13. Hidden Side of Fairyfall
Chiara refleks menghindar dari cekalan yang menyasar pundaknya. Kakinya melangkah mundur hingga jatuh terduduk di atas semak belukar.
Dua sosok peri elf berjubah hitam dengan surai gelap digerai menyeringai kepadanya seolah mendapatkan buruan empuk. Satu di antaranya duduk berjongkok, mendekati Chiara dengan raut intimidatif. "Sheelie dengan bau menyengat yang cukup aneh," tuturnya lebih kepada diri sendiri. Sepasang netra ungunya meneliti Chiara lekat-lekat seakan tengah menimbang sekaligus menilai sesuatu.
"Tidak. Bukan," sahut Chiara tergagap. Keberanian dan rasa penasaran yang semula memenuhi benak Chiara saat berhadapan dengan si bocah peri unsheelie telah menguap seketika. Berhadapan dengan dua sosok unsheelie dewasa bertubuh kekar memberi sensasi berbeda serta ancaman yang nyata. Tiba-tiba Chiara merasa sangat menyesal karena telah dengan lancang dan ceroboh memasuki wilayah yang seharusnya terlarang baginya. Akan tetapi, nasi telah menjadi bubur. Penyesalan datang setelah bahaya membayang di pelupuk mata.
"Apa menurutmu dia mata-mata dari Avery?" Peri laki-laki yang berjongkok di hadapan Chiara menelengkan kepala, bertanya kepada rekannya tanpa mengalihkan pandang dari gadis manusia yang terperangkap itu.
"Aku tidak yakin. Dia terlihat terlalu lemah untuk menjadi mata-mata," sahut rekannya. Tawa meremehkan tercetus di ujung kalimat. Namun, tawa itu berganti senyap ketika ia mulai mengamati Chiara dengan lebih seksama. "Tapi, tidak ada salahnya untuk bersikap waspada."
"Kau benar. Sheelie terlalu sering menipu hingga seharusnya tidak boleh dipercaya."
"Jadi, haruskah kita bawa dia ke perkemahan?" Peri laki-laki yang berdiri di samping rekannya lantas menghunus sebilah pedang panjang. Bilah tajamnya mengarah ke leher Chiara dengan hanya menyisakan beberapa ruas jari saja sebagai jarak.
"Dan, membiarkan dia tahu lebih banyak?"
Suara tawa meremehkan sekali lagi tercetus dari salah satu unsheelie. "Barangkali hal itu bisa menjadi alasan untuk menghabisi nyawanya, bukan?"
"Bukankah unsheelie tidak perlu alasan untuk membunuh!"Oliver dan peri laki-laki rekannya tertawa serempak. Seketika, belantara yang semula hening dipenuhi suara tawa meremehkan.
Chiara tersentak. Tubuhnya menegak waspada sebagai respons. Gadis manusia itu sangat ingin menghindar, bergerak mundur, lalu berlari menerobos semak renggang di belakangnya. Namun, alih-alih bergerak sebagaimana bayangan dalam kepalanya, Chiara justru bergeming. Tubuhnya gemetar hebat, sementara rasa takut merambat perlahan di sekujur tubuhnya. Suasana di dalam belantara liar Fairyfall itu sama sekali tidak panas, bahkan cenderung gelap dan lembab karena dinaungi pepohonan besar, tetapi anehnya keringat malah membanjiri pelipis Chiara.
"Ti-tidak. Tu-tunggu dulu. Aku bukan mata-mata. Aku hanya tersesat di sini," ucap Chiara terbata-bata, sesekali netranya mengerling pada mata pedang yang terlihat semakin mendekat dengan batang lehernya. Tenggorokan Chiara terasa kering hingga sulit meloloskan kata-kata.
Peri Elf berwajah tirus yang masih berjongkok di depan Chiara menyeringai licik. "Bukan mata-mata katanya, heh? Kau percaya itu Oliver?"
"Tersesat di belantara liar Fairyfall? Yang benar saja! Tidak ada yang percaya dengan kebohongan paling mustahil semacam ini. Bahkan petualang paling berpengalaman pun belum tentu bisa menemukan tempat ini!" Peri laki-laki bernama Oliver yang tengah menghunus pedang itu tidak terlihat senang. Dengan rahang yang mengetat geram, didorongnya bilah pedang itu hingga menyentuh kulit leher Chiara.
