9. 🌊 The Pirate or The Mermaid

Elijah akhirnya memutuskan untuk mengikuti Rage menuju lambung kapal, setelah kali ketiga peri bongsor itu menghampirinya yang termangu di buritan. Bukannya sombong atau apa, hanya saja perjalanan ini jelas-jelas bertentangan dengan keinginannya. Andai saja mereka berada di daratan, barangkali Elijah tak begitu peduli jika sang kapten mendepaknya dari rombongan mereka. Namun, hal seperti itu tentu saja tidak akan pernah terjadi.

Setelah mengembuskan napas panjang, Elijah berjalan melewati ambang pintu ruang makan Bourbounaisse. Ruangan itu sangat sederhana, jauh berbeda jika dibandingkan dengan ruang makan di Avery. Satu-satunya benda paling mencolok adalah rangkaian bejana-bejana kaca yang memerangkap banyak kunang-kunang bergantung di tengah ruangan.

Netra biru laut sang pangeran peri menangkap setidaknya puluhan bajak laut telah duduk di posisi masing-masing. Mereka mengerumuni dua meja kayu panjang yang dipenuhi aneka makanan dan kendi-kendi berisi anggur. Kapten Tribal juga duduk di sana, tepatnya di tengah-tengah ruangan dengan meja bundarnya sendiri. Aroma hewan laut bakar menguar di udara bercampur dengan aroma manis anggur yang menyergap penghidu Elijah, membuat perutnya yang kosong sejak pagi tadi bergemuruh. Suara tawa membahana di seluruh penjuru meja makan. Entah lelucon seperti apa yang mereka lontarkan, tapi suara tawa itu cukup untuk membuat Elijah merasa menjadi sosok paling membosankan di tempat itu.

"Pangeran! Syukurlah, kau akhirnya memutuskan bergabung bersama kami. Kemarilah!" Kapten Tribal mengangkat gelas beningnya ke udara, sementara netranya berbinar menyambut kedatangan Elijah. Dagu sang kapten sedikit terangkat, menunjuk pada sebuah kursi yang berada tepat di hadapannya.

Suara tawa dan obrolan sontak terhenti saat kapten merbeka buka suara. Semua pasang mata menyorot pada kedatangan Elijah. Wajah-wajah dekil dengan warna kulit terbakar yang penuh tanya itu menelisik penampilan sang pangeran dari ujung rambut hingga ke tumit sepatunya. Beruntung Rage telah memberikan tunik longgar berwarna abu-abu kusam lengkap dengan rompi tanpa kancing sebelum ia bergabung dengan para awak kapal. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan para peri petualang itu.

"Sebagaimana yang kubilang tadi, dia adalah rekan baru kita dalam pelayaran ini. Kebetulan sekali tujuan kami sama. Namanya Elijah. Dan dia adalah pangeran dari sebuah kerajaan besar. Untuk itu, jaga sikap kalian." Tribal mengumumkan perkenalan malam itu. Suara seraknya menggelegar diiringi kekehan yang lebih mirip batuk tertahan. Mengankat gelasnya sekilas ke udara sebagai pengormatan, sebelum menyeruput cairan merah yang mengisi setengah gelas beningnya.

Melihat Kapten Tribal memamerkan gigi emasnya terus-menerus, Elijah merasa tak enak hati. Senyuman lepas bukanlah hal yang begitu cocok bagi sang kapten. Setidaknya, itu yang Elijah pahami setelah sedikit perkenalan yang sangat tidak menyenangkan pagi hari tadi. Elijah akhirnya menarik sudut bibirnya canggung sebagai balasan saat berjalan melewati deretan kursi, menuruti permintaan sekutu barunya.

Rage menyiapkan kursi, menyilakannya duduk di hadapan Kapten Tribal. Setelahnya, peri laki-laki bersurai ikal itu lantas mengambil tempatnya sendiri pada meja berbeda dengan awak kapal lainnya.

"Rage telah menyiapkan kamar untukmu. Pangeran sepertimu tidak cocok tidur bersama awak kapal lainnya di geladak," kata sang kapten setelah meneguk habis sisa minumannya.

Dalam jarak sedekat ini, Elijah baru menyadari jika sang kapten memiliki sebuah codet kecokelatan samar yang bentuknya mirip sambaran petir pada pipi kirinya. "Minumlah," sambungnya lagi sembari mengangsurkan gelas sloki lain yang masih terisi penuh.

Elijah menatap netra karamel sang kapten, kemudian dengan ragu menyambut uluran gelas itu. Permukaan kacanya terasa hangat saat bersentuhan dengan kulitnya. Meski enggan, akhirnya ia mengangkat gelas itu dan membawanya mendekati mulut.

