43. 🌀 Andromeda's Trident

Bulan kedua yang berasal dari Trisula Andromeda Aerendyl itu meledak, membelah pekat malam yang melingkupi The Phantom Enclave. Cahayanya terang mengalahkan siang hari, disertai bunyi dentuman yang membelah langit. Angin menderu, lautan bergolak saat Trisula paling sakti di seantero Faeseafic itu akhirnya digunakan.

Untuk sesaat Lorelie merasakan tanah di bawah pijakannya berguncang, sementara angin bergulung di sekitarnya hingga membuat si gadis duyung goyah dan harus mencari pegangan. Ia refleks menutup kelopak matanya seraya menanti serangan yang barangkali akan diterimanya.  Lorelie tengah menantikan dan mencoba mengantisipasi rasa sakit, luka, atau apa pun itu, serangan yang diarahkan Andromeda pada setiap bagian tubuhnya. Namun, tidak ada sesuatu pun yang terjadi padanya. Dengan kebingungan, gadis duyung itu membuka kelopak mata. Pemandangan pertama yang tertangkap netranya sungguh sangat mengejutkan.

Bola cahaya dari Trisula Andromeda telah meledak di langit, menciptakan terang sesaat sebelum akhirnya memecah menjadi hujan bunga-bunga api. Bola cahaya itu rupanya meleset, tak mengenai Lorelie seujung kuku pun. Sementara, di bawah hujan bunga api yang jatuh berguguran, Minerva terlihat sedang menyerang Andromeda. Tidak, lebih tepatnya bergulat. Sekilas, peri perempuan itu terlihat dibelit oleh tentakel-tentakel sang penyihir lautan, membuat tubuh kecilnya tenggelam seolah kalah. Namun, jika dilihat lebih seksama, Minerva sedang melakukan perlawanan sengit hingga trisula mematikan milik Andromeda telah terpental dari genggaman. Itulah yang membuat serangan sang penyihir lautan terhadapnya meleset.

Lorelie lantas menyadari hal itu sebagai sebuah peluang. Dalam salah satu dongeng mengenai penyihir lautan yang pernah didengarnya dari sang ibu di masa kanak-kanak, Andromeda Aerendyl tidak akan dapat dikalahkan oleh apa pun, selain dengan trisulanya sendiri. Ingatan itu segera mengilhami Lorelie.

Pandangan Lorelie segera teralih, menyisir sekitar arena pergulatan Minerva dan Andromeda guna menemukan benda bertuah itu. Hujan bunga api memberinya cukup penerangan, meski angin yang bertiup dari lautan membuat surai merah panjangnya beberapa kali menutupi pandangan. Dan, Lorelie pun tengah berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya.

Namun, setelah beberapa saat mencari, Lorelie tak juga menemukan benda itu di mana pun. Ia mulai terserang panik. Saat itu adalah satu-satunya kesempatan bagi Lorelie untuk membalik keadaan atau jantungnya akan menjadi santapan sang penyihir lautan malam itu.

Di tengah kepanikan yang melandanya, sebuah gerakan menyentuh pergelangan tangannya samar hingga membuat atensi Lorelie terpecah. Gadis duyung itu terkesiap, lalu sontak mengalihkan pandangan pada pergelangan tangannya.

Satu lengan Elijah terulur. Dalam gentar, jari-jemari pangeran peri itu mencoba menggapai pergelangan tangannya.

"Elijah. Demi leluhur Para Peri! kau baik-baik saja?" Lorelie yang semula hendak bangkit dan mencari trisula, kembali duduk bersimpuh di sisi Elijah. Sejenak trisula itu terlupakan  Dengan gerakan cepat, ia meraih lengan peri laki-laki itu.

Elijah tidak menjawab. Peri laki-laki itu hanya mengerang samar, sebelum menopang tubuhnya sendiri yang berada dalam posisi menelungkup untuk bangkit.

"Kau tidak perlu berusaha begitu keras, Elijah. Kau terluka cukup parah." Lorelie memperingatkan. Meski demikian, direngkuhnya pundak Elijah untuk membantunya bangkit.

"Aku ..." Elijah terbatuk. Suaranya parau dan gemetar. "Aku baik-baik saja." Debu mengepul seumpama asap tipis mengiringi pergerakan peri laki-laki itu. Meski hanya sekejap, rupanya tubuh sang pangeran peri telah terkubur oleh pasir dan debu yang terus berputar di sisi mereka digulung angin. Luka-luka Elijah masih sama, merah berdarah, dan sebagiannya ditutupi debu serta tanah kering.

Peri laki-laki itu lantas mengangkat wajahnya dan terpaku begitu mendapati pergulatan Andromeda dan Minerva. Dengan cekatan, Lorelie menahan pergelangan tangan peri laki-laki itu hingga Elijah menoleh padanya. "Jangan Elijah, biar aku saja!" Lorelie menggeleng.

