21. Hydra

Minerva menatap tajam kepergian Archibald bersama naga putihnya, sementara salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Peri perempuan itu menyeringai, kemudian tertawa kecil.

"Apa yang kau lakukan padanya?" tanya Elijah yang ternyata masih berdiri tak jauh di belakang Minerva. Di sisi lainnya, Lucifer yang bergeming sontak mengarahkan pandang kepada Elijah.

Minerva menoleh sekilas kepada putranya, tersenyum sinis. "Aku hanya membantunya mengingat masa lalu."

"Apa... apa kau ingin membangkitkan kemarahannya?" decak Elijah.

"Kemarahan adalah kelemahan setiap makhluk, Elijah," imbuh Minerva lagi. Ia menoleh kembali pada Elijah. "Sekarang pergilah dari tempat ini, pulanglah ke Avery. Lihat dan saksikan, aku akan menepati janjiku!"

Elijah terhenyak di tempatnya berdiri. Sebagian dari dirinya ingin tinggal dan menyaksikan apa yang akan dilakukan Minerva dan mencegahnya, tetapi ambisi memaksanya pergi meninggalkan tempat itu. Akhirnya, Elijah memutuskan untuk bergegas pergi dan mencoba mempercayai kata-kata peri perempuan itu sekali saja.

Sepeninggal Elijah, Minerva mengembalikan fokusnya menatap Danau Cermin yang terhampar luas di hadapannya. Danau dengan air yang paling jernih di seluruh penjuru Fairyverse itu menampakan kelebat bayangan hitam pada permukaannya.

Minerva menyeringai, seraya mengangkat kedua belah lengannya menengadah pada langit. Mantra-mantra melantun pelan dari bibirnya yang semerah darah, makin lama semakin keras. Bersamaan dengan itu, bola matanya memutih dan bercahaya.

Langit Fairyfall yang biru cerah mendadak mendung. Awan-awan hitam perlahan muncul menutupi sinar matahari. Bunyi gemuruh tiba-tiba terdengar bersahutan. Angin pun mulai bertiup, kian lama kian kencang.

Sebuah sambaran kilat muncul dari langit Fairyfall menyambar permukaan danau, bersamaan dengan puncak mantra yang dirapalkan Minerva setengah berteriak. Sementara angin kencang bertiup mengibarkan surai kelam dan jubahnya.

Gelombang air muncul perlahan di atas permukaan Danau Cermin yang mulanya tenang. Lama-kelamaan gelombang itu berubah menjadi pusaran air yang berpusat tepat di tengah-tengah Danau Cermin. Permukaan danau berubah menggelap.

Seekor makhluk hitam besar dengan sembilan kepala berbentuk ular perlahan muncul dari dasar danau. Kesembilan kepala monster itu meraung keras, sementara dari masing-masing mulutnya mengeluarkan kepulan asap berwarna hijau.

Sepasang kaki besar sang monster akhirnya menapaki tanah Fairyfall, membawa serta air danau yang meluap naik akibat mengeluarkan tubuhnya yang besar. Bunyi berdebam ekor makhluk besar itu mengiringi tubuhnya yang jatuh di tanah. Makhluk itu meraung dengan mata merah menyala.

Minerva selesai merapalkan mantra. Ia menatap bengis makhluk di hadapannya. Salah satu sudut bibir peri perempuan itu terangkat. "Hydra, hambaku! Pergilah menuju kerajaan Avery. Hancurkan dan bunuh Putra Mahkota Albert serta seluruh makhluk yang menghalangimu!" teriaknya. Mata Minerva menyala.

Seolah memahami apa yang dikatakan Minerva, makhluk berkepala sembilan itu meraung panjang sebelum melangkah pergi meninggalkan Minerva dan Lucifer. Bobot tubuhnya yang besar menyebabkan Fairyfall bergetar.

Lucifer membelalak menyaksikan monster besar yang dibangkitkan oleh Minerva. Teror menyambangi wajahnya. Ia membayangkan kemungkinan paling mengerikan yang akan terjadi di Kerajaan Avery.

