8. First Attack
Archibald membuka sebuah gulungan perkamen paling besar yang ditemukannya di atas meja belajar yang kini telah beralih fungsi menjadi meja kerja. Sepasang netra hazle green-nya menelusuri kata demi kata yang terpatri di permukaan kulit itu dengan kening berkerut. Surat aduan yang entah ke berapa ratus yang diterimanya pekan itu. Lagi-lagi, keluhan-keluhan dari kerajaan-kerajaan kecil di bawah naungan Avery mengenai penjarahan, pencurian dari sekelompok peri yang secara fisik terlihat seperti Unsheelie. Selain melakukan penyerangan, rupanya kelompok-kelompok Unsheelie yang tersembunyi itu juga melakukan penjarahan dan pencurian bahan makanan untuk bertahan hidup.
Pangeran peri itu mengembuskan napas keras sembari menutup gulungan perkamen. Sejujurnya dia begitu jenuh dengan segala hal yang dikerjakannya belakangan ini. Ia begitu merindukan patroli diam-diam di Hutan Larangan atas titah mendiang Raja Brian dulu atau menjelajah sudut-sudut perawan Fairyhill tanpa armor. Duduk di balik meja pualam dengan setumpuk perkamen bukanlah kesenangan baginya. Namun, segala sesuatu bergulir begitu cepat semenjak kudeta terhadap Elijah, lalu pecahnya perang terbuka antara Sheelie dan Unsheelie, hingga hal-hal lain yang berada di luar kendalinya. Skenario yang dijalaninya benar-benar seperti mimpi. Dan, kini ia berada di titik ini, satu langkah menuju singgasana, satu purnama menjelang pengukuhannya sebagai raja, yang rasanya tak ubah bagai berdiri di tepian jurang kegelapan.
Andai Archibald bisa memilih ....
Langkah kaki bergema setelah bunyi derit pintu yang beradu dengan pantai pualam, membuyarkan lamunan Archibald. Sang pangeran peri menoleh sekilas, mendapati sosok yang memasuki ruang baca Kerajaan Avery dengan langkah-langkah formal. Lagi-lagi, rutinitas yang membuatnya jenuh.
Claude dalam tunik putih sederhana mengangguk padanya dengan takzim. "Yang Mulia," sapanya.
"Kau tidak perlu memanggilku seperti itu," sahut Archibald lesu. Pandangannya teralih kembali pada tumpukan perkamen yang belum diperiksanya. Satu lengannya terulur enggan mengambil gulungan paling atas.
"Aku harus membiasakan diri karena sebentar lagi saudaraku ini akan menjadi raja," goda Claude sembari mengulas senyum samar. Akan tetapi, kelakarnya sama sekali tak menularkan tawa kepada Archibald dan Claude segera saja menyadari situasi itu. "Berhentilah kalau kau sudah merasa lelah. Kau masih punya waktu untuk berpetualang ke Fairyhill atau sekadar mengunjungi seorang gadis di Fairyfarm." Claude menuding gulungan perkamen di genggaman Archibald sembari menaikkan alis.
"Chiara?" Archibald mendadak menghentikan kegiatannya. Tangannya yang hendak membuka gulungan perkamen seolah kehilangan tujuan. Frasa seorang gadis di Fairyfarm yang diucapkan Claude sontak membuatnya teringat pada Chiara. "Apa yang harus kukatakan padanya," gumamnya pelan, sementara netranya terpaku pada meja batu, mencari jawaban dari permukaannya yang dingin.
Claude berdeham. "Aku .... sudah menyampaikannya pada Chiara," jawabnya berhati-hati.
Archibald mengangkat wajah, membelalak. "Apa?"
"Dia harus tahu yang sebenarnya, meski itu mungkin terdengar pahit baginya."
Archibald mengembuskan napas keras-keras. Entah mengapa, seketika dadanya terasa panas. "Jangan ikut campur, Claude!" bentaknya setelah menyingkirkan satu perkamen dengan kasar dari meja pualam. Namun, sesaat kemudian ia begitu menyesali tindakannya dan menatap Claude dengan canggung. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud---" Archibald merasa begitu gamang sekarang. Ia marah, tetapi pada kenyataannya, yang Claude lakukan justru telah membantunya.
"Aku tahu." Claude menyambar cepat. Ekspresinya sama sekali tidak berubah seolah Archibald tidak pernah membentaknya. "Aku tahu akan sangat sulit bagimu untuk menyampaikannya sendiri pada Chiara. Jadi, aku berinisiatif membantumu sebagai saudara. Aku minta maaf jika ternyata tindakanku terlalu lancang."
