ammara mengangguk pelan seraya mengusap sisa air mata yang menggenang di pipi. Wajah pucatnya terlihat sembab dengan mata bengkak dan hidung yang memerah.

"Kau tidak ke Taman Peristirahatan Terakhir?" Ammara balik bertanya dengan suara serak.

"Aku akan ke sana, setelah mengantarmu bertemu Nyonya Ella," sahut Elijah saat mereka berjalan menjauhi tempat kremasi.

"Aku bisa menemukan Ella sendiri," tolak Ammara. Ia mengembuskan napas pelan. "Lebih baik kau segera pergi ke Taman Peristirahatan Terakhir. Aku tidak ingin kau melewatkan ritual penting, penghormatan terakhir untuk Putra Mahkota Albert."

Elijah menatap Ammara ragu, tetapi segera mengangguk pelan. "Aku akan segera menemuimu setelah prosesi di taman selesai." Elijah menepuk bahu peri perempuan di sampingnya pelan.

Ammara mengangguk cepat, berusaha terlihat mantap dengan keputusannya. "Sampaikan salamku pada Putra Mahkota Albert." Setetes air bening mengalir di salah satu pipinya. Ammara mengusapnya cepat.

Elijah terlihat enggan beranjak dari sisi Ammara. Namun, Ammara segera mendorong bahu peri laki-laki itu pelan seraya menggerakkan mulutnya tanpa suara, mengatakan kalau ia baik-baik saja.

"Aku akan segera kembali," ucap Elijah lagi seraya berlari meninggal Ammara menuju Taman Peristirahatan Terakhir.

Ammara mengangguk pelan, mengiringi kepergian sosok Elijah yang menghilang di balik benteng Kerajaan dan tak lagi menoleh kepadanya. Kini tinggallah Ammara bergeming di posisinya di antara para pelayat yang mulai menyusut jumlahnya. Kakinya terasa lemas untuk sekadar berjalan kembali kepada sang ayah.

"Ammara!" Sesosok peri Elf menepuk pundak Ammara. Peri perempuan itu sontak menoleh ke arah suara yang menyapanya.

Pupil matanya melebar saat mengenali sosok peri yang menyapanya, "Ayah!"

Ella muncul dari balik punggung Ailfryd dan langsung memeluk putrinya erat.

Ammara membalas pelukan Ella dengan tangis yang kembali pecah. Ammara meraung lagi. Tangis kelegaan dan sedih bercampur jadi satu.

"Aku merindukanmu, Nak!" lirih Ella di sela-sela isak tangisnya.

Tangis Ammara semakin kencang begitu mendengar ucapan sang ibu. Ia tak sanggup menjawab, tetapi pelukannya semakin mengerat. Kedua bahunya bergetar. 

Ailfryd yang berdiri di samping Ammara, menghela napas berat. Susah payah ia menahan diri agar tidak ikut larut dalam kesedihan istri dan anaknya. Namun, setetes air bening akhirnya turut lolos dari pelupuk matanya.  

Setelah beberapa saat lamanya, Ammara mengangkat wajah dan melepaskan diri dari pelukan Ella. Ia mengusap air mata di pipinya dengan punggung tangan, seraya membersit ingus. Dengan suara serak, ia berucap, "Ibu, apakah ibu tahu jika Putra Mahkota Albert meninggal?"

Ella mengangguk pelan seraya berkata di sela-sela isak tangisnya. "Ibu menyaksikan semuanya, Ammara!"

Ammara membelalak mendengar jawaban Ella. Tanpa sadar mulutnya membentuk bulatan.

"Pangeran Claude mengeluarkan ibu dari ruang tahanan bawah saat Istana Avery sedang kacau." Ella melanjutkan kata-katanya. "Ia berharap ibu dapat menolong Putra Mahkota. Namun, saat ibu tiba, semuanya sudah terlambat. Ibu tidak dapat merasakan lagi denyut nadi di pergelangan tangannya." 

Ammara menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air mata kembali mengalir di pipinya.

"Percayalah, ini yang terbaik untuk Putra Mahkota, yang terbaik untuk seluruh kerajaan Avery," ucap Ella lagi.

Ammara mengangguk pelan seraya mengusap lagi air mata yang baru saja membasahi pipinya. Ia merebahkan kepalanya di pundak sang ibu, menutup matanya agar segala kesedihan dapat menghilang. Namun, saat ia menutup mata, yang hadir justru adalah bayangan Putra Mahkota Albert.

