7. 🧚Tribal Tydes The Pirate

Lorelie mengintip dari balik sebongkah batu besar yang menjorok ke laut. Deburan ombak menghantam tubuhnya, mengenai surai kemerahan yang bersinar di bawah sorot matahari pagi. Siripnya berendam di dalam air asin yang dipenuhi buih putih. Netra birunya menatap pada satu titik di kejauhan. Pada sesosok peri laki-laki bertelanjang dada yang berjalan menyusur tepian pantai dengan langkah tersuruk-suruk.

Elijah, bahkan hanya dengan melafalkan namanya dalam hati, bibir merah Lorelie lantas merekah. Ia mengikuti langkah peri laki-laki itu dengan berenang perlahan menyusuri lautan di dekat garis pantai.

Rasa sesal menggelayuti pikiran Lorelie karena cahaya rembulan yang terlampau cepat menghilang tadi malam. Dengan berat hati gadis duyung itu harus beranjak dari sisi peri tampan yang berbaring dalam selimut rumput laut. Sepasang tungkainya berubah menjadi sirip dengan cepat begitu gumpalan awan kelam mengambil alih takhta rembulan dari langit malam. Lorelie yang sebelumnya tak menerka jika waktunya akan habis, sampai harus berguling dan merayap di atas permukaan pasir putih untuk mencapai lautan. Beruntung setelahnya gulungan ombak yang cukup besar menghampiri pesisir dan membawanya serta. Ia lantas kembali ke dasar lautan dan berdiam pada sebuah bangkai kapal pribadinya untuk menanti pagi.

"HAI, TAMPAN!" Lorelie berteriak ceria pada peri laki-laki yang kini berjalan mendekati bibir pantai. Sebelah kakinya terbenam dalam gulungan ombak. Elijah menatap lautan, mencari sumber suara. Netra birunya menemukan sosok sang duyung yang melambai riang padanya.

"ELIJAH!"

Alih-alih menyahut. Peri laki-laki itu malah membuang muka, sebelum akhirnya berjalan menjauhi pantai. Ekspresi sang peri terlihat suram seolah telah mendapat mimpi buruk semalam.

Dasar batu karang! umpat Lorelie dalam hati. Senyum yang mengembang di bibir merahnya seketika menguap. Gadis duyung itu memutuskan untuk berenang mengambang di sana sambil mengawasi punggung Elijah yang menjauhi pantai. Tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam benaknya, membuat pupil matanya melebar.

"Aku tahu di mana kau bisa menemukan apa yang kau cari!" teriaknya dengan suara melengking.

Elijah tak bereaksi. Peri laki-laki terus berjalan menjauh, mengabaikan lengkingan Lorelie. Namun, bukan Lorelie namanya jika ia menyarah begitu saja. Gadis duyung itu menepi pada bibir pantai, dengan separuh siripnya terendam dalam gulungan ombak. Bertopang dagu.

"Kau mencari kapal, bukan?" Pertanyaannya sontak membuat Elijah menoleh dan menghentikan langkah.

Senyum di bibir merah Lorelie kembali merekah. Usahanya meraih atensi si batu karang kelihatannya membuahkan hasil. "Aku pernah melihat kapal terdampar di sebelah sana!" ucapnya lagi sembari menuding pada salah satu penjuru pantai yang bahkan tak terlihat dari posisinya sekarang.

Elijah mengikuti arah tudingannya, lalu mengerutkan alis, sebelum melangkah mendekati sang duyung dengan penasaran. "Kalau kau membohongiku, aku tak segan-segan membunuhmu. Kau tahu, sebelum ini aku adalah perampok yang bengis!" ancamannya. Netra biru sang peri menyorot penuh kebencian.

Lorelie tersenyum semakin lebar. Tak menunjukkan gentar sedikit pun. Lagi pula, ia tak sebodoh itu untuk mempercayai kata-kata Elijah. Perompak tampan dan terawat? Yang benar saja, jelas-jelas peri laki-laki itu memiliki aura bangsawan. Terlebih, dengan kesombongannya yang di atas rata-rata. Ia tahu persis siapa Elijah, meski pun sang peri berusaha menutupi jati dirinya.

