15. Darkest Side

Ammara menjejak Fairyhill beberapa saat sebelum fajar menyingsing. Ia mengabaikan jalanan sepi dan berkabut yang ia tempuh untuk menuju perbatasan Hutan Larangan, mengenyahkan segenap rasa takut dan kegentaran yang menggerogotinya. Tekadnya hanya satu, ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Putra Mahkota Albert dan Pangeran Archibald. Bagaimanapun, kedua peri elf itu menghilang karena hendak membantunya, sehingga ia harus bertanggung jawab.

Derap langkah kaki Selly berhenti tepat di perbatasan Hutan Larangan. Unicorn itu meringkik gelisah, ketika Ammara melompat turun dari punggungnya.

"Aku akan baik-baik saja, Selly. Jangan khawatir. Aku janji aku akan segera kembali," ucap Ammara sambil mengelus pelan surai putih Selly, berusaha menenangkan kegelisahan makhluk itu.

Selly menyahuti perkataan Ammara dengan ringkikan sedih, seolah enggan melepas kepergian tuannya memasuki Hutan Larangan. Seluruh makhluk di Fairyverse tahu bahwa tidak ada yang bisa menjamin keselamatan peri sheelie saat masuk ke hutan yang penuh kutukan itu.

Ammara menarik napas dalam-dalam, sebelum mengembuskannya bersama segenap keraguan yang tiba-tiba saja menggelayuti pikirannya. Ia menatap mata Selly yang menyiratkan kesedihan. "Jika lewat tengah hari, aku belum juga keluar dari Hutan Larangan, kau harus pergi dari tempat ini Selly. Kembalilah ke Fairyfarm."

Kata-kata itu terdengar bagai pesan terakhir, bahkan di telinga Ammara sendiri.

Lagi-lagi, unicorn itu meringkik sedih. Selly mendekatkan hidung besarnya pada wajah Ammara, mengendusnya pelan seakan menyampaikan pesan perpisahan pada peri perempuan itu.

Di saat yang sama, Ammara juga mendekatkan wajahnya pada Selly. Suaranya bergetar. "Aku akan baik-baik saja, Selly. Percaya padaku."

Setelahnya, Ammara mengumpulkan seluruh tekat dan melangkah mantap memasuki Hutan Larangan. Ringkikan Selly yang terdengar sedih mengiringi langkahnya, hingga akhirnya menghilang saat batas tak kasat mata telah ia lewati. Ammara menoleh ke belakang sejenak. Sepasang netranya masih menangkap sosok Selly, tetapi anehnya suara ringkikannya sama sekali tak terdengar. Suasana di sekitar Ammara mendadak sunyi.

Dengan waspada, Ammara melanjutkan langkahnya. Kegelapan Hutan Larangan telah melingkupinya dan untuk bertahan peri perempuan itu harus menajamkan indera penglihatan dan pendangarannya.

Langit Hutan Larangan yang tak berawan berwarna kelabu pekat dengan asap tipis yang memenuhi langit. Padahal seharusnya fajar telah menyingsing, tetapi tanda-tanda munculnya sinar matahari sama sekali tak terlihat sehingga susana pagi menjadi serupa malam.

Ammara berjalan sangat hati-hati mengarungi kabut tebal yang menutupi permukaan tanah Hutan Larangan, hingga sebatas pinggang Ammara. Sesekali kakinya tersandung akar-akar besar yang muncul ke atas permukaan tanah yang tak terlihat oleh Ammara. Hawa dingin juga menyergap tubuh Ammara sejak memasuki Hutan Larangan. Peri itu menggigil seraya memeluk tubuhnya.

Suara gemeretak ranting yang terinjak kaki Ammara memecah keheningan Hutan Larangan. Ammara terkejut, jantungnya berdebar kencang. Ia takut jikalau suara yang ia buat mengganggu makhluk-makhluk mengerikan yang mungkin saja bersembunyi di balik kegelapan. Ketakutannya sontak menjadi nyata saat sepasang mata berwarna merah menyala tiba-tiba muncul dari salah satu sudut gelap Hutan Larangan.