* * *

Ratu Serenity menyibakkan tirai yang terbuat dari dari surai jagung, membiarkan garis-garis cahaya menembus jendela besar di hadapan Raja Brian yang sedang terduduk lemah. Sinar matahari pagi menyinari kulit pucat sang raja.

Sang raja bergeming. Tubuh lemahnya tersandar pada sebuah kursi. Tatapan matanya kosong. Tarikan napasnya pelan dan sangat lemah.

Di sisinya, Ratu Serenity tengah menyeduh minuman dalam sebuah gelas perak. Asap tipis mengepul dari permukaan gelas, menandakan minuman yang masih hangat disertai aroma herbal yang menguar kuat memenuhi bilik sang Raja. Perlahan, sang ratu menyuapkan minuman itu dengan sebuah sendok kecil kepada Raja Brian.

Raja Brian menggeleng pelan. Ia mengatupkan rahangnya sekuat tenaga, sementara matanya masih terpejam menghindari silaunya sinar matahari pagi.

Ratu Serenity berdecak pelan, kemudian meletakan gelas perak yang digenggamnya pada sebuah meja bundar dengan putus asa. Ia membersihkan sisa-sisa minuman yang tumpah membasahi dagu sang raja.

"Permisi, Yang Mulia Ratu!" sapa sebuah suara dari balik pintu bilik yang tertutup.

"Masuklah!"

Suara derit pintu memecah keheningan bilik. Dua orang kesatria Elf membuka pintu tersebut dan menyilakan Maurelle memasuki bilik.

Maurelle membungkuk takzim begitu memasuki bilik. Bau herbal yang sangat tajam menusuk penghidunya, sehingga ia sontak sedikit mengernyitkan hidung.

"Bagaimana keadaan Putra Mahkota Albert?" tanya Ratu Serenity.

Maurelle memfokuskan dirinya kembali, setelah sedikit terganggu karena aroma herbal di dalam bilik. Ia menyahut takzim. "Putra Mahkota Albert terlihat jauh lebih baik, Yang Mulia Ratu. Hamba kemari ingin menyampaikan sebuah kabar."

"Kabar apa?" tanya Ratu Serenity. Keningnya berkerut ketika menangkap kegusaran di wajah Maurelle.

Maurelle mendadak gelagapan. Ia terdiam beberapa saat, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan berita yang dibawanya. Setelah berdeham beberapa kali, Maurelle akhirnya membuka suara. "Ampun, Yang Mulia Ratu. Hamba mendapat kabar jika seorang peri unsheelie telah menembus perbatasan Hutan Larangan. Kabar terakhir yang hamba dengar, mereka berada di Fairyfall..."

"Apa katamu?!" desis Ratu Serenity dengan suara rendah. Ia mengerling sekilas ke arah Raja Brian yang masih bergeming dengan mata tertutup rapat, seolah tak ingin berita itu didengar oleh raja.

Maurelle mengangguk takzim. Ia ikut mengerling ke arah Raja Brian. Namun, tak ada respon sedikitpun dari peri laki-laki yang tampak bersandar kepayahan di kursinya.

"Cari tahu siapa peri Unsheelie yang telah lancang melewati perbatasan Hutan Larangan itu!" titahnya gusar. Manik matanya terlihat menerawang ke luar jendela. Rahangnya mengeras. "Siapkan para pasukan untuk segera menangkap peri itu dan langsung penjarakan. Jangan sampai keberadaan satu peri Unsheelie merusak keseimbangan di Fairyverse."

Maurelle mengangguk pelan. Titah sang ratu sangat jelas. "Baik, Yang Mulia Ra---"

"Maurelle!" suara parau Raja Brian tiba-tiba menggema di dalam bilik. Langkah Maurelle tertahan.

Ratu Serenity dan Maurelle sontak menoleh ke arah Raja Brian.

Sang Raja beringsut pelan di atas kursinya. Kelopak matanya yang tertutup bergerak, perlahan-lahan membuka.