Ammara kembali terisak. Bulir-bulir air mata kembali mengalir di pipinya.

* * *

Seusai prosesi penaburan abu Putra Mahkota Albert di Taman Peristirahatan Terakhir, Raja Brian masih enggan beranjak dari tempat itu. Untuk menghormati sang Raja, keluarga kerajaan lainnya pun ikut tak beranjak dari tempat itu, sementara para pelayat umum telah pergi meninggalkan Taman Peristirahatan Terakhir beberapa saat yang lalu.

Raja Brian terlihat sangat pucat. Ia bahkan tak mampu berdiri sendiri. Pangeran Claude dan Pangeran Elwood memapahnya di sisi kiri dan kanan. Namun, ia tetap memaksakan diri untuk mengikuti seluruh prosesi kremasi dan penebaran abu di Taman Peristirahatan Terakhir .

Maurelle berdiri membelakangi Raja Brian, di salah satu sisi Ratu Serenity yang tak henti-hentinya menangis histeris sepanjang prosesi. Dua peri perempuan sampai harus memegangi sang Ratu agar dapat tetap berdiri di tempat. Kedua matanya telah bengkak, tetapi sang ratu peri seolah tak lagi peduli dengan penampilanya.

Iris mata kelam Maurelle mengamati keluarga kerajaan yang hadir di taman itu satu per satu dengan tatapan awas hingga pandangannya menangkap sesosok peri asing yang berdiri pada posisi paling belakang. Sosok itu bukan sosok yang familier baginya, sosok peri berjubah hitam dengan tudung yang menutupi sebagian besar wajah.

Pandangan Maurelle dan sosok itu beradu, saat sosok peri misterius itu tanpa sengaja melemparkan pandangan sekilas ke arah Raja Brian. Sosok berjubah hitam itu terkesiap lalu menundukkan kepalanya dengan cepat. Ia segera berbalik dan hendak beranjak dari Taman Peristirahatan Terakhir.

"Tunggu!" sergah Maurelle yang membuat mata semua peri elf di taman itu membelalak. Sontak mereka menoleh ke arah sosok bertudung hitam. Mereka menepi memberi jalan pada Maurelle untuk mendekati sosok itu.

Sosok bertudung hitam itu berhenti dengan posisi membelakangi Maurelle.

Maurelle seketika menghentikan langkah dan memberi jarak dengan sosok misterius itu. Ia bertanya lantang, "Siapa kau?!"

Dengan gerakan cepat, sosok bertudung hitam itu berbalik seraya membuka tudung kepalanya.

Para anggota keluarga kerajaan terkesiap. Beberapa di antara mereka terdengar menjerit kaget. Sementara peri lain terlihat shock begitu melihat sosok peri bertudung hitam di hadapan mereka.

"Apa kabar semuanya? Masih ingat padaku?" tanya peri bertudung hitam dengan nada sinis. Suara tawanya terdengar begitu dingin. Suasana Taman Peristirahatan Terakhir itu seketika diliputi aura gelap.

"Apa yang kau lakukan disini, makhluk unsheelie?!" hardik Ratu Serenity. Wajah sembabnya seketika diliputi amarah.

Suara tawa memecah di taman yang harusnya hening itu. Dengan sigap, peri bertudung itu melepas keseluruhan jubahnya hingga menampilkan gaun ungu gelap dan rambut hitam tergerainya. Wajah cantik nan bengis itu menyunggingkan senyum asimetris.

"Bukankah kita teman lama, Ratu Serenity? Aku hanya datang untuk mengunjungi teman lamaku yang sedang bersedih karena kehilangan putranya," jawabnya dengan suara meninggi. Sosok itu kini mengalihkan pandangannya dari Ratu Serenity ke Raja Brian. "Aku juga ingin menjenguk mantan suamiku!"

Seluruh mata sontak mengarah pada Raja Brian yang terpaku di tempatnya. Peri laki-laki itu bergeming.

"Minerva? Kaukah itu?" tanya Raja Brian dengan suara tercekat. Matanya memicing, membalas tatapan sengit peri perempuan bersurai gelap di hadapannya.