Ammara refleks menutup mulutnya yang hendak menjerit ketakutan, demi melihat sepasang mata yang tampak berkedip-kedip seolah mengawasinya. Ammara mempercepat langkah, nyaris berlari menjauhi sepasang mata itu. Namun, kakinya tersandung sesuatu di balik kabut di permukaan tanah. Ammara terjerembab dan merasakan perih yang menyayat lututnya. Dengan tergesa ia berdiri dan melanjutkan langkah kaki dengan terpincang-pincang.

Setelahnya, berpasang-pasang mata merah menyala mendadak muncul di sepanjang sisi kiri dan kanan kegelapan yang Ammara lalui. Mata-mata itu tak berwujud apa pun, selain kegelapan pekat yang melingkupinya.

Ammara terkesiap. Ia berusaha menyeret langkahnya lebih cepat.

Keheningan Hutan Larangan juga terenggut bersamaan dengan munculnya berpasang-pasang mata itu. Suara bisikan samar-samar mulai terdengar bersamaan dengan gerakan mengedip. Mata-mata merah itu menyorot Ammara seraya menggunjingkannya.

Lambat-laun bisikan terdengar semakin jelas.

Aku mencium bau darah.

Sepertinya darah dari peri itu.

Ammara bergidik.

Tunggu dulu. Baunya sangat amis. Tidak seperti bau darah peri Sheelie lainnya.

Apakah ia peri Sheelie?

Aku rasa bukan.

Aku pernah mencium bau ini dari Negeri di balik portal Utara.

Bau manusia.

Ammara menutup kedua telinganya dengan tangan. Tak kuasa mendengar suara-suara parau dari berpasang-pasang mata merah yang penuh penghakiman. Ia terus berlari dengan tangis tertahan, berharap makhluk-makhluk itu berhenti mengganggunya. Langkah kaki Ammara terhenti seketika saat tubuh ringkihnya menabrak sesuatu di hadapannya. Tubuhnya terdorong kuat ke belakang dan terduduk menghantam permukaan tanah.

Ammara meringis. Namun, sepersekian detik kemudian matanya membelalak, menatap sesosok monster hitam besar yang telah berdiri di hadapannya.

Sosok hitam itu memiliki sepasang mata merah menyala yang besar. Sepasang mata merah itu menyorot Ammara dengan tatapan marah. Sang monster meraung keras hingga gigi-geliginya yang tajam dan berliur terlihat.

Bersamaan dengan suara raungan itu, berpuluh pasang mata merah menyala dan suara-suara yang muncul dari kegelapan mendadak menghilang. Hutan Larangan kembali hening dan mencekam.

Ammara membekap mulutnya dengan tangan sendiri. Ia tak pernah melihat makhluk mengerikan seperti yang saat ini berdiri di hadapannya. Ammara ketakutan. Air mata mengalir deras di pipinya yang pucat. Tubuhnya menggigil. Ia bergeming pasrah, tak kuasa bergerak dari hadapan monster mengerikan itu.

Seberkas cahaya mendadak muncul, menyabet ke arah tubuh hitam sang monster di hadapan Ammara. Suara raungan monster yang kesakitan membelah Hutan Larangan, menandakan bahwa kilatan cahaya barusan telah melukai bagian tubuhnya. Monster itu terhuyung mundur, menjauhi Ammara.

Sesosok peri Elf muncul di hadapan Ammara dalam posisi memunggunginya, sehingga Ammara tak dapat melihat wajah peri itu. Sebilah pedang sihir bercahaya putih terhunus pada salah satu tangannya. Pedang itulah yang telah melukai si monster.