"Yang Mulia Raja!" pekik Maurelle dan Ratu Serenity hampir bersamaan. Serta merta, mereka membungkukkan tubuh, memberi hormat kepada sang raja.

Raja Brian dengan susah payah mengangkat salah satu tangannya, memberi tanda pada Maurelle dan Ratu Serenity agar menyudahi penghormatan mereka.

"Apakah ada yang kau inginkan, Yang Mulia?" tanya Ratu Serenity lembut setelah ia menegakkan tubuhnya.

Raja Brian menggeleng pelan. Wajah dan bibirnya sangat pucat, sementara matanya menatap sayu ke arah Maurelle. "Apakah kau telah menemukan manusia itu, Maurelle?" tanyanya parau.

"Ampun, Yang Mulia Raja!" Maurelle menjatuhkan tubuhnya, berlutut di hadapan Raja Brian. Wajahnya menunduk, tak berani menatap sang Raja. "Hamba belum menemukannya. Namun, hamba telah menyebar para Kesatria Elf ke seluruh pelosok Fairyverse untuk menemukan manusia itu."

Raja Brian memegang dadanya dengan salah satu tangan. Ia mengernyit sesaat. "Cepat temukan manusia itu, Maurelle!" Sergahnya pelan. Napasnya memburu. "A-aku tidak tahan menanggung rasa sakit ini!"

"Yang Mulia... !" isak Ratu Serenity. Demi mendengar perkataan sang raja, peri perempuan itu sontak menghambur ke arah Raja Brian.

Raja Brian menggeliat pelan menahan sakit. Beberapa saat kemudian, tubuhnya kembali tenang. Ia mengerling sekilas ke arah Ratu Serenity. Dekapan sang ratu, seolah memberinya kekuatan. Kemudian, mata sayunya kembali menyorot Maurelle. "Segera temukan manusia itu Maurelle, bagaimanapun caranya!" serunya dengan suara bergetar.

"Baik, Yang Mulia!" sahut Maurelle seraya menganggukkan kepala. Namun, ada sesuatu yang membuatnya masih ragu untuk beranjak meninggalkan bilik.

"Ada yang ingin kau sampaikan, Maurelle?" tanya Ratu Serenity dengan mata memicing ketika menangkap gelagat Maurelle.

"Mohon ampun, Yang Mulia Ratu! Hamba hanya ingin menyampaikan sebuah pendapat, jika Raja dan Ratu tidak keberatan---"

Ratu Serenity hendak membuka suaranya, tetapi kalah cepat dengan jawaban Raja Brian. "Sampaikan, Maurelle."

Maurelle mengangguk pelan. "Ampun, Yang Mulia. Menurut hamba, penyebab sakitnya Raja Brian bukan berasal dari keberadaan manusia di Fairyverse." Maurelle menarik napas pelan seraya mengamati perubahan raut wajah Raja Brian dan Ratu Serenity. Ia kemudian melanjutkan perkataanya. "Jika melihat beberapa kejadian yang menimpa Kerajaan Avery dan beberapa kerajaan kecil di Fairyverse, maka hamba menyimpulkan bahwa para peri Unsheelie mulai melakukan pemberontakan. Hamba dapat melihat aura kegelapan telah melewati perbatasan Hutan Larangan, Yang Mulia."

"Apa katamu?!" Ratu Serenity meninggikan suaranya. "Jadi kau meragukan hasil pemeriksaan para peri penyembuh Kerajaan Avery?!

"Tenang lah, Ratu," bisik Raja Brian.

Maurelle terkesiap. "Ampun, Yang Mulia Ratu. Hamba tidak bermaksud demikian. Hanya saja, hamba tidak melihat adanya hubungan antara keberadaan manusia dan kesehatan Raja Brian. Lagi pula, sampai sekarang kita tidak dapat menemukan jejak keberadaan manusia tersebut."

