25. Red Camellia
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada harus menyaksikan saudara sekaligus sahabat karib meregang nyawa di depan mata, dengan cara yang sangat mengenaskan.
Archibald tak berkedip memandang tubuh Albert di pangkuannya yang perlahan bertransformasi akibat terinfeksi darah hydra. Entah berapa kali Maurelle menarik bahunya agar ia segera menjauh sebelum Albert benar-benar berubah menjadi mayat hidup dan menyerangnya, tetapi ia tetap bergeming.
Iris mata hazel green nya terpaku pada Albert, seolah benar-benar enggan melepas kepergian Albert dari tubuh fananya. Tak ada air mata. Namun, awan kesedihan jelas menaungi pangeran peri bersurai keemasan itu.
Di pangkuan Archibald, Albert yang tak lagi merintih kesakitan, mulai mengalami perubahan pada fisiknya. Kulit tubuhnya yang putih perlahan-lahan berubah menghijau dengan warna urat dan pembuluh darah yang jadi lebih terang serta menonjol. Rambut peraknya yang berkilau dan halus berubah perlahan menjadi kusam dan kasar seolah cahaya keindahan fisik sang peri telah terangkat dari mahkotanya. Bibir kemerahan Albert kini telah menghitam seutuhnya. Perlahan, luka-luka di tubuhnya juga mengering dan menghitam, diikuti dengan kuku-kuku yang juga menghitam dan memanjang penanda bahwa tubuh fananya telah mati.
"Pangeran Archibald, Putra Mahkota Albert akan segera bangkit dan berubah menjadi mayat hidup. Pangeran harus berhati-hati," ucap Maurelle untuk yang kesekian kalinya. Peri laki-laki itu berdiri tepat di samping Archibald. Ia mengguncang salah satu pundak Archibald.
Archibald bergeming.
"Pangeran... Relakanlah kepergian Putra Mahkota. Ia bukan lagi Putra Mahkota Albert yang kita kenal!" bujuk Maurelle nyaris putus asa. Akhirnya ia ikut berlutut di samping Archibald. Matanya lekat menatap jasad Putra Mahkota Albert. Setetes air bening mengalir di salah satu pipinya.
Archibald masih bergeming. Namun, air mukanya menegang.
"Albert... tidak boleh berakhir seperti mereka," gumamnya terbata-bata. Archibald mengedarkan pandangan pada segerombol mayat hidup yang merangsek maju ke arah mereka.
Maurelle mengangkat wajahnya mengamati Archibald, menanti apa yang hendak dilakukan pangeran peri itu dengan tegang.
"Archibald!" seru Claude yang datang tergesa. Ella mengekor tepat di belakangnya.
"Pangeran Claude! Ella!" sapa Maurelle seraya mengembuskan napas lega. "Syukurlah kalian datang. Tolong, sembuhkan Putra Mahkota Albert."
Tanpa aba-aba, Ella segera berlutut di hadapan Archibald yang memangku tubuh Albert. Dengan sigap, peri penyembuh itu meraih salah satu pergelangan tangan Albert untuk mencari nadinya.
"Bagaimana, Nyonya Ella?" tanya Claude dengan raut khawatir. Ia ikut berlutut di samping Ella.
Ella menggeleng pelan. Raut wajahnya menjadi suram seketika. "Kita terlambat. Putra Mahkota Albert sudah tiada," lirihnya.
"Apa?!" pekik Claude dan Maurelle nyaris bersamaan.
"Putra Mahkota Albert sudah terinfeksi sepenuhnya. Tidak lama lagi ia akan bangkit," sahut Ella getir.
Keempat peri Elf itu kini membisu untuk beberapa waktu lamanya seraya menatap tubuh tak bernyawa Albert yang secara fisik telah serupa mayat hidup.
