10. Dilemma
Archibald melangkah memasuki ruang kerjanya diiringi Claude dan Elwood yang sama sekali. Napas dan langkahnya masih terasa berat. Adegan penyerangan direwolves barusan berputar-putar di kepalanya seumpama mimpi buruk yang tak kunjung enyah, meski telah membuka mata. Pun luka-luka yang dideritanya memendarkan rasa sakit berdenyut-denyut, membuat adegan di dalam kepalanya terasa lebih nyata. Pemberontakan-pembetontakan itu nyata dan para Unsheelie terbukti masih ada meski sang ratu kegelapan dan antek-anteknya telah diasingkan ke Faeseafic. Selamanya Kerajaan Avery tidak akan tenang jika para Unsheelie yang masih bersembunyi, entah di mana, tidak segera ditumpas. Akan tetapi, apa yang harus ia lakukan?
"Yang Mulia." Teguran Claude segera menarik Archibald dari lamunan yang nyaris menenggelamkannya. "Aku akan mengobati luka Anda." Claude segera duduk, setelah Archibald duduk di meja kerjanya di hadapan setumpuk perkamen. Di belakangnya, Elwood melakukan hal serupa dalam diam.
Archibald mendengkus seolah baru menyadari jika ada kedua saudaranya di sisi yang telah membangunkannya dari mimpi buruk. Namun, alih-alih merasakan kelegaan, sapaan Claude justru kembali mengusiknya dengan cara yang berbeda. "Berhentilah memanggilku seperti itu, Claude. Aku merasa terbebani," cetusnya. Ia lantas mengulurkan lengan ke arah Claude dengan tampang memberengut, sementara sang peri penyembuh membubuhkan serbuk peri pada luka tersebut. Seperti biasa, luka-luka yang tak begitu kentara segera menutup sempurna, bahkan sebelum Archibald mengedipkan kelopak matanya.
"Anda harus terbiasa dengan itu, Yang Mulia." Elwood meletakkan panah serta busurnya di atas batu marmer hadapan mereka, lalu memeriksa lengannya sendiri mencari luka tersembunyi. Ia bahkan mengabaikan tatapan protes Archibald yang menelisiknya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Kau juga mau ikut-ikutan?" Archibald tak dapat membendung kekecewaannya. Akan tetapi, ekspresinya lantas berubah lebih santai saat menyadari jika telah lama ia tak bersua dengan Elwood. Perkara panggilan 'Yang Mulia' tentu menjadi hal yang tidak seharusnya dibahas dalam pertemuan langka antar saudara seperti ini. "Bagaimana kabarmu, Elwood?" tanyanya dengan intonasi yang lebih lembut.
Elwood menarik sudut-sudut bibirnya, mengangkat wajah sekilas untuk bertemu pandang dengan Archibald. "Maaf, Yang Mu- eh, maksudku Archibald. Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat," sahutnya enteng. Satu lengannya yang terulur bermain-main dengan ukiran yang menghiasi permukaan busur.
Di mata Archibald, Elwood rasanya tampak begitu berubah. Wajah barparas lembut yang sedikit kekanakan di dalam ingatannya telah pudar. Kini Elwood terlihat lebih dewasa. Garis rahangnya menjadi lebih tajam, sementara pipinya menirus. Beberapa luka gores yang telah mengering tampak menghiasi pipi Elwood. Salah satu sudut bibirnya pun pecah. Tambahan lagi, warna kulit Elwood kini jauh lebih gelap dari sebelumnya penanda jika telah terpapar sinar matahari cukup sering. Dalam hati, Archibald bertanya-tanya, ke manakah Elwood menghabiskan waktunya selama ini ketika berada di luar istana.
"Tidak begitu buruk, bukan?" Elwood melanjutkan ucapannya. Tatapannya beralih pada tunik dan jubah usang yang menyembul dari balik zirah, merujuk pada penampilannya saat itu. Ada nada getir yang coba disembunyikan sang peri.
