11. Heartthrob
Archibald bergeming. Iris mata hazel green-nya menatap lurus ke depan, ke arah lawan bicaranya. Wajahnya datar, tak menunjukkan ekspresi apa pun. Sementara kedua tangannya terlipat di dada menunjukkan superioritasnya.
Di hadapannya, Ammara menatap Archibald sengit. Matanya memicing penuh kecurigaan terhadap pangeran peri yang sekarang sedang duduk di hadapannya. Ammara cukup terkejut karena Archibald dan Claude adalah peri pertama yang mengunjunginya sejak ia dipindahkan sang Ratu ke kastel sebelah Timur.
Claude yang duduk tepat di samping Archibald merasa tidak nyaman dengan suasana saat itu. Ia menatap kedua peri yang bersitegang di hadapannya dengan kening berkerut. Claude menghembuskan nafas keras seraya mengucek surai hitam yang jatuh menutupi dahi dengan kesal. Ia mengira segala sesuatunya akan berjalan lancar. Namun, ternyata ia salah. Dua peri di hadapannya ini adalah sepasang peri paling keras kepala yang pernah dikenalnya.
"Tolong, hentikan sikap kalian yang kekanak-kanakan ini!" sergah Claude sambil mendengkus.
"Dia yang tidak sopan! Dia menutup pintu di hadapan tamu yang datang untuk menolongnya," desis Archibald dengan salah satu alis yang terangkat.
"Lihatlah sikapnya, Claude! Begitu kasar dan arogan. Aku ragu jika ia datang ke sini untuk menolongku. Jangan-jangan dia hanya ingin menyombongkan diri!" balas Ammara tak kalah sengit. Matanya menatap tidak suka ke arah Archibald.
"Aku tidak sombong, peri aneh! Aku memang hebat. Hampir seluruh peri di Fairyverse mengenalku sebagai peri terbaik di medan perang. Aku bahkan dapat keluar masuk Hutan Larangan tanpa terkena sihir atau kutukan. Jadi apa yang salah dari sikapku?!"
"Kau bilang membanggakan diri seperti itu tidak sombong? Di mana hatimu peri hebat? Apa kehebatanmu telah menutup hatimu atau kau memang tidak punya hati?!
"Dasar peri aneh! Aku kemari untuk membantumu. Bukan untuk mendengarmu merendahkanku. Sepertinya menolongmu adalah keputusan yang salah!"
Archibald menggebrak meja pualam hingga meninbulman retakan-retakan halus. Dengan gerakan cepat, peri laki-laki itu hendak beranjak dari duduknya, tetapi Claude menahan lengannya. Sementara, Ammara yang tampak ingin membalas ucapan Archibald jadi mengurungkan niatnya setelah melihat wajah putus asa Claude.
"Aku tidak tahu apa masalah kalian sebenarnya. Kalian tampak saling membenci. Namun, aku mohon dengan sangat, untuk saat ini tolong lupakan dulu kebencian kalian masing-masing. Kita harus menyelamatkan Ammara. Kalau tidak, Ammara bisa saja dibuang ke Hutan Larangan. Aku mohon fokuslah kali ini saja ..." ucap Claude sambil menatap Archibald dan Ammara bergantian.
Ammara dan Archibald bergeming. Mereka menunduk, sama-sama menghindari tatapan Claude yang terlihat menghakimi. Suasana yang tadinya memanas, kini mendadak hening.
"Baiklah," Claude menghela napas. "Aku akan mempertegas situasinya. Archibald, apakah kau benar-benar bersedia membantu Ammara?" Iris mata Claude yang hitam menyorot pada Archibald.
Archibald menatap Claude sekilas. Kemudian, ia mencuri pandang ke arah peri perempuan yang sedang tertunduk di hadapannya. Entah mengapa, Archibald merasa sangat iba pada peri itu meskipun Ammara sering membuatnya kesal tanpa alasan.
