16. Kastel Larangan

Claude dan Elwood baru saja melompat turun dari unicornnya masing-masing, kemudian menuntun tunggangan mereka masing-masing menuju ke halaman rumah Ammara di Fairyfarm. Namun, seekor unicorn putih tiba-tiba melesat cepat melewati mereka seraya meringkik gusar. Claude nyaris terjengkang, jika saja Elwood tidak dengan sigap menarik salah satu lengannya agar peri itu menyingkir dari jalanan.

Kedua pangeran itu lantas saling bertukar pandang saat menyadari unicorn itu ternyata menuju ke istal di samping rumah cendawan.

"Unicorn berwarna putih itu mirip sekali dengan unicorn milik Ammara," gumam Elwood sembari mengamati gelagat makhluk itu.

Claude membelalak. Selintas pikiran menakutkan memenuhi kepalanya. "Jangan-jangan---

Pangeran peri itu tak melanjutkan kata-katanya, kemudian serta-merta berlari menghampiri Selly. Sementara, Elwood mengikutinya dengan raut penasaran.

Di depan istal, Ailfryd telah menyambut unicorn milik Ammara terlebih dahulu dengan wajah kalut. Ella yang menyerahkan diri menjadi tawanan Kerajaan Avery, ditambah lagi putrinya yang tidak kembali menambah kesusahan hatinya.

"Tuan Ailfryd!" sapa Elwood.

"Pangeran Elwood, Pangeran Claude?" Ailfryd tak bisa menahan raut terkejutnya karena dikunjungi oleh dua orang Pangeran dari Kerajaan Avery. "Ada apa?" tanyanya sembari berusaha menyembunyikan kegusaran.

"Apakah Ammara belum kembali, Tuan?" tanya Claude dengan nada khawatir.

Ailfryd menggeleng lemah.

"Ini aneh. Harusnya Ammara sudah kembali. Ia sudah dibebaskan dini hari tadi dan para kesatria Elf yang menjaga kastilnya juga mengatakan bahwa Ammara telah pergi."

Elwood mendekati Selly dan mengelus Surai putih unicorn itu. Selly meringkik pelan, terdengar sangat sedih. "Bukankah ini Selly, unicorn Ammara, Tuan Ailfryd?" tanyanya mencari kepastian.

"Benar, Pangeran Elwood. Unicorn ini baru saja kembali setelah berhari-hari ikut tertawan di istana. Namun, dia hanya kembali sendiri, tanpa membawa Ammara bersamanya," tutur Ailfryd sedih. "Aku mengkhawatirkan Ammara."

Claude dan Elwood serta merta bertukar pandang penuh arti.

"Tuan Ailfryd izinkan aku untuk mengetahui keberadaan Ammara melalui Selly. Aku akan mencoba membaca kenangan Selly."

Tuan Ailfryd mengangguk pelan. Baginya, tak ada pilihan selain menerima bantuan dari kedua pangeran peri itu.

Claude mendekati Selly yang masih meringkik sedih. Salah satu tangannya terulur menyentuh satu sisi wajah unicorn itu. Claude seperti merapal mantra singkat sebelum manik matanya menghilang beberapa saat.

Sebuah bayangan peri perempuan berjubah cokelat menunggang unicorn berkelebat dalam penglihatan Claude. Peri perempuan berambut keemasan itu adalah Ammara. Dalam penglihatan Claude, Ammara melaju menuju Fairyhill dan berhenti tepat di depan perbatasan Hutan Larangan. Peri perempuan itu berbicara pada Selly, sebelum akhirnya memasuki Hutan Larangan.

Claude terkesiap dan refleks melepaskan sentuhannya pada Selly. Manik matanya telah kembali normal.

"Apa yang terjadi dengan Ammara?" tanya Ailfryd kalut.

Raut wajah Elwood juga berubah cemas. Ia menantikan penjelasan dari Claude dengan gusar.

"Ammara memasuki Hutan Larangan!"

"Apa?! Aku harus segera menyusulnya! Apa yang dia pikirkan?! Tempat itu sangat berbahaya!" Ailfryd tak dapat lagi menyembunyikan kepanikannya. Ia hendak meninggalkan istal untuk mengambil senjata yang dimilikinya, tetapi Elwood menahan langkahnya.

