19. Scattered Memories
Naga putih menukik turun begitu melewati perbatasan Hutan Larangan.
Para kesatria Elf yang berjajar rapi di depan perbatasan Hutan Larangan serentak melangkah mundur memberi tempat pada naga putih untuk mendarat. Pasukan tersebut adalah pasukan resmi dari kerajaan Avery yang diutus untuk menyisir Hutan Larangan dalam rangka mencari Putra Mahkota Albert dan Ammara yang dinyatakan hilang. Namun, sebelum para kesatria Elf sempat memasuki hutan, naga putih yang membawa Archibald, Albert, Ammara dan Elijah telah tiba di Fairyhill terlebih dahulu.
Dua sosok peri berbaju zirah mendekati naga putih, membantu Archibald dan Elijah membopong turun tubuh putra mahkota Albert yang terlihat lunglai tak sadarkan diri. Mereka adalah Elwood dan Claude.
Claude tampak mengernyit ketika ia melihat tubuh pucat Albert yang mulai membiru dan teraba dingin. Dengan tergopoh, ia merogoh kantung kulit yang terikat di pinggangnya. Ia mengeluarkan segenggam serbuk peri dari kantung itu dan menaburkannya ke sekujur tubuh Albert.
Serbuk peri itu sedikit bercahaya saat menyentuh permukaan kulit Albert. Perlahan tapi pasti kebiruan di kulit Albert mereda. Albert terbangun dengan terbatuk hebat. Setelah itu, tubuhnya kembali terkulai tak sadarkan diri.
"Hampir saja!" desah Claude lega.
"Apa dia akan baik-baik saja?" tanya Ammara khawatir.
"Ya, dia akan baik-baik saja. Racunnya telah sirna. Untung saja kalian segera keluar dari hutan itu. Kalau tidak ... Albert mungkin tidak akan tertolong!"
Claude mengedarkan pandangannya pada Archibald, Elijah, kemudian Ammara. Ia lantas menatap lekat peri perempuan itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Claude.
Ammara mengangguk ragu. Wajahnya terlampau pucat untuk mengaku baik-baik saja. Sesuatu mendesak tenggorokannya. Dalam hitungan detik, peri perempuan itu berlari menjauh dari sisi naga putih, kemudian memuntahkan seluruh isi perutnya.
"Benar-benar peri yang aneh. Aku tidak pernah melihat peri yang begitu lemah sepertimu. Kau muntah hanya karena menunggangi seekor naga?!" cibir Archibald dari balik punggung Ammara. Dengan sigap peri itu menangkap tubuh Ammara yang mendadak limbung.
Ammara terlalu lemah untuk membalas cibiran Archibald tersebut, tetapi dalam hati ia mengumpat. Ia hanya menunduk pasrah, saat Archibald mengarahkan kembali tubuhnya ke sisi naga putih.
"Mari kita pulang, Nak. Biar aku yang merawatmu di rumah," ucap Ailfryd seraya berjalan mendekati Ammara. Rupanya sedari tadi Ailfryd berada dalam rombongan para kesatria Elf.
"Ayah!" sapa Ammara seraya tersenyum lemah. "Aku rindu ibu, aku ingin pulang sekarang."
Ailfryd bergeming sesaat, kemudian ia mengubah ekspresinya dengan cepat. "Tentu saja, putriku. Mari kita pulang sekarang!"
Para pangeran peri saling bertukar pandang. Mereka sama-sama menangkap ketidaktahuan Ammara bahwa ibunya telah ditahan di Kerajaan Avery.
"Aku ikut, Tuan Ailfryd. Kondisi Ammara sangat tidak baik. Tubuhnya penuh luka dan ... makhluk-makhluk terkutuk itu sepertinya masih mengincarnya. Aku dapat melihat mereka mengintip dari balik perbatasan Hutan Larangan. Aku memang tidak semahir Ella dalam pengobatan, tetapi mungkin aku bisa menggunakan sihirku untuk membantu Ammara."
Tanpa membuang waktu lagi, Ailfryd, Ammara, Claude serta beberapa kesatria Elf meninggalkan Fairyhill menuju Fairyfarm. Derap langkah kaki unicorn terdengar makin lama semakin menjauh.
Tak berselang lama, rombongan kesatria Elf yang dipimpin oleh Pangeran Elwood juga meninggalkan Fairyhill. Mereka membawa serta putra mahkota Albert yang masih tak sadarkan diri.