Mendengar perkataan Maurelle, Ratu Serenity semakin tersinggung, karena bagaimanapun para peri penyembuh kerajaan berada di bawah kuasanya. "Lancang sekali kau, Maurelle! Bukankah kau sendiri yang meramalkan kedatangan manusia yang akan merusak tatanan di Fairyverse. Jadi mungkin saja, keberadaan manusia itu telah membawa pengaruh buruk bagi Raja Brian. Bukankah makhluk bernama manusia bahkan sering merusak alamnya sendiri!" hardik Ratu Serenity.

Maurelle terhenyak. Ia tak dapat menjawab perkataan Ratu Serenity, meskipun berbagai asumsi berkelebat di dalam kepalanya. Namun, Maurelle memutuskan untuk bungkam, tak ingin menambah kemarahan sang ratu.

Raja Brian tak menanggapi pernyataan Maurelle. Bukan berarti ia tak memikirkannya, bagaimanapun juga Maurelle adalah penasihat pribadinya, selain statusnya sebagai cenayang resmi kerajaan. Kondisi Raja Brian membuatnya urung untuk berdiskusi dengan Maurelle seperti biasanya.

Keheningan menyelimuti bilik Raja Brian. Namun, sepersekian detik kemudian, suara genderang yang ditabuh dengan panik menggema di seluruh pelosok Kerajaan Avery.

Maurelle, Ratu Serenity dan Raja Brian terkesiap. Gendang telinga mereka sama-sama menangkap bunyi genderang yang telah lebih dari seratus tahun tidak ditabuh itu. Genderang yang menandakan sebuah keadaan darurat.

"Apa itu?!" pekik Ratu Serenity seraya mengeratkan genggamannya pada lengan Raja Brian.

"Maurelle, cepat periksa keadaan Istana!" titah Raja Brian yang mulai panik.

Maurelle mengangguk pelan, tetapi terlihat enggan beranjak. Pandangannya sedang menangkap apa yang sedang terjadi di luar bilik sang raja. Kengerian tergambar jelas di wajah cenayang peri itu. Ia menggeleng cepat. "Raja dan Ratu harus segera bersembunyi di ruang bawah tanah!"

"A-apa?!"

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Maurelle segera menuntun Raja Brian dan Ratu Serenity menuju sebuah ruangan tersembunyi yang terdapat di salah satu sudut bilik.

Maurelle menyibakkan sebuah permadani keemasan yang menutupi permukaan lantai. Kemudian, ia mengetukkan tongkat sihirnya di atas lantai pualam di balik Permadani itu. Garis keemasan berbentuk segi empat tiba-tiba bersinar dan membuka, menampakkan sebuah tangga yang turun ke dalam sebuah ruangan di bawahnya.

Dengan sigap, Maurelle membantu Raja Brian dan Ratu Serenity menuruni ruangan itu bergantian. Setelah itu, ia kembali menyembunyikan pintu masuk menuju ruang bawah tanah kerajaan yang baru saja dibukanya. Lalu, Maurelle bergegas keluar dari bilik sang raja.

Suara genderang kembali ditabuh bertalu-talu. Samar-samar, Maurelle mendengar kegaduhan lainnya, yaitu suara jeritan para penghuni Istana Avery.

* * *

Claude baru saja menjejakkan kakinya di halaman Istana Avery. Ia menengadahkan pandangannya pada langit Avery yang terlihat kelabu, tidak secerah biasanya.

Angin sepoi-sepoi berembus pelan menggoyangkan semak lavender yang memenuhi halaman istana. Desau angin juga membelai surai kelam Claude. Sang pangeran peri nyaris terlena dengan kesyahduan suasana saat suara raungan monster terdengar samar-samar terbawa angin.

Claude terkesiap. Sebuah firasat buruk menyelinap dalam hatinya. Samar-samar sebuah pemandangan mengerikan terpampang di dalam kepalanya. Dengan tergopoh, ia memasuki istana utama kerajaan Avery. Pada sebuah lorong istana, Claude bertemu dengan pemimpin pasukan perang Kesatria Elf.

