14. The Savior
Sudah lama Chiara tidak memimpikan neneknya di dunia manusia. Begitu ia melihat wajah tua dengan sorot simpati itu muncul dari alam bawah sadarnya, Chiara merasakan kerinduan yang begitu membuncah. Dadanya terasa penuh dan sesak, hingga pada akhirnya air mata meluruh di pipi, meninggalkan jejak basah yang berkilauan di bawah pantulan cahaya matahari. Chiara sedang berada di sebuah belantara lebat nan hijau. Garis-garis cahaya matahari menerobos dari celah ranting dan dedaunan yang menaunginya seumpama kanopi. Sepotong langit biru pucat memberikan ruang bagi Chiara untuk merasakan sedikit kenyamanan. Tempat itu asing dan sang nenek berdiri tak lebih dari dua meter di hadapannya.
Setelah lama bertatapan dalam diam, wanita paruh baya dengan pakaian khas rumahannya yang terdiri dari sepotong sweater abu-abu dengan rok lipit berwarna senada itu tersenyum. Wajahnya yang disorot matahari pagi seolah bercahaya. Titik-titik debu bertebangan di sekitarnya seumpama serbuk peri yang bertebaran di udara. Sosok neneknya terlihat begitu magis sekaligus begitu nyata.
"Nenek." Suara Chiara bergetar dan parau. Tangis telah merenggut ketegaran dalam suaranya yang biasa. Dadanya yang sesak perlahan-lahan melonggar. Rasa rindu yang ditanggungnya kian nyata, meski Chiara tahu jika semua ini hanyalah mimpi.
Senyum wanita itu kian lebar. Kedua tangannya terbuka seolah menawarkan sebuah pelukan.
Chiara yang semula berada dalam posisi duduk bersimpuh segera berdiri. Rasa sakit yang hampir di sekujur tubuh berdenyut-denyut sehingga menghambat pergerakan Chiara. Gadis itu jatuh kembali dengan air mata yang tak terbendung.
"Kau terlihat lebih kurus dari yang kuingat terakhir kali, Chiara," ucap wanita itu lembut. Suaranya halus dan tenang.
Ketenangan dan kedamaian yang seketika dibawa oleh suara sang nenek, membuat tangis Chiara perlahan-lahan mereda. Wajah sembabnya menengadah kepada wanita itu dengan penuh harap. "Aku merindukanmu, Nek. Aku sangat merindukan Nenek. Segala hal ini ... terlalu berat untukku. Aku ingin kita kembali ke Cottingley, bersamamu, dan menghabiskan hari-hari biasa kita yang stagnan dan seterhana," sembur Chiara. Kata-kata itu seolah-olah telah mengendap lama di dalam benaknya, menantikan waktu dan orang yang tepat untuk terucap.
Sang nenek memiring kepala, sementara ekspresinya bertambah iba. "Aku percaya, kau akan baik-baik saja, Chiara."
"Tapi, nyatanya aku tidak baik-baik saja. Aku sendirian. Aku terasing. Aku bahkan tidak di Cottingley."
"Bagaimana dengan Archibald?"
Pertanyaan sang nenek sukses membuat sepasang netra Chiara membulat sempurna. Keluh kesah yang masih akan disemburkan Chiara mendadak menguap begitu saja. "Bagaimana nenek mengetahuinya?"
Wanita paruh baya itu tersenyum. Entah bagaimana wajah tuanya mendadak terlihat sempurna, kerutan di wajahnya seolah memudar. Chiara berpikir jika sang nenek terlihat begitu berbeda, begitu bahagia dan damai. Apakah kematian memang bisa memberi kedamaian dan kebahagiaan?
"Nenek memang tak di sisimu lagi, tetapi Nenek selalu mengawasimu dari kejauhan," jawab wanita itu dengan nada suara yang tidak berubah. "Kita memang sering berkeluh kesah saat menghadapi sebuah tantangan, bukan? Akan tetapi, bayangkan jika suatu saat kelak tantangan itu telah berhasil kita lewati, kita tidak akan mengingat kesusahan serta rasa sakitnya lagi. Kita bahkan akan mengenangnya dengan penuh kebanggaan."
"Tapi, aku ...."
"Dengar, Sayangku. Semua memang terasa berat dan menyakitkan saat kau mengalaminya. Akan tetapi, kelak, ketika kau telah melewatinya, kau akan menjadi lebih kuat. Ingatlah, apa yang tidak bisa membunuhmu akan membuatmu bertambah kuat."
Chiara tersedak tangis. Kata-kata sang nenek benar-benar menyentuh hingga ke relung hatinya yang terdalam. Namun, pikirannya masih berkabut hingga masih sulit menemukan hikmah yang dapat menguatkannya detik itu juga. Chiara hanya fokus pada rasa rindu yang memenuhi dadanya. Ia menginginkan pelukan sang nenek, sekali saja, agar langkahnya lebih tegar.