"Jangan gegabah, Tuan Ailfryd. Kita tidak bisa masuk sembarangan ke dalam hutan itu. Bagaimana jika sebelum menyelamatkan Ammara, kita sudah terkena kutukan terlebih dahulu. Maka semuanya akan sia-sia." Elwood mengingatkan.

"Jadi apa hal terbaik yang dapat kita lakukan, Elwood?" tanya Claude.

"Kita harus minta bantuan istana atau setidaknya kita temui Maurelle terlebih dahulu. Asumsiku Ammara pasti ingin menyelamatkan Archibald dan Putra Mahkota Albert sehingga dengan nekat ia memasuki Hutan Larangan."

"Akan tetapi, kita tidak punya banyak waktu. Jika Ammara berubah menjadi makhluk terkutuk, kesempatan kita untuk menyelamatkannya sangat kecil." Claude menerawang, seolah-olah sedang melihat ke dalam Hutan Larangan dari posisinya berada saat itu.

"Ella tidak akan memaafkanku jika terjadi sesuatu pada Ammara." Ailfryd mendesah sedih. Kedua tangannya ia tangkupkan menutup wajahnya.

"Semuanya akan baik-baik saja, Tuan Ailfryd. Kami berjanji, kami pasti akan menyelamatkan Ammara," bujuk Elwood berusaha menenangkan.

"Bagaimana kalau kita kembali ke istana sekarang?" Usul Claude.

"Izinkan aku ikut, Pangeran?" Ailfryd memohon. Hanya itu satu-satunya yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan Ammara. Ia tak ingin hanya duduk diam dan menunggu kabar yang tak pasti.

Claude dan Elwood saling pandang beberapa saat untuk memutuskan. Akhirnya Claude mengangguk mantap. "Mari, Tuan Ailfryd."

Beberapa saat kemudian suara kepak sayap unicorn terdengar membelah ketenangan Fairyhill. Tiga ekor unicorn terbang melesat membelah langit Fairyverse menuju istana Avery.

* * *

Waktu seakan terhenti sesaat ketika Ammara berhasil meloloskan langkah melewati sebuah tabir tak kasat mata. Matanya menangkap pemandangan sebuah kastel berwarna gelap yang berdiri tegak di atas sebuah tebing, tak jauh dari tempatnya berdiri. Aura kastel itu sangat kelam, sepi seolah tak berpenghuni. Pun langit yang melingkupi tempat itu berwarna kelabu pekat. Tak ada awan-gemawan maupun pepohonan yang dapat sedikit memperindah tempat itu.

Ammara mengira jika kastel itu dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Namun, ia salah. Matanya membelalak saat mendapati sebuah jurang menganga di antara tempatnya berdiri dan kastel itu. Jurang menganga yang diselimuti kabut tebal hingga dasar jurang tak dapat terlihat. Meski tak dapat melihatnya langsung,Ammara yakin jika jurang itu sangat dalam.

Suara koakan gagak dan kepakan sayap burung-burung yang sangat besar sesekali terdengar bergema di tempat itu.

"Tempat apa ini?" bisik Ammara. Suara bisikannya sendiri bahkan menciptakan gema yang terdengar mengerikan. Ammara bergidik. Namun, segera saja ia merasakan genggaman tangan Elijah yang menguat seolah mencoba menenangkannya.

Elijah masih bergeming di sisinya, seraya menatap waspada keadaan di sekitar. Satu tangannya menggenggam erat tangan Ammara, sementara tangannya yang lain menghunuskan pedang sihir yang bercahaya putih. Pedang sihir itu tak lagi berpendar seperti biasanya, tetapi bercahaya konstan sebagai penanda jika di tempat itu terdapat sihir hitam yang sangat kuat.

"Kita berada di ujung jurang," gumam Elijah pelan. Matanya menyorot pada jurang berkabut yang membentang di hadapan mereka. Tak ada jembatan atau apa pun yang dapat membawa mereka menyeberangi jurang berkabut itu.

"Akan tetapi, sepertinya kita memang diundang untuk masuk ke tempat ini." Ammara menimpali. Tatapannya menyorot tajam pada bangunan hitam yang menjulang tinggi di seberang jurang. Dadanya berdentum kencang seolah ada sesuatu yang menantinya di sana.

"Jika memang demikian, mereka pasti akan menjemput kita, Ammara."