"Ya, aku bersedia," sahutnya dengan datar.
Ammara melirik Archibald, meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah dengar. Ia hampir tidak percaya bahwa peri sombong dan kasar seperti Archibald bersedia menolongnya. Ammara mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap waspada terhadap peri itu.
"Bagus!" Claude menyeringai, kemudian mengalihkan pandangannya pada Ammara. "Apakah tidak masalah bagimu jika Archibald ikut terlibat untuk menolongmu?"
"Ya, tidak masalah kalau dia memang benar-benar ingin menolongku,"sahut Ammara ketus.
"Apa maksudmu?!" Archibald tampak tersinggung.
"Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya meyakinkan bahwa kau memang tulus ingin menolongku. Itu saja."
"Kau ingin mulai lagi?!"
"Oh, ternyata selain sombong kau juga mudah tersinggung, ya."
"Tutup mulutmu! Kau sungguh membuat kesabaranku habis!"
"Hentikan!"
Claude berdiri sambil menggebrak meja di hadapannya. Meja itu semakin retak, bahkan mengepulkan asap putih dari celah retakannya.
"Aku tidak tahan dengan kalian berdua. Apa kalian ingin aku pergi?!"
Ammara dan Archibald serentak mendengkus. Mereka sama-sama membuang muka ke arah berlawanan. Tanpa mereka sadari, mereka saling mengerling saat salah satu di antaranya sedang menatap ke arah lain.
Claude melihat tingkah kedua peri itu seraya mengembuskan napas panjang. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri yang mulai tersulut emosi melihat tingkah dua peri keras kepala yang sama-sama tak mau mengalah. Setelah membiarkan suasana hening untuk beberapa saat, Claude akhirnya kembali buka suara. "Jadi, sebenarnya, kedatangan kami ke mari ingin membantumu, Ammara. Aku belum sempat berkata apa-apa dan kalian sudah bertengkar."
Wajah Ammara memerah, ia merasa tidak enak dan malu kepada Claude karena menyadari sikapnya yang kasar dan emosional tadi. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri yang bersikap berlebihan terhadap Archibald.
"Ma-maafkan aku," ucap Ammara lirih. "Maksudmu membantu bagaimana, Claude?"
"Jadi, kami ke mari untuk mengetahui cerita lengkap tentang kalung zamrud yang kau miliki. Bagaimana kau mendapatkannya? Dan, dari mana kau mendapatkan kalung zamrud itu?"
Ammara tampak berpikir sejenak. Ia berusaha mengingat-ingat segala hal tentang kalung zamrud yang dimaksud Claude. Kalung zamrud yang seingatnya memang telah melingkar di lehernya sejak lama. Apakah ia mendapatkan kalung zamrud itu dari seseorang ataukah kalung zamrud itu merupakan pemberian dari orang tuanya? Ia tidak tahu pasti. Ia tak dapat mengingat apapun tentang asal-muasal kalung itu. Tiba-tiba kepalanya terasa sedikit pusing. Ammara menyentuh pelipisnya sambil meringis.
"A-aku tidak ingat apapun," sahut Ammara pelan.
"Jangan permainkan kami, Ammara. Tidak mungkin kau tidak mengingatnya. Aku hanya ingin kau mengatakan yang sejujurnya?" desak Claude.
Ammara menggeleng pelan. "Maafkan aku. Aku sama sekali tidak bisa mengingat dari mana kalung itu berasal."
Archibald menghela nafas dengan kasar. Peri tampan itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi Claude dengan tatapannya memberi isyarat kepada Archibald untuk menahan diri.
"Apa maksudmu dengan tidak bisa mengingat dari mana kalung itu berasal? Apakah kalung itu bukan pemberian orang tuamu?" Claude bertanya lagi penuh selidik.
Ammara menggeleng. Ia menatap Claude dengan sorot frustrasi. Peri perempuan itu menggenggam tangannya sendiri dengan keras sehingga kulit telapak tangannya memucat. Bagaimanapun Ammara, ia tidak dapat mengingat apapun tentang kalung zamrudnya.
