6.🌙Under The Moonlight
Pupil mata Elijah melebar, takjub. Segala sesuatunya secara ajaib berhenti, tak bergeming. Peri laki-laki itu lantas menurunkan telapak tangannya dan menatap pendar cahaya keunguan yang menyorot dari sana. Rasanya ia tak pernah ingat jika pernah memiliki kekuatan seperti ini. Bukankah ia selalu melewatkan latihan sihirnya di Avery untuk membolos dengan Elwood?
Mengesampingkan pertanyaan yang bergelanyut di pikirannya, Elijah melangkahkan kaki perlahan mendekati sosok Acromantula dan Lorelie yang mematung. Benar-benar seperti patung yang menakjubkan. Monster bermata delapan itu membeku dalam posisi mulut menganga dengan salah satu tungkai besar berbulunya terangkat ke udara, mencengkeram pinggang ramping Lorelie. Benar-benar pemandangan mengerikan. Sementara, si gadis duyung, bahkan dengan ekspresi ketakutannya masih terlihat menawan. Wajah pucatnya yang berbibir merah terpatri seumpama pahatan. Tubuh rampingnya melayang di udara dengan pinggang melenting seolah nimfa penari yang tengah berdansa saat pesta di kerajaan Avery.
Elijah berjinjit. Salah satu tangan terulur menggapai pipi mulus sang duyung. Seulas senyum mengejek terbit dari bibirnya. Namun, tiba-tiba peri laki-laki itu terkesiap saat manik mata biru Lorelie melirik padanya dengan sorot tak senang. Embusan napas hangat kemudian menerpa paras rupawannya.
Elijah sontak menurunkan pandangan sembari menarik tangannya. Tatapannya kini teralih pada wajah berbulu besar monster bermata delapan yang baru saja mendengus kasar tepat di depan wajahnya. Jarak di antara wajah mereka sangat dekat, dan delapan mata merah itu kini mengedip padanya.
Tubuh Lorelie mendadak jatuh tepat di dalam pelukannya, sementara Acromantula itu meraung marah. Lagi-lagi Elijah merasakan semburan napas panas itu tepat di depan wajahnya.
"LARI!"
Sebelum peri laki-laki itu sempat menyadari situasi yang mereka hadapi, Lorelie telah menarik pergelangan tangannya lebih dulu dan menyeretnya menjauhi Acromantula. Makhluk berkaki delapan yang juga telah terbebas dari pengaruh sihir itu lantas memburu mereka sembari mengaum marah. Apa pun yang menghadang langkah besar makhluk itu akan dilibasnya dengan dua kaki depannya yang berfungsi seumpama lengan.
Belantara Fearsome Enclave kembali dipenuhi suara-suara bisikan pepohonan dalam bahasa yang tak Elijah pahami. Sulur-sulur tanaman yang melambai di sekitar pelarian mereka seumpama sorakan dan teriakan pertaruhan.
"Melompat ke sungai!" Gadis duyung itu menoleh sekilas pada Elijah yang berlari di belakangnya. Suara teriakannya tertelan keriuhan hutan.
"A-apa?!" Elijah melirik ngeri ke arah sungai besar yang mengalir di sana. Sungai kecil dan dangkal yang semula mereka lewati telah berganti menjadi sebuah sungai besar berarus deras. Air beriak dan berbuih hingga dasar sungai sama sekali tak terlihat. Sungai itu sepertinya benar-benar dalam. Batu-batu besar menyembul di beberapa bagian membuat semacam pusaran air.
Elijah bergidik membayangkan tubuhnya teraduk-aduk di dalam sana. Mungkin saja mereka luput dan tak akan menjadi santapan malam Acromantula, tetapi mereka belum tentu akan hidup jika masuk ke dalam sungai. "Apa kau gila?!" teriaknya pada Lorelie yang mulai menariknya ke arah sungai.