Mendengar jawaban Claude, Archibald hanya dapat menunduk lesu. Claude benar tentang ucapan dan tindakannya. Claude juga benar bahwa ia mungkin tidak akan sampai hati untuk memberitahukan berita itu pada Chiara, gadis manusia yang telah dijemputnya untuk menjadi pendamping hidup. Akan tetapi, keadaan Fairyverse pasca hancurnya Hutan Larangan dan keputusan Kerajaan Avery benar-benar membuat Archibald terjebak. Pikirannya begitu kalut hingga rasanya tak tahu tindakan apa yang harus diambilnya untuk tetap menjadikan Chiara pendamping hidup. Sementara, di sisi lain, ia tidak ingin mengecewakan Chiara apa pun alasannya. Jadi, apa yang harus dilakukannya? Dapatkah ia mendapatkan keduanya? Membuat Chiara dapat mendampinginya di atas singgasana?
Archibald bahkan belum memikirkan hal-hal itu. Tidak, sebelum Claude datang dan menyinggung tentang tindakannya. Namun, kini, pertanyaan-pertanyaan tentang itu memenuhi kepalanya, berkelindan bagai jaring-jaring kusut yang sulit ditemukan ujung dan pangkalnya. Lalu, terlintaslah pertanyaan paling mengerikan yang sesungguhnya tak ingin ia pikirkan. Bagaimana jika pada akhirnya ia tidak dapat mempertahankan Chiara di sisinya? Bagaimana jika dirinyalah yang melanggar janji yang telah diikrarkannya pada Chiara?
Pikiran Archibald semakin kalut. Kunjungannya ke kediaman Albert tempo hari pun sama sekali tidak membuahkan solusi, sementara waktu pengukuhannya semakin dekat. Apa yang dapat dilakukannya untuk mencegah semua kengerian itu terjadi?
Selagi Claude dan Archibald sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing, sesosok sentinel tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruangan yang nyaris dipenuhi oleh kitab dan gulungan perkamen tersebut. Wajahnya kalut dan pucat, sementara napasnya sedikit memburu dan tak beraturan. Suara sol sepatunya memantul-mantul dengan panik ke seluruh penjuru ruangan yang didominasi oleh kaca itu. Setelah berdiri di hadapan kedua pangeran peri tersebut, sosok sentinel itu tak kunjung buka suara untuk beberapa saat lamanya.
"Ada apa?" Claude sontak berdiri, tatapannya jatuh pada jari-jari sentinel yang gemetaran dan saling bertaut.
Peri berbaju zirah yang hanya menampakkan wajah dan telapak tangan itu tertunduk, ketakutan. "Avery diserang, Yang Mulia!" jeritnya setelah susah payah melawan termor.
"Apa?!" Archibald yang telah berdiri refleks menggebrak meja pualamnya. Beberapa gulung perkamen yang terletak pada tumpukan teratas jatuh menggelinding sebelum membentur lantai.
Tanpa menunggu jawaban dari sentinel yang masih berjuang mengenyahkan ketakutannya, Archibald dan Claude lantas bergegas meninggalkan ruangan. Kata-kata pengaduan jika Avery diserang sudah cukup menggerakkan lengan mereka untuk menghunus pedang, bersiap melibas apa pun yang datang menghadang.
***
Di luar istana utama, Archibald melihat para sentinel lalu lalang dengan gusar dan panik. Serpihan batu dan semen yang hancur dan menghitam terlihat berserakan, juga panah-panah bermata api yang pastinya ditembakkan dari luar benteng bergelimpangan di sana sini. Namun, sejauh mata memandang tidak terlihat satu pun sentinel yang terluka. Meski demikian, wajah-wajah para garda terdepan Avery itu diliputi kegamangan.
Archibald mengambil sebilah anak panah yang ujungnya terlihat masih menyala lalu mengamatinya. Matanya memicing memperhatikan asap hitam tipis yang mengepul dari sisa nyala api yang dalam sekejap kemudian ditiupnya. "Apakah ini ulah para Unsheelie?" gumamnya pada diri sendiri.
Claude yang sedari tadi diam mengamati ternyata mendengarnya. "Kita tidak bisa memastikannya karena tidak ada jejak sihir hitam yang digunakan," komentarnya. Pangeran peri bersurai gelap itu menyisir sekitar dengan pandangannya, mencari jejak sihir hitam dengan aura dan bau yang kentara berbeda dengan sihir yang dimiliki kebanyakan peri Sheelie. Akan tetapi, seperti dugaannya semula, ia tak menemukan apapun yang berbeda.