Dengan tangan gemetaran dan pipi yang berurai air mata, Chiara merentangkan kedua lengannya. Sepasang tungkainya yang ngilu, diseretnya paksa mendekati wanita paruh baya yang berdiri di bawah cahaya. Akan tetapi, semakin Chiara bergerak mendekat, sosok sang nenek justru semakin jauh, seolah tak tergapai.
"Nenek, peluk aku!" Chiara tergugu. Dadanya sesak, sementara air mata tumpah-ruah hingga menitik pada gaun yang dikenakannya. Wanita paruh baya di hadapannya perlahan-lahan mendekat, senyumnya mengembang ketika kedua lengannya terentang untuk mendekap Chiara. Akan tetapi, anehnya, sosok sang nenek perlahan-lahan kian memudar, bersamaan dengan jarak yang terkikis di antara mereka. Sosok itu menghilang, tepat saat Chiara melengkungkan lengannya untuk memeluk udara kosong.
***
Chiara terkesiap hingga refleks membuka kelopak matanya. Pemandangan ruangan asing berwarna cokelat dengan langit-langit rendah seketika menyambut penglihatannya. Aroma herbal yang memenuhi udara hangat di sekitar tempat itu seketika menusuk penghidu Chiara hingga gadis itu terbatuk kecil.
Dengan linglung, Chiara menurunkan sepasang tungkainya dari dipan kayu yang ternyata menjadi alasnya berbaring. Ngilu merambati sepasang kaki Chiara dari paha hingga turun ke jari-jari. Ada yang salah dengan tubuhnya, dan tentu saja, ada yang salah dengan tempat di mana ia berada saat itu.
Gadis itu memandang sekelilingnya dengan perasaan hampa, sementara benaknya masih dipenuhi wajah sang nenek yang begitu dirindukannya. Kamar kayu itu hanya memuat dipan tempatnya berbaring dan sebuah meja persegi panjang yang bersandar pada dinding. Di atas meja tersebut, sebuah mangkuk perak terlihat mengepulkan asap panas, dari sanalah aroma herbal kuat itu berasal. Sementara, nyaris di seluruh sisi dinding yang tanpa perabot ditutupi oleh sulur-sulur tanaman merambat. Belum sempat Chiara memperoleh pemahaman mengenai tempat ia berada saat ini, bulir-bulir air mata mulai menetes turun ke pipinya. Chiara terisak. Dadanya kini terasa sesak oleh rindu, sementara benaknya dipenuhi tanya. Pandangannya lantas menumbuk pada sebuah pintu kayu yang celahnya sedikit terbuka.
Tanpa berpikir panjang, Chiara menurunkan kakinya menjejak lantai tanah padat, lalu berusaha berjalan menuju ambang pintu. Sesuatu yang sedikit tajam menusuk-nusuk permukaan telapak kakinya, barangkali kerikil yang bersembunyi di dalam gundukan tanah, Chiara tak begitu yakin. Di dalam benaknya kini, selain dipenuhi sisa-sisa mimpi samar, juga keinginan untuk mencari jalan keluar. Meski Chiara ditempatkan dalam semacam kamar pengobatan, dan nyatanya beberapa luka di tubuhnya terlihat dibubuhi campuran tanaman, ia tidak dapat mengenyahkan was-was yang mengganjal hatinya. Akan tetapi, baru dua langkah menjauhi pembaringan, Chiara dengan cerobohnya tersandung kaki sendiri. Chiara yang limbung akhirnya jatuh menelungkup di atas lantai tanah dan tanpa sadar meloloskan ringisan yang mungkin saja terdengar keluar bilik.
Suara derap kaki yang lincah dan ringan serta gesekan kain kasar terdengar mendekati bilik. Seseorang, barangkali sosok yang merawatnya tengah bergegas untuk mengecek keadaannya. Dengan was-was, Chiara berdiri di atas sepasang tungkai yang gemetaran. Denyut samar berkedut dari betisnya yang menghantam lantai, lalu menjalar menuruni betis. Chiara benar-benar tidak berdaya jikalau harus berhadapan dengan siapa pun yang tengah menjadikannya tawanan sekarang. Gadis manusia itu susah payah membuka kakinya membentuk sebuah kuda-kuda, sementara sepasang netra hijaunya melotot pada ambang pintu yang masih setengah tertutup.
Engsel pintu berderit pelan, kemudian sosok peri laki-laki kecil berpakaian serba hitam berdiri di ambangnya dengan tatapan tajam.
