9. A Lonely Princess
Tatiana bergerak pelan menjauhi birai jendela kamar setelah sesosok peri Pixie selesai membawakan berita padanya pagi itu. Makhluk itu terbang mengambang dengan sayap tipis transparannya menjauh dari balkon menara kastel Tatiana. Matahari masih menyorot malu-malu, sementara embun samar terasa membekukan saat menyentuh permukaan kulitnya yang pucat.
Berdiri di depan jendela menyambut pagi adalah kebiasaan Tatiana sejak kejadian memilukan yang merenggut kedamaian Fairyverse. Tepatnya sejak kehilangan Ratu Serenity saat perang besar antara Sheelie dan Unsheelie yang berujung pada pengusiran Elijah, Minerva, beserta para pengikutnya. Meski kini Fairyverse telah kembali seperti sedia kala, tetapi dunia Tatiana tak lagi sama. Sang putri peri memutuskan untuk bersembunyi dari dunia luar, meratapi segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Hanya satu-satunya jendela di kastel itu yang menjadi penghubungnya dengan dunia luar. Melalui jendela itu, sesosok Pixie yang setia menjadi mata dan telinganya melaporkan segala hal berkenaan dengan Kerajaan Avery.
Dan, pagi itu seperti pagi-pagi biasa yang dilalui Tatiana dalam kesendiriannya, Pixie kecil bergaun dan sayap kuning menyala itu membawa berita yang tidak biasa. Berita yang segera mengubah keseluruhan hidupnya hingga detik itu.
Kerajaan Avery akan membuka seleksi calon ratu bagi pendamping Raja yang akan segera dikukuhkan, yaitu Archibald. Berita itu satu-satunya yang menjadi alasan Tatiana tiba-tiba ingin keluar dari persembunyiannya setelah sekian lama.
Entah mengapa, saat mendengar nama Archibald disebut, rasa rindu samar perlahan menyusup di relung hatinya. Meski sang pangeran peri telah menolak cintanya, tetapi Tatiana tak dapat membohongi hati jika rasa suka untuk Archibald masih bersemayam di hatinya. Oleh karena itu, ketika mendengar informasi mengenai seleksi ratu, secercah harapan terbit di sudut hati Tatiana, membuat jantungnya berdegup antusias setelah sekian lama.
Satu-satunya putri di Kerajaan Avery itu berdiri mematut diri di depan sebuah cermin bertakhta batu permata yang terletak beberapa langkah dari bingkai jendela. Tak ada satu pun lampu kunang-kunang yang menyala dalam bilik yang dindingnya terbuat dari kelopak mawar putih abadi. Namun, cahaya pagi yang mengintip dari jendela membiaskan pantulan diri Tatiana yang sempurna. Surai pirang pucat panjang yang sebagiannya digelung dalam kuncir berhias bunga dan Tiara, membingkai wajah tirusnya yang putih cemerlang. Sementara, netra cokelat keemasan yang menyorot sayu membuat kecantikannya semakin sempurna.
Tatiana tersenyum untuk pertama kalinya sejak sang ibu terbunuh, tetapi senyum itu hanya berlangsung dalam tempo singkat, sekejap sirna seumpama kabut pagi hari di Fairyverse. Wajah cantiknya mendadak terlihat muram. Satu ingatan sontak menodai suasana hatinya saat Chiara, gadis manusia yang disukai Archibald, seketika berkelebat dalam ingatan hingga membuatnya terusik. Matanya menyorot tajam pada pantulan bayangan di cermin, seolah bayangan itu bukanlah dirinya, melainkan Chiara.
"Aku harus mendapatkannya!" geramnya dengan suara rendah yang tertahan. Kemudian, dalam sekali gerakan cepat, Tatiana meraih sebuah guci seukuran kepala, lalu menghantamkannya pada permukaan cermin dengan keras. Bayangan dirinya sontak menghilang, hancur menyerpih dalam pecahan-pecahan kaca yang berderai lalu terserak di lantai batu tempatnya berpijak. Pecahan cermin menggores telapak tangannya hingga darah segar menetes dari sela-sela jari. Namun, Tatiana tidak peduli. Napasnya menderu dan memburu, membuat bahu telanjangnya yang sedikit terekspos bergetar.
Kebencian dan dendam telah merasukinya, menjajah tiap jengkal hati dan pikiran. Meski, ia tak pernah lagi melihat gadis manusia itu, tetapi Tatiana masih mengingat kebenciannya. Betapa ia benci Chiara dan ingin membuat gadis itu merasakan segenap kesakitannya.