"Kau hanya perlu menyusuri pantai ini sampai ke ujung sana dan kau akan menemukannya." Lorelie menganggukkan kepala penuh keyakinan. Menunjuk dengan dagunya, sebelum kembali tersenyum. "Kau mau kutemani?" tanyanya sembari menggerakkan bahu seduktif.

Gadis duyung itu terbahak saat mendapati perubahan raut wajah Elijah, reaksi atas kata-katanya. Peri laki-laki itu memicingkan mata. "Aku tidak butuh bantuanmu, duyung. Kembali saja kau ke lautan!" Elijah lantas berjalan cepat menyusuri pantai mengikuti petunjuk Lorelie.

Lorelie masih terbahak sampai sedikit buih lautan tanpa sengaja tertelan. Gadis duyung itu memuntahkannya kembali ke lautan saat menyecap asin di lidahnya dengan mata yang masih lekat menatap punggung Elijah. Setelah peri laki-laki itu nyaris hilang dari pandangan, barulah ia berenang cepat mengikuti sang peri.

Lautan pagi hari yang berwarna biru gelap membuat kulit pucat Lorelie bercahaya. Sirip kuningnya berkilauan diterpa matahari pagi yang perlahan mengintip dari ufuk timur. Netra sebiru lautannya mengawasi Elijah yang kini tengah berlari sekuat tenaga menyongsong sesuatu yang berada di sudut pantai. Lorelie tersenyum simpul, meliukkan siripnya lebih cepat di bawah permukaan laut, menyusul sang peri. Rupanya pangeran peri itu telah menemukan apa yang dicarinya.

🧜🧜🧜

Duyung centil itu ternyata tidak berbohong saat mengatakan jika dapat menuntunnya pada sesuatu yang Elijah perlukan. Elijah menatap takjub 'sesuatu' itu sambil merapal segenap rasa syukur yang tersisa di dalam hatinya. Angan-angannya terpenuhi. Ia dapat segera pergi dari tempat ini, ke mana pun, ia tak begitu peduli, asalkan dapat menjauh dari pulau terkutuk ini.

Kapal itu terbuat dari kayu yang sama sekali tak diwarnai. Berukuran tidak terlalu besar, hanya seukuran sekoci yang dapat memuat sekitar sepuluh peri elf dewasa. Bekas air asin menyisakan noda menggelap pada beberapa bagiannya. Kapal itu dalam posisi tertelungkup dan sejumlah besar pasir setengah basah membenamkan separuh tubuhnya. Sebuah dayung patah menancap pada gundukan pasir tak jauh dari kapal itu. Tidak ada tanda-tanda patahan layar dan tiang bendera yang mungkin dapat menunjukkan identitasnya. Kapal itu terlihat masih sangat bagus dan siap digunakan. Elijah hanya perlu membalik posisinya, membersihkan pasir yang menempel atau pun memenuhi ceruk di dalam kapal dan mencari sesuatu untuk dijadikan dayung.

Peri laki-laki itu bergegas menghampiri kapal, mendorong salah satu sisi untuk memperbaiki posisinya. Setelah tiga kali usaha mendorong, kapal kayu itu akhirnya berada pada posisi yang benar. Pasir lembab yang menimbun sedikit bagian tubuh kapal berhamburan, saat Elijah berhasil mengeluarkan bagian kapal yang tertimbun dalam gundukan pasir.

Suara tepuk tangan diiringi tawa berderai membuat atensi Elijah teralih. Pandangannya menangkap sosok familier di tengah lautan. Duyung berambut merah itu rupanya masih di sana, di tengah gelombang, mengawasinya dengan sorot mata yang tak dapat ia terjemahkan. Haruskah ia mengucapkan terima kasih sebelum mengusir makhluk itu pergi?

Elijah hendak membuka mulutnya saat mendadak Lorelie meghilang ke dalam lautan. Air beriak saat ekor keemasannya mencuat sekilas, sebelum bergerak menjauh. Peri laki-laki itu sontak mengernyitkan alis. Apa yang terjadi?