"Peri perempuan itu adalah ibuku, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja," bantah Elijah.

"Apa rencanamu?" Lorelie mencengkeram pergelangan tangan Elijah lebih kuat.

Sejenak gadis duyung itu dapat melihat setitik keraguan pada netra biru Elijah, meski raut wajahnya penuh tekad. Sepasang netra indah yang menenggelamkan Lorelie dalam kekaguman itu menyisir sekitarnya dengan cermat, seolah mencari sesuatu, barangkali jawaban atas kegamangannya sendiri. Sesaat kemudian pijar kembali menyala dalam bola mata sang pangeran peri. Ia telah menemukan sesuatu.

Lorelie sontak mengendurkan cengkeramannya pada pergelangan tangan Elijah, membiarkan sang pangeran menentukan apa yang harus dilakukannya setelah ini. "Trisula itu, aku harus mendapatkannya," ucap Elijah lirih di antara embusan angin dini hari yang kian menggila.

Bahkan, sebelum Lorelie sempat mengucapkan apapun lagi, Elijah telah melesat dalam pusaran angin yang seolah menyelubungi pergulatan dua penyihir adidaya. Gadis duyung itu sempat panik, kehilangan orientasi saat pergelangan tangan Elijah mendadak hilang dari genggamannya. Pandangannya mengiringi punggung Elijah yang kian menjauh. Namun, belum lagi Lorelie sempat memikirkan kemungkinan untuk menyusul sang pangeran peri, sebuah bunyi ledakan kembali membelah dini hari di Phantom Enclave.

🌊🌀🌊

Elijah melihat trisula itu samar-samar di antara timbunan pasir dan bebatuan. Gelap dini hari dan pusaran angin yang cukup kencang mungkin menyamarkan keberadaan senjata sakti itu, tetapi Elijah sama sekali tak dapat melupakan pendar permata yang bertakhta pada puncak trisula sejak pertama kali melihatnya. Terang yang mampu mengoyak kegelapan atau bahkan membawa kelam yang mampu memberangus cahaya.

Elijah telah menemukan tujuannya.

Dengan tubuh yang digerogoti luka dan rasa sakit, Elijah melangkah melawan pusaran angin. Langkahnya terasa berat, begitu pula pandangannya yang tak begitu jelas. Bunga api telah lama menghilang berguguran ditelan pasir putih yang memenuhi tempat itu sehingga hanya kilat yang membelah langit sesekali menjadi sumber penerangan. Namun, meski demikian, Elijah sama sekali tidak gentar, serbuk peri yang dibubuhkan Bagherra barangkali telah membuat tubuhnya terasa lebih baik. Apa pun itu, setelah ini semua berakhir, ia berjanji akan menemui peri laki-laki itu dan mengucapkan terima kasih, meski tidak begitu menyukainya.

Sebuah bunyi ledakan tiba-tiba mengalihkan atensi Elijah seutuhnya dari tujuan. Langkahnya sempat terhenti beberapa saat, sementara pandangannya mencari-cari di dalam keremangan sumber suara tersebut. Beberapa langkah di hadapannya, di mana Andromeda dan Minerva sedang adu kekuatan, sebuah asap tipis menyeruak dari balik pusaran angin. Meski samar, Elijah dapat melihat pertarungan sengit yang tengah terjadi di sana.

"Ibu!" Elijah bergumam lirih begitu netranya dapat menangkap sosok sang ibu yang jatuh terlempar di antara bongkahan batu dan tanah reruntuhan The Mighty Mountain. Langkahnya yang semula terhenti kembali diayunkan. Setengah berlari, bahkan terseok, Elijah berusaha mencapai tempat itu. Ia nyaris benar-benar melupakan trisula tujuannya.

"Elijah. Elijah!"

Jauh di belakangnya, suara Lorelie terdengar samar. Deru angin seolah menelan tubuh si gadis duyung. Elijah sempat menoleh sekilas, tetapi ia bahkan tak dapat menemukan bayangan Lorelie di sana. Pusaran angin yang bertiup di sekitar arena pertarungan dua penyihir besar itu seolah benar-benar memiliki tabir yang membuat segala sesuatu di luarnya seolah tak terlihat.

Elijah kembali melanjutkan langkah. Semakin dekat dengan Andromeda dan Minerva, badai pasir menjadi penghalang selanjutnya. Angin membawa butiran itu membubung hingga Elijah harus menjaga penglihatan dan penciuman agar pasir tidak masuk ke dalamnya.

"Ibu!"

Sekali lagi ia berteriak begitu berhasil mencapai Minerva yang tergelatak berselimut pasir. Jubah hitam peri perempuan itu menyelimuti wajah, menyamarkan segenap luka dan kesakitan yang dideritanya.