"Kau?!" Chiara tak dapat menahan keterkejutannya. Namun, di sisi lain, kelegaan seketika merayapinya setelah mengenali sosok yang tidak akan menyakitinya. Kuda-kuda yang dibangunnya telah goyah, sementara Chiara menyandarkan sebelah lengannya pada dinding kayu untuk menopang tubuh.
"Apa yang akan kau lakukan?" Peri laki-laki itu bertanya dengan suara serak khas remajanya. Kewaspadaan yang tersirat pada bola matanya setiap kali mereka bertemu telah hilang sepenuhnya. Wajah lumus itu justru terlihat khawatir.
Chiara tidak yakin. Ia memandang sekeliling bilik itu sekali lagi, sebelum bertemu pandang dengan ...... "Kita ada di mana?" tanyanya dengan suara gemetar.
Bocah peri itu menelengkan kepalanya sekilas, meneliti ekspresi Chiara, lalu mendekat beberapa langkah. Ia berhenti pada jarak yang sama sekali tak membuat Chiara terintimidasi. "Kau sepertinya sudah baikan," ucapnya, sama sekali tak menjawab pertanyaan Chiara.
"Tapi, kita di mana? Aku harus pulang." Chiara menekankan setiap kata-katanya. Pandangannya memburam. Sesuatu mendesak tenggorokannya. Chiara nyaris meledak, tetapi berupaya menahan diri sekuat tenaga.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja dari tempat ini, sebelum pengobatanmu selesai. Ibu tidak akan mengijinkanmu pergi begitu saja. Lagi pula, kau telah tidak sadarkan diri selama tiga hari."
"Apa maksudmu?" Kegusaran Chiara memuncak. "Tidak. Aku harus segera kembali ke Fairyfarm. Ayah dan ibuku pasti sangat khawatir sekarang. A-aku baik-baik saja." Chiara melepaskan lengannya dari dinding yang menopang tubuh dalam gerakan yang terlampau cepat. Alih-alih, dapat berdiri tegak sebagaimana dugaannya, Chiara justru nyaris ambruk lagi.
Dengan gerakan refleks yang gesit, bocah peri itu telah berada di sisinya, menahan bobot tubuh Chiara dengan mencengkeram sebelah lengan. Berkat ketangkasan serupa itu, Chiara terselamatkan dari kembali jatuh terpuruk di lantai, meski lengannya berkedut nyeri. Bocah unsheelie ini memiliki kekuatan di atas rata-rata makhluk fana seperti Chiara.
"Terima kasih," ucap Chiara sembari menarik lengannya karena cengkeraman .... nyaris terasa seperti cakaran. Lagi pula, tubuhnya telah kembali seimbang dan menapak tegak di atas lantai tanah. Chiara tidak akan terburu-buru lagi, mengingat dirinya baru pulih, tetapi keinginan untuk segera pergi dari tempat asing itu masih memenuhi benaknya.
"Kau terkena racun dari bilah senjata unsheelie. Kau seharusnya tidak meninggalkan tempat ini dulu karena kata ibu, racunmu belum sepenuhnya keluar dari tubuh fanamu," jelas bocah peri itu dengan nada tajam. Wajahnya tanpa ekspresi, sementara sepasang netra gelapnya menatap waspada pada Chiara.
Alih-alih memberi kelegaan, ucapan bocah peri itu justru membuat Chiara semakin gusar. Namun, ia tak ingin bertindak gegabah lagi. Dengan langkah pelan, Chiara kembali duduk di sisi pembaringannya sembari memeluk kedua lengan dengan canggung. Pandangannya kembali menyisir tempat itu seolah tengah mencari petunjuk. Lalu, pandangannya kembali terpaku pada bocah unsheelie yang mematung di sisi pembaringannya. "Siapa namamu?" tanya Chiara sebelum mengutaran semua tanya yang bergelanyut di kepalanya. Meski bocah peri itu adalah kaum unsheelie, Chiara merasa jika ia dan ibunya berbeda. Barangkali dengan sedikit membangun kedekatan, ia dapat segera kembali ke Fairyfarm.
Bocah peri itu tampak mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Keraguan seketika membayang pada kegelapan di bola matanya.
"Baiklah, aku tidak perlu nama jika kau merasa tidak ingin mengatakannya. Bagaimana aku harus memanggilmu?"
Atmosfer ketegangan yang semula melingkupi bilik kayu kecil itu perlahan-lahan memudar. Bocah peri itu berdeham parau. "Kau bisa memanggilku Alfa," jawabnya dengan nada yang lebih bersahabat untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu.