"Aku tidak percaya ini!" decak Archibald frustrasi.
Claude yang berada di sampingnya menggeleng pelan, menampakkan raut yang sama frustrasinya dengan Archibald.
"Bagaimana kalau kau menggunakan kemampuan retrokognisimu, Claude?" Tiba-tiba Archibald mendapatkan sebuah ide. Ia menatap Claude, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Ammara sekilas.
Claude mengangguk pelan. Iris mata hitamnya tak lepas menyoroti sosok Ammara. "Kau benar Archibald, aku lupa kalau sebenarnya aku bisa saja dengan mudah mengetahui masa lalu peri ini. Terima kasih telah mengingatkan!" sahut Claude yang mendadak antusias.
"Ammara, tolong ijinkan aku untuk membaca ingatan masa lalumu, ya?" tanya Claude lembut.
Ammara mengangguk ragu. Dia sebenarnya tidak mengerti apa yang dibicarakan Claude dan Archibald, tetapi apa pun itu, Ammara akan menurutinya.
"Baiklah, Ammara. bolehkah aku menggenggam tanganmu?"
Ammara mengangguk lagi. Ia mengulurkan salah satu tangannya ke atas permukaan meja.
Dengan hati-hati, Claude meraih dan menggenggam tangan peri itu. Setelahny, Claude berkomat-kamit melafalkan mantra dalam lirih. Iris mata kelamnya seketika menghilang, menyisakan putih mata yang berpendar. Dalam alam pikirannya, Claude sedang menjelajah mencari memori masa lalu Ammara tentang mata kalung zamrud yang dimilikinya.
Claude terkesiap hanya beberapa detik setelah perjalanannya menjelajah ingatan Ammara. Peri laki-laki itu sontak melepaskan genggaman tangannya, kemudian menatap Ammara dengan tatapan tidak percaya. Lebih tepatnya, Ia shock.
"Ada apa?" tanya Ammara dan Archibald hampir bersamaan. Kedua peri itu tampak bertukar pandang untuk beberapa detik, sebelum akhirnya menatap Claude dengan penuh tanya.
Claude menggeleng pelan seraya menatap Ammara dengan tatapan tidak percaya. "Aku tidak bisa melihat apa pun!" serunya dengan suara meninggi.
"Apa maksudmu, Claude?" tanya Archibald dengan sedikit panik. Baginya, raut wajah Claude saat itu menunjukkan ekspresi yang tidak biasa.
"Ini aneh. Aku tidak pernah melihat yang seperti ini. A-aku tidak bisa melihat masa lalunya," sahut Claude dengan suara tercekat.
"Apa? Bagaimana bisa? Bukankah kau selalu bisa membaca masa lalu para peri hanya dengan menggenggam telapak tangan mereka? Apa kau mendadak kehilangan kemampuanmu?"
Pertanyaan-pertanyaan Archibald itu terasa sangat menyudutkannya. Sedikit rasa kecewa terbit di hati Claude. Claude menatap iris hijau Ammara, seolah mencari kebenaran di sana. Bagaimana mungkin, peri cenayang seperti dirinya tidak mampu membaca masa lalu peri biasa seperti Ammara.
"Si-siapa sebenarnya dirimu?" tanya Claude dengan tatapan yang tidak dapat Ammara artikan.
Ammara membuka mulutnya hendak menjawab pertanyaan Claude, tetapi sebuah suara yang datang dari arah pintu membuat Ammara mengurungkan niatnya.
"Selamat pagi, Ammara! Wah, ternyata ada yang bertamu lebih awal dari pada kami!" sapa sebuah suara berwibawa peri laki-laki yang kini berdiri tepat di depan pintu kastel Timur.