"Jenderal Thomas, siapkan pasukanmu dan perketat penjagaan di depan benteng Kerajaan Avery. Sesuatu yang buruk----"

Tiba-tiba bunyi genderang perang ditabuh bertalu-talu. Claude dan Kesatria Elf bernama Thomas sontak saling tatap. Ketegangan tergambar jelas di wajah mereka.

Tanpa kata dan tanpa membuang banyak waktu, Claude dan Thomas beserta pasukannya berlari menuju pintu gerbang benteng Kerajaan Avery. Raut gusar dan tegang tersirat jelas pada wajah-wajah mereka. Setelah seratus tahun genderang tak pernah ditabuh, kini bunyi tabuhan yang menandakan peperangan atau kekacauan kembali terdengar.

Seekor monster setinggi lima belas kaki dengan sembilan kepala yang serupa ular dan ekor panjang berduri seperti ekor naga telah berdiri di depan pintu benteng Kerajaan Avery. Tak ada yang tahu dari mana asalnya dan bagaimana caranya hingga makhluk mengerikan itu dapat mencapai Avery. Dari setiap mulut monster tersebut mengepul asap tipis berwarna hijau. Kesembilan kepalanya meraung keras, menggentarkan para Kesatria Elf yang menghadang di balik pintu benteng.

Dua orang Kesatria Elf yang berjaga di luar benteng rupanya tergeletak tak sadarkan diri di atas tanah dengan kulit tubuh berwarna kehijauan. Pintu benteng bergetar beberapa kali, saat sembilan kepala monster bergantian menubruknya.

Putra Mahkota Albert, Elwood dan Maurelle bergabung bersama Claude di belakang pasukan blokade, bersiap menanti Hydra menerobos gerbang benteng kerajaan Avery. Kengerian dan keteguhan hati jelas tergambar pada wajah-wajah mereka, dengan pedang-pedang dan tombak-tombak sihir terhunus siap menghalau kedatangan monster Hydra.

Akhirnya, pintu benteng berhasil dihancurkan.

Beberapa kesatria Elf yang berada tepat di balik pintu gerbang benteng terpental, terkena semburan napas monster itu. Tubuh mereka berubah kehijauan dengan cepat lalu ambruk tak sadarkan diri. Sementara pasukan kesatria Elf lainnya bergerak menjauh beberapa langkah agar tak terkena napas beracun Hydra.

Monster Hydra terus merangsek maju. Menggeram dan meraung.

"Hindari semburan napasnya!" teriak Maurelle. "Aku akan berusaha memasang tabir pelindung!"

Maurelle melangkah mundur, sementara kesatria Elf lain merangsek maju dan menyerang monster Hydra dengan pedang sihir dan tombak mereka. Maurelle merapal mantra pelan, seraya mengangkat tongkat sihirnya ke langit. Sebuah tabir tipis hadir melindungi para kesatria Elf di tempat itu.

Setelah memiliki tabir pelindung dari Maurelle, para kesatria Elf semakin agresif menyerang Hydra.

Putra Mahkota Albert yang masih belum pulih benar, merangsek maju, mendekati salah satu sisi monster Hydra. Pedang sihirnya diayunkan ke arah salah satu leher Hydra. Pedang itu meninggalkan bekas luka sayatan yang menampakan warna hijau menyala darah Hydra. Namun, sedetik kemudian luka itu menghilang tanpa bekas seolah makhluk itu tak pernah terluka.

"Kita harus menebas lehernya!" teriaknya pada Jendral Thomas dan Claude. Kedua orang itu mengangguk pelan.

Claude yang tidak terlalu mahir menggunakan pedang menyerang ekor monster Hydra, berusaha mengalihkan perhatian monster berkepala sembilan itu. Sang monster meraung marah ketika mendapat tebasan di ekornya.