"Ibu, kau baik-baik saja?" Elijah mengangkat tubuh sang ibu agar bersandar padanya. Jubah hitam yang menutupi wajah Minerva, ia turunkan. Darah segar yang pekat mengalir dari salah satu sudut bibir peri perempuan itu. Ia terluka. Namun, alih-alih mengerang kesakitan, peri perempuan itu justru menyunggingkan seulas senyum.

"Elijah ..." Minerva menyapanya penuh kebanggaan, meski getar dalam suara itu menunjukkan betapa goyahnya sang peri.

"Ibu, bertahanlah," bisik Elijah menahan isak yang hendak menyeruak dari tenggorokannya.

Minerva menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja. Harusnya fokusmu tidak teralihkan, Elijah."

"Apa?"

Detik itu juga Elijah menyadari jika ia telah melakukan kesalahan. Beberapa langkah di hadapannya, Andromeda yang terlihat goyah tengah berusaha bangkit. Sang penyihir lautan mengacuhkan Elijah dan lebih memilih menyisir sekitarnya dengan pandangan, sementara tentakel-tentakelnya perlahan memanjang dan bergerak liar menyusuri tiap bongkahan batu, gundukan tanah, serta hamparan pasir. Dia pasti sedang mencari trisulanya. Dan, dari sanalah asap pekat itu mengepul, yaitu bagian bahunya yang terkoyak. Bau hangus yang menusuk seketika terendus penciuman Elijah.

"Sialan!" desis Elijah. Pikirannya berkelana dari satu kemungkinan kepada kemungkinan lainnya. Hanya satu kemungkinan yang terlihat masuk akal, Minerva pastilah telah mengerahkan sebagian besar kekuatannya untuk melukai makhluk itu. Artinya, kalaupun sang ibu tidak terluka, kekuatannya pasti telah terkuras. Dengan memikirkan kemungkinan seperti itu saja, Elijah tak mampu beranjak dari sisi ibunya.

Seolah dapat membaca pikiran Elijah, Minerva tiba-tiba mencengkeram sebelah lengannya. Kulit itu terasa dingin seumpama bongkahan es di kulit Elijah hingga membuatnya tersentak. "Aku tidak apa-apa, Elijah. Kini pertarungan ini akan menjadi milikmu," tutur Minerva susah payah, sementara darah segar terus mengalir keluar dari sela bibirnya.

Sang pangeran peri menggeleng.

"Dengar! Kuakui, aku tidak pernah jujur padamu selama ini." Minerva melanjutkan kata-katanya, sedikit tersengal-sengal. "Tapi kali ini, aku benar-benar ingin kau memiliki trisula itu Elijah. Aku telah merencanakan semuanya. Aku telah gagal menjadikanmu raja para peri, tetapi dengan trisula itu, aku berharap kau akan membangun kerajaanmu sendiri...."

Elijah menggeleng semakin keras. Ibunya tidak pernah berubah. Bahkan, di saat-saat kritis seperti ini, Minerva tetap memaksakan ambisinya pada sang pangeran peri. Namun, Elijah memilih untuk bungkam. Membantahnya di saat seperti ini bukanlah solusi. Dengan pelan, dilepaskannya cengkeraman sang ibu dari lengan, bersamaan dengan kekecewaan yang saat itu tengah melanda pikirannya.

Minerva yang terlihat sekarat rupanya merasakan perubahan gelagat Elijah. Peri perempuan itu kembali mencengkeram kerah tunik putranya, membawa wajah Elijah mendekat padanya. "Dapatkan trisula itu!"

Elijah meradang. Kekecewaannya memuncak tanpa bisa dibendung. Ia bergeser mundur tepat saat tubuh Minerva menegak dan membisikkan kata-kata itu padanya. Pengharapannya akan sosok ibu yang tulus mencintainya mendadak pupus. Elijah kini menyadari jika Minerva tidak pernah tulus padanya. Ia benar-benar merasakan dirinya hanyalah alat bagi Minerva untuk mencapai ambisinya. 

"Elijah! Kau dengar aku?" Suara Minerva menerobos kabut di dalam kepala Elijah.

Elijah lagi-lagi menggeleng. Ia menyeret tubuhnya mundur, lalu berdiri dengan tungkai goyah. Kekecewaan itu membuat hatinya terasa hancur. "Bisakah ibu tidak berkata seperti itu di saat seperti ini?" Peri laki-laki itu nyaris berteriak, tetapi yang kentara terdengar adalah gemetar dalam suaranya.

Minerva membelalak, barangkali tak menduga jika akan mendapat respon seperti itu dari Elijah. Namun, sekejap kemudian ekspresi peri perempuan itu kembali sedingin sebelumnya, seolah Elijah tak mengatakan apa pun. Dengan gerakan pelan, ia menyeka darah segar yang terus mengalir dari sudut bibirnya. "Tidakkah kau mengerti jika semua yang kulakukan adalah untukmu?" tanyanya lirih.