Suara raungan tiba-tiba terdengar tidak jauh dari tempat mereka berkumpul. Segerombol mayat hidup yang tadi mengikuti Claude dan Ella ternyata telah tiba di halaman utama Istana Avery. Beberapa mayat hidup yang tersisa di halaman itu ikut bergabung mendekati Maurelle, Claude, Ella dan Archibald.
Dengan sigap, Maurelle dan Claude serta beberapa kesatria Elf yang tersisa di halaman istana mengambil ancang-ancang untuk bertahan sekaligus menyerang. Pedang sihir terhunus di tangan mereka masing-masing.
Rahang Archibald mengeras. Kedua tangannya terkepal.
Ella yang mengamati perubahan sikapnya, mencoba menenangkan. "Apapun keputusanmu, Pangeran Archibald, tidak ada yang berhak menyalahkanmu. Kami semua akan mendukungmu."
Archibald menatap Ella. Kata-kata peri penyembuh itu seolah-olah memberinya kekuatan dan menguatkan keputusannya. Sementara peri penyembuh itu membalas tatapan Archibald dengan sebuah anggukan mantap.
Archibald mengedarkan pandangannya ke sekitar, pada rekan-rekannya yang tengah bersiaga menyambut kedatangan mayat hidup yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dari mereka. Ia tak boleh kehilangan lebih banyak lagi. Tidak kali ini. Kehancuran ini harus segera diakhiri, sebelum korban bertambah.
Tepat saat Archibald meraih pedang sihirnya dan matanya kembali menyorot tubuh Albert, Albert membuka mata. Archibald terkesiap. Tatapan mereka beradu. Namun, Archibald segera sadar jika sorot mata dan seringai yang tersungging pada bibir hitam si mayat hidup tidak seperti Albert yang selama ini ia kenal. Tanpa keraguan, Archibald mengangkat pedang sihirnya lalu menancapkan benda itu tepat di jantung Albert.
Albert mengerang hebat, tetapi sedetik kemudian tubuhnya terkulai tak bersuara. Seberkas cahaya keunguan keluar dari tubuh Albert. Cahaya itu pun menghilang dalam sekejap mata. Bersamaan dengan itu, gerombolan mayat hidup lain yang nyaris menerkam Maurelle, Claude dan beberapa kesatria Elf mendadak roboh. Warna kehijauan di tubuh mereka serta-merta memudar.
Archibald dan Ella saling pandang dengan wajah shock.
Hening seketika menyergap halaman Istana Avery.
"Albert! Putraku!"
Ratu Serenity yang tiba-tiba muncul, berlari histeris mendekati tubuh Albert yang terbujur kaku di atas pangkuan Archibald. Matanya membelalak begitu melihat pedang sihir tertancap di jantung putranya, terlebih ketika mendapati bahwa Archibald-lah yang sedang memegang gagang pedang tersebut.
Archibald mengangkat wajahnya, memberi hormat sekilas kepada Ratu Serenity. Kemudian mencabut pedangnya perlahan dari tubuh kaku Albert.
Ratu Serenity menjerit seraya mendorong tubuh Archibald hingga jatuh terjengkang. Kemudian, ia mencekik leher Archibald berang.
Archibald hanya terdiam, tanpa perlawanan. Sekuat tenaga ia menahan rasa sakit akibat cekikan sang ratu.
"Tenanglah, Ratu!" Maurelle meraih pundak Ratu Serenity untuk melepaskan cekikanya dari leher Archibald. Archibald memucat dan mulai kehabisan napas.
"Bagaimana aku bisa tenang?!" hardiknya. Ia sontak melepaskan cengkeramannya pada leher Archibald, kemudian menepis kasar lengan Maurelle dari bahunya. "Dia membunuh putraku! Calon Raja Avery!" jeritnya lagi seraya menuding ke arah Archibald.
"Yang Mulia, ini tidak seperti yang Anda lihat. Archibald tidak membunuhnya. Putra Mahkota terinfeksi. Archibald berusaha menyelamatkannya. Ia menyelamatkan seluruh kerajaan Avery." Claude menjelaskan.