Peri laki-laki itu kembali menyerang seraya mengayunkan pedangnya dengan membabi-buta ke arah monster dihadapannya. Tiga sabetan mengenai tubuh monster itu sehingga si monster kembali meraung sejadi-jadinya. Cairan kental berwarna hijau menyala keluar dari lukanya. Tubuh besar yang mengerikan itu akhirnya tumbang tanpa perlawanan.

Ammara bergeming. Tubuhnya gemetar hebat menatap monster hijau yang rubuh dalam keadaan mengenaskan.

Tubuh besar monster itu dalam sekejap mata berubah menjadi sesosok peri elf berambut panjang berwarna kemerahan. Peri itu tertelungkup dengan beberapa luka sayatan yang berdarah di tubuhnya. Namun, dalam hitungan detik, sosok itu berubah lagi menjadi kabut asap berwarna hitam yang lambat-laun menghilang menyatu dalam kegelapan.

"Apa kau baik-baik saja Ammara?" tanya sosok penyelamat itu tanpa menoleh.

Suaranya terdengar sangat familier. "A-aku baik-baik saja,"sahut Ammara dengan suara bergetar. Ammara mengernyit untuk dapat melihat sosok itu lebih jelas. Cahaya pedang sihir yang terhunus di salah satu tangan peri itu menyediakan seberkas cahaya temaram yang menerangi sekeliling Ammara.

Dalam keremangan, Ammara mengenali sosok yang telah menyelamatkannya. "Pangeran Elijah?!"

Peri laki-laki itu mendekati Ammara untuk membantunya berdiri. Seulas senyum asimetris tersungging di bibir Elijah. "Apa kau bisa berdiri? Atau perlukah aku menggendongmu?"

Ammara merasakan pipinya memanas. Jika suasana hutan itu lebih terang pastilah rona merah yang membayang di pipinya terlihat. Ammara menggeleng gugup. "Ti-tidak perlu. Aku bisa sendiri."

Ammara berusaha berdiri, meluruskan kakinya perlahan. Punggungnya yang terasa nyeri menyusahkan kakinya untuk berdiri dengan seimbang. Tubuhnya limbung dan nyaris terjatuh lagi.

Dengan sigap, Elijah menangkap tubuh peri perempuan itu dan menggendongnya.

"Aku bisa berjalan sendiri!" sergah Ammara seraya meronta-ronta di dalam gendongan Elijah. Namun, rengkuhan Elijah yang kokoh dan rasa sakit menghalangi gerakannya. Akhirnya, peri perempuan itu hanya bisa pasrah membiarkan Elijah menggendong tubuhnya.

"Apa yang dilakukan peri cantik sepertimu di Hutan mengerikan ini? Kau tidak melarikan diri dari istana, 'kan?" tanya Elijah seraya menaikkan salah satu alisnya. Iris mata birunya beradu dengan iris mata hijau peri perempuan di dalam gendongannya.

Ammara membuang muka, tak sanggup menatap iris mata biru Elijah dalam jarak sedekat ini. Lagi pula, keremangan Hutan Larangan tak mampu menyamarkan pesona sang pangeran peri. "Aku ingin mencari Archibald dan Putra Mahkota Albert," sahutnya singkat.

Elijah tergelak. "Kau ingin menyelamatkan Archibald dan Albert, sementara kau sendiri perlu diselamatkan. Sudahlah, Ammara. Aku antar kau keluar dari Hutan ini. Tempat ini terlalu berbahaya untukmu. Untung kau tidak terkutuk seperti monster tadi dan yang kau alami adalah keajaiban sekaligus anomali."

"Apa maksudmu?" tanya Ammara bingung.

"Monster itu dulunya adalah peri Sheelie. Namun, peri itu terkena kutukan ketika memasuki Hutan Larangan dan menjadi monster yang mengerikan. Kau beruntung karena kau tidak langsung terkena kutukan. Mungkin karena kau adalah keturunan peri penyembuh seperti ibumu."