"Apa kau mau jadi makan malam si laba-laba lapar?"
"Tidak!"
"Maka melompatlah bersamaku!"
Cengkeraman tangan dingin Lorelie mengerat. Belum sempat Elijah menjawab, gadis duyung itu membuatnya terpaksa mempercepat larinya ke tepian sungai, lantas melompat tanpa aba-aba. Kedua peri elf itu berteriak saat tubuh mereka melambung ke udara. Bunyi kecipak yang cukup keras terdengar saat permukaan air sungai yang beriak menelan tubuh mereka bulat-bulat. Hal terakhir yang Elijah dengar adalah suara raungan marah disertai lolongan sang monster yang membelah belantara, sebelum suara arus air menguasai pendengarannya.
🍀🍀🍀
Elijah merasakan napasnya hampir habis saat Lorelie menggiring tubuhnya kembali ke pesisir pantai. Sungai berarus deras itu rupanya menyeret kedua peri itu hingga ke laut lepas. Beruntung ia bersama si duyung, perenang handal itu tahu persis ke mana mereka akan berlabuh setelah pelarian yang menguras energi itu.
Elijah terbatuk hebat, mengeluarkan sejumlah besar air dari hidung dan mulutnya untuk beberapa saat. Tubuh bagian atasnya yang kini telanjang itu lantas jatuh terlentang menghantam pasir. Sekujur tubuhnya terasa lemas dan menggigil di saat bersamaan. Perlahan ia membalik tubuhnya ke samping dan menekuk lutut ke dadanya. Matanya terpejam, perlahan mulai terlalai, saat suara Lorelie berbisik di telinganya.
"Kau baik-baik saja?"
Embusan napas hangat beraroma kayu manis milik peri perempuan itu membuat bulu kuduk Elijah meremang sesaat. Suara yang terdengar sangat dekat itu berhasil membuat seluruh kesadarannya terkumpul, terkesiap. Kelopak mata peri laki-laki itu terbuka.
Wajah cantik Lorelie terpampang tepat di atas wajahnya. Sudut-sudut bibir gadis duyung itu tertarik.
"Inikah caramu membangunkan peri laki-laki saat terdampar di tempat sepi?!" Elijah menghardik sembari beringsut mundur dengan bertumpu pada sikunya.
Lorelie menarik tubuhnya sambil tersenyum simpul. Sepasang lesung di pipinya merekah, membuat Elijah membuang pandangan. Gadis duyung itu benar-benar mengujinya.
"Aku tidak pernah terdampar dengan siapa pun sebelumnya. Kau yang pertama, Tampan."
"Elijah. Namaku Elijah. Puas kau sekarang?!" Peri laki-laki itu bangkit dengan berang. Berbaring bertelanjang dada dengan sesosok peri perempuan centil di hadapan, membuatnya merasa tak nyaman. Gadis duyung itu benar-benar sulit ditebak.
Garis bibir Lorelie tertarik lebih lebar. Senyum kemenangan itu membuat Elijah sedikit muak. "Kau baik-baik saja?" ulangnya dengan suara lembut yang terlalu dibuat-buat.
Alih-alih memberikan jawaban, Elijah malah memasang tampang penuh tanda tanya. Alisnya mengernyit hingga membuat kerutan samar di antara kedua alis matanya. "Bukan urusanmu!" sahut peri laki-laki itu ketus.
Lorelie mengedikkan bahu. "Jadi apa rencanamu setelah ini?"
Kerutan di antara kedua alis Elijah semakin dalam. "Kau pikir kita sudah berteman atau semacamnya, hah?!" Kepalanya menggeleng frustrasi.
Namun, Lorelie sama sekali tak mengubah ekspresinya. Bibir Semerah darahnya tetap tersenyum. Matanya juga mengedip genit setiap kali ia selesai berbicara. "Jadi, kau lebih memilih sendirian dan dimangsa pepohonan di Fearsome Enclave? Kau tahu, saat kita bersama, bukankah kita terlihat sangat keren?"
