1. The Crown
Archibald menghentikan langkah ragunya di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari emas murni. Ukiran sepasang peri kembar saling berhadapan di kedua sisi daun pintu menarik atensinya, meski telah seringkali ia mengamati lambang itu, tetapi sesuatu seolah terus-menerus mengusiknya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang dapat dijelaskan. Lambang Kerajaan Avery masih sama seperti saat Raja Brian masih memegang tampuk pimpinan. Pun tidak berubah setelah kudeta yang dilakukan Elijah. Namun, bekas pemberontakan yang nyaris menghancurkan Avery menjejak jelas di beberapa sudut tersembunyi pada ukiran itu, meninggalkan luka lama yang tak pernah usai.
Peri laki-laki bersurai keemasan itu mengulurkan sebelah lengannya untuk menyentuh ukiran bagian sayap peri yang terlihat lebih gelap dari bagian lainnya. Noda darah berwarna gelap yang samar tercetak di sana, meski telah dibersihkan berulang kali. Archibald tidak dapat memungkiri jika suara-suara peperangan itu masih menghantuinya setiap kali menemukan pemicu seperti saat ini. Ia menggeleng seolah dengan gerakan itu segala kelebat di kepalanya dapat enyah. Sementara, kedua penjaga pintu yang berdiri mematung tanpa ekspresi di sisi kanan dan kiri pintu sontak mengangkat wajah, mengamatinya dengan rasa ingin tahu dan kesiagaan atas segala titah yang sewaktu-waktu diucapkan sang pangeran.
Archibald lantas mengembuskan napas pelan setelah beberapa waktu berdiam di depan pintu itu. Perlahan-lahan kelebat peperangan di dalam kepalanya berhasil terusir untuk sementara waktu dan ia kembali dapat menguasai diri. Pangeran peri itu menarik kembali lengannya yang nyaris menjejak ukiran di pintu, lantas menegakkan punggung, dan mengangkat wajah. "Bukalah," tuturnya pelan dengan suara tercekat.
Dengan cekatan kedua sentinel penjaga itu menarik gagang pintu yang terbuat dari emas berbentuk ulir hingga daunnya terbuka. Suara derit samar mengiringi munculnya pemandangan aula besar serba putih di balik pintu. Cahaya terang-benderang dari bola-bola besar dipenuhi kunang-kunang yang menggantung pada langit-langit aula menyeruak hingga membuat Archibald sedikit menyipitkan mata.
Setelah pintu itu benar-benar terbuka, Archibald melangkah pelan berusaha agar sol sepatunya tak memantulkan bunyi, tetapi upayanya sia-sia belaka. Lantai marmer berwarna gelap mengilap itu tetap memantulkan langkahnya yang berbalut sepatu kulit setinggi betis, mengabari penghuni ruangan akan keberadaannya. Lemari-lemari besar berisi deretan kitab dan gulungan perkamen yang menggunung tertangkap pandangannya untuk pertama kali. Di tengah-tengah aula, kursi-kursi berlapis beludru merah dengan kaki dan tangan disepuh emas yang mengitari meja-meja bundar tempat membaca berada dalam kondisi kosong seolah tidak ada siapa pun di ruangan itu.
Barulah saat pandangan Archibald yang menyapu ruangan akhirnya menumbuk pada penghujung ruangan, pandangannya serta-merta bertemu dengan netra Ratu Breena yang menyambutnya dengan wajah serius. Di sisi sang ibu, berdiri dengan setia peri laki-laki berbaju zirah dengan Surai hitam terikat separuh yang tak lain adalah Maurelle. Sungguh pemandangan yang tampak familier bagi Archibald, terlepas dari hubungan kedua peri dewasa itu di masa lalu, Maurelle rasanya telah menjadi penasihat dan rekan bertukar pikiran sang ibu sejak beberapa waktu belakangan ini. Kedua peri itu agaknya sedang memperbincangkan sesuatu dalam suara rendah sehingga gemanya yang memantul menimbulkan bunyi bisikan samar.
Archibald berdeham sembari mempercepat langkah, memberi peringatan akan kemungkinan hal-hal yang barangkali tidak sepatutnya ia dengar. Percakapan lirih antara Maurelle dan Ratu Breena sontak berhenti dan sepasang mata itu kini teralih penuh padanya.
"Ibu memanggilku?" tanya Archibald memecah hening sekaligus menghilangkan kecanggungannya sendiri.
Ratu Breena meletakkan gulungan perkamen yang sedari tadi direntangkannya di atas meja. Sorot matanya terlihat lelah dan meski ia tidak berkata apa-apa, Archibald tahu ada sesuatu yang sedang menjadi beban pikirannya. Sejak pemberontakan unsheelie berhasil ditumpas, ibundanya memang lebih sering menghabiskan waktu di Avery ketimbang Aethelwyne. Keadaan di Avery memang belum sepenuhnya stabil, pemberontakan dan teror terjadi di mana-mana oleh kelompok-kelompok kecil unsheelie yang belum sepenuhnya menerima kekalahan. Untuk itulah barangkali keberadaan sang ratu selama ini di sisinya, yaitu melindunginya.
"Kemarilah." Suara lembut dan tenang khas Ratu Breena membuat Archibald refleks mempercepat langkah.
Sebuah kursi bersepuh emas yang berada tepat di hadapan Ratu Aethelwyne itu seolah telah tersedia, menanti kedatangan Archibald sedari tadi. Peri laki-laki itu tanpa suara lantas duduk di sana, menanti dengan perasaan campur aduk sesuatu yang akan disampaikan sang ibu.
