20. The Truth Untold

"Archie?!"

Ammara terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Pelipisnya dibanjiri keringat. Mimpi-mimpi aneh barusan masih berkelebat silih berganti dalam pikirannya. Mimpi-mimpi yang sangat asing sekaligus terasa familier.

Ia bahkan memimpikan Archibald. Ya, peri sombong yang paling ia benci. Ammara memegang pelipisnya yang mendadak terasa nyeri.

Benar-benar mimpi yang menyebalkan!

"Kau sudah bangun?" tanya Claude. Kedua lengan peri laki-laki itu terlipat di depan dada. Sementara matanya memicing pada Ammara.

Ammara terperanjat. Kilatan-kilatan mimpi di kepalanya sirnah dalam sekejap. Ia balas menatap peri itu dengan kening berkerut. Claude dengan ekspresi dingin dan ketus adalah pemandangan yang sangat aneh bagi Ammara. Sesuatu pasti telah terjadi di luar sepengetahuannya.

Ammara memilih bungkam, ia enggan menjawab pertanyaan basa-basi Claude. Peri perempuan itu kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Pemandangan biliknya di Fairyfarm terpampang jelas. Bilik kecil minim perabot yang dipenuhi sinar matahari, dengan jendela besar yang terbuka lebar menghadap ke arah kebun. Ammara mengembuskan napas lega saat menyadari jika sekarang ia sudah berada di rumah cendawan. Di samping Claude, iris mata hijaunya menangkap sosok Ailfryd yang sedang menekuri lantai, tertunduk dalam diam.

Lagi-lagi pemandangan yang janggal, batinnya.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Di mana ibu?" tanya Ammara. Manik matanya dengan liar mencari ke setiap sudut bilik, ke arah pintu dan jendela yang terbuka. Namun, sosok sang ibu tidak ia temukan.

"Ibu?!"

"Ibu! Ibu!" pekiknya lagi, berharap mendapat jawaban dari Ella. Wajah pucatnya mulai terlihat gusar. Sebutir air mata tanpa sadar terbit di salah satu pelupuk mata peri perempuan itu.

"Tenangkan dirimu, Nak. Ibumu baik-baik saja!" lirih Ailfryd. Ia meraih kedua lengan Ammara yang hendak beranjak dari pembaringan.

"A-apa maksud ayah? Aku ingin bertemu dengan ibu!" Ammara bersikeras, berusaha menepis genggaman ayahnya. Sesuatu yang sangat buruk pasti telah terjadi. Ailfryd bersikap aneh, sama halnya dengan Claude. Kesabaran Ammara nyaris habis, ia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Ella.

Claude mendekatkan wajahnya pada Ammara. Ia menatap peri perempuan itu dengan tatapan menghunus tajam.

Ammara sontak terdiam. Bibirnya bergetar menahan suara tangis yang hendak meledak keluar dari tenggorokan. Matanya berembun akibat genangan air yang nyaris meluruh turun.

"Ibumu sedang ditahan di penjara bawah tanah Kerajaan Avery. Dia akan segera diadili oleh para Dewan Peri pada purnama yang akan datang atas tuduhan sebagai pemilik kalung zamrud yang menyebabkan kekacauan di Istana Avery," jelasnya ketus. Peri laki-laki itu melanjutkan ucapannya lagi. "Jadi jangan pernah bertindak gegabah lagi. Kau tidak akan bisa menyelamatkannya. Lagi pula kau berhutang sebuah penjelasan padaku!"

Ammara membelalak. Iris mata hijaunya lekat menatap iris mata hitam Claude seraya menggeleng pelan. Bulir-bulir air mata satu per satu lolos dari pelupuknya. Perlahan bunyi isakan terdengar dari mulut peri perempuan yang tertutup telapak tangan. Bahunya bergetar.

"Ibuku tidak bersalah. Kalung itu milikku! Tolong selamatkan ibuku. Ibuku tidak bersalah!" teriaknya histeris.

Ailfryd serta-merta menjatuhkan lututnya di hadapan Claude seperti orang yang sedang menyembah. Tubuhnya bangkit dan bersujud beberapa kali di hadapan Claude. Kedua belah pipinya telah basah bersimbah air mata. "Aku mohon Pangeran, ini bukan salahnya. Kami tidak sengaja menemukannya di dekat Perbatasan Hutan Larangan dan Ella merasa kasihan akan keadaannya. Oleh karena itu, kami menolongnya. Dia sama sekali tidak berbahaya dan tidak tahu apa-apa!"

Ammara kontan memalingkan wajahnya pada Ailfryd di sela-sela isak tangisnya. Keningnya mengernyit semakin dalam. "Ayah, apa maksud ayah?!"