Atensi Archibald kini sepenuhnya teralih pada Elwood, mengabaikan Claude yang tengah memberikan pengobatan tambahan pada lukanya yang paling parah. Rasa sakitnya telah jauh memudar, berganti keingintahuan yang besar tentang Elwood. "Kau jarang terlihat di istana akhir-akhir ini. Apakah ada masalah?" tanyanya hati-hati.
"Aku?" Elwood terlihat berusaha keras menutupi kecanggungannya. "Seperti biasa. Istana bukanlah tempat yang cocok bagi jiwa petualangku."
Elwood sama sekali tidak mengada-ada dengan ucapannya, tetapi Archibald tahu persis jika alam liar bukanlah tempat yang mudah ditinggali saudaranya itu. Bagaimanapun, di masa lalu, mereka sering terlibat petualang bersama ketika mendapat mandat berpatroli keliling Fairyfall oleh mendiang Raja Brian. Akan tetapi, jika menilik perubahan penampilan Elwood, Archibald tidak meragukan bagaimana alam liar telah membentuk saudaranya itu.
Archibald menyandarkan punggungnya tatkala Claude akhirnya menyelesaikan pengobatan. Sang pangeran peri mengembuskan napas panjang. Pandangannya masih terpaku pada Elwood. "Aku tahu, Elwood, begitu juga denganku. Hanya saja aku merasa sedang terjebak dalam keadaan ini dan tidak punya pilihan lain. Seandainya aku menjadi dirimu, aku pun akan melakukan hal yang sama. Bukankah kita sering melakukannya bersama-sama di masa lalu?"
Elwood menaikkan sebelah alisnya. "Aku berani taruhan, kau tidak akan mau menjadi aku," kelakarnya ringan yang sontak disambut tawa pelan Claude. "Lagi pula, setiap diri memiliki pilihan. Selama kau masih berkehendak, maka kau bisa menentukan pilihan. 'Terjebak' sungguh bukan kata-kata yang kuharap kudengar darimu. Jangan berlindung di balik kata-kata pengecut itu, Archibald. Kita semua punya pilihan.'
Kata-kata Elwood barusan membuat tawa Claude seketika terhenti, terlebih intonasi yang digunakan peri laki-laki itu begitu tenang dan serius. Elwood memang tidak terdengar sedang bercanda.
Archibald sendiri merasa jika perkataan saudaranya itu memenuhi benaknya, membuatnya tertegun beberapa saat. Ia tidak dapat memungkiri jika ucapan Elwood mengandung kebenaran, bahkan sedikit sindiran.
"Kita semua tahu jika 'pilihan' bukanlah sesuatu yang dapat Archibald usahakan untuk saat ini, Elwood. Kecuali, ada seseorang yang bersedia menggantikan posisinya untuk mengorbankan kehendak pribadi," sela Claude gugup. Tatapannya berganti-ganti, dari Archibald ke Elwood dan sebaliknya. Jari-jarinya mengetuk meja dengan intonasi konstan, penanda jika ia sedang gugup karena memikirkan sesuatu.
Archibald merasa terselamatkan berkat pembelaan Claude. Meski ia tahu jika Elwood benar mengenai konsep tentang pilihan, tetapi pangeran peri itu melupakan fakta jika calon raja sama sekali tidak berhak memilih untuk dirinya sendiri. Kenyataan itu membuat dada Archibald seketika merasa sesak. Dan, satu-satunya wajah yang terbit di dalam ingatannya kala itu adalah paras cantik Chiara. Bagaimana ia harus mempertahankan gadis manusia itu di sisinya, tanpa kemampuan untuk memilih?
Suara tawa Elwood yang tiba-tiba meledak, membuat atensi Archibald sontak pecah. Sang calon raja dan Claude menatap saudaranya itu dengan sedikit membelalak. Bagaimanapun, di tengah-tengah keseriusan mereka, sikap Elwood sungguh tidak dapat diprediksi. Lagipula, sikap semacam ini benar-benar bukan perangai Elwood yang biasa.