Bau aneh yang samar menyerang penghidunya. Ada campuran aroma manis anggur dan aroma lain yang cukup kuat, membuat minuman ini berbau aneh. Elijah mengernyit, lalu menjauhkan gelas itu dari lubang hidungnya. Nalurinya mencium sesuatu yang janggal.

"Kenapa?" Kapten Tribal bertanya sembari menuang botol anggur yang baru ia buka. Mengisi kembali gelasnya dengan cairan merah serupa. Ia mengerling sekilas pada Elijah, sebelum fokus kembali pada isi gelasnya. "Kau tak menuduhku meracunimu, bukan?"

Elijah menggeleng. Merasa tersindir dan tak enak di saat bersamaan, akhirnya ia kembali mendekatkan gelas itu ke mulut, bermaksud menenggaknya sekaligus sampai habis. Namun, belum juga bibirnya menjejak gelas, sesuatu yang cukup keras dan cepat menyenggol lengannya.

Bersamaan dengan itu, suara jeritan melengking terdengar memekakkan telinganya. Gelas kaca itu sontak terlepas dari genggaman dan jatuh berderai menghantam lantai. Cairan merah membasahi permukaan geladak, mendesis dengan suara mengerikan hingga perlahan-lahan permukaan kayu yang terkena tumpahan itu meleleh. Asap putih samar mengepul di atasnya.

Elijah membelalak, menghakimi sang kapten dengan suara melengkinnya. "Kau ingin membunuhku, hah?!"

Tribal masih dengan ekspresi datarnya baru selesai menyesap ganggur di gelasnya. Sementara, sesosok peri pixie bersurai pirang dengan gaun lilac pucat sebatas lutut, terbang mengambang di sisi sang kapten sambil bersidekap. Elijah baru pertama kali meihatnya. Rupanya makhluk kecil dengan raut wajah tak bersahabat itulah yang menyenggol lengannya barusan.

Netra sang kapten melebar, berpura-pura terkejut, sebelum menyeringai lebar. Tribal terkekeh, diiringi ledakan tawa dari seluruh awak kapal.

Elijah yang naik pitam sontak berdiri hingga kursi yang ia duduki terdorong ke belakang. "Kau mau mempermainkanku?" Suaranya meninggi. Membuat tawa bajak laut lainnya mendadak terhenti.

"Tenang dulu pangeran." Tribal berucap setelah tawanya perlahan mereda. Wajahnya masih setenang tadi, bahkan tubuhnya tak beranjak sedikit pun melihat reaksi Elijah. Sang kapten kembali menuangkan cairan merah pada gelasnya, sebelum melanjutkan kata-katanya."Inilah cara kami menyambut anggota Bourbounaisse yang baru. Ini sebuah tradisi, Pangeran. Setiap makhluk yang datang ke sini telah melewatinya." Ia terkekeh lagi tanpa beban. Kali ini semburat merah muncul di kedua belah pipinya.

"Apa?! Kau nyaris saja membunuhku? Bagaimana jika aku meminumnya?!" Elijah masih tak terima. Tentu saja, lelucon sang kapten benar-benar keterlaluan. Nyawa bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan lelucon. Peri laki-laki itu berbalik cepat hendak meninggalkan ruang makan, meski perutnya meronta meminta diisi.

Teriakan melengking tinggi milik si peri pixie membuatnya urung melangkahkan kaki. "HEI PERI ELF BERSURAI COKELAT! KAU SUNGGUH TIDAK SOPAN!" Bersamaan dengan itu, sejumput rambut cokelatnya tertarik ke belakang. Elijah berteriak jeri sembari memegang bagian belakang kepalanya.

Suara tawa bergema kembali dalam ruang makan bercahaya temaram itu. Hati Elijah kembali mendidih. Ia berbalik, meraih pisau roti di atas meja. Mengacungkannya pada pixie kecil yang sedang menertawainya. Makhluk itu sontak membungkam mulutnya dengan kedua tangan, sebelum terbang menjauh dan bersembunyi di balik punggung Kapten Tribal.

"Jangan sentuh Thumbelily-ku, Pangeran!" Tribal mendesis. Wajahnya berubah serius.

Demi mendengar perkataan sang kapten, ruang kapal itu mendadak hening. Gelombang besar membuai Bourbounaisse dengan nyanyian ombaknya, menimbulkan derit yang entah berasal dari mana. Namun, sepertinya bunyi itu telah terlampau familier bagi segenap awak kapal, sehingga tak satupun dari mereka yang mengkhawatirkannya.