Rasa dingin dan bilah tajam segera Gadis manusia itu refleks menjerit, memecah hening belantara Fairyfall hingga beberapa ekor burung liar terbang berhamburan dari sarang tersembunyinya. Setetes darah segar mengalir di kulit lehernya akibat tekanan bilah pedang Oliver.
Untuk beberapa saat lamanya, Oliver dan rekannya tertegun melihat darah yang menetes di ujung pedang seolah menyadari anomali dari sosok yang baru saja mereka lukai. Namun, hanya sesaat, ekspresi wajah Oliver lantas berubah diliputi amarah, sesuatu yang tak kasat mata menyulutnya. "Sekarang katakan yang sebenarnya, siapa yang mengutusmu?!" hardiknya. Sepasang netranya berkilat marah.
Chiara menggeleng gugup. Ia ingin membantah, tetapi ketakutan membuat tenggorokkannya tercekat. Luka gores di lehernya terasa nyeri dan berkedut-kedut.
Tiba-tiba sebuah anak panah melesat, menyasar pergelangan tangan Oliver, tetapi luput mengenainya. Mata peraknya yang tajam berakhir menancap di tanah, tepat di samping Chiara. Gadis itu menjerit sekali lagi dan refleks menggeser tubuhnya. Pedang Oliver yang semula menjadi ancaman lehernya telah terpelanting ke sisi lain, sementara peri laki-laki itu memaki seraya menoleh ke arah datangnya anak panah.
"Peri perempuan itu rupanya membawa pengunjung lain," komentar rekan Oliver seraya meludah dengan jijik ke tanah di bawah pijakannya. Ia telah mendahului Oliver dengan lari beberapa langkah ke arah datangnya anak panah, tetapi ia berhenti untuk menoleh pada Oliver. "Jangan sampai peri perempuan itu kabur!"
Oliver tersentak ketika menyadari kelalaiannya, kemudian mengangguk dan berbalik ke arah Chiara. Kelalaiannya barusan telah memberi Chiara untuk kabur.
Kesempatan itu sama sekali tak disia-siakan oleh Chiara. Gadis manusia itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menendang bagian tulang kering Oliver ketika peri laki-laki untuk mendekat ke arahnya. Tendangan Chiara sukses membuat peri laki-laki itu menjerit kesakitan, kemudian refleks menekuk lututnya. Akan tetapi, Oliver pulih terlampau cepat dari yang dapat Chiara perkirakan. Dalam gerakan yang nyaris tak terlihat, Oliver justru mengayunkan sesuatu yang tajam dan dinging hingga menancap pada pundak Chiara. Gerakan cepat Oliver yang terkesan dipaksa itu, setelahnya membuat tubuh peri laki-laki itu jatuh berguling menghantam tanah, begitu Chiara bergerak menghindar secara refleks. Pada saat itulah, meski tengah kesakitan menahan nyeri akibat belati yang menancap di bahunya, Chiara berguling menjauh ke arah pedang Oliver yang tergeletak di sisi kiri.
Dengan gegas, Chiara meraih pedang itu ke dalam genggamannya lalu membalik keadaan. Bilah pedang yang bernoda darahnya sendiri diacungkannya penuh ancaman ke arah Oliver yang baru saja merasa sakitnya mereda. Chiara susah payah mengabaikan luka di bahunya yang berdenyut-denyut dan kian terasa nyeri.
"Kau ingin bermain-main denganku, hah?!" Oliver membentak seraya tertawa meremehkan.
Akan tetapi, alih-alih merasa gentar, Chiara justru balik menghardiknya. "Aku tidak pernah main-main!" jeritnya seraya mengayunkan pedang di genggaman tanpa ragu. Bilah pedang itu nyatanya berhasil menggores sebelah lengan Oliver hingga darah hitam kental memercik pada bilahnya.
Oliver meraung marah, memaki, selagi sebelah telapak tangannya mendekap luka berwarna gelap itu. Sementara, Chiara mendadak dilanda panik. Meski, pernah terlibat perang beberapa waktu yang lalu, tetapi hari-harinya di dunia manusia telah membuatnya nyaris melupakan sesi-sesi latihan bela diri singkat bersama Archibald.