Belum sempat peri laki-laki itu berbalik sepenuhnya, sebuah tendangan telak mengenai pipinya. Tubuh Elijah yang limbung lantas jatuh menghantam sisi luar kapal. Bunyi berdebam terdengar bersamaan dengan ringis kesakitan dari sang peri.

Matanya membelalak saat mendapati sesosok peri elf dengan satu penutup mata ala bajak laut berkacak pinggang di hadapannya. Di belakang sosok itu, beberapa peri elf lain bergeming seraya mengawasinya dengan tatapan curiga. Elijah hendak beranjak dari keterpurukannya, tetapi sesuatu kembali menahan dadanya dengan keras. Ia meraung saat sesak mulai merambati dadanya. Sebuah telapak kaki besar yang dilapisi sepatu kulit mendarat di sana.

"Wah, wah, coba lihat siapa ini?" Suara parau itu menyapanya sarkastik. Suara pemilik telapak kaki yang kini sedang menginjak dadanya.

Peri bertelinga runcing itu mendekatkan wajah pada Elijah, menyeringai, menampakkan deretan gigi yang seluruhnya adalah emas. Matahari yang mulai meninggi memantulkan garis cahaya pada gigi-giginya, menimbulkan efek berkilau. Elijah sampai harus menutup kelopak matanya untuk menangkis silau. "Beberapa tahun belakangan ini aku selalu menyinggahi tempat ini, tetapi aku tak pernah menemukan satuc pun bangsa Elf berkeliaran di alam liar pulau ini. Bukankah kalian adalah makhluk yang tinggal berkelompok? Harusnya kau tidak ada di tempat ini, bedebah!" Wajah kecokelatan berahang tegas yang dihiasi kumis dan janggut tipis itu semakin mendekat. Matanya menyipit penuh selidik. "Siapa kau? Dan, apa yang kau lakukan di Fearsome Enclave, tempat paling berbahaya di Faeseafic?" tanyanya lagi dalam suara rendah yang mengancam.

Di bawah sepatu boot kulit peri laki-laki itu, Elijah menggeliat. Berusaha sekuat tenaga mengendurkan pijakan di dadanya. "Lepaskan!" desisnya.

Peri laki-laki berpakaian tunik longgar dengan rompi tak berkancing itu menggeram dan semakin menekankan kakinya. "Kau berani melawanku, hah?" Seolah dapat merasakan pembangkangan terselubung Elijah dalam kata-katanya, bajak laut itu mulai tersulut emosi. Ia membuang tempurung kelapa yang telah dinikmatinya ke sembarang arah hingga nyaris mengenai beberapa peri elf lain yang berdiri tepat di belakangnya. Dengan gerakan cepat, ia lantas menghunus pedang pendeknya dan menodongkannya pada Elijah. Bilah tajam pedang itu terasa dingin saat menyentuh kulit dadanya yang telanjang.

Sesosok peri Elf lain bertubuh besar dengan rambut cokelat bergelombang mendekati mereka. Peri laki-laki itu menendang tungkai Elijah, sembari menodongkan senjatanya. "Jawab pertanyaan Kapten kami?!" hardiknya tanpa ekspresi.

Elijah meringis kesakitan. Perlakukan seperti ini benar-benar tak dapat ia terima. Kemarahan menjadi bahan bakar yang sungguh sangat efektif untuk memompa semangat perlawanan. Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, Elijah mendorong cepat telapak kaki yang mendesak dadanya. Gerakan itu sama sekali tak diduga oleh sang bajak laut dan anak buahnya.

Bajak laut itu terjengkang, bokongnya menghantam pasir. Para peri elf lain yang kemungkinan besar adalah anak buahnya sontak menghampiri dan membantu peri laki-laki itu berdiri.

Elijah tak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia lantas bangkit dan mengarahkan telapak tangannya yang terbuka kepada para bajak laut. Persis seperti yang ia lakukan saat berhadapan dengan Acromantula. Namun, tak ada yang terjadi. Tak ada cahaya ungu yang harusnya memendar keluar dari sana. Tak ada apa pun, selain kepanikan yang mulai menggerogotinya. Sialan!