"Pemberontakan terjadi lagi. Kali ini di Fairyhill. Sekelompok unsheelie yang berjumlah tak lebih dari sepuluh orang membakar sekelompok pemukiman Dryad." Ratu Breena membuka suara sembari mengembuskan napas lelah. Sebelah telapak tangannya tanpa sadar jatuh menggebrak meja berpelitur yang nyaris tak memiliki sudut kosong lagi karena timbunan kitab dan perkamen.
Archibald nyaris telah dapat menduganya melalui paras keruh Ratu Breena yang biasanya selalu tenang. Ia memang telah mendengar beberapa laporan pemberontakkan dari Maurelle, bahkan menyaksikannya sendiri beberapa waktu setelah penaklukan Elijah, tetapi Archibald sungguh tidak menyangka jika pemberontakan itu terus berlanjut. Saudaranya ternyata memiliki begitu banyak pengikut loyal sehingga meski pimpinannya telah diasingkan, kelompok-kelompok kecil itu sama sekali tak gentar untuk melawan.
"Aku akan mengatasinya, Bu," sahut Archibald karena hanya itu yang dapat ia pikirkan sekarang untuk menenangkan sang ratu.
Namun, Ratu Breena menggeleng, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, sementara sebelah lengannya memijat pelipis, tampak berpikir untuk beberapa saat. "Mereka akan selalu ada, Archibald. Memberangus satu kelompok kecil sama sekali tidak menjamin ketiadaan kelompok lainnya. Sisa-sisa unsheelie masih ada, bersembunyi di suatu tempat di pelosok Fairyverse. Kita tidak tahu seberapa banyak mereka dan seberapa besar kekuatan yang tengah mereka himpun. Yang jelas, apa pun yang kau pikirkan tidak akan menyelesaikan masalah ini sampai ke akar-akarnya."
Archibald membuka mulut, tetapi rasanya sangat sulit untuk menyangkal perkataan sang ibu. Memberangus satu kelompok kecil mungkin akan menghentikan kelompok itu pada waktu tertentu. Akan tetapi, tidak ada yang dapat menjamin jika kelompok-kelompok sejenis tidak akan muncul dan menyerang. Pemberangusan satu kelompok barangkali akan menyulut kemarahan kelompok lainnya sehingga dapat memicu pemberontakan yang jauh lebih besar.
"Aku akan mencari para unsheelie itu ke seluruh pelosok Fairyverse. Aku berjanji." Archibald berusaha mencari solusi yang paling mungkin untuk dilakukan, meskipun ucapannya bahkan terdengar goyah di telinganya sendiri.
Ratu Breena kembali menggeleng, lalu melirik pada Maurelle yang sedari tadi membisu di sisinya. Archibald memahami betul jenis tatapan itu karena ia sendiri sering melakukannya dengan Albert. Jenis tatapan meminta dukungan akan apa pun gagasan yang mungkin diajukan oleh rekannya.
Entah mengapa, melihat tatapan itu, Archibald mendadak diliputi perasaan tidak enak. Ia nyaris dapat menduganya, tetapi mencoba menahan diri agar sang ibu dapat mengungkapkannya secara langsung.
"Kedaulatan Avery harus kembali ditegakkan setelah kudeta yang dilakukan Pangeran Elijah." Ratu Breena menatapnya lekat-lekat seolah sedang menimbang respon Archibald, setelah berdiam diri beberapa saat lamanya. "Untuk itu ... Penobatan Raja harus segera dilakukan Archibald. Penobatanmu."
Archibald membeku di tempatnya. Ia tahu persis cepat atau lambat penobatan itu harus segera dilakukan. Meski secara de facto, sebagian besar rakyat Avery telah menganggapnya sebagai raja berdasarkan penaklukannya terhadap raja sebelumnya, tetapi kekuatan hukum berupa ritual resmi harus segera dilakukan demi menegakkan kedaulatan Avery sebagai kerajaan terbesar di Fairyverse. Terlebih, guna menekan riak pemberontakkan seperti saat ini. Namun, Ratu Breena belum selesai. Archibald tahu persis jika ini bukanlah bagian terburuknya. Dengan perasaan yang campur aduk, pangeran peri itu menanti sambil mengepalkan telapak tangannya.
Ratu Breena kembali melanjutkan. "Tiga purnama setelah penobatanmu sebagai raja, kau harus segera menikahi dan mengangkat ratumu, Archibald."
Archibald mengangkat wajah, menatap kesungguhan dari wajah sang ibu. Dadanya berdentum sekaligus terasa nyeri ketika mencoba menterjemahkan perkataan itu dengan asumsinya.
"Pilihlah ratu yang tepat, yang akan memberimu kekuatan untuk menjalankan kepemimpinan di Avery."
Archibald meneguk ludah, kehilangan kata-kata. Seketika, bayangan Chiara muncul di dalam benaknya. Gadis manusia itu adalah satu-satunya pendamping yang akan dipilihnya. Akan tetapi, jika penobatannya sebagai raja akan semudah membalikkan telapak tangan, tidak demikian halnya dengan memilih Chiara Wyatt sebagai ratu.
Pontianak, 26 Mei 2021, Blood Moon, pukul 21:37 WIB
Haloo. Maaf sequel Fairyverse telat banget munculnya. Tepat pada saat Blood Moon akhirnya aku berhasil publish chapter pertama. Doakan semoga ide lancar trus yaa hehehe. Oh iya, mungkin untuk beberapa saat cerita ini bakal slow update karena aku akan fokus menyelesaikan dua cerita lainnya dulu. Terima kasih sudah mampir 😍❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top