Ammara menyetujui ucapan Elijah dalam diam. Jika mereka benar-benar diundang, maka mereka harus bersiap-siap untuk dijemput oleh tuan rumah pemilik kastel yang mengerikan itu. Jika kastelnya saja sudah begitu mengerikan, Ammara tak sanggup untuk membayangkan bagaimana rupa penghuninya.

Tiba-tiba suara kepakan sayap terdengar dari kejauhan. Sesosok makhluk hitam besar bersayap keluar dari salah satu menara tertinggi di kastil itu. Makin lama suara kepakan sayap itu semakin keras terdengar. Makhluk itu terbang menyeberangi jurang sehingga sosoknya terlihat jelas. Naga itu lantas terbang rendah saat menemukan Elijah dan Ammara. Mereka benar-benar telah diundang.

Ammara dan Elijah sontak berlari menjauhi ujung tebing tempat mereka berdiri. Tabir tempat mereka masuk beberapa saat lalu telah menghilang, menyisakan hutan lebat menghitam dan berkabut. Hutan tanpa dedaunan, hanya ranting-ranting hitam pekat yang merimbun.

Permukaan tanah tempat Ammara dan Elijah berpijak sedikit berguncang saat sang naga menjejakkan kaki di ujung tebing. Sayapnya yang hitam besar terkulai di kedua sisi tubuh, sementara sepasang mata merah menyala makhluk itu menyorot pada Ammara dan Elijah.

Elijah mengacungkan pedang sihirnya ke hadapan sang naga seraya memasang kuda-kuda. Elijah siap menerjang kapan pun sang naga merangsek maju. Meski tangannya sedikit gemetar, tetapi sang pangeran berusaha keras menyembunyikan kegentarannya.

Di sisi lain, Ammara yang berdiri di sampingnya merasa shock. Seumur hidup, ia tidak pernah melihat makhluk sebesar itu. Sang naga bukanlah makhluk mengerikan pertama yang ia lihat di Hutan Larangan sehingga Ammara lebih bisa mengendalikan diri untuk tetap terlihat tegar.

Dalam sekali kedipan mata, naga hitam besar itu mendadak berubah menjadi kepulan asap hitam yang pekat dan membumbung tinggi. Kepulan asap itu kian mengecil hingga mewujud menjadi sesosok peri Elf berbaju zirah. Peri Elf jelmaan itu menggenggam sebilah pedang dan sebuah perisai di kedua belah tangannya.

Elijah terkesiap. "Siapa kau dan apa maumu?!" hardiknya.

Alih-alih menyerang, peri Elf jelmaan itu justru membungkuk memberi hormat dengan takzim. "Selamat datang di Kastel Larangan. Perkenalkan namaku Lucifer. Aku adalah pelayan Ratu Minerva, Ratu di Kastel Larangan. Aku kemari untuk membawa kalian ke Kastil Larangan atas perintahnya. Ratuku ingin bertemu," tutur Lucifer takzim.

Ammara dan Elijah saling bertukar pandang. Perkirakan mereka ternyata benar. Makhluk penghuni kastel telah mengetahui keberadaan mereka dan mengundang mereka memasuki kastel. Mulanya Ammara dan Elijah ragu untuk mengikuti sang utusan. Namun, rasa penasaran agaknya menempati porsi lebih besar di benak mereka. Selain itu, sebuah pengharapan mengenai petunjuk petunjuk keberadaan Putra Mahkota Albert menjadi motivasi terbesar untuk memasuki kastel itu.

"Baiklah, kami akan ikut," sahut Elijah mantap.

Demi mendengar jawaban Elijah, Lucifer mengangguk dengan salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Ia menyeringai. "Silakan naik ke atas punggung naga. Aku akan membawa kalian menuju Kastil Larangan."

Dalam sepersekian detik, sosok Lucifer memecah menjadi kepulan hitam. Kepulan asap itu semakin lama semakin membesar, membentuk sesosok naga dengan sayap hitam. Sang naga meraung sebelum meletakkan leher panjangnya yang berwarna hitam ke atas permukaan tanah dan merendahkan punggungnya.

Dengan cepat, Elijah menarik pergelangan tangan Ammara dan membawa peri perempuan itu menaiki sang naga. Sang naga berdiri dan mulai mengepakkan sayap besarnya saat Ammara dan Elijah telah duduk di atas punggungnya dengan stabil. Perlahan naga hitam itu mengangkat tubuhnya dan terbang melintasi jurang berkabut menuju ke salah satu menara tertinggi di Kastel Larangan.