Umpatan Oliver sontak membuat bayang-bayang kenangannya bersama Archibald buyar. Dengan langkah terseok, Chiara lantas berlari menjauh menerobos semak liar yang menghadang di hadapannya. Dengan pedang perak di tangan, Chiara membabat semak belukar serta ranting pohon yang menghalanginya. Beberapa meter di belakangnya, Oliver yang terluka dan tertinggal menjerit-jerit histeris sembari berupaya kembali mengejar gadis itu. Akan tetapi, Chiara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Sakit pada luka tusuk di bahunya seolah menjalar ke tangan dan tulang belakang. Bahkan, pandangannya mulai membuaram.
Satu anak panah kembali melesat, melewati lengan Chiara, membuatnya kaget bukan kepalang. Kekagetannya menyebabkan langkah goyah kakinya tersandung aral di balik rerimbunan semak ilalang. Chiara jatuh berguling pada tanah lembab belantara Fairyfall yang menurun. Meski demikian, digenggamnya erat gagang pedang Oliver seolah sedang menggenggam nyawanya sendiri.
Chiara baru saja hendak bangkit sembari melepaskan lilitan tanaman merambat pada tungkainya, ketika suara teriakkan kalap Oliver terdengar begitu dekat. Gadis manusia itu menoleh cepat untuk mendapati serangan mendadak dari si peri unsheelie. Dengan brutal, peri laki-laki itu menyerangnya dari belakang hingga Chiara kembali jatuh menelungkup menghantam tanah. Sekuat tenaga Chiara mencoba melawan, memberi pukulan agar Oliver menjauh dengan mengayunkan pedang perak yang digenggamnya. Akan tetapi, kekuatan Chiara sama sekali tak sebanding dengan tenaga Oliver. Beberapa kali Chiara harus menerima pukulan Oliver yang menyasar hidung dan keningnya.
Kesadaran Chiara mulai hilang datang dan nyeri menggerogoti sekujur tubuhnya, ketika sebuah anak panah menancap di punggung Oliver. Peri laki-laki itu melolong jeri sebelum ambruk ke sisi Chiara. Gadis manusia itu refleks bergeser menjauh, meski pandangannya berkunang-kunang dan tubuhnya kehilangan tenaga. Setelah mengatur napas dalam sepersekian detik, Chiara menyeret tubuhnya lebih jauh hingga berhasil menyandarkan punggung pada sebatang pohon Oak besar. Kepalanya berdenyut, bahunya ngilu, sementara sebelah telinganya berdenging akibat pukulan Oliver.
Dalam jarak yang tak lebih dari dua meter di hadapannya, Chiara melihat sesosok peri laki-laki bertudung abu-abu dengan sekantung anak panah di punggung sedang menyerang Oliver dengan tinjuan bertubi-tubi. Chiara tidak dapat menebak siapa gerangan sosok yang secara tidak langsung telah menyelamatkannya itu karena wajah yang dililit sehelai kain, kecuali mata biru tajamnya yang tengah fokus menarget Oliver. Untuk sesaat, Chiara dapat mengendus kelegaan yang mendadak melingkupinya, meski perasaan aman itu tak berlangsung lama. Chiara segera bersandar waspada, bersiap hendak meninggalkan tempat itu. Terlebih, ia tidak yakin siapa sosok bertudung abu-abu yang bisa jadi kawan atau lawan.
Selagi Oliver dan rekan unsheelienya menghadapi si pemanah, Chiara segera bangkit. Napasnya kini menjadi sedikit lebih teratur setelah istirahat singkat barusan, sementara rasa nyeri masih membelenggu sekujur tubuhnya. Dengan terseok, gadis manusia itu menyeret tungkainya berlari, menerobos semak ilalang yang terlihat tak terjamah tanpa mengetahui arah tujuan. Bunyi perkelahian para unsheelie tertinggal di belakangnya dengan cepat seiring langkahnya.
Namun, pelarian Chiara ternyata tak berujung jalan keluar. Alih-alih menemukan rute familier yang ditempuhnya ketika masuk ke dalam belantara Fairyfall, Chiara justru semakin dalam memasuki sisi lain belantara. Pepohonan semakin rapat, sementara sinar matahari yang menembus sela di antara dedaunan dan ranting pohon hanya berupa garis-garis cahaya samar. Makhluk-makhluk kecil berwarna mencolok mirip piie bermunculan dari dahan-dahan pohon dengan raut waspada, mengawasi pergerakannya. Suara bisik-bisik samar dalam nada rendah terdengar memenuhi belantara dalam bahasa yang tak dapat Chiara pahami.
