5.🕷️Acromantula

Setelah kepergian sang peri, Lorelie memutuskan untuk kembali ke laut dengan membawa pedang estoc dalam genggaman. Wajah duyung itu tertekuk setelah pertemuan pertama yang menyebalkan dengan peri laki-laki yang ditolongnya. Hati dan pikirannya perlu sesuatu yang dingin seperti air laut Faeseafic.

Lorelie menceburkan dirinya pada gulungan ombak besar yang menampar pesisir. Tubuhnya terbawa arus ke tengah, sebelum ia menyelam di kedalaman samudera. Air laut di pagi hari benar-benar membuat semangatnya pulih. Namun, ia justru tak bisa mengalihkan pikiran dari bayangan paras rupawan sang peri. Semakin dalam ia menyelam, semakin ia bertanya-tanya mengenai keadaan Elijah kini.

Fearsome Enclave bukanlah pulau yang ramah. Hal itulah yang menyebabkan pulau itu tak pernah berpenghuni. Entah apa yang ada di dalam sana. Namun, suatu masa, sesosok peri bajak laut pernah singgah di sana dan tak pernah keluar hingga kini.

Alih-alih berenang ke dasar lautan, Lorelie yang dilanda bimbang malah sibuk berputar-putar di dekat permukaan laut tanpa tujuan yang jelas. Perdebatan sengit tengah berkecamuk di balik rambut tebal merah menyalanya. Haruskah ia membiarkan peri laki-laki itu begitu saja atau menyelamatkannya? Makhluk penunggu belantara Fearsome Enclave sudah pasti akan membinasakan peri laki-laki yang sedang terluka parah itu. Jika demikian, maka Lorelie harus bersiap selamanya menjadi duyung terkutuk, penghuni Faeseafic selamanya.

Lorelie menggeleng. Terlampau keras hingga gelombang tercipta di sekitarnya. Ikan-ikan kecil yang sedang berenang di dekatnya refleks menghindar. Ia tak ingin seperti ini seumur hidup, seharian di lautan dan sepanjang malam di daratan. Awalnya mungkin terlihat menyenangkan, bisa memiliki ekor dan tungkai di saat bersamaan. Namun, ia tak akan pernah pergi kemana pun. Ia tak akan pernah kembali pada kehidupannya dahulu. Maka, saat hari beranjak petang yang ditandai dengan perubahan permukaan laut yang perlahan berwarna lembayung, duyung itu memutuskan untuk kembali ke pesisir pantai Fearsome Enclave.

Ombak petang bergulung dan menderu lebih tinggi dari biasanya, menyapu hingga bagian pasir putih yang semula kering. Setelah berhasil menyelundup bersama ombak yang menyeret tubuhnya dalam sebuah gulungan besar ke pesisir, Lorelie menyeret tubuhnya menggunakan kedua lengan, menuju bagian pasir putih yang tak terjangkau gulungan air asin. Wajah basahnya memancarkan kegusaran yang begitu kentara.

Duyung berekor kuning pucat itu tertegun menatap belantara Fearsome Enclave yang bermandi remang cahaya senja kala. Siluet gunung yang menjulang tinggi dengan puncak berselimut kabut terhampar dengan daya magis yang kuat dihadapan. Hanya dengan memandangnya, sang duyung telah tahu kengerian macam apa yang tersembunyi di dalam.

Lorelie meneguk ludahnya kasar, lalu bergidik sekilas, sebelum mengalihkan pandangannya pada garis horizon yang mulai terlihat samar. Malam akan segera datang. Namun, ia harus bersabar beberapa saat, menanti rembulan yang tak serta merta muncul dan memancarkan sinarnya. Sungguh ia tak pernah mengharapkan kedatangan cahaya bulan jauh lebih cepat seperti saat ini.

Saat ia sibuk berjibaku dengan prasangkanya sendiri, tiba-tiba suara teriakan jeri membahana dari belantara di balik punggungnya. Lorelie menoleh cepat dan netra birunya menangkap siluet beberapa ekor burung yang berhamburan dari tengah-tengah hutan. Seketika dadanya membuncah. Andai mungkin, maka ia akan menyeret ekornya menerobos rimba Fearsome Enclave saat itu juga.

🕸️🕸️🕸️

Belantara tak berujung itu berakhir saat sayup-sayup suara aliran sungai tertangkap pendengaran Elijah. Tungkai-tungkainya yang nyaris menyerah setelah beberapa kali terperosok dalam kubangan lumpur hisap dan hampir kembali terlilit oleh sulur tanaman hidup itu seolah mendapat asupan energi. Elijah merapal keyakinan dalam dadanya bahwa pelarian ini akan segera berakhir. Semua kelelahan ini akan berpunca pada satu titik. Ia hanya perlu berusaha sedikit lagi.