Ammara mencoba mencerna kata-kata Elijah. Akan tetapi, tiba-tiba ia teringat suara-suara dari berpasang-pasang  mata merah yang muncul sepanjang perjalanannya tadi. Makhluk-makhluk itu menyebutnya manusia karena bau darah yang menguar dari luka di lututnya. Ammara ingin menanyakan hal itu pada Elijah, tetapi urung karena langkah peri itu tiba-tiba terhenti.

"Ada apa?" tanya Ammara.

"Sepertinya ada yang mengikuti kita," bisik Elijah.

Ammara kembali bergidik. Ia mengalungkan lengannya di leher Elijah erat seraya menajamkan telinganya waspada untuk memahami pertanda. Namun, ia tak dapat mendengar apa pun selain detak jantung Elijah yang bertalu cepat.

"Aku harus segera mengeluarkanmu dari sini," gumam Elijah lebih kepada dirinya sendiri.

"Tidak. Aku harus menemukan Archibald dan Albert terlebih dahulu!" tolak Ammara.

"Biar aku yang menyelamatkan mereka. Mereka adalah saudaraku. Sudah seharusnya aku yang menyelamatkan mereka."

"Tidak. Aku akan ikut denganmu. Mereka tertangkap karena berusaha menolongku. Aku tidak bisa berdiam diri saja!"

Elijah mengembuskan napas panjang. "Benar-benar peri cantik yang keras kepala. Tempat ini tidak cocok untukmu. Tempat ini terlalu berbahaya. Aku tidak bisa menjagamu sekaligus menyelamatkan mereka. Lagi pula, aku tidak mau kau terluka."

Ammara kembali meronta-ronta di dalam gendongan Elijah. Ia tak menghiraukan beberapa bagian tubuhnya yang terasa nyeri. Ia ingin turun dan tidak mau dibawa keluar dari Hutan Larangan sebelum menyelamatkan Archibald dan Albert. Tekatnya sudah bulat.

Dengan berat hati, Elijah menurunkan tubuh peri perempuan itu. Iris mata birunya menangkap luka menganga di lutut Ammara. "Ternyata kau terluka dan luka inilah yang telah mengundang mereka!" gumam Elijah.

"Mereka siapa?"

Elijah menatap iris mata hijau Ammara lekat-lekat. "Makhluk-makhluk terkutuk seperti monster yang menyerangmu tadi. Di Hutan Larangan ini, selain makhluk terkutuk juga banyak makhluk yang haus darah Ammara."

Sang pangeran peri kemudian berlutut di hadapan Ammara. Ia mengeluarkan sebuah kantung berwarna gelap dari sakunya, kemudian, menumpahkan serbuk bercahaya yang berwarna putih ke atas telapak tangan. Mulutnya berkomat-kamit beberapa saat, sebelum meniupkan serbuk itu ke arah lutut Ammara yang terluka. Serbuk-serbuk peri itu berhamburan mengenai permukaan luka Ammara hingga serta merta luka menganga yang tadinya berdarah mengering.

Ammara terpana. "Ini luar biasa!" Ammara berdecak kagum.

Elijah menaikkan salah satu sudut bibirnya. Ia tersenyum. "Ini tidak sehebat yang kau bayangkan. Lukamu hanya luka luar, jadi aku bisa mengobatinya. Kurasa Ibumu jauh lebih hebat. Percayalah, ini bukan apa-apa."

Ammara mengamati Elijah yang sedang membersihkan sisa-sisa serbuk peri di permukaan lututnya. Ia sama sekali tidak menyangka jika Elijah adalah pangeran yang perhatian, terlepas dari sikapnya yang sering memancing emosi saudara-saudaranya yang lain.

Sebuah pertanyaan melintas di benak Ammara saat itu, ia tidak bisa menahan untuk tidak mengutarakannya. "Kau sepertinya sangat familier dengan tempat ini? Apakah kau sering ke mari? Apa kaujuga  seperti Archibald?"