Senyum asimetris di bibir Minerva menghilang, berganti wajah dingin dengan tatapan tajam. "Aku harap kau tidak benar-benar melupakanku, Raja Brian. Kau bahkan tidak pernah mencariku saat aku dibuang ke Hutan Larangan. Namun, tenang saja, aku sudah memaafkanmu. Aku tidak membutuhkanmu lagi. Aku sudah tumbuh menjadi sangat kuat dan tak terkalahkan!"

"Pangawal! Bunuh peri Unsheelie itu!" teriak Ratu Serenity kalap. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Ia nyaris berlari mencengkeram Minerva jika saja kedua peri perempuan di sisinya tidak menahan lengannya.

Sejumlah kesatria Elf lantas maju membentuk lingkaran mengelilingi Minerva, dengan tombak dan pedang sihir terhunus di tangan.

Minerva menyeringai, sebelum akhirnya mengibaskan kedua belah tangannya menyilang dengan kasar. Angin yang tercipta dari sekali kibasan tersebut kemudian membuat seluruh kesatria Elf di sekelilingnya terpental.

Suara teriakan panik para keluarga kerajaan tiba-tiba memenuhi Taman Peristirahatan Terakhir. Beberapa peri berlari pergi meninggalkan taman itu dengan ketakutan, sementara sisanya bergerombol untuk saling melindungi.

Maurelle dan para pangeran peri maju ke hadapan Minerva dengan pedang sihir terhunus di tangan mereka masing-masing, sementara kerabat kerajaan lainnya berlindung di belakang mereka.

Minerva bersedekap. Ia mengerling tanpa minat pada Maurelle, pangeran Archibald dan pangeran Elijah yang menghunus pedang ke arahnya. "Aku kemari bukan untuk membuat keributan. Aku hanya ingin berbelasungkawa atas meninggalnya Putra Mahkota Albert. Jadi... Kembalikan saja pedang kalian ke dalam sarungnya sebelum aku berubah pikiran!"

"Apa maumu sebenarnya, Minerva?" tanya Raja Brian dengan suara bergetar.

"Apa mauku?" ulang Minerva dingin. Matanya kembali menyorot tajam pada Raja Brian. "Apa kau akan memberikan apa yang kumau jika aku mengatakannya?!"

"Hentikan omong kosongmu!" bentak Ratu Serenity berang.

Minerva menyeringai melihat tingkah Ratu Serenity. Peri perempuan itu berjalan perlahan mendekati Ratu Serenity. Pada satu titik ia berhenti, kemudian berdecak dengan tatapan meremehkan. "Lihatlah dirimu, Ratu! Kau sangat berantakan. Bahkan dalam situasi seperti ini, kau masih saja cemburu padaku! Kecemburuanmu itu lambat laun akan menghancurkanmu!"

Ratu Serenity hendak menyerang Minerva, tetapi lagi-lagi kedua lengannya terkekang. Ia menggerak-gerakan tubuhnya kasar ke segala arah, mencoba melepaskan kekangan dua peri perempuan di sampingnya, tetapi tak bisa.

"Tutup mulutmu, Peri terkutuk!!" raung Ratu Serenity berang. Wajah rupawan sang ratu merah padam, sementara matanya melotot menatap Minerva. "Pergi kau dari tempat ini. Ini bukan tempatmu, makhluk terkutuk!" semburnya lagi.

Minerva mendelik. Namun, sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Saat tawanya mereda, tatapan menusuknya kembali menyorot pada Ratu Serenity "Aku harap kau tidak lupa, kalau aku adalah ibu salah satu pangeran di Avery. Aku kemari juga ingin melihat keadaan putraku."

Ratu Serenity terkesiap.

Demikian pula halnya dengan Raja Brian. Tanpa sadar mulut menganganya membentuk bulatan.

Kasak-kusuk mulai terdengar. Keluarga kerajaan dan para pelayat yang tersisa mulai berbisik-bisik saat mendengar pengakuan Minerva.

Minerva menyapukan pandangannya sekilas pada Maurelle dan jajaran pangeran kerajaan Avery yang sedang menghunus senjata ke arahnya.
Dari sudut matanya, Minerva dapat melihat Elijah yang membelalak menatapnya. Rahang pangeran peri itu terkatup rapat sementara kegusaran perlahan meliputi wajah sang pangeran.

Salah satu sudut bibir Minerva terangkat.