"Benar, Yang Mulia Ratu. Putra Mahkota sendiri yang memintanya pada Pangeran Archibald, sebelum ia terinfeksi." Maurelle menimpali.
"Bohong! Kalian berdua bersekongkol! Bohong!" Jerit Ratu Serenity histeris. Ia berlutut dan meraih tubuh Albert, kemudian mendekapnya erat. Tangisnya pecah.
Archibald bergeming. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba sebuah sentuhan lembut mendarat di pundaknya.
"Terima kasih telah menyelamatkan Avery hari ini, putraku." ucap Raja Brian lembut. Entah sejak kapan, sang raja telah berdiri di samping Archibald. Di samping Raja Brian, Elijah bergeming dengan raut wajah yang tak dapat diartikan.
Archibald mengangkat wajahnya, menatap Raja Brian sendu.
"Jika ada yang patut di salahkan, maka Hamba-lah orangnya, Yang Mulia. Hamba telah gagal melindungi Putra Mahkota Albert. Hamba pantas mati!" seru Maurelle seraya bersujud di hadapan Raja Brian.
Raja Brian menggeleng lemah. Ia menyentuh pundak Maurelle dan menuntunnya berdiri. "Akulah yang lalai menjaga putraku sendiri. Dengan kondisiku yang seperti ini, harusnya aku mundur dan menyerahkan takhta pada Putra Mahkota Albert sejak lama," sesal Raja Brian dengan suara bergetar. Setetes air bening terbit di pelupuk matanya.
"Yang Mulia...!" lirih Maurelle dengan tangis tertahan.
Raja Brian menghela napas pelan. Ia melangkah melewati Maurelle dan Archibald yang masih berlutut. Ia menghampiri Ratu Serenity yang menangis sesenggukan seraya memeluk erat tubuh tak bernyawa putranya.
"Maafkan aku, Ratuku..." ucap Raja Brian lirih. Hanya itu yang mampu ia ucapkan. Tangisnya seketika pecah saat ia memeluk tubuh Ratu Serenity.
Seluruh peri Elf yang masih tersisa di Istana Avery berkumpul di halaman utama, mengelilingi Raja dan Ratu mereka yang sedang bersedih. Mereka berlutut seraya menundukkan wajah, turut hanyut dalam kesedihan.
Perlahan-lahan dari setiap sudut permukaan tanah Istana Avery pucuk-pucuk daun mulai tumbuh. Tanaman-tanaman itu tumbuh dengan cepat hingga mengeluarkan kuntum-kuntum bunga berwarna merah menyala. Saat kelopak-kelopak bunga merah itu membuka, tanaman itu langsung berhenti tumbuh.
Suara tangisan dan lolongan sedih perlahan memenuhi istana. Angin yang berembus membawa sayup-sayup suara tersebut, menyampaikan berita sedih ke seluruh penjuru Fairyverse.
Seolah turut berduka, langit di Fairyverse perlahan menggelap. Awan kelabu sekonyong-konyong berarak menaungi langit yang tepat berada di atas Istana Avery.
* * *
Angin berhembus kencang menerpa wajah Minerva yang sedang menantang salah satu jendela menara di Kastel Larangan. Iris mata ungunya memandang jauh menembus kabut Hutan Larangan yang semakin pekat. Salah satu sudut bibirnya terangkat.
"Akhirnya hari itu akan segera tiba!" gumam Minerva.
Minerva beranjak dari ambang jendela. Langkahnya berhenti tepat di depan sebuah cermin besar yang memantulkan seluruh bayangan tubuhnya. Ia menyeringai menangkap sorot matanya sendiri di depan cermin itu.
"Apa yang harus aku kenakan agar terlihat cantik untuk melayat ke Istana Avery, ya?" tanya Minerva pada bayangan dirinya di cermin. Ia berputar-putar seraya melebarkan gaun hitamnya seperti sedang mematut diri.