Ammara melihat sekilas ke arah jurang menganga dari balik punggung naga hitam yang mereka tunggangi. Bulu kuduknya meremang, saat menangkap suara-suara jeritan monster dari dalam dasar jurang yang tak terlihat. Ammara bahkan sempat melihat beberapa tentakel kehitaman yang bergerak-gerak liar di salah satu dinding jurang, sehingga refleks menjerit.

"Jangan lihat ke bawah!" seru Elijah mengingatkan.

Ammara memalingkah wajahnya sembali membekap mulut. Namun, pemandangan di sisi lain tempat itu tak kalah mengerikan. Sesuatu yang besar, bulat, dan mengerikan mengintip dari balik kabut sebelum menggemakan auman. Tubuh Ammara kembali menggigil, tetapi telapak tangan Elijah segera menutup pandangannya.

"Jangan lihat," ulang peri laki-laki itu lagi.

Setelah beberapa saat penuh teror, kepakan sayap naga hitam akhirnya terdengar memelan. Mereka hampir mendarat pada salah satu balkon menara. Dari kejauhan balkon menara itu tampak sempit, tetapi dalam jarak sedekat ini ternyata balkon itu cukup luas. Bahkan, balkon itu bisa menampung dua atau tiga naga yang akan mendarat sekaligus.

Sang naga manapakkan kaki hitamnya yang bercakar besar pada pagar balkon menara yang kokoh. Ia membiarkan Ammara dan Elijah melompat turun dari punggungnya, sebelum berubah kembali menjadi sesosok peri Elf jelmaan.

Lucifer lantas menyunggingkan senyum hormat pada Elijah. "Tuanku, selamat datang di Kastel Larangan. Aku akan menuntunmu menuju Balairung Larangan. Ratu Minerva menanti Anda di sana. Mari ikuti aku!" ucapnya seraya berjalan mendahului Elijah dan Ammara. Namun, langkah Lucifer terhenti kemudian berbalik cepat. "Akan tetapi, Mohon maaf, teman Anda tidak bisa ikut serta."

"Apa? Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian di tempat ini," bantah Elijah.

"Tenang saja tuanku, teman Anda bisa menunggu di dalam sebuah bilik yang paling aman di kastel ini."

Elijah melirik Ammara sekilas, meminta pertimbangan dari peri perempuan yang berdiri tepat di sampingnya.

Ammara menjawab tatapan Elijah dengan anggukan pelan. Ammara tidak bisa memungkiri kegentaran yang ia rasakan saat itu. Namun, di sisi lain, ia merasa sedikit lega karena dengan demikian ia dapat dengan leluasa mengelilingi kastel untuk menemukan jejak keberadaan Putra Mahkota Albert.

Setelah punggung Lucifer dan Elijah menjauh, Ammara masih bergeming menatap pintu besar sebuah ruangan yang berukir sepasang peri yang terasa familier dalam ingatan Ammara. Ammara menyentuhkan jari-jemarinya menyusuri ukiran tersebut berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah melihat ukiran serupa.

Iris mata hijaunya membelalak, ketika selintas ingatan berhasil memunculkan gambar ukiran yang sama persis di kepalanya, yaitu ukiran yang pernah Ammara lihat pada pintu ruangan balairung Ratu Serenity. Ukiran itu sama persi. Perbedaanya hanya pada material yang digunakan untuk membuat pintu. Jika pintu di hadapan Ammara saat ini terbuat dari batu berwarna hitam, maka pintu yang pernah Ammara lihat di Istana Avery terbuat dari emas murni.

Tiba-tiba pintu besar di hadapan Ammara terdengar berderit, lalu membuka dengan sendirinya. Ammara terkesiap, tetapi dengan cepat ia dapat menguasai dirinya. Ia buru-buru masuk ke dalam ruangan itu karena mengingat pesan Lucifer jika ia dapat menanti Elijah di sana .

Ruangan gelap itu mendadak terang-benderang setelah beberapa bola kristal yang menggantung di langit-langit ruangan serta merta menyala saat Ammara memasuki ruangan. Ammara terpana saat melihat ruangan indah terbentang di hadapannya. Ia nyaris tak percaya bahwa kastel yang dari luar terlihat mengerikan, memiliki sebuah ruangan yang indah di dalamnya.