Ammara, Claude, dan Archibald serentak mengangkat wajah mereka, menatap sosok yang berdiri di depan pintu kastil. Ketiga peri elf itu tampak terkejut melihat kehadiran Putra Mahkota Albert di ambang pintu.
"Selamat pagi, Putra Mahkota Albert!" sapa Claude seraya berdiri dari duduknya untuk menyambut Albert. Ternyata Albert tidak datang sendiri. Dari balik tubuh jangkungnya yang menutupi ambang pintu muncul Pangeran Elwood dan Pangeran Elijah.
"Wah, ternyata ada yang telah mendahului kita. Claude dan ... Archibald?" Suara Elijah yang semula riang berubah terkejut saat melihat Archibald yang duduk membelakangi mereka. "Apa yang kau lakukan di sini, heh? Setahuku kau tidak menyukai Ammara? Atau aku melewatkan sesuatu?" tanyanya dengan penuh selidik.
"Bukan urusanmu!" Desis Archibald tidak ramah.
"Sudahlah Elijah. Kau merusak suasana damai di kastel ini. Bukankah kita kemari untuk menyapa dan memberi dukungan kepada Ammara?" Sergah Albert, mengurai ketegangan yang mulai muncul perlahan di antara Archibald dan Elijah. Setelah itu, ia mengulas senyum pada Ammara. "Bagaimana keadaanmu, Ammara? Apa kau merasa lebih baik setelah berada di Kastil ini?"
Ammara mengendikkan bahu seraya tersenyum kecut. Tidak ada tempat terbaik selain rumah."
Putra Mahkota Albert tergelak. "Ah, ya! Maafkan aku Ammara. Semuanya akan baik-baik saja. Dan, aku berjanji bahwa kau akan segera kembali ke Fairyfarm. Jadi, kedatanganku, Pangeran Elwood, dan Pangeran Elijah adalah untuk membantumu Ammara. Kami percaya kau tidak bersalah, pasti telah terjadi kesalahpahamanan di sini."
Claude berdeham. "Kami juga berpikir demikian. Kami ke mari untuk membantu Ammara."
"Wah, aku senang sekali ternyata saudara-saudaraku juga sangat peduli pada Ammara," sahut Albert. Ia mengambil posisi duduk di kursi tepat di samping Archibald yang bersidekap. Elwood dan Elijah mengikuti Albert. Mereka masing-masing duduk di sisi kanan dan kiri Ammara. Claude kembali duduk ke posisinya semula di samping Albert. Kini Ammara dan Para Pangeran duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang nyaris hancur dengan suasana yang sedikit canggung.
"Kau baik-baik saja, Ammara?" Elwood menyapa Ammara dengan tatapan sendu. Iris mata biru peri tampan itu menyiratkan kekhawatiran yang berusaha ia tutupi dengan senyumnya.
Ammara mengangguk sambil tersenyum kecil pada Elwood. "Aku baik-baik saja, terima kasih telah mengkhawatirkanku."
Ammara mengalihkan pandangannya kepada Albert, yang kini menatapnya dengan pandangan yang sama. "Terima kasih, Putra Mahkota Albert karena kau telah meminta Ratu Serenity untuk memindahkanku ke Kastel yang indah ini. Setidaknya, tempat ini jauh lebih baik dari pada ruang tahanan bawah tanah kerajaan Avery."
Putra Mahkota Albert tersenyum lagi. Entah mengapa, apa pun yang peri perempuan itu ucapkan selalu dapat menerbitkan senyumnya. "Kau tidak pantas berada di ruang tahanan bawah tanah yang gelap dan dingin itu. Kau belum tentu bersalah. Lagi pula, Ibumu telah membantu kami semua dari pengaruh sihir hitam. Jadi, sudah selaiknya, kami memperlakukanmu dengan baik," jelasnya semringah. "Oh, dan satu lagi ... cukup panggil aku Albert saja."