"Tentu saja kau punya pilihan Archibald. Kau bisa memilih untuk menjadi raja atau tidak sebelum pengukuhan berlangsung," ucapnya di penghujung tawa, terlampau lugas dan tajam. Namun, sedetik kemudian senyum dan tawanya menghilang berganti raut serius. "Kau masih punya pilihan, Archibald. Hiduplah dengan kemampuan memilih atau menyerah dengan dalih dipaksa keadaan. Jadi, jangan pernah berkata padaku jika kau tak memiliki pilihan sebab aku tidak akan mempercayainya!" Elwood membalas tatapan Archibald dan Claude dengan pelototan tajam, serupa dengan nada menohok dalam suaranya.
Ketegangan seketika merambat di udara, mengisi ruang kosong pada segenap penjuru ruang kerja yang cukup besar di antara mereka. Archibald berusaha mencerna kata-kata saudaranya dengan kepala dingin, tetapi gagal. Ucapan itu benar-benar menyentil relung hatinya hingga membuat bara perlahan-lahan memanas.
"Ucapanmu sungguh tidak bijak, Elwood. Bagaimanapun, Archibald adalah calon raja, kau harus menunjukkan sedikit rasa hormatmu," tegur Claude tenang begitu melihat perubahan raut wajah Archibald.
Alih-alih mendengarkan teguran itu, Elwood justru menyeringai. Ia lantas menatap Claude lekat-lekat sebelum mengalihkan pandangan pada Archibald. "Kau ingin aku meminta maaf?" tantangnya.
"Elwood, jaga sikapmu!" sambar Claude dengan intonasi sedikit meninggi. Ia melirik Archibald yang masih bergeming dalam kebungkaman dengan raut gusar. Ia tidak ingin kedua saudaranya bertengkar. "Begitulah seharusnya. Kau harus meminta maaf kepada calon raja."
Lagi-lagi Elwood menolak patuh. Peri laki-laki itu berdiri dari posisinya seraya mengemasi busur dan panah yang tergelatak di atas meja pualam, lalu mendengkus keras. "Lihat, inilah yang tidak kusukai dari istana. Protokolnya dan aturan-aturan yang menyiksa. Semua itu membuat kita terpaksa menjadi sosok lain. Sanggupkah kau hidup seperti ini Archibald? Terlebih setelah pertumpahan darah yang sia-sia beberapa waktu lalu? Dan, kau akan terus menyaksikannya selama kau duduk di atas singgasana emas terkutuk itu!"
"Elwood! Cukup!" Kali ini Claude ikut berdiri, hampir menggebrak meja, tetapi masih berhasil berhasil menahan diri. Dadanya mendidih dan kupingnya terasa panas. Ucapan Elwood benar-benar telah di luar batas. Akan tetapi, Archibald sepertinya tidak bereaksi sesuai dugaannya.
"Kau benar, Elwood. Harus kuakui semua ucapanmu benar adanya. Akan tetapi, maukah kau menggantikanku agar aku dapat memilih jalan lain?" Archibald akhirnya buka mulut. Suaranya gemetar mengandung percampuran emosi yang bahkan tak dipahaminya. Kata-kata Elwood sangat menyinggung, bahkan melukainya, tetapi mengandung kebenaran yang tak dapat disangkalnya. Untuk itulah dadanya terasa sesak. Ia sangat ingin menghajar Elwood saat itu juga, tetapi menyadari bahwa perbuatan itu tidak akan mengubah kenyataan.
Elwood tersenyum miring, meremehkan. "Kau tidak perlu memikirkan tempat ini jika kau memilih pilihanmu sendiri!" tekannya. Peri laki-laki itu menatap tajam ke arah Archibald dan Claude bergantian, lalu menggeleng frustrasi. "Ah, aku tahu. Tentu saja kau tidak akan bisa memilih untuk dirimu sendiri. Kau tidak akan bisa membiarkan Avery hancur begitu saja karena kau menang terlahir sebagai raja. Kau akan hidup dengan mengorbankan dirimu seperti lilin yang merelakan dirinya luruh hanya demi menciptakan segelintir terang. Dan, kau tahu apa bagian terburuknya?" Elwood nyaris meraung, sementara jejak bening menggenang di pelupuk matanya. "Bagian terburuknya adalah kau akan turut mengorbankan dan melukai Chiara!"