Elijah menyipitkan sebelah matanya. Kesabarannya benar-benar sudah di ujung tanduk. "Harusnya kau kembali ke lautan dan menemui ibumu di sana. Aku takut badai akan datang saat ibumu tahu kau telah hilang dari peraduan."
"Aku tidak punya ibu. Dan, rumahku bukan di lautan," sahut Lorelie sembari meluruskan tungkainya yang semula tertekuk, memamerkannya pada Elijah ekspresi menyebalkan.
Elijah meneguk ludah kasar. Perdebatan ini bisa saja berlangsung semalaman dan kesabarannya benar-benar telah habis. Namun, ia memang tak punya pilihan. Malam ini sepertinya ia harus bertahan di tempat itu, sebelum mencari kapal atau apa pun yang dapat membawanya meninggalkan Fearsome Enclave.
Hening sesaat, sebelum akhirnya Elijah memutuskan untuk membuka suara.
"Makhluk apa kau sebenarnya?" tanyanya setelah susah payah meredam emosi.
Mata Lorelie membulat antusias saat mendapat sedikit perhatiannya. "Aku peri elf, sama sepertimu. Makanya, aku fasih berbahasa Avaric," jawabnya bangga.
"Tapi, kau memiliki sirip, bagaimana bisa?" Elijah bertanya tanpa minat. Pandangannya sibuk menyusuri tepian pantai di sekitar untuk mencari ranting dan dedaunan kering yang dapat digunakan untuk membuat api.
"Aku dikutuk. Sinar rembulan membuatku kembali pada wujud asliku. Namun, kala sinar bulan menghilang maka aku akan kembali menjadi duyung. Hal ini akan berulang setiap hari hingga aku tak bisa berenang kemanapun dan meninggalkan pulau terkutuk ini." Senyum di bibirnya menguap, berganti percikan kesedihan yang tersirat pada bola matanya. Namun, semua itu hanya berlangsung sesaat. Wajahnya kembali ceria saat ia kembali melanjutkan kata-katanya. "Aku rasa kau juga terkena kutukan, tapi barangkali peri perempuan itu membuat semacam pelindung hingga tungkaimu tak berubah menjadi sirip."
Kata-kata Lorelie barusan sontak membuat Elijah menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap netra si gadis duyung. Sejumlah ranting dan daun kering yang telah menggunung di hadapannya, seketika runtuh akibat tersenggol sikunya. "Peri perempuan?"
Lorelie mengangguk. "Apa kau tak mengingat peri perempuan yang tenggelam bersamamu? Sesosok peri cantik berambut gelap. Kuakui seleramu bagus juga. Namun, malang sekali, peri perempuan itu menghilang, terseret arus atau barangkali ...."
Perempuan duyung itu menghentikan ucapannya, terlihat ragu-ragu.
"Barangkali apa?" Elijah menyambar tak sabar.
Lorelie menggigit bibir bawahnya. Tidak, ia tidak sedang menggoda. Wajahnya mengelam tiba-tiba. Gadis duyung itu membuka mulut hendak melanjutkan ucapannya, tetapi sesuatu menahannya.
Elijah menaikkan satu alisnya, menandakan jika ia masih menanti jawaban. Tatapan tajamnya menyorot pada Lorelie. Sementara, kedua lengannya menyilang di depan dada, menguarkan aura mengintimidasi yang cukup kentara.
Setelah membuka dan menutup mulutnya berkali-kali, suara rendah setengah berbisik akhirnya lolos dari bibir sang duyung. "Barangkali ... penyihir lautan mengambilnya." Sepasang bola mata Lorelie mengerling liar ke sekitar. Seolah takut jikalau ucapannya terdengar oleh makhluk lain.