"Kau benar." Archibald menyetujuinya lalu melempar anak panah itu ke sembarang arah. Ia berjalan cepat ke arah gerbang yang memisahkan komplek istana utama dengan halaman yang terbentang di dalam benteng. Salah satu rumah cendawan yang terletak paling dekat dengan dinding benteng terlihat hancur dan terbakar. Anak-anak panah api terlihat menancap pada sisa-sisa bangunan yang tak dilahap api. Asap kelabu tipis menguar dari sana-sini di antara bongkahan yang memendam bara.
Beberapa sentinel dengan wajah pucat, dipenuhi keringat berlarian masuk dari pintu benteng yang sedikit terbuka. Salah satu di antaranya menutup cepat pintu darurat yang baru saja dilewati. Samar-samar terbawa angin, suara gaduh terdengar dari balik pintu itu yang sontak mengusik Archibald dan Claude. Kedua pangeran peri itu kini saling tatap seolah melempar tanya dan jawab dalam diam.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Claude berteriak lantang pada salah satu sentinel itu.
Setelah susah payah mengatur napas dan berupaya meredakan termor, sentinel itu akhirnya buka suara. "Sekelompok peri berpakaian hitam menyerang. Jumlah mereka tidak banyak, te-tetapi mereka memiliki makhluk mengerikan itu .... monster itu muncul!" teriaknya gelagapan.
"Monster?!"
"Hanya sihir hitam yang dapat mendatangkan monster," tukas Claude menganalisis jawaban si sentinel. Pandangannya lantas beralih pada gerbang benteng yang kembali terbuka. Kali ini, lebih banyak sentinel masuk berbondong-bondong, setengah berlari. Beberapa di antaranya bahkan terlihat terluka. Sesuatu yang buruk atau mengerikan sepertinya benar-benar meneror mereka di luar sana.
Archibald dan Claude sekilas bertukar pandangan membelalak. Dan, tanpa berkata-kata keduanya langsung berlari menyerbu pintu benteng seraya mengabaikan teriakkan peringatan dari para sentinel.
Suara raungan serigala serta merta menyambut pendengaran kedua pangeran peri untuk pertama kali, sementara sosok makhluk mengerikan itu masih berlindung di balik blokade para sentinel. Dalam jarak yang semakin dekat, barulah Archibald dan Claude melihat beberapa sentinel terlihat tengah berjuang menghadang sesosok makhluk besar yang menyerupai serigala dengan sepasang mata bercahaya ungu. Archibald dan Claude langsung menyadari situasi yang mereka hadapi. Tidak ada para penembak panah di balik benteng, atau barangkali para peneror telah pergi, selain satu-satunya sosok besar yang mengaum liar penuh kemarahan. Dari cahaya ungu yang berpendar di sepasang netra itu, mereka tahu jika makhluk itu sedang berada di bawah sihir hitam, sihir para peri Unsheelie.
"Direwolves jadi-jadian!" desis Claude. Geram bercampur ngeri berpadu dalam suaranya. Ia begitu mengenali warna ungu yang merupakan jejak sihir hitam yang paling kentara, terutama setelah beberapa kali penyerangan dari Unsheelie ketika Raja Brian masih berkuasa.
Archibald menoleh pada saudaranya sekilas, setelah menghunus pedang sihir dari sarungnya. "Kau bisa mengembalikan makhluk itu ke sosok aslinya?"
"Sebenarnya, aku belum ... Aku hanya fokus pada mantra penyembuhan, bukan penghilang kutukan," sahut Claude gugup. Ia turut menghunus pedang dengan tangan gemetar. Namun, tentu saja, permainan pedang Claude bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan.
"Oh, astaga, Claude! Bukankah makhluk ini juga perlu disembuhkan dari sihir hitam," gerutu Archibald. Jawaban Claude benar-benar mengecewakan. Untuk itu, bagi Archibald, tak ada pilihan lain selain membunuhnya.
"Sudahlah!" Archibald lantas merangsek maju sembari mengayunkan bilah pedangnya dari arah samping, sementara direwolves berbulu abu-abu yang sedang menyerang salah satu sentinel malang dengan giginya sama sekali tak menyadari kemunculannya. Darah mengucur dari bagian bahu si sentinel yang armornya terlihat koyak. Serigala biasa tak akan mampu menancapkan taring pada armor Kerajaan Avery yang terbuat dari bahan terbaik dengan sentuhan mantra. Terbukti, betapa sihir hitam telah mengubah makhluk biasa itu menjadi monster dengan kekuatan yang lebih besar dari biasanya. Sabetan pedang Archibald pada akhirnya berhasil menorehkan segaris luka pada bulu abu-abu direwolves, diiringi lolongan makhluk itu. Sentinel malang yang semula berada di antara rahang si monster otomatis terlepas, meski tak sadarkan diri karena kehabisan darah.