Elijah mengembuskan napas panjang. Mengendalikan kemarahan yang akan mengacaukan segalanya. Sementara sang kapten menyeringai, lalu menyandarkan punggungnya dan bersidekap tanpa ada raut penyesalan sedikit pun. Jadi, bajak laut itu benar-benar menganggap semuanya sebagai lelucon. "Ini adalah gaya kami Elijah. Kau harus menyesuaikan diri jika ingin bertahan. Lautan memang keras, tetapi kehidupan jauh lebih keras, Pangeran. Kau harus belajar yang banyak agar bisa bertahan!" Entah mengapa seringaian itu meredup di akhir kalimatnya. Netra karamel itu menyorotnya tajam. Setajam kata-kata yang telak menghunjam hatinya.

Elijah terdiam. Genggaman pada gagang pisaunya mengendur sehingga benda itu jatuh menghantam geladak. "Kau akan mencuri harta keluargaku, tetapi aku harus menyesuaikan diri dengan kalian, apa itu terdengar masuk akal?!" Peri laki-laki itu mengangkat dagunya. Suaranya meninggi. Sesuatu di dalam dirinya menolak untuk patuh.

Kapten Tribal menegakkan punggung sembari memicingkan mata. Aura sang kapten dan seisi kapal mengelam. "Kau berada di rumahku, Pangeran! Dan setiap rumah memiliki penguasa. Jadi kau sama sekali bukan apa-apa di sini. Tak peduli berapa banyak harta yang kau miliki, bahkan jika kau seorang raja sekali pun, kau tidak akan berarti apa-apa di rumahku! Jadi jaga sikapmu karena aku mengawasimu."

Kata-kata itu bagai mengandung sengat listrik yang memecut hatinya. Peri laki-laki itu bungkam. Sesuatu menghantam kesombongannya hingga hancur berkeping-keping. Egonya meraung marah. Elijak berbalik dan meninggalkan ruang makan tanpa sepatah kata pun. Tak peduli dengan perutnya yang bergemuruh. Begitu ia melewati ambang pintu, ruangan itu kembali riuh. Para bajak laut kembali berpesta dengan suka cita, seolah ia tak pernah ada di sana.

🌊🌕🧜

Berkali-kali Rage menemui Elijah untuk mengantarnya ke kamar yang telah disediakan sang kapten. Sepertinya peri laki-laki itu tak begitu menikmati pesta. Namun, Elijah yang keras kepala, tak kunjung bergeming. Ia berbaring pada buritan, berbantal lengan sembari menatap bulan dan jutaan bintang yang menghiasi langit Fairyverse malam itu. Sebagai pelengkap derita, perutnya yang terus bergemuruh meminta diisi dan perih yang menggelenyar di beberapa bagian tubuh. Kutukan sialan itu benar-benar membuatnya tampak menyedihkan.

Setelah mengembuskan napas panjang, Rage berbalik putus asa. Barangkali Rage akan kembali bergabung dengan awak kapal yang telah teler di ruang makan. Sebuah kaca berbentuk setengah lingkaran berisi sekumpulan kunang-kunang bergeser saat Rage melewatinya. Wadah kaca itu bergerak-gerak liar seirama ayunan kapal dan embusan angin malam. Tubuh besarnya menghilang di balik pintu menuju lambung kapal.

Elijah bangkit sambil meringis, begitu Rage benar-benar telah meninggalkannya. Netra biru sang peri menyisir sisik-sisik berkilat yang bertakhta pada beberapa bagian tubuhnya. Sekilas, sisik-sisik itu terlihat indah, memendarkan cahaya samar seumpama taburan bintang di langit malam. Namun, rasa sakit, perih dan gatal membuatnya ingin terus-menerus menggaruk hingga permukaan kulitnya terluka. Entah sampai kapan ia dapat bertahan dalam kegilaan ini

"Elijah!"

Tiba-tiba sebuah suara perempuan menyapanya. Tubuh Elijah sontak menegak. Bulu kuduknya meremang. Peri laki-laki itu mengedarkan pandangan ke sekitar buritan kapal yang hening. Harusnya tak ada siapa pun di buritan, mengingat awak kapal lainnya pasti tengah larut dalam pesta. Lagipula, tak ada perempuan di kapal itu kecuali si pixie dengan suara melengking itu. Namun, suara yang menyapanya kali ini berbeda. Apakah ia benar-benar sudah gila?

"Elijah ... aku di sini!"