Tiga dari sembilan kepalanya lantas menoleh ke arah Claude dengan tatapan marah. Mata-matanya merah menyala, menggetarkan nyali Claude. Tiga kepala itu kemudian menyemburkan napas hijau beracun. Beruntung, tabir Maurelle masih melindungi hingga semburan napas itu seolah menghantam dinding tak kasat mata di hadapan Claude.

Sementara dari sisi lain, Putra Mahkota Albert dan Jendral Thomas serentak menebas dua kepala Hydra. Dua buah kepala monster yang serupa ular itu jatuh terguling ke tanah, disertai raungan mengerikan yang menekakkan telinga. Darah kental berwarna hijau menyala mengotori pedang sihir mereka. Sedetik kemudian pedang sihir yang terkena darah Hydra itu hancur.

Putra Mahkota Albert dan Jendral Thomas terhenyak. Mereka membelalak dengan ngeri ke arah monster Hydra. Tidak hanya wujudnya yang mengerikan, bahkan racun dalam darahnya sangat mematikan dan menghancurkan.

Monster Hydra yang kehilangan dua buah kepala terlihat sempoyongan untuk beberapa saat. Namun, tidak butuh waktu lama, dua leher yang terkulai tanpa kepala itu kemudian menumbuhkan kepala baru dengan raut wajah yang lebih mengerikan dari sebelumnya.

"A-apa?! Ti-tidak mungkin?!"

Raungan monster Hydra semakin keras, seolah-olah mengejek Albert dan Thomas yang gagal membunuhnya. Monster itu merangsek maju, menatap sengit ke arah Maurelle. Monster itu tidak hanya kuat, ternyata juga memiliki insting yang luar biasa tajam. Ia segera mengetahui peri yang membuat penangkal bagi napas beracunya.

Kepala-kepala Hydra masih menyemburkan napas hijau ke segala arah. Walaupun gagal menumbangkan para kesatria Elf di sekitarnya, tetapi semburan napas itu berhasil mengenai bangunan dan tanaman di sekitarnya. Bangunan dan tanaman itu kontan menghitam dan menguarkan bau hangus.

Maurelle menggigil di tempatnya berdiri. Tangannya yang bergetar menghunuskan pedang sihir lain untuk menantang Hydra. Namun, belum sempat sang cenayang melayangkan serangannya, sang monster dengan gesit menyerang Maurelle lebih dulu. Ia membenturkan kedua kepalanya ke tubuh peri cenayang itu.

Maurelle terpental ke atas hingga menubruk dinding benteng. Darah segar keluar dari salah satu sudut bibirnya. Kekuatannya otomatis berkurang drastis, sehingga tabir pelindung yang dibuatnya mendadak hilang.

"Semuanya menghindar! Masuk ke ruang bawah tanah!" Teriak Maurelle seraya meringis menahan sakit.

Sebagian pasukan kesatria Elf berlari pontang-panting meninggalkan tempat itu. Sementara sebagian lagi masih bertahan untuk melindungi Putra Mahkota Albert dan para pangeran.

Mata-mata merah monster Hydra seolah terpaku pada sosok Maurelle, belum puas menyiksanya. Monster itu kembali mendekati Maurelle yang masih berusaha untuk berdiri. Salah satu kepala monster Hydra mengayun ke arah tubuh Maurelle. Akan tetapi, dengan sigap, Putra Mahkota Albert menangkis kepala itu dengan pedang sihirnya.

Salah satu kepala Hydra jatuh menggelinding ke arah kaki Maurelle. Dalam hitungan detik, dua kepala mulai tumbuh dan kembali menyembur Maurelle dan Putra Mahkota Albert dengan napas beracunya.

Albert dengan sigap mengangkat tamengnya dan serempak berguling ke samping bersama Maurelle, sehingga semburan napas Hydra luput mengenainya.  Alhasil, racun itu menyambar dan menghancurkan dinding benteng di belakangnya.

"Aku tahu cara menghancurkannya!" teriak Claude dari sisi berlawanan. Mendengar jeritan Claude, Hydra mengalihkan pandang ke arahnya dan berjalan mendekatinya.