Elijah akhirnya tiba pada penghujung hutan. Setidaknya itu dugaannya kala mendapati celah kecil yang menyembunyikan aliran sungai di baliknya. Tubuh ringkih itu menerobos celah di antara rapatnya pepohonan. Pemandangan aliran sungai berarus tenang seumpama oase yang memikatnya. Tanpa berpikir panjang, peri laki-laki itu lantas melompat terjun ke dalam aliran sungai yang dangkal. Dasar sungai yang terdiri dari susunan bebatuan alam segera menyambut tubuhnya. Lompatan yang ia lakukan berhasil memangkas jarak yang harusnya ditempuh dengan beberapa langkah.

Air sungai beriak saat tubuh kotor Elijah menghambur ke dalamnya. Serta-merta permukaan sungai yang bening itu berubah sedikit kecokelatan. Di tepian sungai, puluhan sulur tanaman mencoba menggapai tubuhnya. Namun, tertahan di udara oleh kekuatan tak kasat mata. Selintas ia menerka barangkali sulur tanaman itu tak cukup panjang untuk melewati sungai. Suara raungan dan lolongan mengerikan seketika memenuhi seantero rimba, membuat Elijah bergidik lalu menenggelamkan kepalanya ke bawah permukaan air.

Setelah suara raungan berangsur menghilang dan sulur-sulur tanaman tertarik kembali ke asalnya, barulah Elijah keluar dari sungai. Peri laki-laki itu meraup udara di sekitarnya dengan rakus sembari menggeleng untuk menepis tirai air yang ia bawa serta. Tubuh lelahnya sedikit terasa segar setelah berendam di sana. Bagian terpenting dari semua itu adalah ia telah terbebas dari sulur tanaman mengerikan.

Dengan terburu-buru Elijah menyeberangi sungai dangkal yang tak terlalu besar, menepi pada arah yang berlawanan. Kecemasan masih menyirat jelas di wajahnya kala membayangkan kemungkinan sulur tanaman itu kembali dan menyerangnya.

Elijah berhenti pada sebongkah batu yang cukup besar begitu kakinya mencapai tepian sungai. Napasnya memburu, sementara sisa air masih mengaliri wajah dan sekujur tubuhnya. Ia duduk di sana untuk beberapa saat, menenangkan napas dan mengistirahatkan tungkainya yang kelelahan. Luka dan memar disekujur tubuh yang sedari tadi ia lupakan kini kembali berdenyut nyeri.

Perlahan-lahan tubuhnya merosot jatuh, bersandar pada sisi batu. Kelopak matanya mulai terasa berat. Gejolak di perutnya tak ia acuhkan. Elijah juga mengabaikan ikan-ikan yang berlompatan di permukaan sungai dan perutnya yang terus bergemuruh. Tenaganya benar-benar terkuras. Kelelahan teramat sangat membuatnya jatuh tertidur.

Rasanya ia baru terlelap sebentar, saat tiba-tiba sebuah suara menggerung nyaring terdengar memekakkan telinga, hingga memaksa kesadarannya terkumpul. Langit telah gelap saat peri laki-laki itu membuka kelopak matanya susah payah. Elijah terlonjak dari rebahnya, kemudian menghindar dengan sempoyongan.

Netranya membulat begitu mendapati pemandangan mengerikan yang menyambutnya di sana. Jauh lebih mengerikan daripada monster pepohonan yang mengejarnya dengan sulur tanaman. Tubuh Elijah gemetar. Demi leluhur para peri, makhluk apa lagi ini?!

🕸️🕸️🕸️

Seketika ritual membaca yang ia jalani bersama Claude pada hari-hari tertentu di Avery membayang dalam kenangan. Elijah mungkin tak dapat mengingat sebagian besar infomasi yang tersaji dalam perkamen-perkamen usang atau pun kitab-kitab tebal di ruang belajar mereka karena sebagian besar waktu ia gunakan untuk mendengkur, dan kini ia menyesali itu. Namun, satu hal yang sangat melekat dalam ingatan, isi sebuah perkamen kuno mengenai makhluk-makhluk mengerikan dari berbagai penjuru Fairyverse yang sempat menarik minatnya, dan saat ini, tepat di hadapannya, salah satu makhluk yang tergambar pada perkamen itu tengah meraung marah. Elijah sangat mengingatnya. Acromantula, si monster laba-laba!