Netra Ammara kemudian menyisir seisi ruangan hingga pandangannya menangkap sebuah ranjang besar berwarna putih dengan tirai transparan yang bergulung-gulung membentuk pita cantik di kepala ranjang di salah satu sudut ruangan. Sementara, sebuah meja bundar dan sepasang kursi berwarna hitam berpelitur dengan ukiran-ukiran yang indah berada di tengah-tengah ruangan. Di atas meja dan di sudut ruangan tampak vas-vas yang terbuat dari kaca dengan beberapa kuntum mawar merah tanpa daun menghiasinya.

Ammara baru saja hendak mendudukan bokongnya pada salah satu kursi, ketika sebuah suara terdengar sayup-sayup mengisi pendengaran. Peri perempuan itu lantas berdiri dengan waspada, menajamkan pendengaran. Sedetik kemudian, suara itu menghilang. Namun, terdengar lagi hingga membuat peri perempuan itu penasaran.

Ammara mendekati pintu yang tertutup, menempelkan telinganya pada permukaan pintu yang berukir. Samar-samar, telinganya menangkap suara lolongan anjing yang terdengar familier di telinga Ammara.

Rasa penasaran yang kuat mendorong Ammara untuk menarik daun pintu. Dengan perlahan, peri perempuan itu membukanya hingga menimbulkan suara derit pintu. Derit pintu yang menggema pelan di kastil membuat jantung Ammara berdetak lebih kencang, adrenalinya terpacu. Ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu, mengabaikan pesan Lucifer.

Suara lolongan masih terdengar samar-samar. Ammara berjalan cepat menyusuri lorong gelap kastel Larangan, berusaha mencari sumber suara yang hilang datang.

Dalam keremangan, Ammara mengamati figura-figura yang terpajang di sepanjang dinding lorong. Figura-figura itu berisi lukisan yang sebagian besar adalah lukisan keindahan pemandangan alam Fairyverse. Ammara bahkan dapat mengenali beberapa lukisan yang merupakan pemandangan Fairyhill dan Fairyfall.

Langkah Ammara terhenti di depan sebuah lukisan istana yang dominan putih berdiri kokoh di atas tebing yang dipenuhi semak bunga lavender. Istana itu adalah istana Avery. Pikiran Ammara mulai menghubung-hubungkan semua yang ia lihat di Kastel Larangan dengan Istana Avery. Pemilik kastel pastilah memiliki hubungan dengan Istana Avery.

Ammara kembali melanjutkan langkah, sementara pandangannya kembali berkelana menyusuri lukisan lain yang ada di lorong remang itu. Pandangannya kemudian menumbuk pada lukisan peri perempuan cantik bersurai hitam legam tergerai dengan manik mata berwarna ungu. Peri perempuan itu sangat cantik, tetapi Ammara dapat melihat sorot kejam menyirat pada tatapannya. Ammara mulai menduga-duga, barangkali peri perempuan itu adalah sang Ratu yang dilayani oleh Lucifer.

Di sebelah lukisan itu, terdapat lukisan peri laki-laki yang menarik perhatian Ammara. Ammara bergeser dari posisinya untuk melihat lukisan itu dengan seksama. Lukisan sesosok peri laki-laki dengan iris mata berwarna biru dan surai cokelat bergelombang yang membingkai wajah tampannya. Dua buah anting emas menghiasi bibir tipisnya yang kemerahan.

Ammara terkejut. Gambar itu mirip dengan peri laki-laki yang ia kenal. Ia sampai harus memicingkan matanya untuk memastikan sosok di dalam lukisan itu. Ia mengucek matanya beberapa kali, namun sosok di lukisan itu tetap menunjukan kemiripan dengan Pangeran Elijah.

Kekhawatiran mendadak muncul di benak Ammara. Beribu pertanyaan menggelayuti pikirannya mengenai hubungan antara Ratu Kastel Larangan dan Pangeran Elijah. Ammara mulai menerka-nerka dengan berbagai asumsi di kepalanya, menyatukan potongan-potongan penemuan yang baru saja dilihatnya. Ammara menyimpulkan pasti empunya tempat ini memiliki hubungan dengan kerajaan Avery, terutama dengan Pangeran Elijah.