"Maafkan kami Ammara. Kami telah memboho--"

"CUKUP!" sergah Claude mendiamkan dengungan suara isak tangis Ammara dan Ailfryd. "Aku sudah cukup mendengar darimu, Tuan Ailfryd. Kini aku ingin mendengarnya dari Ammara."

"Baiklah, Pangeran," sahut Ailfryd lirih. Dengan berat hati, ia beranjak keluar dari bilik Ammara untuk membiarkan Claude dan Ammara berbicara empat mata.

Setelah kepergian Ailfryd, Claude kembali menyorot Ammara dengan tatapan penuh selidik. "Kau tahu, luka-luka di tubuhmu menyebabkan tabir pelindung yang dibuat Ella rusak, sehingga aku bisa melihat jelas sosokmu yang sebenarnya. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Ella dan Ailfryd berusaha keras melindungimu, hingga mereka tak mengacuhkan keselamatan mereka sendiri. Menyelamatkanmu benar-benar sangat berisiko untuk mereka," desisnya.

Ammara mengangkat wajah, bekas air mata masih tergenang jelas di kedua pipinya. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Claude..." lirihnya di sela-sela isak tangis.

Claude mengernyit. "Apa maksudmu tidak mengerti? Kau berpura-pura menjadi peri. Begitu tabir yang Ella buat rusak, aku langsung bisa mengenali siapa dirimu sebenarnya. Kau bukanlah bangsa peri. Kau adalah manusia!"

"A-aku manusia?!"

"Kau sudah membohongi kami semua, Ammara. Terlebih, keberadaanmu di sini telah membuat Ella berada dalam masalah. Aku harus mengakhiri ini semua, sebelum pihak Istana menemukanmu!" ucapnya tegas. Rahangnya mengeras saat mengucapkan kata-kata tersebut. Dengan gerakan cepat sebelah tangannya meraih salah satu lengan Ammara, sementara tangan lainnya menghunus sebilah pedang sihir.

Ia mengacungkan pedang sihir itu ke leher Ammara.

"Apa maksudmu?! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kauucapkan, Claude!" Ammara menegang. Tubuhnya kaku merasakan hawa dingin dari bilah pedang perak yang menempel di lehernya.

"Kau harus pulang! Aku akan mengantarmu menuju portal Utara!"

Claude menarik paksa salah satu lengan Ammara, kemudian menyeret gadis itu turun dari pembaringannya keluar bilik, sementara pedang perak menempel ketat di lehernya.

Ailfryd yang sedang berada di beranda terkejut saat melihat sang pangeran yang sedang menodongkan pedang perak ke leher putrinya seraya menyeret paksa tubuhnya.

"Pangeran Claude?! Ada apa?! Tolong turunkan pedang itu dari leher Ammara!" teriaknya gusar. Ailfryd mengikuti mereka.

"Aku akan mengembalikannya ke tempat asalnya, tuan Ailfryd!" sahut Claude tegas.

"Akan tetapi, seluruh portal terkunci, Pangeran. Kita tidak bisa melewatinya begitu saja. Portal akan terbuka secara alami jika bulan purnama merah terjadi di dunia manusia. Dan, kita tidak tahu kapan itu akan terjadi!"

"Apa? Bagaimana kita tahu jika purnama merah sedang berlangsung di dunia manusia? Lagi pula purnama merah setahuku terjadi setiap 150 tahun sekali di dunia manusia." Claude berpikir sejenak. Langkahnya terhenti dan genggaman tangannya melemah. Pedang yang tadinya terhunus melintang di leher Ammara kini telah kembali ke dalam sarungnya. Ia berbalik menghadap Ailfryd yang mengekor di belakangnya. "Apa tidak ada cara lain?"

Ailfryd menggeleng lemah, tetapi sepersekian detik kemudian pupil matanya membesar. "Ada satu cara, Pangeran! Akan tetapi, tampaknya akan sangat mustahil. Cara itu adalah dengan meminta ijin kepada Raja. Satu-satunya kuasa yang dapat membuka portal di Fairyverse adalah dengan menggunakan tongkat milik sang Raja. Namun, dalam kondisi seperti sekarang ini, bukankah sang Raja malah akan membunuh Ammara jika ia mengetahui bahwa Ammara adalah manusia?"

"A-aku manusia??" tanya Ammara tiba-tiba. Wajah piasnya kebingungan menatap Claude dan Ailfryd bergantian.

Pertanyaan itu sontak mengalihkan perhatian Ailfryd dan Claude kepadanya. Mereka terdiam menatap Ammara untuk beberapa saat lamanya.

"Sudah kubilang, Pangeran. Ingatannya masih tersegel. Ella mengatakan jika peri unsheelie yang melakukannya. Ella juga dapat merasakan aura kehadirannya di saat kami menemukan Ammara. Aku mohon beri dia waktu, Pangeran Claude. Aku akan mengawasinya dengan ketat agar ia tidak keluar dari rumah ini." Ailfryd memohon. Suaranya bergetar menahan kesedihan sekaligus pengharapan.