Minerva membelalak, tiba-tiba ia mengingat sesuatu. "Ada hal yang lebih penting yang harus kulakukan!" gumamnya lagi seraya beranjak kembali menuju ambang jendela.
Kini langit Hutan Larangan telah sepenuhnya gelap. Angin malam bertiup semakin kencang, menerbangkan surai hitam Minerva. Peri perempuan itu membentangkan tangannya menantang ambang jendela. Wajahnya menengadah menatap langit yang menggelap.
Dalam sepersekian detik matanya memutih, sementara bibir merahnya mengalunkan mantra dalam suara rendah.
Suara deru angin terdengar lebih kencang. Ranting-ranting dan serangga-serangga kecil berterbangan terbawa pusaran angin yang tercipta dari rentangan tangan Minerva.
"Wahai budak kegelapan, seluruh penghuni Hutan Larangan!" seru Minerva dengan lantang di tengah-tengah lantunan mantranya. "Aku memanggil kalian untuk mengikuti titahku. Bersiaplah! Kita akan membalas dendam pada para peri yang mengutuk kita di sini! Pada waktu yang aku tentukan, seorang manusia akan menghancurkan segel putih di Perbatasan Hutan Larangan. Kalian akan bebas. Aku akan membawa kalian keluar dari kutukan dan kegelapan selamanya!"
Setelah Minerva menyerukan titahnya, tiba-tiba kilat membelah langit gelap Hutan Larangan. Gemuruh terdengar sahut-sahutan. Suara-suara seruan dan lolongan dari makhluk-makhluk kegelapan di Hutan Larangan terdengar seolah menyahuti perkataan Minerva. Untuk beberapa saat lamanya Hutan Larangan menjadi riuh.
Minerva melanjutkan mantranya kembali dalam suara rendah. Pusaran angin yang tercipta di antara dua rentangan tangannya memecah ke segala penjuru Hutan membawa berkas cahaya keunguan. Bersamaan dengan itu, gemuruh serta suara-suara makhluk dari Hutan Larangan menghilang. Angin juga seakan berhenti bertiup. Suasana kembali hening.
Minerva menurunkan kedua lengannya. Peri perempuan itu menatap jauh pada pemandangan yang tak terlihat di balik Kabut Hutan Larangan. Senyum asimetris kembali tersungging di bibirnya.
* * *
Ammara duduk termangu di ambang jendela rumah cendawan. Matanya menatap lekat pada semak bunga Marigold di luar halaman yang bergerak lembut tertiup angin. Tak ada lagi suara yang terdengar dari sana.
Ammara mendesah pelan. Berbagai pikiran buruk tengah menggelayuti otaknya. Ia tak dapat melakukan apa pun untuk mengenyahkan pikiran-pikiran itu. Terlebih setelah mendengar percakapan kepik-kepik ajaib yang telah menghilang entah kemana.
Tiba-tiba ekor mata Ammara menangkap pucuk-pucuk tanaman yang mendadak tumbuh di beberapa sudut halaman rumah cendawan. Ammara terkesiap. Punggungnya sontak menegak. Ia mengeluarkan kepalanya melalui bingkai jendela untuk dapat melihat lebih jelas.
Tanaman-tanaman ajaib itu terus tumbuh hingga menyembulkan kuntum-kuntum bunga berwarna merah darah. Ketika kelopak-kelopak bunganya telah mekar, tanaman itu berhenti tumbuh.
Bersamaan dengan tumbuhnya tanaman itu, langit Fairyhill mendadak mendung. Langit yang semula putih berubah menjadi abu-abu.
Ammara menengadah ke langit menyaksikan langit Fairyhill yang biasanya selalu cerah dengan kening berkerut.
"Ayah!" teriaknya gusar tanpa beranjak dari ambang jendela.
"Ada apa, Ammara?" tanya Ailfryd yang datang tergopoh begitu mendengar kecemasan di suara Ammara.