Chiara lantas menghentikan langkah ketika menyadari jarak yang ditempuh ternyata membawanya tersesat semakin dalam. Dengan gamang, Chiara memutar tubuh, menatap sekeliling, pada pepohonan hijau yang mengungkung serta mata-mata kecil hijau menyala yang menghakimi. Makhluk-makhluk itu jelas-jelas mengawasinya dan terlihat menunggu reaksi Chiara. Untuk sesaat, keadaan tersebut membuat Chiara bergidik. Namun, dengan kondisi tubuhnya yang terluka, Chiara rasanya tak mampu mencari alternatif jalan keluar lainnya. Terlebih, kepalanya terasa semakin berat dan pandangannya mulai berkabut.
"Kau tidak seharusnya di sini!"
Sebuah teguran bernada tajam menyentak kesadaran Chiara. Gadis manusia itu kaget sekaligus gelagapan, kemudian menoleh ke arah kedatangan suara.
Di antara rerumputan setinggi dagu peri elf dewasa, sesosok peri perempuan bertudung berdiri waspada dengan tatapan tajam. Kedua lengan putihnya yang dipenuhi tato hitam simbol-simbol menyilang defensif di depan dada. Sedetik kemudian, peri perempuan bernetra ungu itu melepas tudung gelap yang menyelimuti rambutnya, barulah Chiara menyadari identitas sosok itu.
"A-aku tersesat," sahut Chiara dengan suara bergetar. Rasa sakit dan ketakutan menggerogoti benaknya yang berputar-putar. "Aku hanya ingin mencari jalan keluar."
Peri perempuan itu tak menjawab. Bibir merahnya membentuk garis lurus yang rapat dan bersudut tajam, sementara sepasang netra ungunya mengawasi setiap pergerakan Chiara. Bunyi gemerisik daun terdengar dari arah rerimbunan di belakang peri perempuan itu hingga membuatnya menoleh sekilas. Rahangnya yang mengetat terlihat sedikit mengendur tepat ketika sesosok bocah peri laki-laki berpakaian serba hitam keluar dari rerimbunan tersebut.
Bocah peri itu?
"Mengapa kau masih di sini?" tanya bocah peri laki-laki itu tajam, dengan intonasi menghardik yang begitu kentara. Wajahnya tegang, tidak jauh berbeda dengan ekspresi yang ditampilkan ibunya, peri perempuan yang kini membelalak ke arah Chiara.
"Kau sudah bertemu dengannya?" Peri perempuan itu menoleh sekilas pada putranya, masih dengan wajah garang. Kengerian terlintas samar pada sepasang netra ungunya. Chiara nyaris dapat menduga alasan masuk akal atas sikap defensif peri perempuan itu kepadanya.
Bocah peri itu tidak menjawab, tetapi mungkin hanya mengangguk samar sebagai jawaban. Pandangan Chiara yang kian buram mulai mengganggu pemahamannya.
"Kau harus pergi sekarang!" Peri perempuan itu membentaknya seraya menghunus sebilang pedang perak tanpa cahaya dari pinggangnya.
"A-aku ...." Chiara ingin menyampaikan bahwa dirinya tersesat dan membutuhkan pertolongan. Akan tetapi, alih-alih menyuarakan hal itu, Chiara merasa sesuatu membakar tenggorokkannya hingga tersedak. Darah segar lantas menyembur dari mulut Chiara, bersamaan dengan tubuh yang ambruk di atas tumpuan tulut. Pandangannya semakin buram, disertai kesadaran yang hilang datang. Citra si bocah peri dan ibunya mendadak berganti menjadi bayangan pucat yang bergerak mendekat dilatari gelapnya belantara Fairyfall. Rasa nyeri yang berasal dari bahu Chiara yang terluka telah menjalar ke seluruh tubuh, meremukkan, dan melumpuhkan setiap organ.
"Pergi dari sini sebelum mereka menemukanmu!"
"Cepat pergi!"
Pada satu titik, Chiara merasakan suara-suara itu berputar di kepala, sementara benaknya telah dipenuhi kabut. Kabut tebal berwarna kelabu cenderung hitam yang mengingatkannya pada kabut tebal Hutan Larangan. Tubuhnya menggigil hebat sesaat, diiringi sedetik rasa sakit yang mengungkungnya seolah lenyap begitu saja. Lalu, semuanya menjadi gelap.
Pontianak, 12 April 2022 pukul 09.25 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top