Elijah meraih apa pun yang ada di sekitarnya. Batu, ranting, dahan pohon, daun kering, apa saja yang dapat ia gunakan untuk melempar makhluk besar dengan delapan mata sewarna merah darah, sembari berusaha mengenyahkan paniknya. Makhluk itu kini sedang menyorot tajam padanya dengan marah. Hidung besar yang bertengger di bawah deretan mata itu kembang kempis, mengendus aromanya. Bulu-bulu kotor yang tumbuh pada kepala dan bagian belakang tubuh makhluk itu menegak, menambah kengerian parasnya. Tidak, makhluk ini bukan marah, tetapi lapar. Kenyataan itu jauh lebih mengerikan bagi Elijah.

Lengkingan panjang Acromantula membelah hutan, saat mulut bertaring dan penuh air liur itu menganga tepat di depan wajah Elijah. Sungguh, benda-benda yang ia lemparkan sama sekali tak memberi pengaruh apa pun pada laba-laba besar itu.

Acromantula mengangkat salah satu dari delapan kakinya ke udara, bersiap untuk menyerang. Kaki itu memiliki pengait tajam yang kini di arahkan padanya. Jika ia tidak menghindar, sudah dapat dipastikan bahwa ia akan mati.

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, peri laki-laki itu berguling menjauh sehingga kaitan itu luput mengenainya. Ia lantas bangkit dengan cepat seraya menyeret tungkai-tungkainya menjauh, menyisir jalan penuh semak ilalang di pinggiran sungai. Hanya itu satu-satunya jalan keluar. Tak peduli apa pun yang menghadang di hadapan, ia hanya ingin pergi menjauh dari serangga bermata delapan yang sebentar lagi akan menjadikannya santapan makan malam.

Elijah memacu tungkainya dengan napas menderu. Suara aliran sungai menjadi pengiring pelariannya. Beberapa kali kakinya terperosok dalam lubang-lubang tak terlihat di balik rerimbunan ilalang setinggi pinggang peri elf dewasa. Namun, ia segera bangkit dan terus bergerak.

Angin malam mulai berembus, perlahan-lahan awan hitam yang bertakhta di langit malam tersibak hingga cahaya bulan temaram menerobos sela-sela ranting di atas kepala Elijah. Lantas kutukan itu mulai bekerja. Perlahan-lahan peri laki-laki itu merasakan gelenyar aneh pada tubuhnya. Perasaan itu kemudian berganti dengan rasa gatal dan nyeri yang menyerang beberapa bagian tubuh. Peri laki-laki itu sontak meringis, kedua lengannya sibuk menggaruk tubuh. Langkahnya melambat dan sempoyongan.

Makhluk raksasa yang tengah memburunya tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Salah satu kaki Acromantula terulur, kemudian mengait bagian belakang tunik putih lusuh yang ia kenakan. Tubuh Elijah terangkat ke udara disertai bunyi robekan kain. Tubuhnya meluncur turun pada pangkal kaki makhluk itu melalui robekan yang semakin membesar pada pakaiannya. Wajah sang peri kini berada pada posisi paling dekat dengan wajah besar makhluk bermata delapan itu. Pipi mereka saling menempel.

Sesaat Elijah melupakan rasa gatal dan nyeri yang menggelenyar di tubuhnya, terperanjat dengan keadaan. Delapan mata merah menyala itu berhasil membungkam teriakannya. Benang putih perlahan-lahan memintal tubuhnya, sementara peri laki-laki itu masih bergeming.

Dari sudut matanya, Elijah dapat melihat monster itu meraung kegirangan setelah berhasil melilit sekujur tubuhnya dengan benang putih yang hanya menyisakan bagian kepala. Mulut makhluk itu berlahan membuka, semakin lama semakin besar.

Namun, tiba-tiba Acromantula menjerit dengan suara lengkingan tinggi, kesakitan. Tubuh Elijah terlepas dari kaitan salah satu kakinya hingga jatuh menggelinding ke arah sungai dangkal. Benang putih yang menggelung tubuhnya robek dan terlepas.

"MATI KAU!" Suara perempuan terdengar bersamaan dengan bunyi tusukan yang cukup keras. Darah hijau kental yang bercahaya memercik pada aliran sungai di dekat tubuh Elijah yang jatuh terguling. Peri laki-laki itu membelalak.

"Lorelie?!" Tak percaya dengan penglihatannya. Sesosok peri perempuan berdiri di belakang Acromantula dengan pedang estoc berlumuran darah monster terhunus digenggaman. Rambut merahnya berkibar terkena embusan angin malam. Tidak salah lagi. Wajah peri perempuan itu benar-benar mirip dengan rupa duyung centil yang menyelamatkannya di pesisir pantai tadi pagi. Namun, wajah cantik itu entah mengapa terlihat berbeda. Tak ada binar nakal pada netra birunya. Wajah itu begitu tegas memancarkan keberanian dan ajaibnya ia memiliki sepasang tungkai.