Pupil mata Elijah melebar. Sejenak rasa gatal dan perih yang menggelenyar di tubuhnya terlupakan. Jantungnya berdentam keras. Atensinya kini terfokus mencari sumber suara.

"ELIJAH!" Suara itu kini terdengar lebih nyaring dan sedikit menuntut dan Elijah mengenali suara khas itu. Suara yang beberapa saat lalu mulai mengganggu kehidupannya. Suara Lorelie. Apa lagi yang diinginkan gadis duyung itu?

Sebuah pergerakan dari sulur rumput laut yang entah sejak kapan melilit pagar buritan tertangkap pandangannya. Awalnya Elijah mengira itu hanyalah rumput laut biasa. Lilitan sulur yang menyerupai tali itu bergerak liar seolah ada yang menggerakkan. "Lorelie?" tanyanya meyakinkan praduga sembari mendekati lilitan sulur rumput laut itu. Sulur panjang menjuntai ke arah sisi luar lambung kapal.

Gadis duyung itu benar-benar ada di sana. Bergelantungan pada seutas sulur yang rasanya tak mungkin membawa tubuhnya tanpa bantuan sihir. "Apa yang kau lakukan di sana?" Dasar gadis gila! Suaranya meninggi. Salah satu sudut alisnya terangkat.

"Bantu aku naik!" balas gadis duyung itu nyaris berteriak. Tubuhnya bergerak liar tertiup angin laut. Elijah melirik sekilas ke arah langit. Sinar rembulan rupanya benar-benar telah mengembalikan tungkai peri perempuan itu.

Elijah menggeleng cepat. "Kau gila? Aku tidak akan mengijinkanmu naik ke atas sini."

Sulur rumput laut kembali bergerak liar, disentak Lorelie hingga mengenai lengan Elijah. "Kau akan membiarkanku mati di tengah lautan?! Sungguh peri laki-laki tak berperasaan! Tubuhku sepenuhnya manusia saat terkena sinar rembulan dan aku kehilangan kemampuan renang dalam waktu lama," tuturnya memelas.

Elijah tersenyum miring. Membiarkan kedua tangannya menopang tubuh dengan postur sedikit santai. Melihat Lorelie bergelantungan di sana merupakan hiburan tersendiri baginya. "Naiklah sendiri kalau kau bisa, Duyung!" ejeknya.

"HEH PANGERAN SIALAN, TARIK AKU SEKARANG! ATAU ...."

"Atau apa?" Elijah mengerucutkan bibirnya. Memasang tampang pura-pura takut.

Lorelie mengernyit kehabisan kata-kata. Namun, sedetik kemudian ia kembali membuka suara. "Aku akan menciummu kalau aku bisa naik ke atas sana sendiri!"

Wajah Elijah sontak berubah menjadi merah padam. Sekadar membayangkan Lorelie mendekatinya saja sudah cukup membuat Elijah bergidik. Apalagi kalau sampai perempuan duyung itu menciumnya. Ia akan benar-benar menjadi gila.

Elijah memutar bola matanya, lalu berdecak. Dengan enggan, ditariknya sulur rumput laut yang ujungnya ternyata melilit tubuh ramping sang duyung.

Tak perlu waktu lama, Elijah akhirnya berhasil menarik sulur rumput laut itu sehingga tubuh Lorelie ikut naik ke arah pagar kapal. Ia membantu duyung itu memanjati pagar dan bertengger di atasnya. Elijah berhenti sebentar untuk mengatur napasnya yang memburu. Tanpa sadar, peri laki-laki itu telah melingkarkan tangan pada pinggang si gadis duyung, sementara tangan Lorelie sendiri melingkar di lehernya.

Netra mereka berserobok. Wajah pucat gadis duyung itu berjarak hanya sejengkal dari wajahnya. Napas Lorelie dingin dan berbau lautan. Netra birunya berkilauan diterpa samar-samar cahaya dari lentera kunang-kunang di ambang pintu. Bibir merahnya merekah, tersenyum. Entah mengapa pemandagan itu membuat dada Elijah mendadak bergemuruh.

"Apa aku boleh menciummu?"

Elijah tersentak. Refleks peri laki-laki itu melepaskan rengkuhannya di pinggang Lorelie sehingga gadis duyung itu jatuh menghantam geladak. Lorelie mengaduh dengan suara lirih yang dibuat-buat.

Elijah meletakkan jari telunjuk di bibirnya panik. Dengan gusar melirik ke kanan dan ke kiri, khawatir jika suara itu memancing kedatangan awak kapal lain yang mungkin saja masih terjaga. "Jangan ribut! Atau kita berdua akan menjadi umpan hiu!" desisnya.