Claude berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia memutuskan. "Baiklah Tuan Ailfryd. Kita harus sama-sama merahasiakan ini. Jika tidak, kita semua akan berada dalam bahaya .... "

Ammara bungkam, kerutan di antara kedua alisnya tidak juga menghilang. Ia menatap Ailfryd dan Claude bergantian untuk meminta penjelasan lebih, tetapi sepertinya tak seorang pun di antara mereka yang akan membuka suara.

Perlahan, Ailfryd mengambil alih lengan Ammara dan menuntun peri perempuan itu kembali memasuki rumah.

Claude yang berdiri di depan beranda rumah beratap cendawan itu kemudian mengeluarkan tongkat sihirnya. Ia merentangkan kedua lengannya ke arah langit. Mulutnya berkomat-kamit perlahan, sementara sebuah mantra mengalun pelan di antara desau angin. Manik matanya menghilang bersamaan dengan cahaya yang menyala dari tongkat sihirnya. Perlahan-lahan cahaya itu memecah menjadi butiran-butiran sinar yang terbang melingkupi rumah Ailfryd.

Sebuah tabir samar-samar terbentuk mengelilingi rumah kecil beratap cendawan itu. Tabir tipis itu memanjang menembus langit biru di atasnya. Saat rapalan mantra selesai dilantunkan, tabir itu pun perlahan menghilang.

Claude menghembuskan napas pelan. "Semoga tabir ini dapat menyamarkan baumu."

* * *

Seekor naga putih terbang cepat membelah langit Fairyverse, menembus awan-gemawan, menuju salah satu dataran tertinggi di Fairyhill. Para peri menyebut tempat itu sebagai Frozen Land karena merupakan satu-satunya tempat di Fairyverse yang selalu ditutupi salju sepanjang tahun.

Sejauh mata memandang, tempat itu hanyalah hamparan salju yang memutih, bahkan ranting-ranting pohon tanpa daun pun berwarna putih tertutup salju. Namun, hanya sedikit peri yang dapat melihat bahwa sebenarnya di Frozen Land terdapat sebuah kerajaan kecil bernama Aethelwyne. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu Breena.

Sang naga putih menukik turun begitu sampai di halaman Istana Aethelwyne yang dipenuhi tanaman winter jasmine dan snowdrop. Begitu sang naga telah mendarat sempurna, Archibald melompat turun dari punggungnya dengan gesit.

Peri laki-laki bersurai keemasan itu melangkah tergesa memasuki pintu gerbang Istana Aethelwyne. Tangannya terkepal dan rahangnya mengeras. Sementara wajahnya terlihat merah padam.

Para kesatria Elf yang menjaga gerbang serta lorong-lorong Istana Aethelwyne saling bertukar pandang saat Archibald melewati mereka. Tak satu pun dari mereka memiliki keberanian untuk menyapa sang pangeran saat itu.

"Ibu!" teriaknya lantang begitu memasuki balairung Istana Aethelwyne, di mana Ratu Breena sedang duduk merenung di atas singgasananya.

Sang Ratu mengangkat wajahnya dengan tenang. Iris mata hazel greennya menangkap raut gusar di wajah Archibald. Sang Ratu telah tahu penyebab sikap putranya. Namun, ia memilih diam, menunggu Archibald memuntahkan kemarahannya.

"Mengapa ibu menyegel ingatanku?! sembur sang pangeran.

Ratu Breena memiringkan kepalanya. "Apa maksudmu, Nak?" sambutnya tenang. Sementara jari-jemarinya meremas salah satu sisi gaun.

Archibald memicingkan matanya penuh selidik. "Ibu jangan berpura-pura tidak tahu. Apa maksud semua ini, Bu? Mengapa Ibu menghilangkan semua ingatanku tentang pengusiran Ibu dari Kerajaan Avery dan ..." Archibald mendesah pelan, sorot matanya meredup. "... dan tentang Chiara?"

"Jadi, kau telah bertemu dengan Minerva?" imbuh Ratu Breena pelan. Pandangannya menerawang. "Ibu tidak menyangka jika kejadiannya akan secepat ini. Apakah kau bertemu dengannya di Hutan Larangan? atau ... dia telah berani melanggar peraturan Dewan Peri dengan melintasi perbatasan?"

Archibald mengembuskan napas dengan kasar. "Minerva yang menculik Putra Mahkota Albert, Bu. Aku bertemu dengannya di Fairyfall. Dia membuka ingatanku dan menunjukan semuanya?! Semuanya! Jika aku tahu semuanya dari awal, aku tidak akan sudi tinggal di istana itu! Aku akan menghancurkan semuanya. Semua yang telah menyakiti ibu!"