Kapten Bajak Laut itu telah bangkit kembali dengan pedang berbilah lebar yang ujungnya meruncing terhunus di genggaman. Ia memasang kuda-kuda, siap menyerang. Menantangnya dengan sorot mata penuh dendam. Setidaknya terdapat enam sosok peri lainnya di sisi sang kapten. Mereka mengenakan tunik kusam yang penuh tambalan sembari mengacungkan berbagai jenis senjata ke arahnya. "Kau telah menantang maut, Bedebah! Sebelum kau mati, ada baiknya jika kau mengetahui siapa pembunuhmu. Aku, Tribal 'The Gold Digger' Tydes, Bajak Laut paling ditakuti di seantero Faeseafic!" teriaknya menggelegar, lengkap dengan aura pembunuh yang memancar kentara.

Bajak Laut? The Gold Digger? Apa-apaan ini? Ternyata ini alasan Lorelie mendadak meninggalkannya dan kembali menuju lautan. Dasar duyung sialan! bajak laut sialan!

Elijah berusaha menenangkan kegentarannya dengan meraih dayung patah yang berada dalam jarak paling dekat dengannya, mengacungkannya dengan kedua lengan sebagai senjata. Benda itu bergetar sebagai manifestasi kegentarannya menghadapi sang kapten dan anak buahnya. Ia merutuki diri dalam hati karena sama sekali tak menyadari keberadaan Kapten Tribal dan kru-nya di Fearsome Enclave.

"Rage, geledah dia! Seperti biasa ambil barang-barang berharga yang ia miliki!" titah Kapten Tribal pada peri laki-laki yang masih menodongkan senjata kepadanya. Rambut keriting peri laki-laki besar itu memantul-mantul liar saat ia mengangguk takzim untuk memenuhi perintah sang kapten.

Tanpa bicara, Rage merangsek maju mendekati Elijah, diiringi peri lainnya yang secara otomatis membuat formasi melingkar disekeliling Elijah.

Dengan gerakan tangkas, Rage menggeledah seluruh kantung di celana Elijah, mengeluarkan barang-barang apa pun yang ada di sana, termasuk segenggam pasir dan beberapa bongkah batu kecil yang entah sejak kapan tersimpan di dalam sakunya. Elijah berang, berusaha menghindar. Namun, todongan pistol flintlock membuatnya terpaku di tempat. Elijah hanya pernah melihat benda itu sekali dalam salah satu perkamen tentang lautan di perpustakaan Claude dan tidak pernah berhadapan dengan benda itu secara langsung. Senjata pamungkas para bajak laut yang mereka adopsi dari dunia manusia itu cukup untuk membuat nyawanya melayang dalam satu kali tembakan.

Di bawah todongan Ryle, sesosok bajak laut dengan tubuh dipenuhi tato, Rage akhirnya dapat dengan leluasa menggeledah Elijah. Namun, saat peri laki-laki keriting itu mengeluarkan sekeping emas murni dari kantung terakhir di salah satu pahanya, Elijah membelalak dan berusaha meraih benda itu kembali. "Itu milikku!" desisnya.

"Diam atau kau akan mati!" Sesosok peri dengan pistol flintlock dalam genggaman mengancamnya.

Elijah menggeram, kembali bergeming. Sementara Rage mengangkat kepingan emas itu tinggi-tinggi agar cahaya matahari mengenainya. Logam itu berpendar dalam cahaya putih samar, sebelum mencetak lambang sepasang peri bersayap di dalam sebuah lingkaran.

"Apa itu, Rage? Serahkan padaku!" Sang kapten tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. Telapak tangannya terulur dengan jari-jari bergerak menuntut.

Rage yang masih menganga takjub, kemudian menyerahkan logam emas itu dengan enggan ke tangan kaptennya. "Sepertinya itu lambang kerajaan, Tuan."