Tawa Elijah seketika meledak. Kedua bahu peri laki-laki itu sampai berguncang. "Kau sama saja dengan kru kapal Alamein. Itu cuma mitos. Tak ada yang pernah melihat penyihir lautan atau apa pun itu selama ratusan tahun." Peri laki-laki itu kembali sibuk menyalakan api. Angin malam yang berembus membuat usahanya berkali-kali gagal.
"Dia benar-benar ada, Elijah. Lihat tubuh bersisikmu itu. Hanya Penyihir Lautan yang bisa melakukannya." Suara lembut Lorelie bergetar. "Sirip ini juga adalah kutukannya. Aku yakin dia juga yang mengambil peri perempuan yang bersamamu waktu itu."
Mata Lorelie tak lagi mengedip ketika mengisahkan tentang Penyihir Lautan, membuat tawa sang pangeran peri mendadak lenyap. Elijah kembali mengumpulkan tumpukan ranting dan daun kering, menyembunyikan fakta bahwa pelipisnya berdenyut dan terasa nyeri saat ia mencoba mengingat peri perempuan yang dimaksud sang duyung. Apakah ia telah melupakan sesuatu?
Seolah mengetahui apa yang disembunyikan peri laki-laki itu di balik gumpalan surai gelapnya yang basah, Lorelie kembali bertanya. "Kau tak mengingat peri perempuan itu?"
Elijah mengangkat wajahnya hingga netra biru mereka beradu sesaat. Namun, ia enggan mengatakan apa pun. Kedua tangannya sibuk membuat api yang pada akhirnya kembali padam, lalu mengembuskan napas panjang. "Sepertinya aku akan tidur dengan kedinginan malam ini," ucapnya lirih.
Lorelie yang mendengar jawaban itu berdecak. Barangkali ia tahu jika Elijah hendak menghindarinya dan semua percakapan ini. "Aku bisa menghangatkanmu malam ini ..." bisiknya seraya mencondongkan tubuh ke arah Elijah.
Peri laki-laki itu mengernyit sebagai respon. Sementara, kedua lengannya kini memeluk tubuh yang menggigil.
"Berbaringlah!" Lorelie berdiri, mendekatinya.
"Apa kau sudah gila? Apa yang akan kau lakukan?!" Elijah menepis lengan gadis duyung yang terulur padanya dengan kasar.
Netra biru itu membelalak kaget. "A-aku hanya akan menghangatkanmu," sahutnya dengan wajah tanpa dosa.
Emosi Elijah tersulut seketika. "Menjauh dariku. Atau aku akan membunuhmu!"
Lorelie menarik tangannya. "Berbaringlah!" titahnya pelan, lalu meraih tumpukan rumput laut di dekatnya dengan kedua tangan. "Aku akan menyelimutimu dengan ini dan memberi sedikit serbuk peri. Ini akan menghangatkanmu."
"A-apa?" Elijah membelalak, kemudian meneguk ludahnya kasar, menelan rasa malu yang perlahan mulai merambati pipinya. Andai cahaya bulan lebih terang, gadis duyung itu pasti bisa menyadari pipi peri laki-laki itu memerah. Ia telah berprasangka yang tidak-tidak pada Lorelie.
Dengan berlagak tak acuh, Elijah membaringkan tubuhnya pada pasir putih, memunggungi Lorelie agar gadis duyung itu tak menyadari rona yang menyala pada kedua pipinya. Ia memejamkan matanya, berpura-pura tidur.
Hening kembali merambat pada ruang kosong di antara mereka. Lorelie mendekatinya perlahan, terdengar dari langkah samar yang menjejak pasir. Sementara, Elijah tetap bergeming.
Beberapa saat kemudian peri laki-laki itu merasakan sesuatu yang ringan menekan permukaan kulitnya. Bau daun kering bercampur amis samar menyeruak memenuhi penciumannya, bau rumput laut. Perlahan kehangatan merambat di sekujur tubuh Elijah, membuat tubuh lelahnya dalam sekejap terlelap ke alam mimpi.