Akibat serangan Archibald, serigala berukuran sangat besar itu semakin melolong kalap dan bergerak liar dengan brutalnya. Para sentinel yang semula mengelilinginya sontak menjauh guna menghindari cakar-cakar dari tangan makhluk tersebut. Luka yang berhasil ditorehkan Archibald seakan tak ada artinya. Setelah tak dapat melukai siapa pun, makhluk itu memutar pandangan dengan liar hingga berakhir menumbuk netra Archibald yang terlihat tak siap menerima balasan. Tanpa jeda, makhluk itu lantas melompat, lalu menerjang Archibald tanpa ampun, sementara sebelah cakarnya berusaha merobek wajah si calon raja.
Archibald yang telat memahami situasi diperburuk dengan kehilangan pedang sihirnya ketika berusaha menghindari cakar yang hendak menggerus lengan kanannya. Untuk menghindari cakar yang seinci lagi nyaris mengoyak kulit, Archibald mengelak hingga genggaman pada gagang pedang terlepas. Kini ia kehilangan satu-satunya senjata untuk melawan direwolves, sementara makhluk itu kembali mencakarnya dengan tangan lain.
"Yang Mulia!" Claude berteriak panik di kejauhan. Namun, jarak yang terlampau jauh membuatnya tidak mungkin mencapai Archibald detik itu juga.
Beberapa sentinel terlihat merangsek maju, tetapi kalah cepat oleh serangan sang monster. Para sentinel itu terlempar akibat terlibas ekor makhluk besar yang tengah menjadikan Archibald sebagai sandra sekaligus sasaran kemarahannya.
Akan tetapi, keajaiban terjadi. Cakar-cakar direwolves yang hampir terbenam di bibi Archibald mendadak meleset. Suara raungan kesakitan pun terdengar menusuk pendengaran. Makhluk itu melolong sejadi-jadinya, sementara lengannya menggantung di udara. Direwolves tiba-tiba roboh menghantam tanah, meninggalkan bunyi berdebum dan sekilas guncangan pada halaman di depan gerbang benteng Kerajaan Avery.
Dengan sigap Archibald menghindar, memaksa tungkainya melakukan lompatan agar tak dihimpit direwolves. Darah segar kehitaman muncrat, membasahi armor sang pangeran. Sepasang netra besar yang semula memancarkan cahaya ungu itu perlahan meredup bersama jejak kehidupan yang terpancar dari ekspresinya. Tubuh besar berbulu abu-abu itu menggelepar untuk terakhir kalinya, beberapa saat sebelum menyusut, menjadi seukuran serigala biasa. Suara lolongan jeri lantas tak terdengar lagi.
Bersamaan dengan menyusutnya sosok tersebut, Archibald dapat melihat sesosok peri laki-laki berarmor yang menggenggam sebilah tombak sihir berlumuran darah berjarak beberapa langkah. Bayangan dedaunan pohon oak yang semula menutupi wajah pemilik tombak sontak menghilang saat sosok itu bergerak maju beberapa langkah. Sosok yang telah menyelamatkannya dari amukan direwolves.
"Elwood?" Hanya itu yang meluncur dari bibir Archibald ketika mengenali sosok saudaranya. Wajah sang pangeran peri menunjukkan ekspresi terkejut yang begitu kentara.
Salah satu sudut bibir Elwood tertarik. "Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" tanyanya pelan dengan nada formal yang sangat mengganggu bagi Archibald.
Sang putra mendadak kehilangan kata-kata, hampir satu purnama ia tak melihat keberadaan Elwood di manapun, di segenap penjuru Avery. Kini, saudaranya itu menampakkan batang hidung untuk pertama kalinya, menyelamatkannya. Akan tetapi, melihat Elwood dengan sebilah tombak sihir di dalam genggaman, entah mengapa, lagi-lagi membuat Archibald terganggu. Namun, di sisi lain, ia juga merasa lega karena pada akhirnya, Elwood telah kembali. "Terima kasih karena telah menyelamatkanku," sahutnya sembari mengangguk takzim.
Pontianak, 17 Desember 2021 pukul 22.05 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top