***
Untuk pertama kali, setelah beberapa purnama, Tatiana akhirnya keluar dari biliknya. Rumor dan bisik-bisik segera menyebar di antara para dayang dan sentinel di sekitar kastel sang putri peri. Keluarnya Putri Tatiana setelah sekian lama membuat ketenangan serta fokus seisi Avery pada persiapan seleksi ratu sedikit terusik.
"Tuan Putri!"
"Selamat pagi, Yang Mulia. Ada yang bisa hamba bantu?"
"Lihat, itu Tuan Putri Tatiana, bukan? Dia akhirnya keluar kamar?!"
"Anda ingin ke mana, Yang Mulia?"
Tanya seketika menyerbu ketika Tatiana memasuki selasar istana utama. Namun, tak satu pun pertanyaan itu dijawab oleh sang putri. Tatiana bungkam, sementara wajahnya tenang, cenderung tanpa ekspresi. Ia ingin menemui Archibald, sosok pertama yang diingatnya ketika bangun pagi tadi.
Beberapa dayang bergegas menyusulnya dengan terburu-buru, berusaha menjalankan tugas yang mendadak harus ditunaikan untuk mengiringi sang putri. Namun, Tatiana yang menoleh sekilas segera saja mengintruksikan dayang yang mengikutinya untuk enyah. Saat ini, ia hanya ingin sendirian.
"Yang Mulia, bagaimana kabar Anda?" Maurelle menyapanya ketika Tatiana melangkahkan kaki melewati ambang pintu Balairung. Peri laki-laki itu sama sekali tak berusaha menutupi keterkejutannya saat melihat Tatiana untuk pertama kali setelah sekian lama mengurung diri. Sang putri juga tidak lagi memakai pakaian berkabung yang membuatnya berasumsi jika Tatiana telah siap untuk kembali menjalani protokol istana di Kerajaan Avery.
Mulanya Tatiana enggan menjawab karena merasa tak punya urusan dengan sang penasihat, tetapi ia segera menyadari situasi, sedikit sopan santun mungkin akan terlihat baik baginya. Dengan kesopanan yang dipaksakan, Tatiana mengangguk seraya mengukir seulas senyum alakadarnya pada Maurelle. "Aku baik, Maurelle," sahutnya tanpa memandang pada peri laki-laki yang terlihat sedang menilai keadaannya. Pandangannya jauh melewati ambang pintu, menyisir setiap jengkal Balairung, tetapi tak mendapati Archibald di mana pun.
"Anda mencari Putra Mahkota?"
Pertanyaan Maurelle sontak mengalihkan atensi sang putri. Dengan kekecewaan yang tak berupaya ditutupi, Tatiana mendengkus dan menyahut. "Di mana dia?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Ada penyerangan di depan benteng. Putra Mahkota dan Pangeran Claude---
"Apa? Penyerangan?" Nada suara Tatiana meninggi. Sebetulnya, ia telah mengetahui persis apa yang terjadi di Avery melalui mata-mata pixie-nya. Penyerangan-penyerangan kecil itu pastilah dilakukan oleh sisa-sisa Unsheelie yang bersembunyi di segenap penjuru Fairyverse. Akan tetapi, Tatiana tidak pernah memedulikan keberadaan makhluk-makhluk pembangkang itu jika bukan Archibald yang menghadapinya.
Tanpa menunggu jawaban Maurelle, Tatiana berbalik begitu saja menuju jalan keluar benteng. Kekhawatiran seketika memenuhi benaknya. Ia harus segera menemukan Archibald dan memastikan jika pangeran peri itu baik-baik saja.
"Tuan Putri, di luar terlalu berbahaya!"
Maurelle berteriak di belakang Tatiana yang bergerak menjauh, mengabaikannya. Suara sang penasihat segera saja ditelan jarak dan keriuhan barisan sentinel yang memblokade jalan masuk ke arah istana utama. Para sentinel tak punya pilihan lain ketika Tatiana melewati mereka dengan setengah berlari selain membuka blokade sembari menunduk takzim.
"Yang Mulia!" Tatiana berteriak khawatir begitu melihat Archibald dibopong Claude melewati ambang gerbang benteng yang setengah terbuka. Beberapa sentinel menggiring keduanya dengan luka yang terlihat di beberapa bagian tubuh. Pemandangan demikian semakin membuat sang putri cemas hingga mempercepat larinya.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya setelah berada di sisi Archibald.
Archibald dan Claude sontak menatap Tatiana dengan mata membelalak. Bagaimanapun ini adalah kemunculan pertama sang putri setelah sekian lama mengurung diri.