Sontak keempat pangeran lainnya terkejut mendengar ucapan Albert yang terakhir. Elwood berdeham dengan ekspresi seperti orang yang tersedak. Sementara, Archibald membuang muka. Di sampingnya, Claude menatap Albert tidak percaya dengan tangan menutupi mulutnya yang ternganga. Sedangkan Elijah tampak menahan tawanya yang hampir meledak. Kecanggungan di antara mereka seketika mencair.
"Putra Mahkota, katamu tadi kalian kemari akan membantu Ammara, bukan? Apakah kalian sudah punya rencana?" tanya Archibald dengan nada serius.
Suasana kembali hening dan serius, sebelum akhirnya Albert menjawab. "Kami berencana akan menyelidiki dari mana kalung zamrud itu berasal dan kami juga akan pergi ke Hutan Larangan."
"Kau tidak bercanda kan, Albert? akan sangat berbahaya jika Putra Mahkota dan Para Pangeran yang tidak pernah masuk ke Hutan Larangan pergi ke sana. Tempat itu penuh kutukan dan sihir hitam. Aku takut kalian tidak akan bisa keluar dengan selamat dari Hutan Larangan," bantah Claude khawatir.
"Jadi apa rencanamu, Claude?" tanya Elwood seraya menatap Claude dan Archibald bergantian.
"Menurutku, lebih baik, Archibald saja yang masuk ke Hutan Larangan," sahut Claude penuh keyakinan. "Lebih baik kita mencari petunjuk di Fairyhill dekat perbatasan Hutan Larangan. Kita harus mencari tahu, apakah ada makhluk Hutan Larangan yang pernah menembus segel sihir putih di perbatasan."
"Ternyata strategi kalian lebih matang!" komentar Albert dengan mata berbinar. "Baiklah aku setuju. Aku pikir lebih baik kita bergabung. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali kita menyelesaikan misi bersama sebagai saudara."
Mendengar kata-kata Albert, para pangeran tersenyum. Pikiran mereka serentak mengingat memori saat mereka berburu di Fairyhill ratusan tahun yang lalu. Saat mereka hanyalah remaja peri yang sangat gemar bermain dan berpetualang. Saat tak ada prasangka di antara mereka.
"Aku setuju!"
"Ya, aku ikut!"
"Baiklah. Kita harus mempersiapkan senjata dan unicorn yang akan kita gunakan be---
"Kau melupakan sesuatu!" potong Archibald tiba-tiba.
"Apa maksudmu?" tanya Claude dengan alis bertaut.
"Aku bukanlah satu-satunya pangeran yang bisa memasuki Hutan Larangan." Archibald menyeringai. Sementara, para Pangeran lainnya tampak saling melempar pandangan dan dugaan satu sama lain dengan tegang.
"A-apa? Siapa maksudmu pangeran yang juga bisa masuk ke Hutan Larangan?" tanya Albert sedikit panik. Setahunya, tidak sembarang peri bisa masuk ke Hutan Larangan dan keluar lagi dengan selamat. Hutan itu dikutuk oleh para peri Unsheelie yang menyimpan dendam pada peri Sheelie, sehingga para peri Sheelie tidak dapat keluar masuk Hutan Larangan dengan leluasa.
Di Istana Avery, hanya Archibald yang bisa keluar masuk Hutan Larangan karena ia adalah keturunan peri penyihir paling sakti yang ada di Fairyverse. Selain peri yang merupakan keturunan peri penyihir, peri keturunan unsheelie juga dapat keluar masuk Hutan Larangan tanpa terkena sihir dan kutukan. Berdasarkan asumsi tersebut, terdapat satu kemungkinan yang paling masuk akal yaitu, salah satu di antara pangeran peri memiliki darah Unsheelie.
"Mengakulah atau aku yang akan mengatakannya pada mereka," ucap Archibald dengan seringai yang sama. Ia mengedarkan pandangan kepada seluruh pangeran secara bergantian.
"Baiklah, aku akan ikut denganmu masuk ke Hutan Larangan!"