Kini tinggalah Archibald dan Elijah di tempat itu. Archibald terlihat sedang mengelus-elus punggung naga putihnya. Sementara, di dekatnya Elijah berdiri gusar, hendak mengatakan sesuatu pada Archibald.
Tiba-tiba suara kepak sayap seekor makhluk yang besar memecah keheningan Fairyhill yang damai. Sontak, Archibald dan Elijah menghunus pedang mereka hampir bersamaan. Mereka mendongak menatap asal bunyi tersebut.
Seekor naga hitam terbang melintasi Fairyhill, tepat di atas mereka. Sesosok peri berjubah gelap menunggangi naga tersebut.
"Itu dia! Itu dia si penyihir! Dia melanggar peraturan Dewan Peri dengan melintasi perbatasan Hutan Larangan. Ayo kita tangkap dia!" teriak Archibald seraya melompat ke atas naga putihnya. Elijah mengikuti peri elf itu dengan perasaan campur aduk.
Naga putih yang hampir jatuh tertidur itu terkejut akibat tepukan dari Tuannya. Serta merta, makhluk besar itu berdiri dan mulai mengepakkan sayapnya.
Tumbuhan di sekitar naga itu bergoyang hebat, terkena embusan kepakan sayap sang naga putih yang beranjak naik.
Dari kejauhan, Archibald dapat melihat naga hitam yang ditunggangi peri penyihir Unsheelie itu memasuki Fairyfall. Archibald segera mengarahkan naga putihnya untuk mengikuti naga hitam itu. Kali ini, ia berharap naga hitam itu tidak lagi bisa lolos.
Naga putih menukik turun memasuki rerimbunan hutan Fairyfall. Suara air terjun yang sangat deras mulai terdengar di telinga Archibald dan Elijah, sementara pemandangan hijau menyambut kentara.
Archibald menangkap sosok peri penyihir Unsheelie yang diburunya sedari tadi sedang berdiri menghadap ke sebuah danau besar yang bernama Danau Cermin, sementara sang naga hitam tidak terlihat lagi. Di sisi sang penyihir, sesosik peri elf bermahkota dedaunan bergeming mengawasi suasana di sekitar Fairyhill. Benar saja dugaan Archibald dari awal, bahwa naga hitam itu adalah naga jadi-jadian. Naga itu pasti telah berubah wujud menjadi peri elf yang saat ini berdiri di samping peri penyihir.
Peri elf bermahkota daun itu menyeringai saat iris matanya beradu dengan iris mata Archibald.
Naga putih memelankan terbangnya, ketika mendapat perintah dari sang tuan untuk berhenti di sekitar Danau Cermin. Setelah sang naga berhenti pada salah satu sisi danau, Archibald dan Elijah dengan cepat turun dari punggungnya bergantian.
Dengan pedang terhunus, Archibald mendekati peri Unsheelie berjubah gelap yang sedang mematung menatap Danau Cermin. Sementara Elijah mengekor di belakang Archibald dengan raut was-was.
"Archibald putra Breena. Akhirnya kita bertemu juga setelah sekian lama!" sapa peri Unsheelie itu seraya berbalik menatap Archibald dengan sorot dingin.
Archibald terperangah.
"Siapa kau?! Aku tidak mengenalmu! Tapi aku tahu jika kaulah yang menculik Putra Mahkota Albert!" bentak Archibald. Pedang sihir peraknya bersinar terang sebagai respon keberadaan makhluk unsheelie. "Lagi pula, kau telah melanggar peraturan Dewan Peri dengan melewati perbatasan Hutan Larangan. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"
Alih-alih merasa terancam dengan perkataan Archibald, peri Unsheelie itu terbahak seraya membuka tudung jubahnya. Rambut hitamnya tergerai, dengan manik mata berwarna ungu yang menyiratkan kebengisan.
Elijah membelalak saat melihat peri Unsheelie di hadapannya. Peri itu adalah ibunya, Ratu Minerva. Ia memang sudah mengira jika peri itu adalah ibunya, tetapi ia tak menyangka jika Ratu Minerva akan berkonfrontasi sedekat ini dengan Archibald.
"Kau pikir kau bisa dengan mudah menangkapku, Pangeran! Aku bahkan telah mengenalmu sejak kecil!" desis Ratu Minerva. Ia memiringkan kepalanya mengamati Archibald yang terkejut mendengar ucapannya, "Tunggu dulu ... kau tak mengingatku? Ah ya! Tentu saja! Breena pasti melindungimu dengan mengunci ingatanmu waktu itu!"
"A-apa maksudmu?" tanya Archibald tergagap.