"Seharusnya kami yang bertanya demikian padamu," sahut Claude setelah berhasil mengendalikan keterkejutannya. Sementara, Archibald masih bungkam, memilih menunduk pada luka gores di tangannya.
"Aku baik-baik saja," sahut Tatiana sekenanya pada Claude, sebelum mengalihkan pandangan pada Archibald. Sang putri bahkan tak ingin bersusah payah untuk menata raut khawatirnya di hadapan Archibald. "Kau terluka!" Tatiana meraih lengan Archibald untuk memeriksa luka goresnya, tetapi dengan cepat sang putra mahkota menggeser lengannya.
Tatiana tampak kecewa. "Aku hanya ingin mengobatimu."
Archibald kini mengangkat wajah, menyorot tajam pada Tatiana. "Claude akan melakukannya untukku," jawabnya ketus seraya berjalan melewati Tatiana.
"Aku ... aku ingin meminta maaf, Yang Mulia." Tatiana berucap dengan suara gemetar. Wajahnya tertunduk, menyembunyikan beragam emosi yang tergambar di sana. Ia tahu, meski telah berjalan melewatinya, Archibald mendengarkan karena mendadak sang pangeran peri menghentikan langkah.
"Untuk apa?" Suara Archibald seumpama bilah pedang yang terhunus pada musim dingin. Tajam dan membekukan.
Dan, bilah pedang itu telah melukainya secara tak kasat mata. Tatiana merasakan sesak dan perih di dalam rongga dadanya. Namun, ia sudah kadung buka suara hanya untuk dapat berbicara dengan sang putra mahkota. Sikap dingin Archibald dan kerinduannya sendiri yang tak terbendung adalah harmoni yang membuat rasa sakit semakin kuat. Walaupun demikian, Tatiana tentu lebih memilih rasa sakit dari pada tidak mampu merasakan apa pun terhadap sosok yang diidamkannya itu.
"Maaf, karena ibuku berkhianat," sahutnya setelah bersusah payah menelan segala getir yang hendak memberontak keluar menjadi air mata. Suaranya begitu kecil dan goyah, bahkan di telinganya sendiri.
Archibald lagi-lagi begitu dingin, begitu mustahil disentuh. Peri laki-laki itu bahkan enggan menghampirinya. "Kau tidak perlu meminta maaf atas nama peri yang telah tiada!" Setelahnya, langkah kaki kokoh Archibald terdengar menjauh dan semakin menghilang di keramaian lalu lalang para sentinel.
Sementara, Claude yang masih bergeming beberapa langkah di belakang Archibald, menatap Tatiana lama dan penuh rasa iba seolah meminta maaf untuk ucapan dan sikap saudaranya. Akan tetapi, kenyataan jika sang putra mahkota begitu dingin dan tidak peduli pada Tatiana, agaknya membuat Claude akhirnya hanya bungkam. Setelah mengangguk pelan sekilas guna menunjukkan rasa simpatinya, Claude pun segera menjauh.
Tanpa sadar Tatiana mengepal kedua telapak tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Archibald jelas-jelas menolaknya untuk yang kedua kali, membuat rasa kecewa Tatiana perlahan-lahan mendidih berubah menjadi amarah. Sebuah pemikiran jahat melintas di dalam kepala Tatiana, Archibald harus membayar rasa sakit dan bertekuk lutut di hadapannya kelak.
"Lupakan dia, Tatiana." Suara itu sontak memecah atensi sang putri. Wajah Tatiana mendadak merah, merasa jika suara dalam pikirannya seolah tertangkap basah oleh makhluk lain.
Tatiana menatap sosok yang menegurnya dengan pandangan mencemooh. "Jangan ikut campur," desisnya pada Elwood.
Sosok pangeran peri yang satu ini memang sudah lama tak dilihatnya. Sama seperti dirinya, perang antara Sheelie dan Unsheelie telah mengubah Elwood dalam banyak hal. Berdasarkan desas-desus yang berkembang di istana, sejak Elijah diasingkan ke Faeseafic, Elwood lebih sering menghilang selama berhari-hari. Meski kebiasaan Elwood menghilang dari istana sebetulnya merupakan hal yang lumrah, tetapi Tatiana merasa, saudaranya menjadi sedikit berbeda dari terakhir kali diingatkannya.
Selain kulitnya yang sedikit gelap, Elwood yang dulu kekanakan juga menjadi lebih pendiam. Elwood yang terkenal begitu ramah dan menyenangkan menjadi lebih tertutup dan jarang tersenyum. Sesuatu mengenai itu seketika mengusik benak Tatiana, sehingga saat Elwood hendak berlalu dari hadapannya, ia refleks menarik lengan peri laki-laki itu.