Chiara mengangguk pelan, sedikit lega, yang tidak berarti apa-apa. Dadanya masih terasa sesak karena mengkhawatirkan Ella dan Ailfryd yang pasti sangat panik karena tak dapat menemukannya sekarang, terlebih karena telah tiga hari ia tidak kembali ke rumah cendawan. Mereka pasti telah mencarinya ke banyak tempat. Mungkinkah mereka mencarinya sampai ke Avery? Apakah Archibald telah mendengarkan berita jika dia mendadak hilang? Bagaimana reaksinya? Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala Chiara saat itu tanpa sadar membuatnya mendengkus keras.
"Dengar, Manusia, kau tidak bisa ke mana-mana saat ini jika kau ingin tetap hidup, karena mereka sedang mencarimu!" Alfa memperingatkan. Bocah peri itu kini melipat kedua lengannya di depan dada.
Chiara mendengkus keras sekali lagi, menunjukkan protes terhadap aturan Alfa. "Namaku Chiara, katanya. Sedetik kemudian kernyit samar muncul di keningnya. "Mereka siapa?"
"Para pemberontak unsheelie. Mereka mengira kau adalah seorang mata-mata dari Avery. Jadi, mereka sudah pasti akan membunuhmu jika menemukanmu."
Wajah Alfa tak menunjukkan ekspresi takut setitik pun ketika menyebut frasa 'membunuh', dan hal itu sangat mengganggu Chiara. Bagaimana pun, Alfa adalah seorang bocah, terlepas identitasnya sebagai peri unsheelie. Di mata Chiara, bocah adalah bocah, yang seharusnya memiliki pikiran kekanakan serta rasa takut. Akan terapi, Alfa nyatanya tak terlihat seperti bocah dalam asumsi Chiara, dari sisi mana pun.
Chiara menggeleng seraya mendesah pelan. "Aku bukan mata-mata. Aku hanya sedang tersesat."
"Tidak ada yang akan memercayai alibimu, Manusia," bantah Alfa sengit.
"Berhentilah menyebutku begitu. Aku punya nama. Cukup panggil aku Chiara. Lantas mengapa kau dan ibumu mempercayaiku?" tanya Chiara sebagai serangan balik.
Alfa terdiam mendengar pertanyaan itu. Mulutnya membuka sedikit, tetapi tak mengatakan apa pun. Beberapa detik berlalu hingga bilik itu terasa hening. Gemerisik dedaunan dibelai angin terdengar di kejauhan, terbawa angin yang menyusup pada celah-celah dinding kayu bilik yang renggang. Dan, bebauan herbal itu masih tercium begitu kuat hingga membuat Chiara nyaris tersedak. Lalu, engsel pintu kembali berderit, terbuka lebih lebar hingga sesosok peri perempuan bertudung abu-abu berdiri di ambangnya. Sosok itu mendongak, menatap Chiara dengan netra ungunya.
"Kami tidak mempercayaiku, meskipun kau bukan kaum sheelie, tapi kau berasal dari kediaman salah satu dari kaum mereka," sahutnya sembari melangkah masuk. Sebelah tangannya menggenggam mangkuk Kuningan yang mengepulkan asap putih tipis, yang merupakan sumber dari bebauan herbal aneh yang mengusik penghidu Chiara. Gaun panjang hitamnya yang menyapu lantai tanah menimbulkan bunyi menggerus samar. Kemudian, dia melanjutkan ucapannya. "Kami hanya ingin membalas budi. Kau telah menyelamatkan nyawa anakku waktu itu dan aku akan menyelamatkan nyawamu kali ini."
"Tapi kenapa? Kalian tidak berhutang apa pun padaku." Chiara menekan kata-kata terakhirnya.
Peri perempuan itu mendekatinya dalam langkah-langkah teratur dan terukur. Pada jarak tertentu, yang tak lebih dari satu lengan peri dewasa, dia berhenti, lalu mengulurkan mangkuk Kuningan di genggamannya ke arah Chiara. Dia tak mengucapkan apa pun. Barulah dari jarak sedekat ini, Chiara dapat melihat jelas sepasang netra ungu miliknya yang terlihat kosong. Sosok itu memang menatap nyaris ke arahnya, tetapi sepasang netra yang seolah tak memiliki cahaya kehidupan itu tidak menatap tepat padanya. Peri perempuan itu tidak dapat melihat.
"Dasar gadis manusia keras kepala," gerutunya. Namun, sedetik kemudian dia melanjutkan kata-katanya dengan sebuah fakta yang benar-benar membuat Chiara terkejut. "Aku melihat sesuatu yang berbeda padamu. Sesuatu yang besar. Sesuatu yang akan menyelamatkan bangsa kami."
Pontianak, 25 Mei 2022, pukul 15:13 WIB
Terima kasih banyak kepada para pembaca setia kisah ini. Aku kembali setelah sekian lama stuck muehehe ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top