Lamunan Ammara dibuyarkan oleh lolongan yang terdengar lebih kencang dan tak putus-putus. Ammara seakan tersadar, ia kembali melanjutkan langkahnya menyusuri lorong remang itu hingga ke ujung. Di ujung lorong, Ammara menemukan sebuah tangga berliku yang menuju lantai di bawahnya.

Tanpa berpikir panjang Ammara menuruni tangga itu. Suara lolongan anjing terdengar semakin kentara. Akhirnya, Ammara tiba di depan sebuah ruangan dengan pintu batu tertutup. Pintu itu sama persis dengan pintu ruangan sebelumnya yang Ammara singgahi, berukir lambang kerajaan Avery.

Dengan tergesa, Ammara meraih daun pintu di hadapannya dan mendorong pintu batu tersebut. Pintu itu terasa lebih berat dari pintu sebelumnya, tetapi dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Ammara mendorong pintu itu.

Suara lolongan anjing tiba-tiba tak terdengar lagi saat Ammara menjejakkan kaki ke dalam ruangan gelap itu. Tak lupa, ia menutup kembali pintu di belakangnya. Dalam kegelapan ruangan, Ammara dapat mendengar deru napas makhluk yang gusar dan langkah-langkah kaki kecil yang tidak tenang.

"Permisi ... !" sapa Ammara ragu. Suaranya bergetar karena menyadari ada makhluk lain di ruangan itu.

Suara geraman terdengar dari salah satu pojok ruangan yang bercahaya lebih terang dari sudut lainnya. Ammara mendekati sudut itu. Ia lantas menangkap sosok seekor anjing berbulu keemasan sedang menggeram ke arahnya dengan waspada. Di samping makhluk itu, sebuah pendar cahaya berwarna ungu terang yang melingkupi sesuatu yang setinggi ukuran tubuh peri Elf.

Ammara mendekat perlahan. Matanya kini dapat melihat dengan jelas sosok seorang peri Elf berdiri mengambang dengan mata tertutup di dalam cahaya ungu yang seolah melingkupinya. Ammara terkesiap, saat menyadari jika sosok peri Elf itu ternyata adalah Putra Mahkota Albert. Ammara serta-merta berlari tergopoh menghampiri cahaya ungu itu, tanpa memperdulikan seekor anjing yang terus-terusan menggeram ke arahnya.

Anjing berbulu keemasan yang sedari tadi menggeram mendadak tenang demi melihat sosok Ammara dalam terang. Anjing itu bahkan mendekati Ammara dan mengenduskan hidungnya pada kaki Ammara, seolah telah lama merindukan sosok itu. Setelah puas mengendus Ammara, anjing itu lantas berlari mengitari sekeliling Ammara dengan langkah riang.

"Kau tidak takut lagi denganku?" tanya Ammara heran. Pandangan dan perhatiannya teralihkan dari sosok Pangeran Albert kepada anjing berbulu keemasan yang berlari-lari kecil mengitarinya. Seulas senyum muncul di bibir Ammara. Ia mulai terbawa suasana.

Namun, tiba-tiba ia tersadar. "Kau mengalihkan perhatianku, Anjing Manis. Aku harus menyelamatkan temanku. Akan tetapi, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar peri yang payah!" rutuk Ammara kesal pada dirinya sendiri.

Ammara menatap ke sekeliling, mempelajari situasi ruangan tempatnya berada. Ruangan itu terlalu gelap untuk dapat melihat dengan jelas. Selain lemari dan beberapa kursi yang letaknya tidak beraturan, Ammara tidak dapat menemukan benda lainnya.

Ekor mata Ammara tiba-tiba menangkap sebuah batu yang berbentuk pipih di bawah tubuh Albert yang tengah mengambang tak sadarkan diri. Cahaya ungu itu tampak keluar dari batu pipih tersebut. Logika Ammara mulai bermain, ia akan mencoba mengangkat atau menggeser atau bahkan menghancurkan batu pipih itu, siapa tahu cahaya ungu itu menghilang jika batu pipih di bawahnya tidak berada pada tempatnya atau dihancurkan.

Ammara mencoba mendorong batu itu dengan kakinya. Ia menendang perlahan batu itu. Namun, batu itu tampak bergeming. Sekali lagi, Ammara menendang dengan lebih keras hingga wajahnya meringis menahan perih di kakinya sendiri. Batu pipih itu tetap bergeming.