"Kau berdarah!" Tatiana membelalak ketika permukaan tangannya merasakan cairan kental dan hangat ketika menyentuh lengan Elwood.
Peri laki-laki itu refleks menarik lengannya dari genggaman Tatiana. "Jangan ikut campur," balasnya ketus.
Tatiana tergelak, dibuat-buat. "Kau membalasku? Dengar Elwood, aku minta maaf. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu padamu. Hanya saja ... sikap Archibald benar-benar membuatku marah. Bagaimana kabarmu? Kudengar kau jarang berada di istana." Perubahan Elwood yang signifikan mendadak membuat Tatiana tertarik untuk mencari tahu penyebabnya.
Elwood menggeleng pelan seraya tersenyum sinis. "Kau tidak perlu terlalu memperhatikanku, Tatiana, aku bisa menjaga diriku sendiri," ucapnya datar. Namun, sekejap kemudian ekspresinya melembut. "Aku senang akhirnya kau memutuskan untuk tidak lagi bersembunyi. Semuanya pasti terasa berat, tapi bukankah hidup harus terus berlanjut, bukan?"
Kata-kata Elwood membuat Tatiana kembali mengingat luka yang dialaminya beberapa waktu lalu. Kemarahan yang nyaris menguap beberapa saat lalu, kini kembali berkobar. Elwood memang barangkali hanya menunjukkan rasa simpatinya, tetapi entah mengapa Tatiana merasa kata-kata itu kembali menyulut dendam yang mendekam di hatinya.
"Kau tidak perlu bersimpati seperti itu. Aku akan baik-baik saja." Tatiana berusaha sekuat tenaga mengendalikan emosinya, juga air mata yang terkandung di pelupuk mata. Baginya, air mata adalah penanda kelemahan, begitulah yang sering dikatakan oleh Ratu Serenity semasa hidup. Dan, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapapun, termasuk Elwood. "Lagi pula," tuturnya menyambung ucapan. "Sepertinya kita mengalami hal yang sama. Aku memahami perasaanmu, Elwood. Segala hal yang terjadi di Avery belakangan ini sama sekali tidak menguntungkan kita."
Tatiana berhasil meraih atensi Elwood karena berikutnya pangeran peri itu membelalakkan mata, menatapnya lekat. "Apa ... Maksudmu?" tanya Elwood hati-hati. Raut wajahnya terlihat waspada, sementara bola matanya sesekali melirik ke kiri dan ke kanan seolah takut jika ada yang mendengarkan pembicaraan mereka.
Sang putri menarik salah satu sudut bibirnya. "Aku tahu kau menyukai Chiara. Aku bisa membantumu mendapatkannya kalau kau mau."
Raut wajah Elwood sontak berubah. "Kau mengatakan ini karena kau menginginkan Archibald, bukan?" tanya Elwood dengan tajam. "Kau kira aku akan membantumu?"
Tatiana tertawa meremehkan. "Aku tidak membutuhkan bantuanmu, Elwood. Jangan khawatir. Akan tetapi, tidakkah kau berpikir jika Chiara terus berada di sisi Archibald, gadis itu akan menderita. Semua pihak akan menyerangnya. Kondisi itu tentu akan sangat tidak menguntungkan, Elwood." Wajah sang putri berubah muram. "Ingat, Elwood. Chiara bukan kaum kita. Dia tidak akan mungkin menjadi ratu. Jadi, sebelum hal-hal buruk semacam itu benar-benar terjadi, ada baiknya kau memperingatkan gadis manusia itu."
Elwood mematung, perlahan membuka mulutnya meski tak sepatah kata pun terucap. Ucapan Tatiana sepenuhnya benar, seberapa besar pun Elwood ingin protes. Hanya saja, cara putri peri itu mengungkapkan begitu mengganggunya.
"Pikirkanlah, Elwood," imbuh Tatiana setengah berbisik.
Peri perempuan berkulit pucat itu melewatinya dengan wajah tanpa ekspresi, meninggalkan Elwood dengan benak dipenuhi pertanyaan. Ada sesuatu di dalam nada bicara Tatiana yang terasa mengancamnya, meski ucapannya dipenuhi simpati palsu. Elwood menatap punggung saudarinya yang kian menjauh sembari mengepalkan tangan, sementara mulutnya tetap bungkam oleh kenyataan. Tatiana benar, ia tidak boleh membiarkan Chiara terluka lagi.
Pontianak, 28 Desember 2021 pukul 10.02 WIB
Terima kasih banyak sudah mampir dan mendukung cerita ini 😍❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top