"Kau sangat ingin tahu ya," sahut Elijah tergelak. Kemudian, ia mengerucutkan bibirnya berpura-pura sedang berpikir. Ia telah bangkit dari posisinya dan berdiri sejajar di samping Ammara.

"Tidak masalah kalau kau tidak mau cerita. Yang jelas aku tetap akan ikut denganmu mencari Archibald dan Putra Mahkota Albert."

"Kau semakin menggemaskan jika keras kepala seperti ini." Elijah menepuk pelan puncak kepala Ammara seraya menampilkan cengiran di bibirnya.

Ammara mengelak cepat ketika Elijah akan mengacak rambutnya. "Tidak ada yang lucu di sini!" desis Ammara sedikit kesal.

Mereka terdiam beberapa saat, memasuki Hutan Larangan lebih jauh. Jalanan yang mereka lalui tidak segelap tadi karena hari telah beranjak siang. Meskipun Hutan Larangan yang berkabut tidak dapat menangkap sinar matahari secara langsung, tetapi kabut yang menyelimuti langit perlahan menipis. Sesekali, sepasang mata merah bercahaya masih mengintai Ammara dan Elijah dari balik bayangan pepohonan yang gelap untuk kemudian bersembunyi kembali.

"Archibald kebal terhadap kutukan Hutan Larangan karena ia adalah keturunan peri Sheelie yang sangat sakti di Fairyverse. Sedangkan aku, aku kebal terhadap kutukan Hutan Larangan karena di dalam darahku mengalir darah peri unsheelie," tutur Elijah memecah keheningan. Iris mata birunya menatap Ammara. "Aku harap kau tidak takut padaku, Ammara."

Ammara mengernyitkan alisnya bingung. "Kenapa aku harus takut padamu?" Ia lantas mengerling ke arah Elijah yang tampak terkejut mendengar perkataannya.

"Jadi kau tidak takut padaku?" Elijah memasang tampang jahil seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Jangan macam-macam," desis Ammara.

Elijah tergelak mendengar kata-kata peri perempuan itu. Namun, wajahnya mendadak serius. "Terima kasih karena tidak takut padaku. Aku anggap kau telah bersedia menjadi temanku. Kau tahu, baru kali ini aku jujur mengakui bahwa aku adalah keturunan unsheelie. Aku bahkan selalu menyangkal jika saudara-saudaraku menyinggung soal ini. Rasanya sangat menyenangkan karena aku bisa jujur tentang diriku sendiri."

"Eh, aku ..."

"Terima kasih karena kau sudah mau menjadi temanku dan mendengarkanku," sambungnya lagi, tanpa memberi kesempatan Ammara untuk menyela ucapannya. Dengan gerakan cepat, peri laki-laki itu mengecup puncak kepala Ammara sekilas, sebelum berjalan lebih dahulu meninggalkan Ammara yang sangat terkejut atas perilaku Elijah barusan.

"Hei, tunggu aku!" Ammara berlari menyusulnya dengan terseok-seok. Peri perempua itu ingin memprotes perlakuan Elijah barusan kepadanya. Namun, ia mengurungkan niatnya saat langkah Elijah akhirnya terhenti di dekat sebatang pohon besar berwarna hitam yang tak memiliki sehelai daun pun.

"Ada apa?" tanya Ammara bingung.

Elijah menghunus pedang perak sihirnya dan mengayunkannya ke arah pohon tersebut. Ujung pedang perak yang lancip itu menghilang seperti masuk ke dalam dimensi lain yang tak tertangkap mata mereka. Pedang sihir itu mendadak memancarkan cahaya putih yang menandakan bahaya atau keberadaan peri unsheelie di sekitar tempat itu.

"Ada sesuatu di sini. Kita harus menemukannya,"gumam Elijah pelan. Ia sedang sibuk mengayun-ayunkan dan mengibas-ngibaskan pedangnya ke segala arah. Tiba-tiba, ujung pedang itu tampak menghilang lagi.