Ammara dan seluruh pangeran terkejut mendengar jawaban yang terlontar dari Elijah. Para pangeran tidak menyangka bahwa Elijah ternyata juga bisa keluar masuk Hutan Larangan tanpa terkena kutukan. Seluruh mata kini menatap pada sosok peri tampan beriris biru dengan rambut kelam yang bergelombang itu. Yang ditatap hanya tersenyum getir menahan gejolak emosi yang kini tengah malandanya.
"Ja-jadi kau?"
"Elijah?!"
"Ya, aku memang bukan anak kandung Putri Aurora. Aku sama sekali tidak tahu siapa ibu kandungku yang sebenarnya. Aku harap kalian masih mau menjadi saudaraku."
"Cukup, Elijah. Kita bahas ini nanti," potong Albert. Tidak pantas rasanya membahas tentang keluarga kerajaan Avery di depan orang asing.
Albert mengembuskan napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Mari kita fokus pada permasalahan Ammara. Jadi, kita telah menyepakati untuk melakukan penyelidikan bersama. Aku, Elwood dan Claude beserta beberapa kesatria peri terbaik akan memeriksa Fairyhill, terutama di daerah perbatasan Hutan Larangan. Sementara Archibald dan Elijah akan menyelidiki Hutan Larangan. Apakah kalian memerlukan bantuan para Gnomes kerajaan?"
Archibald menyunggingkan senyum miring. "Aku tidak membutuhkan siapapun. Aku bisa melakukannya sendiri."
Lagi-lagi Albert harus mengembuskan napas panjang. Sekali lagi ia menegaskan. "Elijah akan membantumu."
"Terserah!"
"Namun, sebelumnya aku ingin bertanya padamu, Ammara. Dan, aku harap kau menjawab dengan jujur. Dari mana kau mendapatkan kalung zamrud itu?" tanya Alberd. Iris mata cokelat terangnya menyorot Ammara dengan penuh selidik.
Ammara terkesiap. Pertanyaan itu lagi. Ia berusaha mengingat-ingat dari mana kalung zamrud itu berasal, mencari memori yang berkaitan dengan kalung itu. Namun, lagi-lagi hasilnya nihil. Ia tidak menemukan apa pun. Ammara menggeleng pelan, dengan iris mata hijau yang menunjukan kekecewaan.
"Maafkan aku, Albert. Aku benar-benar tidak dapat mengingat apa pun. Yang aku ketahui hanyalah kalung itu sudah ada sejak lama di leherku," ucapnya lirih.
"Kami sudah menanyakannya tadi." Claude menimpali.
"Gunakan kemampuan retrokognisimu, Claude?"
"Sudah. Namun, aku tidak dapat membaca masa lalunya juga, Albert. Sesuatu pasti terjadi padanya."
Albert dan para pangeran tampak terkejut. Mereka saling bertukar pandang. Claude termasuk salah satu peri cenayang dengan kemampuan retrokognisi yang baik. Jika peri itu tidak dapat melihat masa lalu Ammara, pasti ada yang tidak beres dengan peri perempuan berambut keemasan itu. Albert menatap Ammara dengan iba. Tangan kananya telulur ke arah punggung tangan Ammara yang bertumpu di atas meja, memberikan dukungan pada peri perempuan itu.
Setetes air bening terbit di pelupuk mata Ammara. Ia sedih memikirkan nasibnya yang terjebak oleh sesuatu yang tidak ia pahami. Namun, ia juga merasa terharu akan kebaikan Putra Mahkota Albert dan para Pangeran kerajaan Avery yang belum lama ia kenal.
"Jangan khawatir, Ammara. Semua akan baik-baik saja. Kami pasti bisa membuktikan kalau kau tidak bersalah," ucap Albert menenangkan. Iris matanya menatap Ammara intens, ia seakan ingin mengenyahkan seluruh kesedihan yang melingkupi perasaan peri perempuan itu.