Di sisinya, Elijah juga sama terkejutnya dengan Archibald. Ia menatap Ratu Minerva dan Archibald bergantian, mencoba menerka hubungan masa lalu di antara kedua peri itu.
Minerva menyeringai lebar. "Aku akan mengembalikan ingatanmu yang terkunci itu!"
Peri perempuan itu menyibakkan jubah yang menutupi salah satu tangannya dengan sekali kibasan. Sebuah tongkat sihir besar yang menjejak ke tanah terlihat, sebuah bola kristal ungu bertakhta di puncak tongkat yang bercahaya. Minerva lantas mengarahkan tongkat sihir itu kepada Archibald. Sebuah mantra bergaung dari bibir merahnya seolah memenuhi Fairyfall.
Tiba-tiba, langit menggelap. Suara gemuruh terdengar bersahut-sahutan di langit Fairyfall. Kilatan-kilatan petir menyambar kristal ungu di puncak tongkat Minerva.
Archibald bergeming. Kedua kakinya tak mampu bergerak, seolah tertanam di atas permukaan tanah Fairyfall.
Secepat kilat, segaris cahaya ungu keluar dari bola kristal itu, menerpa tubuh bergeming Archibald. Sinar ungu itu melingkupi seluruh tubuhnya dalan sekejap mata.
Archibald berteriak. Sekujur tubuhnya bergetar. Ia merasa bagai tersengat petir.
Seberkas cahaya menerpa pandangan Archibald, erang dan menyikaukan. Bagi Archibald, waktu seakan terhenti saat itu.
* * *
Flashback
Tahun 1856, Cottingley, Pinggiran Kota Bradford, West Yorkshire, Inggris (Dunia Manusia).
Archibald berjalan mondar-mandir di depan sebuah mulut gua yang tertutup rapat oleh tanaman merambat. Wajahnya gusar. Ia mencoba menarik dan memutuskan tanaman merambat yang menutupi pintu itu, tetapi sia-sia. Kekuatannya seakan menghilang sama sekali setelah melewati portal tersebut.
Archibald mendesah lemah. Ia berjongkok di depan mulut gua dengan putus asa, seakan dengan memandanginya sulur-sulur tanaman itu dapat hancur dengan sendirinya.
"Archie?" sapa sebuah suara gadis kecil dari balik punggungnya.
Archibald sontak menoleh waspada. Tatapan matanya melembut ketika iris mata hazel green-nya menangkap sosok seorang gadis berambut keemasan yang ia kenal.
"Kau sudah datang?" tanya Chiara riang, gadis manusia yang ia temui sehari sebelumnya di padang Dandelion.
Seulas senyum terbit di bibir Archibald. "Aku di sini sepanjang malam."
Iris mata hijau gadis itu membola. "Kau tidur di hutan ini sepanjang malam? Mengapa kau tidak mengatakan padaku jika kau tidak punya tempat untuk menginap. Nenek mungkin akan mengijinkanmu menginap semalam."
Archibald tersenyum lemah seraya mengendikkan bahunya.
Chiara ikut berjongkok di samping Archibald. Matanya menyorot pada mulut gua yang tertutup tanaman merambat di hadapannya, mengikuti arah pandang Archibald.
"Mengapa kau menatap gua itu?" tanya Chiara. Ia mengernyitkan keningnya keheranan.
"Rumahku ada di balik pintu itu."
"Rumahmu? Yang benar saja. Kata orang-orang gua itu kosong," terang Chiara. Gadis itu kemudian sedikit merendahkan suaranya. "Bahkan katanya banyak hantu di dalam sana."
"Hantu?!" Archibald terkekeh geli. "Jadi kalian menganggap para peri sepertiku ini sebagai hantu?" tanya Archibald dengan salah satu alis terangkat.
Chiara mengendikkan bahu. Bibir mungilnya menyunggingkan seulas senyum saat melihat Archibald tertawa. "Kau sama sekali tidak terlihat seperti hantu."
"Terima kasih. Aku anggap itu sebagai pujian."
"Kenapa kau tidak kembali ke rumahmu? Apa kau bertengkar dengan orang tua atau saudaramu?" tanya Chiara penuh rasa ingin tahu. Iris mata hijaunya membulat, menatap wajah Archibald dengan seksama.
Sementara wajah sang pangeran memerah. Archibald membuang muka, menghindari tatapan Ammara yang membuat pipinya memanas. "Sesuatu yang buruk sedang terjadi di rumahku. Keluargaku, mereka menuduh ibuku mengkhianati ayahku. Mereka mengusir ibuku. Mereka juga ingin membunuhku. Ibuku menyembunyikanku di sini. Ia akan menjemputku saat keadaan membaik. Namun, aku sudah sangat merindukannya."