Sang kapten menyambutnya dengan mata berbinar."Emas," gumamnya penuh cinta. Ia membawa logam mulia itu ke dekat lubang hidungnya. Menghidu bau logam khasnya. "Emas." Ia berucap lagi. Bahkan, Elijah dapat melihat semburat merah membayang di kedua pipi sang kapten. Peri laki-laki itu rupanya tergila-gila dengan emas.

Setelah puas mengamati pendar cahaya mewah yang terpantul oleh sinar matahari, Kapten Tribal mengalihkan tatapannya kepada Elijah sembari membuka penutup hitam pada sebelah matanya. Senyum miring terpatri di bawah sederet kumis gelap tipis. Kapten bajak laut itu memang terlihat lebih rapi dari bajak laut pada umumnya yang diceritakan dalam perkamen-perkamen tentang laut di Avery. Namun, satu hal yang sama dan sangat kentara yaitu binar kelicikan pada bola mata karamelnya.

"Tahan senjatamu Ryle, sepertinya ada kesalahpahaman di sini," ucapnya diiringi kekehan. Bau laut menguar dari tuniknya saat peri laki-laki itu berjalan perlahan mendekati Elijah. Netra karamelnya meneliti setiap inci tubuh sang peri seolah sedang menilai dan menaksir harga sebuah mutiara.

Ia tersenyum lebar, lagi-lagi memamerkan gigi emasnya. "Dari mana kau mendapatkan logam mulia ini? Aku sangat mengenali logam ini. Hanya ada satu-satunya kerajaan besar di Fairyverse yang memiliki lambang sepasang peri bersayap seperti ini." Peri laki-laki itu berbisik teatrikal tepat di depan lubang telinga Elijah, seolah takut perkataannya itu didengar oleh anak buahnya. Senyumnya meredup seketika dan sepasang netra itu memicing curiga. "Kau tidak mencurinya dari sesosok peri elf, bukan?"

Elijah mendesis di antara gigi-giginya yang gemeletuk. "Kembalikan milikku!"

Kapten Tribal terbahak. Binar kelicikan itu kini terlihat jelas pada sepasang bola matanya. Elijah bergidik membayangkan apa yang mungkin saja terlintas di kepala sang kapten.

Melihat Kapten Tribal terbahak, anak buahnya yang semula terdiam jadi ikut tertawa terbahak-bahak. Derai tawa itu sontak berhenti saat sang kapten mendelik tajam sekilas ke arah mereka.

Mendadak pesisir pantai itu kembali hening, Kapten Tribal kembali menyorot Elijah dengan tatapan tajam. "Tampaknya kau memang pemilik keping logam mulia ini," gumamnya menimbang. Tatapannya beralih dari Elijah kepada benda berkilauan di telapak tangannya, kemudian ke arah Rage yang berdiri tepat di samping Elijah. Mengangguk sekilas pada peri bertubuh besar itu, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Tampaknya kita akan menerima tamu hari ini, siapkan segalanya, Rage!" tuturnya penuh kepuasan.

Rage mengangguk takzim, kemudian menurunkan todongan senjatanya. Hal itu diikuti oleh peri elf lainnya, termasuk si penembak Ryle. Ketegangan pada udara di sekitar Elijah perlahan mengendur. Namun, tidak dengan kemarahan yang ia sembunyikan di dalam dadanya.

"Tidak akan ada tamu hari ini!" Elijah membantah sembari mengayunkan tinjunya cepat tepat ke arah hidung Kapten Tribal. Awak kapal lain sontak menjerit dan mendekat cepat membentuk formasi perlindungan bagi sang kapten. Elijah bersiap mengayunkan kembali pukulannya saat Rage dengan sigap menghantam bagian belakang kepalanya dengan gagang pedang lebih dulu.

Tubuh Elijah terhuyung lantas terjerembab di atas hamparan pasir. Hal terakhir yang ia dengar adalah teriakan marah sang kapten pada anak buahnya. "DASAR, BEDEBAH! GIGI EMASKU! Rage, seret bedebah kecil ini ke kapal! Dan, Ryle, cari gigi emasku. Demi leluhur para pelaut! Jika kau tak dapat menemukan gigi emasku, aku akan mengumpankanmu pada ikan Hiu!"

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top