Mendengar Elwood menyebut nama Chiara dengan penuh penekanan, emosi Archibald refleks tersulut. Ucapan Elwood menghadirkan seluruh mimpi buruk yang berusaha dihindari Archibald, yaitu kenyataan bahwa ia telah melukai sosok yang dicintainya. Tubuh peri laki-laki itu gemetar dan dalam gerakan cepat ia nyaris menyergap Elwood dengan kedua lengan andai saja Claude tidak menahannya.
"Tenanglah, Archie," bisik Claude dalam suara rendah. Archibald berhasil mengendalikan diri, mengatur napasnya hingga keinginan untuk menghajar Elwood akhirnya mereda.
Elwood yang tak menunjukkan kegentaran sedikit pun tetap berdiri menantang Archibald. Sebelah telapak tangannya bahkan menggenggam gagang pedang erat-erat, bersiap membalas kapan pun Archibald menyentuh kulitnya. Namun, Claude yang telah berusaha mati-matian mencegah perkelahian di antara mereka, membuat Elwood seketika naik pitam. "Lagi-lagi kau terlalu pengecut untuk menerima konsekuensi dari pilihanmu," gerutunya sinis. "Jika kau tak ingin melukai Chiara, saranku lepaskan dia. Lebih baik dia hidup damai di dunianya, daripada terperangkap di Avery bersamamu. Harusnya kau pertimbangkan ini sedari awal, sebelum membawanya kemari!" Sebuah pukulan terakhir bagi Archibald akhirnya berhasil ia layangkan berupa kenyataan dalam ucapan yang menohok.
Peri laki-laki itu lantas berbalik, setelah memanggul tas kulit berisi anak panah yang telah dikemasnya dengan asal. Tanpa pamit, Elwood berjalan cepat menuju pintu. Langkah tegapnya tergesa berdentum menimbulkan gema yang setiap pantulannya seumpama pukulan bertubi-tubi bagi Archibald.
Sekali lagi, kata-kata Elwood benar-benar menarik kesadarannya pada sebuah simpulan yang selama ini ditakutinya, bahwa ia telah melukai Chiara dengan melibatkan gadis manusia itu di sisinya. Sementara, Archibald tahu persis jika dari sudut mana pun, ia tak akan dapat menyelamatkan Chiara, menempatkan gadis manusia yang disukai itu di sisi tanpa melukainya. Kenyataan itu benar-benar membuatnya terpuruk.
Archibald kehilangan kata-kata sehingga hanya mampu menatap kepergian Elwood dengan nanar. Punggung pangeran peri itu akhirnya menghilang di balik pintu besar yang menyisakan bunyi berdebum penuh amarah. Elwood sepenuhnya benar bahwasanya cara terbaik bagi Archibald untuk melindungi Chiara adalah dengan melepaskannya. Lingkar di sekitar takhta bukanlah lingkaran yang menyenangkan, meski sekilas penuh pemujaan dan kemewahan, lingkar itu justru dipenuhi kepalsuan. Akan tetapi, sanggupkah Archibald sepenuhnya memilih takhta dan melepaskan Chiara? Jika ia berkorban untuk Avery, lantas bagaimanakah kehidupannya? Bagaimana hatinya?
"Archie .... kau baik-baik saja?"
Pertanyaan Claude sontak menyela pikiran yang berkelindan di kepala Archibald. Ia menoleh pada Claude, menatapnya dengan kosong. Alih-alih menjawab, Archibald justru bungkam, kemudian menunduk pada tumpukan perkamen di atas meja pualam.
Setelah jeda yang cukup lama, Claude akhirnya kembali buka suara. "Aku pikir, sebaiknya kau menemui Chiara," tuturnya pelan.
Archibald menggeleng pelan, setelah menimbang dalam keheningan seolah gulungan perkamen itu memberinya ilham. Gerakannya bahkan nyaris tak terlihat oleh Claude. Pangeran peri itu lantas mengembuskan napas pelan nan berat. "Aku hanya ingin sendirian, Claude," ucap Archibald tanpa menatap saudaranya.
Pontianak, 08 Januari 2022, 16.27 WIB
Huhuhu maaf yaa telat update 🤗🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top