"Dan menjadi terkutuk sebagai Unsheelie?" sergah Ratu Breena. Sang Ratu menggeleng cepat, sementara ekspresi wajahnya mengeras. "Ibu tidak akan membiarkan kemarahan membakar habis nuranimu. Ibu tidak ingin kau hidup dengan kemarahan dan dendam. Apa pun alasannya, Archie. Balas dendam tidak akan memperbaiki keadaan, justru akan merusak dirimu dan orang-orang yang kau sayangi."

Archibald bergeming.

"Ibu hanya ingin kau hidup tenang dan bahagia tanpa menyimpan dendam dan kemarahan. Hanya itu, Archie," timpalnya. Mata Ratu Breena mengerjap dan setetes air bening luruh di salah satu pipinya.

Archibald membuang muka, tak sanggup melihat kesedihan sang ibu. Amarahnya menguap seketika.

"Dan, tentang Chiara..." Ratu Breena melanjutkan. "Kalian adalah dua makhluk berbeda, Archie. Langit tidak akan membiarkan kalian bersatu dengan mudah, sebelum salah satu dari kalian melakukan pengorbanan yang sangat besar. Gadis manusia itu tidak tercipta untuk makhluk seperti kita."

Archibald membelalak saat mendengar penuturan ibunya barusan. Sesuatu di dalam dadanya bagaikan dicabut dengan paksa. Sakit, tetapi tidak berdarah. Tatapan matanya berubah sendu. "Maafkan ibu...!" lirihnya. "Maafkan ibu, Archie."

Beberapa saat lamanya mereka terdiam. Hanya suara tarikan dan embusan napas yang bergema halus di dalam Balairung istana Aethelwyne.

Tiba-tiba sesosok kesatria Elf menerobos masuk dengan tergopoh-gopoh. Setelah membungkuk sebentar, kesatria Elf itu langsung mengumumkan kabar yang dibawanya. "Mohon ampun Yang Mulia Ratu, seekor Merpati emas telah datang sebagai utusan dari Raja Brian. Tampaknya sesuatu yang buruk telah terjadi di Istana Avery!"

"Di mana merpatinya?" tanya Sang Ratu dengan raut menegang.

Serta-merta sepasang Kesatria Elf yang berjaga di depan pintu Balairung membuka pintu masuk menuju balairung. Bunyi derit pintu menggema.

Seekor merpati terbang perlahan ke arah Ratu Breena, sementara sang ratu mengangkat salah satu lengan hingga merpati berwarna keemasan itu bertengger di atasnya. Iris mata sang ratu menatap burung itu beberapa saat. "Benar, ini adalah merpati yang kuberikan pada Raja Brian. Ia akan mengirimkan kembali merpati ini padaku jika Avery dalam bahaya!" serunya. Kengerian tergambar jelas di wajahnya.

Archibald bergeming. Sejak ingatannya kembali, rasa kecewa terhadap Raja Brian dan segenap penghuni Kerajaan Avery meliputi hatinya. Benar kata sang ibu, harusnya ia tak pernah mengingat kejadian buruk apa pun di masa lalu. Kedua tangannya terkepal, sementara kedua rahangnya mengatup.

Ratu Breena menyadari keengganan untuk menyelamatkan sang raja dalam diri Archibald. "Archie, Ibu tahu ini akan sangat berat bagimu, tapi bagaimanapun juga Raja Brian adalah ayahmu. Saat ini kerajaan Avery sedang membutuhkan pertolongan. Namun, ibu tidak akan memaksa. Kau berhak memilih, Archie. Menyelamatkannya sekarang atau menyesalinya seumur hidup kelak."

Kata-kata Ratu Breena bagaikan pecut listrik yang menyengat perasaannya. Tanpa membuang waktu lagi, Archibald segera melangkah keluar meninggalkan Balairung menuju naga putih yang sedang mendengkur pulas.

Dengan beberapa kali tepukan di punggung, akhirnya sang naga terbangun. Archibald melompat ke atas punggung sang naga, kemudian memerintahkan sang naga terbang membelah langit Fairyverse.

Ratu Breena menatap kepergian Archibald dengan mata berkaca-kaca. Sudut-sudut bibirnya terangkat. Beberapa saat kemudian sosok Sang Ratu menghilang, meninggalkan garis-garis cahaya yang yang memenuhi balairung.







Halo readers, maaf telat update. Aku melewati minggu ini dengan perjuangan yang sangat berat karena pekerjaan di dunia nyata yang menumpuk. Mohon tandai kalimat rancu, typo dan sebagainya.... kritik dan saran senantiasa diterima... Jangan lupa untuk selalu sertakan komentar dan sarannya biar aku semangat buat menulis kisah selanjutnya... Terima kasih, Salam hangat dari Zu :) ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top