"Ayah, Coba lihat!" seru Ammara seraya menunjuk pada tanaman-tanaman berbunga merah yang baru tumbuh di beberapa sudut rumah cendawan. "Dan, lihat langit itu!" kemudian Ammara mengalihkan telunjuknya ke atas.
Ailfryd mengeluarkan kepalanya melewati ambang jendela. Ia mengikuti arah telunjuk Ammara.
Ailfryd terkesiap. Wajahnya memucat. "Ada anggota kerajaan Avery yang wafat, Ammara," sahutnya dengan suara bergetar.
"A-apa maksud, Ayah? Dari mana ayah tahu?" tanya Ammara. Raut wajahnya mulai panik.
Ailfryd menghembuskan napas berat. Air mukanya berubah muram. "Itu adalah bunga Camellia merah. Setiap kali ada anggota Kerajaan yang wafat, tanaman itu akan tumbuh dan bertahan selama beberapa hari."
"Camellia merah?" Ammara tertegun. "Ayah, aku dengar ada hal buruk yang terjadi di Istana Avery. Aku tidak sengaja mendengar percakapan para kepik yang bertengger di atas mahkota bunga Marigold. Jangan-jangan... "
Ammara dan Ailfryd saling pandang. Mata mereka sama-sama menyiratkan kengerian.
"Aku harap ibumu baik-baik saja..." sahut Ailfryd pelan, lebih seperti gumaman.
Ailfryd menarik tubuhnya dari ambang jendela dan berjalan mondar-mandir. Ia mengusap wajahnya dengan kasar berkali-kali.
"Ayah, bagaimana kalau kita ke Kerajaan Avery sekarang?" tanya Ammara sejurus kemudian.
Ailfryd tampak berpikir. "Jangan. Kau jangan ikut. Biar ayah yang pergi ke Kerajaan Avery," putusnya.
Ammara menggeleng cepat. "Tidak Ayah. Aku harus ikut."
"Tidak Ammara, ayah tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Kau aman di sini karena tabir yang dibuat Claude," tolak Ailfryd.
Ammara bersikeras. "Tidak Ayah. Aku tidak ingin berdiam di sini tanpa mengetahui kondisi Ibu!"
Ailfryd menghembuskan napas kasar. "Kau benar-benar keras kepala, Ammara!" decaknya kesal.
Ammara menautkan alisnya, memasang tampang memohon.
"Baiklah, kita akan menggunakan kereta. Ah, ya, jangan lupa kenakan jubah agar baumu tidak terlalu kentara. Semoga semuanya baik-baik saja dan kita bisa sampai di Kerajaan Avery dengan selamat." Ailfryd menghela napas panjang. "Perjalanan ini memakan waktu setidaknya seharian. Kita akan bermalam di tengah perjalanan," ucap Ailfryd pelan.
Kedua sudut bibir Ammara sontak terangkat ke atas. "Terima kasih, Ayah!"
Beberapa saat kemudian, kereta Ailfryd yang ditarik oleh dua ekor unicorn telah siap di halaman rumah cendawan. Ailfryd dan Ammara segera memasuki kereta itu dengan tergesa.
Derap langkah unicorn yang berlari kencang seketika memenuhi Fairyfarm.
Tanpa mereka sadari, di atas salah satu ranting pohon, seekor burung rajawali bertengger tenang. Burung itu menyorot tajam ke arah kereta yang baru saja keluar dari halaman rumah cendawan. Setelah kereta Ailfryd terlihat cukup jauh, burung rajawali itu kemudian terbang melesat membuntutinya.
R.I.P Putra Mahkota Albert, we will always love you😭❤️
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa vote dan komemtarnya biar aku semangat yaaaa...
Sejujurnya aku masih sedih karena Albert harus benar-benar meninggal di part ini. But, life must go on... Semoga kita sama-sama bisa move on 😥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top