"Kami bersamamu," tutur Elwood seraya merangkul Ammara lembut.
"Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk membebaskanmu, jangan khawatir Ammara!" Claude menimpali.
"Peri cantik sepertimu tidak pantas bersedih." Elijah tersenyum simpati, turut memberi semangat pada Ammara.
Archibald tidak mengatakan apa-apa. Namun, ketika pandangan matanya dan Ammara bertemu, ia menatap peri perempuan itu lekat-lekat. Sesuatu yang familier menyusup perlahan pada perasaan Archibald. Sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu. Iris mata hijau yang terasa sama dan detak jantungnya yang terasa aneh. Ia telah menetapkan hati. Ia akan menjaga Ammara, apa pun yang terjadi.
* * *
Flashback
1856, Cottingley, Pinggiran Kota Bradford, West Yorkshire, Inggris (Dunia Manusia).
Archibald berlari kencang membelah semak dandelion yang bergoyang seiring embusan angin. Benih-benih bunga Dandelion yang sangat ringan itu berterbangan setelah bergesekan dengan tubuh Archibald.
Pada satu titik, di tengah semak Dandelion, Archibald berhenti dan mengatur napasnya. Matanya menangkap sosok seorang gadis kecil berambut keemasan yang sedang meniup benih bunga Dandelion. Gadis itu berteriak kegirangan setiap kali benih bunga Dandelion terbang sangat tinggi dan menghilang ditelan birunya langit.
Archibald terpana menatap gadis kecil dengan gaun selutut berwarna lilac yang berdiri tak jauh di hadapannya. Ia tidak pernah melihat pemandangan seindah dan sepolos itu di Fairyverse. Gadis Dandelion seumpama memiliki sihir yang menarik seluruh atensinya dan membuat dunianya berhenti pada titik itu.
Tiba-tiba iris mata hijau gadis itu menangkap sosok Archibald yang bergeming. Gadis itu melambaikan tangannya seraya tersenyum ceria. Senyum terindah yang pernah Archibald lihat selama hidupnya.
"Hei, apa yang kau lakukan di situ? Kemarilah!" Sapa gadis itu riang.
"Siapa kau?" tanya Archibald tanpa beranjak dari tempatnya berdiri. Betapa pun ia ingin menghampiri gadis kecil itu, nalurinya untuk waspada terhadap makhluk asing memintanya untuk tetap menjaga jarak.
"Aku, Chiara. Siapa namamu?"
"Aku Archie. Apa kau seorang manusia?"
"Tentu saja, Archie! Kau pikir aku ini apa? Hantu?" Gadis kecil bernama Chiara itu tergelak mendengar pertanyaan Archibald yang dianggapnya aneh. Derai tawanya membuat jantung Archibald berdetak dengan aneh.
"Ka-kau sangat cantik," gumam Archibald. Beruntung, gadis di hadapannya tidak mendengar ucapan Archibald barusan dengan jelas. Suara Archibald tertelan desau angin yang mendadak bertiup membelai semak Dandelion. Benih-benih halusnya kembali terbang menembus langit.
"Ada apa dengan telingamu?" tanya Chiara sedikit berteriak. Iris mata hijau gadis itu menatap lurus pada telinga runcing Archibald.
Archibald menyentuh kedua telinga runcingnya yang sangat mencolok. Tentu saja gadis kecil itu merasa heran, karena telinganya berbeda dengan telinga Archibald.
Archibald menimbang beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Chiara. "Telingaku memang seperti ini."
"Benarkah? Telingaku tidak seperti telingamu," gumam gadis itu sambil menyentuh kedua telinga kecilnya. Dahinya berkerut dalam.
Archibald mengulum senyum melihat tingkah Chiara. Baginya, gadis manusia itu terlihat sangatlah menggemaskan.
"Tentu saja telinga kita berbeda, karena aku adalah peri," sahut Archibald.