Peri perempuan itu melirik Elijah sekilas, sebelum kembali mengayunkan pedang menyambut Acromantula yang telah berbalik dan kini menargetnya sebagai buruan. Rimba hening itu kini terusik dengan suara bilah pedang yang beradu dengan kaki-kaki laba-laba hitam yang sekeras baja. Ranting-ranting dan dahan pepohonan di seberang sungai mulai bergerak gusar. Dalam kegelapan malam, berpasang-pasang mata muncul dari sela pepohonan. Bersamaan dengan kelopak mata mereka yang membuka, bisikan lirih mulai terdengar. Suara-suara dan gemerisik dedaunan perlahan-lahan memenuhi belantara.

Elijah memaksa tubuhnya bangkit dari dasar sungai, setelah melepas sisa pintalan benang laba-laba di tubuhnya. Meski sebenarnya berada di dalam air, jauh lebih baik bagi rasa sakit aneh di beberapa bagian kulit tubuhnya, tetapi Elijah tak bisa diam begitu saja menyaksikan pertarungan tak imbang di hadapannya. Terlebih, saat pedang estoc dalam genggaman Lorelie kini terpelanting ke sungai. Jatuh menghantam batu kali, tepat di samping Elijah.

Pendar pada bilah pedang estoc nyaris redup, saat peri laki-laki itu meraih kembali miliknya dalam genggaman. Dengan sigap peri laki-laki itu melompat naik ke tepian sungai, bersiap menghunuskan pedangnya pada Acromantula yang kini meraih pinggang Lorellie dengan salah satu tungkainya yang paling panjang dan bertentakel. Suara kecipak air sungai tertinggal di belakangnya, saat kakinya menapak rerumputan.

Dengan gerakan cepat, sembari berusaha keras tak mengacuhkan gatal dan nyeri di tubuh, Elijah menghambur pada punggung berbulu monster bermata delapan itu. Kedua lengannya mengalung pada bagian kepala sang makhluk. Acromantula yang merasa risih dengan perilakunya, meraung sambil bergerak liar dan refleks mengendurkan cengkeramannya pada pinggang Lorelie.

"Pergilah!" teriak Elijah yang akhirnya berhasil menancapkan bilah pedangnya pada belakang Acromantula. Makhluk itu menjerit dalam nada yang semakin meninggi saat Elijah menekankan gagang pedangnya lebih dalam. Percikan darah kental hijau yang memendarkan cahaya mengenai pipi peri laki-laki itu. Elijah meringis, merasa perih. Agaknya darah sang monster membuat kulitnya melepuh.

Monster laba-laba yang mengamuk itu menarik tubuh Elijah dengan tungkai-tungkainya yang lain, memaksa peri laki-laki itu melepaskan diri dari tubuhnya. Beberapa saat lamanya, aksi tarik-menarik itu berlangsung hingga akhirnya Akromantula keluar sebagai pemenang.

Tubuh Elijah terpental ke arah rerumputan di pinggir sungai, sementara pedang estoc-nya masih menancap pada punggung monster yang meraung marah. Makhluk itu berjalan cepat ke arahnya untuk membuat perhitungan. Namun, tanpa ia duga, Lorelie menghadang makhluk itu dengan sebilah dahan pohon tua yang berasal entah dari mana.

Peri perempuan berambut merah itu berdiri di hadapannya tanpa sedikit pun rasa takut. Siluet tubuh rampingnya terlihat indah dan heroik dalam temaram cahaya bulan. Entah mengapa, hati Elijah bergetar dibuatnya.

Sial! Pikirannya malah tidak fokus. Elijah mengerang sembari bangkit dari posisinya. Tubuhnya terasa remuk dan nyeri. Selain itu, rasa gatal bercampur panas juga masih terasa kentara menggerogoti beberapa bagian tubuhnya. Namun, ia tak bisa membiarkan Lorelie menyelamatkannya dua kali. Lebih baik ia mati daripada harus berhutang budi dengan gadis duyung itu.

"Kau baik-baik saja, Tampan?" Lorelie menoleh padanya seraya tersenyum penuh arti. Namun, seketika senyum itu menguap saat tubuhnya kembali diraih oleh Acromantula. Duyung itu menjerit. Tubuh rampingnya terombang-ambing di udara layaknya mainan.

Elijah lantas refleks mengangkat tangannya lurus-lurus setinggi dada dengan telapak tangan menghadap sang monster. "HENTIKAN!" jeritnya dengan suara serak yang bergetar.

Cahaya ungu berpendar dari telapak tangannya, menyorot samar ke arah monster yang memainkan Lorelie di udara. Seketika, waktu seolah terhenti. Demikian juga dengan bunyi-bunyian yang memenuhi hutan. Semua hening dan tak bergerak dalam kuasa Elijah.

TBC🕷️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top