"Selamat tidur, tampan."
🍀🍀🍀
Elijah.
Sayup-sayup Elijah mendengar suara sesosok makhluk menyeru namanya. Lembut, tetapi dingin di saat bersamaan. Panggilan itu terasa familier. Namun, entah mengapa sangat sulit baginya untuk sekadar mengingat. Seolah sekeping kenangan telah menghilang dari kepalanya.
Elijah.
Perlahan-lahan peri laki-laki itu membuka kelopak matanya saat panggilan itu terdengar lagi. Kali ini terasa lebih dekat dan semakin jelas.
Langit kelam berkabut menyambut pandangannya untuk pertama kali. Ia menyisir tempat itu dan menyadari jika ia masih di sana, di pesisir pantai Fearsome Enclave. Hari masih terlampau gelap.
Elijah mengangkat tubuhnya, setelah menyibak tumpukan rumput laut yang menyelimuti dada telanjangnya. Serta merta dingin yang tajam menusuk kulit peri laki-laki itu hingga membuatnya menggigil.
Elijah.
"Lorelie, berhentilah bermain-main!" decaknya dengan suara gemetar menahan hawa dingin. Diedarkannya pandangan ke sekitar mencari sosok peri perempuan berambut merah yang barangkali mengawasinya dari suatu tempat. Namun, gadis duyung itu tidak ada di mana pun, sejauh mata memandang.
Lautan Faeseafic begitu sepi dan gelap, hanya gulungan ombak yang samar-samar terlihat di balik kabut yang entah datang dari mana. Sesosok bayangan muncul di antara kabut dari arah laut, seolah naik bersama gulungan ombak. Sosok itu mendekat perlahan ke tepian pantai berpasir putih yang tak terjangkau ombak.
Sosok berpostur serupa peri elf itu berjubah hitam pekat. Separuh wajah pucat mengintip dari balik tudung besarnya.
Elijah beringsut mundur, saat sosok itu berjalan semakin dekat kepadanya. Peri laki-laki itu meraih sebilah dahan pohon lembab dan mengacungkannya sebagai senjata.
Pada satu titik sosok itu berhenti, lalu menurunkan tudung yang sedari tadi menyembunyikan parasnya. Netra ungunya menyala. Alih-alih menyorotkan ancaman, tatapan itu malah memancarkan kesedihan yang dalam sekejap menulari Elijah.
"Siapa kau?"
Kau tidak mengingatku?
Perlahan kabut yang serupa tabir samar itu menyusut, seolah tersedot oleh sesuatu yang berasal dari lautan. Suara ombak dan angin mendadak berhenti. Kini semua hening, menyisakan kedua makhluk yang saling bertatapan dalam kedukaan yang aneh.
Elijah membuka bibirnya, hendak meloloskan tanya pada sosok yang membuat perasaannya terasa berat. Namun, dari arah lautan, gulungan ombak yang begitu besar mendadak muncul tanpa peringatan.
Elijah dan sosok itu sontak menyorot pada bayangan hitam yang menderu. Dalam sekejap mata, lautan tumpah ruah menelan dan menyapu apa pun di sepanjang pesisir Fearsome Enclave.
Tubuh Elijah terseret dalam gelombang besar. Semuanya menjadi gelap dan berbau lautan. Ia merasa pernah mengingat sesuatu yang seperti ini sebelumnya, entah kapan dan di mana. Tubuhnya terombang-ambing dalam pusaran yang tak dapat ia lihat untuk beberapa saat lamanya hingga ia nyaris kehabisan napas. Dadanya mulai sesak dan pening mendera pelipisnya. Mendadak tubuh Elijah terasa ringan. Arus yang menyeretnya seakan telah berhenti, sehingga tubuhnya dapat melayang tanpa beban. Perlahan-lahan kesadarannya mulai terenggut.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top