"Kembalilah ke asalmu, Minerva. Atau Dewan Peri akan menghukummu," sela Raja Brian. Seketika bisik-bisik para pelayat mereda saat mendengar sang raja angkat bicara.

Minerva menghela napas panjang seraya bersedekap. Ia menoleh tanpa minat ke arah Raja Brian. "Betapa sombongnya kalian para kaum Sheelie hingga peri Unsheelie yang ingin berbelasungkawa dengan tulus, kalian usir. Aku hanya ingin mengingatkan bahwa tidak ada yang abadi. Kelak bisa saja kalian yang berada di posisiku."

"Kau datang ke sini dengan dengan membawa ancaman dan teror, apa itu bisa dikatakan tulus?!" Ucap Elijah setengah berteriak.

Minerva terkesiap, tak menyangka jika putranya akan melontarkan kata-kata yang begitu tajam untuknya. Namun, ia segera menguasai dirinya dan kembali memasang wajah yang dingin tanpa ekspresi.

"Lihat bagaimana para peri Sheelie ini mengubahmu menjadi peri yang tak menghormati ibumu!" desis Minerva. Ia mendelik pada Elijah.

Sontak seluruh mata di Taman Peristirahatan Terakhir menyorot pada Elijah. Bisik-bisik kembali terdengar di antar para pelayat.

Demi mendengar perkataan Minerva, Elijah bungkam. Wajah tampannya mendadak merah padam. Ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat hingga urat-urat di lehernya samar-samar terlihat. Sedetik kemudian, ia membuang muka.

"Sepertinya upacara penaburan abu Putra Mahkota Albert ini tidak lagi menyenangkan!" seru Minerva. Pandangan dinginnya menyapu seluruh pelayat yang hadir di taman itu.

"Bersiaplah, karena setelah ini, aku akan datang kembali untuk mengambil apa yang seharusnya kumiliki," ucapnya lagi seraya melirik sekilas ke arah Elijah yang sedang tertunduk. Pandangannya kemudian beralih pada Raja Brian dan Ratu Serenity yang terlihat shock.

Minerva mengibaskan salah satu sisi gaunnya yang panjang. Cahaya keunguan muncul dari balik jubahnya. Dalam sepersekian detik cahaya keunguan itu seolah melahap tubuhnya. Minerva menghilang, meninggalkan berkas cahaya keunguan yang melesat terbang meninggalkan Taman Peristirahatan Terakhir.

"Tangkap dia! Bunuh peri Unsheelie itu! Cepat!" teriak Ratu Serenity panik begitu cahaya ungu keluar dari taman. Tubuhnya meronta-ronta agar terlepas dari kekangan.

Raja Brian mendekati Ratu Serenity seraya menenangkan istrinya. "Tenanglah istriku, semua akan baik-baik saja. Aku berjanji, ia tidak akan bisa berbuat kekacauan di Avery."

Ratu Serenity berdecak kesal. "Ini semua gara-gara peri itu!" tudingnya pada Elijah yang bergeming. "Jika saja kita tak membawanya ke Istana, maka Minerva tidak akan punya alasan untuk datang lagi. Benar-benar menyusahkan!"

"Sudahlah. Tenanglah, Ratuku. Mari kita kembali ke Istana Avery," bujuk Raja Brian. Ia melirik khawatir kepada keluarga besarnya yang mulai memperhatikan dan mengomentari tingkah sang ratu.

Dengan berat hati, Ratu Serenity menuruti Raja Brian untuk meninggalkan Taman Peristirahatan Terakhir. Kesatria Elf dan para pelayat lainnya mengiringi kepergian sang raja dan ratu.

Sementara Pangeran Elijah tetap bergeming di tempatnya dengan tangan terkepal. Rahangnya mengeras. Sesuatu yang berat seolah menghimpit dadanya, terasa sakit dan menyesakkan.

Andai aku tidak terlahir sebagai anak peri unsheelie, pasti rasanya tidak akan sesakit ini.





























Halo readers, akhirnya Fairyverse update lagi. Maaf kalo kemalaman.
Jangan lupa untuk selalu tinggalkan vote dan komentarnya yaaa.... Supaya aku semangat buat nulis lanjutannya....

Terima kasih buat yang sudah mampir dan baca cerita ini, semoga kalian suka❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top