Netra biru Lorelie membelalak. "Ja-jadi peri laki-laki jelek tadi disambar hiu karena terlampau ribut?"

Suara gadis duyung itu tertahan dengan bekapan telapak tangan sang peri laki-laki. Elijah lengan Lorelie, menggiringnya bersembunyi pada sebuah gentong kayu besar agar terlindung dari siapa pun yang mungkin saja datang dari arah pintu lambung kapal.

Setelah dirasa aman, Elijah lantas membuka suara. "Apa yang kau lakukan dengan bergelantungan di sisi kapal? Apa kau sudah gila? Kenapa kau mengikutiku?"

"Aku bergelantungan agar tidak tenggelam saat siripku menghilang. Sepanjang siang aku mengikuti kalian melalui lautan dengan terikat pada sulur rumput laut ini. Dan sekarang kau malah berteriak padaku," cicitnya sembari memilin sulur tanaman rumput laut yang terikat kuat di pinggangnya. Bibir merahnya mengerucut. Surai merahnya yang setengah basah itu benar-benar membuat Elijah ingin menyekanya.

Elijah mendengkus. "Maksudku untuk apa kau melakukan semua ini?"

"Untuk menyelamatkanmu." Netra biru Lorelie berbinar. Bibir merahnya kembali merekah, bahkan di dalam keremangan cahaya gadis duyung itu masih terlihat mempesona. Apakah seluruh duyung memiliki pesona seperti dia?

Elijah mengerang. "Hentikan omong kosong ini. Aku baik-baik saja. Aku tidak diculik atau yang semacamnya. Aku bergabung bersama mereka. Jadi kau tidak perlu repot-repot menyelamatkanku, Duyung!"

Lorelie tercengang. Mulut kecilnya membuka. "Aku melihat semuanya, Elijah. Mereka membawamu setelah membuatmu tak sadarkan diri. Tidakkah itu sebuah pemaksaan? Kau terancam, bukan?"

Netra biru sang duyung memerangkapnya. Entah apa yang ada pada diri gadis duyung itu. Hati dan pikiran Elijah seolah tertarik sekaligus menolak pada medan pesona yang ia ciptakan. Lorelie menatapnya seolah menelanjanginya. Melihat pada kedalaman hati yang selalu berusaha ia tutupi. Gadis duyung itu seolah selalu tahu dan selu mengejarnya, tak peduli seberapa jauh ia menghindar.

Elijah membuang muka. "Apakah kau menuntut balas jasa karena kau telah menyelamatkanku?"

Senyum Lorelie mendadak lenyap. Agaknya kata-kata peri laki-laki itu menyinggungnya. Wajah gadis duyung itu berubah sendu. "Mengapa kau selalu berpikiran buruk tentangku? Apakah hidupmu sebegitu menyedihkan hingga kau membenci dan berpikiran buruk pada siapa pun?"

Elijah terhenyak. Ini kali kedua ia merasa tertampar oleh kata-kata dan itu terjadi dalam semalam. Sebegitu buruk kah dirinya?

Hening seketika menyergap. Hanya suara deburan ombak yang menghantam sisi kapal dan embusan angin yang mengisi jarak di antara dua makhluk yang sedang duduk termenung di salah satu sisi buritan.

"Mari kita pergi dari tempat ini. Tribal hanya akan memanfaatkanmu." Lorelie menyentuh punggung tangannya lembut. "Kita punya misi lebih penting, Elijah. Kita sama-sama dikutuk dan kita seharusnya mencari cara agar kutukan ini hilang. Dan ... Aku yakin kau pasti ingin mencari tahu siapa yang tenggelam bersamamu waktu itu." Suara gadis duyung itu terlampau pelan dan lirih. Namun keyakinan dalam suaranya membuat hati Elijah bergetar.

"SIAPA DI SANA?" Tiba-tiba suara Rage terdengar dari arah pintu lambung kapal yang setengah terbuka.

Elijah dan Lorelie saling pandang. Membeku di tempat masing-masing.

"Ikutlah denganku sekarang, Elijah," desak Lorelie dengan suara berbisik.

Belum sempat Elijah menjawab, Rage mendorong pintu dengan keras. Menampilkan pemandangan ambang pintu yang diselimuti bayang-bayang gelap. Dibelakang tubuh besar itu, Tribal berdiri bersedekap. Lampu kunang-kunang yang bergantung di ambang pintu yang memendarkan cahaya temaram, menyinari wajah sang kapten yang menyeringai.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top