"Bagaimana ini?" lirih Ammara hampir putus asa.

Anjing berbulu keemasan yang tadi berlari mengitari Ammara, kini berlari ke salah satu pojok ruangan yang lain. Anjing itu menyalak pelan seolah memberi kode kepada Ammara bahwa ada sesuatu di sana.

Ammara memperhatikan anjing itu sambil mendesis pelan. "Ssstt, jangan ribut. Nanti ada yang mendengarmu."

Ammara segera berlari sambil berjinjit menyusul anjing itu. Mata peri perempuan itu membelalak melihat tumpukan tengkorak, tulang belulang serta baju zirah di sekitar sudut itu. Peri perempuan itu refleks menutup mulutnya dengan tangan. Tak jauh dari tumpukan itu, sebilah mata tombak yang berwarna platinum tergeletak dalam keremangan. Dengan terburu-buru, Ammara meraih mata tombak itu dan menggenggamnya erat seolah-olah takut ada yang akan merampasnya.

"Terima kasih!" ucap Ammara riang seraya mengelus puncak kepala anjing itu sekilas. Si anjing meloncat-loncat kegirangan. Kemudian, Ammara melesat kembali ke tempat Albert, di sudut ruangan lainnya.

Ammara menatap mata tombak yang kini ada di genggamannya. Sekelebat ingatan melintas di pikirannya mengenai hal-hal yang dapat melunturkan sihir hitam yang pernah dikatakan oleh ibunya, salah satunya adalah senjata berbahan perak. Entah mengapa benda berbahaya bagi peri Unsheelie itu mendadak ada di kastel itu. Ammara segera mengenyahkan pikiran-pikiran lainnya dan fokus untuk menyelamatkan Putra Mahkota Albert.

Dengan keyakinan penuh, Ammara mengayunkan mata tombak perak di genggamannya ke arah cahaya ungu yang melingkupi Albert. Serta merta, cahaya ungu itu sirna dan tubuh Albert yang tadinya mengambang, mendadak ambruk. Dengan sigap, Ammara menangkap tubuh itu. Namun, tubuh Albert yang lebih besar dari tubuhnya terasa sangat berat, hingga tubuh peri laki-laki itu jatuh menimpanya.

Ammara refleks menjerit kesakitan. Salah satu tangannya menutup mulutnya sendiri agar suaranya tidak keluar dan membuat kegaduhan. Dengan susah payah, ia mendorong Albert dari atas tubuhnya dan menggeser tubuhnya sendiri. Ia menarik napas panjang, merasa lega karena telah berhasil membebaskan Albert.

Tiba-tiba, Anjing berbulu keemasan yang masih berada di pojok lain ruangan, menggonggong pelan. Semakin lama, gonggongannya semakin keras. Anjing itu bergerak gusar seraya menatap ke arah pintu ruangan yang tertutup.

Ammara segera menyadari kegusaran anjing itu. Ia turut mengalihkan pandangan pada pintu batu ruangan yang sedang tertutup. Samar-samar, Ammara dapat mendengar suara langkah kaki mendekat. Semakin dekat, semakin terdengar jelas.

Ammara membelalak. Jantungnya berdetak sangat kencang, sementara bulir-bulir keringat dingin perlahan menetes dari pelipisnya. Tubuhnya mendadak kaku. Apa yang harus ia lakukan dengan tubuh terkulai Albert yang berat ini. Ia tak akan bisa mengangkatnya. Matanya nyalang menatap liar ke seluruh ruangan gelap itu. Sorot matanya mendadak menumbuk pada sebuah lemari terdekat.

"Max, kaukah itu?" panggil Lucifer dari balik pintu. Langkahnya terdengar semakin keras.

Ammara bergeming. Tubuhnya menggigil ngeri. Sang naga telah datang. Ia harus segera berlindung.




Holaaa reader....
Part ini sangat panjang dan melelahkan...
Aku harap serunya dapet, kalau belum dapat, mohon kritik dan sarannya yaa, bagian mana yang harus ditambah dan dikurang.
Terima kasih buat yang sudah setia membaca kisah ini ❤️
Mohon berikan vote dan komentarnya biar aku tambah semangattt 😆😆😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top