Claude gelagapan, ia mengacungkan pedang patahnya ke arah Hydra dengan tangan bergetar. "Pergi kau monster! Jika aku menemukan kepala abadimu, kau pasti akan mati!" ancamnya.

Salah satu kepala monster itu meraung keras tepat di depan wajah Claude. Claude sontak menutupi mulut dan hidungnya dengan telapak tangan agar tak terkena napas beracun Hydra. Kepala Hydra yang lain mendekat dan hendak menyembur Claude, tetapi Elwood terlebih dahulu menebas kepalanya dengan pedang.

Dua kepala Hydra kembali tumbuh. Kini jumlah kepala monster itu telah bertambah dua kali lipat. Setiap kepala meraung, lalu menyemburkan napas hijaunya ke segala arah. Selain menyembur, monster itu dengan membabi-buta menghantam siapa pun dengan kepalanya.

Tepat saat monster Hydra hendak memukulkan salah satu kepalanya ke arah Elwood, anak-anak panah dengan mata api melesat cepat ke arah sang monster. Sepasukan kesatria Elf dengan busur dan anak panah sihir muncul dari bagian atas benteng.

Beberapa anak panah api itu berhasil mengenai beberapa bagian tubuh Hydra. Monster itu meraung kesakitan sehingga menggerakkan tubuhnya dengan liar. Beberapa kepalanya membentur dan menghancurkan dinding benteng, sehingga deretan kesatria Elf yang berada di bagian atas benteng terjatuh. Tubuh-tubuh melayang kesatria Elf itu langsung disambut oleh napas beracun Hydra. Akhirnya, para kesatria Elf pemanah yang terkena napas beracun tewas bergelimpangan dengan tubuh kehijauan.

Putra Mahkota Albert, Elwood, Claude, Jendral Thomas dan Maurelle mulai dilanda keputusasaan. Sesering apa pun mereka menebas leher Hydra, maka kepalanya akan selalu tumbuh dengan jumlah dua kali lipat. Sementara, tenaga mereka telah hampir terkuras, monster Hydra malah semakin bertambah kuat.

Monster Hydra terus menyemburkan asap dari mulut-mulutnya, tanpa ada yang menghalangi. Monster itu merangsek masuk dengan langkah besar yang menggetarkan tanah pijakannya. Halaman benteng Kerajaan Avery mulai dipenuhi kabut asap berwarna hijau yang beracun.

Para kesatria Elf yang masih tersisa mulai mengalami kesulitan bernapas dan batuk hebat, termasuk Putra Mahkota Albert, Claude, Elwood dan Maurelle. Mereka tak sanggup berdiri lagi.

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Jendral Thomas menyeret langkahnya mendekati monster Hydra dari arah belakang. Ia menggenggam sebilah tombak. Tanpa keraguan sedikit pun, Thomas mengayunkan tombaknya menancapkan mata tombak runcing itu pada punggung Hydra. Tombak itu tertancap, serta-merta darah segar Hydra mengucur mengenai wajahnya.

Thomas menyeringai puas. Namun, seringainya langsung redup saat monster Hydra dengan cepat berbalik dan mengoyak tubuhnya dengan gigi-geliginya yang tajam. Thomas berteriak kesakitan, sebelum akhirnya tewas dengan isi perut terburai.

"Thomas!" pekik Claude dengan wajah pias. Elwood segera membekap mulutnya agar Hydra tak mendengar teriakan Claude.

Namun, mereka terlambat, sedetik kemudian, monster Hydra berbalik menatap Claude. Mata-mata merah Hydra menyorot bengis seolah akan menelan Claude bulat-bulat.

Claude terkesiap. Di sampingnya, Elwood juga terhenyak dengan tubuh gemetar. Mereka bergeming. Sementara Hydra meraung keras, sebelum akhirnya menyemburkan napas beracun tepat di depan wajah mereka.















Halooo terima kasih sudah mampir... Jangan lupa vote dan komentarnya yaa reader 😘
Semoga sukaaaa......

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top