"Kau seorang peri?" Mata Chiara membulat antusias. "Apakah kau peri seperti Rumpelstilstskin? Nenek selalu menceritakan dongeng Rumpelstilstskin setiap menjelang tidur."
Archibald berpikir sebentar. Ia sama sekali tidak mengenal nama peri yang disebutkan Chiara. Terlebih lagi, gadis itu menyebutkan tentang dongeng atau apa pun itu. Namun, ia tidak ingin terlihat tidak tahu di hadapan gadis Dandelionnya. Ia harus memikirkan jawaban yang diplomatis untuk pertanyaan Chiara.
"Bisa dibilang begitu," sahut Archibald dengan nada menggantung menutupi ragunya.
Mata Chiara tampak berbinar menyiratkan kekaguman. "Apa kau bisa mengubah jerami menjadi emas seperti yang dilakukan Rumpelstilstskin?!"
"Aku bisa melakukan hal yang lebih baik dari itu," sahut Archibald bangga. Dia sangat senang karena telah berhasil membuat Chiara kagum.
"Wow, kau sangat keren!" Puji gadis kecil itu tulus. "Aku akan mengenalkanmu pada nenekku. Dia pasti senang jika bertemu dengan peri seperti Rumpelstilstskin."
Archibald mendadak panik. Ia tidak ingin Chiara memberitahu tentang keberadaanya pada manusia lain.
"Ti-tidak. Tunggu dulu. Jangan beritahu orang lain. Cukup kita berdua saja yang tahu!"
Chiara melipat tangannya di depan dada, tampak berpikir. "Baiklah, aku akan merahasiakan ini. Namun, kau harus memberiku sesuatu sebagai balas jasa?"
"Baiklah." Archibald menyanggupi.
Archibald menengadahkan telapak tangannya seraya merapalkan sebuah mantra. Tiba-tiba beberapa kuntum bunga Dandelion mekar yang berwarna kuning berterbangan membentuk lingkaran di atas telapak tangan Archibald yang terbuka. Bunga-bunga itu saling bertaut dengan ajaib membentuk sebuah mahkota bunga yang cantik.
Ammara menatap apa yang dilakukan Archibald itu tanpa berkedip. Mulutnya bahkan menganga tidak percaya.
Archibald menyunggingkan senyum miring. Ia mendekati Chiara perlahan, memusnahkan jarak beberapa depa di antara mereka. Setelah jaraknya dan Chiara hanya tinggal sejengkal, Archibald memasangkan mahkota Dandelion buatannya ke atas kepala Chiara.
Gadis itu tersenyum menatap manik mata Archibald. "Ini indah sekali," ucapnya lirih. Archibald hanya membalas ucapan Chiara dengan senyuman.
Andai waktu dapat dihentikan saat itu, maka Archibald akan mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya untuk menghentikannya. Ia berharap ia tidak perlu kembali ke Fairyverse dan meninggalkan gadis Dandelion yang diam-diam telah mencuri hatinya.
"Aku harus segera pulang atau nenek akan menjemputku ke sini," ucap Chiara tiba-tiba. Archibald segera tersadar dari suasana yang membuatnya terlena.
"Apa aku akan menemukanmu lagi di sini?" tanya Chiara sambil membetulkan posisi mahkota bunganya.
"Tentu saja," sahut Archibald pelan.
"Baiklah, sampai bertemu besok!" pamitnya. Chiara meninggalkan Archibald dengan langkah cepat. Sesekali gadis itu menoleh ke belakang sambil melambai ke arah Archibald.
Archibald bergeming seraya menatap punggung Chiara yang semakin menjauh. Ia mengulum senyum, merasakan sesuatu menghangat di dalam dadanya. Sementara jantungnya berdetak dengan irama yang berbeda dari biasanya.
Hallo...
Terima kasih buat yang sudah baca,
Jangan lupa vote dan komentarnya
Terima kasih ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top