Ammara dan Elijah saling bertatap. Mereka sama-sama terkesiap. Ini artinya mereka telah menemukan pintu ke dimensi lain tersebut.

Elijah meraih salah satu lengan Ammara, mendekatkan peri perempuan itu ke sisinya. Dalam gerakan cepat, ia merangkul Ammara masuk melewati celah tak kasat mata. Dalam hitungan detik, tubuh mereka menghilang di balik kegelapan Hutan Larangan.

* * *

Archibald membuka matanya perlahan. Kala kesadarannya telah terkumpul sepenuhnya, Archibald menyadari bahwa ia sedang berada di tempat familier yang sudah lama tidak ia kunjungi. Dengan susah payah, Archibald bangkit dari pembaringannya. Iris mata hazel green-nya menangkap sosok seorang peri perempuan bersurai emas yang memunggunginya dan menatap ke luar jendela.

Archibald menatap ke sekelilingnya,  sebuah ruangan dominan putih dengan hiasan tanaman merambat berbunga aneka warna. Archibald sangat mengenali tempat itu, istana Ratu Breena, ibu kandungnya. 

"Kau sudah bangun, Archie?" sapa suara lembut Ratu Breena.

"Ibu? Kenapa aku di sini. Aku harus segera menemukan Putra Mahkota Albert. Dia dalam bahaya," sahut Archibald yang sedang memegangi pelipisnya.

Peri perempuan itu mendekati Archibald dan duduk di sisinya. Iris matanya yang berwarna serupa dengan milik Archibald menyorotnya dengan iba.

"Lukamu sangat parah. Kau harus istirahat dulu untuk memulihkan tenagamu," cegah Ratu Breena. Kekhawatiran kentara terlihat di wajah cantiknya.

"Aku tidak apa-apa, Bu. Aku merasa baik-baik saja," bantah Archibald seraya bersusah payah bangkit dari ranjang. Namun, tangan Ratu Breena menahannya.

"Sudah cukup, Archie. Jangan terlibat lebih jauh lagi dengan para peri yang haus kekuasaan itu. Kau hanya akan menjadi korban mereka. Albert menghilang pasti ada alasannya. Apalagi kudengar Raja Brian belakangan ini sedang sakit. Itu artinya, sebentar lagi Putra Mahkota Albert akan naik takhta. Sementara, orang-orang yang haus kekuasaan sedang memanfaatkan situasi seperti ini."

Archibald bergeming. Ia menatap ibunya dengan tatapan skeptis. Ia sama sekali tidak meragukan ibunya, hanya saja hati kecilnya menolak untuk mempercayai kebenaran tersebut.

"Akan tetapi, dia adalah saudaraku, Bu. Aku tetap harus menyelamatkannya."

Breena menggenggam jari-jemari Archibald erat, menatap iris hazel green peri itu dalam-dalam. Ia mendesah pelan, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Tolong, dengarkan ibu kali ini saja. Ibu tidak ingin kau terluka. Ibu mohon, jangan lagi terlibat Archibald."

Archibald masih bergeming.

Breena menghela napas berat. "Kecuali jika kau ingin maju menjadi Raja, maka aku akan mendukungmu sekuat tenaga."

Kata-kata Ratu Breena membuat Archibald terkesiap. Ia menemukan kesungguhan tersirat pada netra sang ibu. Secara tidak langsung, Ratu Breena telah memintanya untuk menjadi raja di kerajaan Avery. Jika ia menuruti permintaan itu, maka sama halnya dengan mengkhianati saudara-saudaranya sendiri.

Sekali lagi, Archibald hanya bisa bungkam tanpa jawaban. Raut wajahnya memang terlihat tenang, tetapi pikiran di dalam kepalanya berkecamuk dengan liar. 








Halo readers, terima kasih karena telah setia membaca kisah ini. Jangan lupa vote dan komentarnya yaa. Semoga suka ❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top