Archibald menundukkan wajah, mencoba menahan bulir air mata yang hampir jatuh dari pelupuknya.
Demi melihat itu, Chiara merapatkan duduknya pada Archibald. Lengan kecilnya merangkul pundak kokoh peri laki-laki di sampingnya. Dengan lembut ia berkata, "hei, Archie, tenanglah. Aku ada di sampingmu. Aku akan menemanimu sampai ibumu datang menjemput."
Archibald diam tak menjawab. Guncangan pelan bahunya menandakan bahwa ia sedang terisak. Keheningan yang damai tercipta di antara mereka.
Seekor anjing kecil berbulu keemasan mendekati Chiara dan Archibald. Anjing golden retriever itu mengenduskan moncongnya pada kaki Archibald. Setelah itu, ia mengibaskan ekornya dengan riang seraya berlari kecil mengelilingi Archibald dan Chiara.
"Hai, Max!" sapa Chiara sambil mengacak puncak kepala anjing itu.
"Di sini juga ada anjing?" tanya Archibald dengan takjub. Tangisnya mendadak berhenti saat kedatangan Max. Rupanya tampang lucu Max berhasil mengalihkan kesedihannya.
"Tentu saja!" Chiara tergelak. "Namanya Max. Sepertinya dia menyukaimu."
"Halo, Max!" sapa Archibald sambil tersenyum. Tangannya ikut mengacak puncak kepala Max, seperti yang dilakukan Chiara. "Anjing di tempatku ukurannya lebih besar dari ini. Mereka bertanduk, dengan bulu-bulu indah dan lebat. Mereka terkadang punya sayap kecil di punggung."
"Benarkah?" tanya Chiara dengan mata berbinar.
"Kau mau ikut ke tempatku untuk melihat anjing yang kumaksud?" Archibald bertanya dengan penuh semangat. Namun, senyumnya tiba-tiba menguap saat pandangannya kembali menumbuk pada pintu Gua yang tertutup. Archibald mendadak tersadar bahwa kali ini ia bahkan tidak dapat kembali ke rumahnya karena portal yang tertutup rapat.
"Sudahlah. Tidak apa-apa." Chiara tersenyum simpati. "Bagaimana kalau kita bermain bersama Max di padang Dandelion?"
Archibald mengalihkan pandangannya pada Chiara. tersenyum. Ia mengangguk pelan seraya meraih lengan Chiara dan mengikuti gadis manusia yang menuntunnya menuju padang Dandelion.
Max berlari mengikuti mereka di belakang, seraya sesekali menggonggong riang.
Sinar matahari pagi menyelusup melalui celah-celah rimbun dedaunan dan ranting yang menaungi padang Dandelion. Suara cuitan burung di puncak pepohonan menambah syahdu suasana.
Dua makhluk berbeda alam itu sedang asyik bermain, berkejaran dan menyibak rerimbunan Dandelion, melompat dan bersembunyi. Tertawa dan bersenandung dengan riang hingga mereka kelelahan dan duduk beristirahat di bawah sebatang pohon willow.
Sayup-sayup Chiara bersenandung pelan. Sebuah mahkota bunga Dandelion bertengger miring di atas surai emasnya.
Sementara Archibald yang duduk bersandar di pohon Willow menatap gadis manusia itu dengan takjub.
"Lost my partner, What'll I do?
Lost my partner, What'll I do?
Lost my partner,What'll I do?
Skip to my lou, my darlin'. Skip, skip, skip to my Lou, Skip, skip, skip to my Lou, Skip, skip, skip to my Lou, skip to my Lou, my darlin'."
Tanpa mereka sadari, mulut gua bercahaya terang. Sulur-sulur tanaman merambat yang ketat menutupinya, perlahan bergerak membuka. Sesosok peri Elf bersurai panjang keemasan berjalan melewati portal tersebut.
Dari kejauhan, Iris mata hazel green-nya membelalak lebar saat menangkap sosok Archibald yang sedang bercengkrama dengan seorang gadis manusia di sampingnya. Peri elf itu bergeming, mengurungkan langkahnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis manusia itu pergi meninggalkan Archibald.
Halo! Terima kasih sudah mampir dan membaca bab ini❤️
Btw, jangan lupa komentar dan vote nya yaa,,, supaya aku semakin semangat buat update 😆
Sampai ketemu di part selanjutnya, semoga sukaa 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top