Hanya itu yang terucap dari bibir Minerva, tak ada hal lainnya. Elijah masih berharap akan jawaban atau penjelasan lain, tetapi Minerva hanya memalingkan wajah menatap cahaya samar yang berpendar di dalam timbunan pasir di kejauhan. Elijah membiarkan embusan angin memainkan surainya untuk beberapa saat sebelum memutuskan jika penantiannya harus segera diakhiri.

"Aku mengerti ... sekarang," putus Elijah nyaris tak terdengar, lalu ia meninggalkan sisi Minerva dengan kegundahan sekaligus kelegaan. Wajahnya tertunduk menyembunyikan raut yang akan menggambarkan isi hatinya. Seperti lautan, perasaan sebenarnya pun terletak pada palung paling dalam yang tersembunyi hingga riak permukaan tak dapat menggambarkannya.

Pendar di antara timbunan pasir itu menjadi tujuan Elijah selanjutnya, begitu pula tujuan Andromeda yang telah mengungguli langkah sang pangeran peri lebih dulu. Meski demikian, Elijah tak patah arang. Dengan langkah ditegap-tegapkan ia menapak pada pasir dan bebatuan, berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang sedang goyah. Meski tanpa melihat langsung, ia tahu jika pandangan Minerva sedang mengiringi kepergiannya. Minerva barangkali merasakan kebanggaan, tetapi Elijah justru ingin mematahkan pengharapan sang ibu. Minerva salah. Ia akan membuktikan bahwa segala bentuk pengharapan Minerva atas dirinya akan berakhir sia-sia.

"Elijah!"

Suara itu memecah pikiran Elijah yang tengah berkabut. Sesaat, ia mengedarkan pandangan ke sekitar mencari sosok pemilik suara. Namun, dini hari yang berangin itu menghalangi pandangannya. Elijah lantas mempercepat langkahnya, mengabaikan pandangan yang mulai memburam oleh rasa kecewa yang meluruh jadi air mata. Namun, langkahnya mendadak berhenti ketika Andromeda lebih dulu mencapai lokasi tempat trisulanya tertimbun.

Pendar yang memancar dari puncak senjata pamungkas itu berpendar semakin kuat. Timbunan pasir di sekitarnya perlahan tersibak oleh tentakel-tentakel sang penyihir lautan. Akan tetapi, layaknya sebuah keajaiban, belum lagi Elijah mengedip atau memalingkan pandangan, sosok familier yang baru saja melaungkan bamanya mendadak muncul dari balik pusaran angin. Sosok itu menerjang ke arah Andromeda tanpa gentar. Teriakkannya melengking membelah kekacauan yang mengungkung Phantom Enclave. 

"Lorelie?!"

Elijah membelalak. Tungkainya yang semula bergeming tanpa minat lagi terhadap trisula kembali terpacu. Peri laki-laki itu berlari dengan sesekali terseok akibat luka yang dideritanya, tetapi ia tak berhenti. Hanya dengan melihat pemandangan itu sekilas dari kejauhan, Elijah tahu sesuatu yang buruk akan menimpa Lorelie. Ia tidak akan tinggal diam. Jika memiliki trisula Andromeda merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Lorelie, maka Elijah akan mengusahakan apa pun untuk mendapatkannya.

Elijah lantas mengulurkan telapak tangannya ke hadapan, sementara ia terus berlari. Peri laki-laki itu berusaha mengosongkan segenap pikirannya yang dipenuhi kekecewaan terhadap Minerva. Ia telah bertekad. Dan, dengan tekad itu tubuhnya seolah dipenuhi oleh kekuatan tak kasat mata yang entah berasal dari mana. Luka-luka yang dideritanya mendadak kehilangan akses pada rasa sakit di tubuhnya. Sesuatu yang hangat menjalar perlahan dari telapak kakinya, merambat hingga mengaliri segenap jari-jari tangan.

Kekuatan itu begitu besar sehingga Elijah seolah merasakan embusan angin brutal di sekitarnya terhenti. Begitu pula dengan kabut pasir yang melayang di udara, suara badai di tengah Faeseafic, suara angin yang mengadu dedaunan, segalanya seolah berhenti, hanya ada Elijah dan kekuatannya. Kemudian, seberkas cahaya menguar dari telapak tangannya bersamaan dengan energi yang begitu besar hingga pemandangan mengerikan yang terpampang di hadapannya berhenti begitu saja.










Pontianak, 13 September 2021, pukul 17:59 WIB belum direvisi.

Halo, maaf jika penyelesaian cerita ini jadi terhambat. Jadwalku berkunjung ke wattpad juga tidak akan seperti dulu lagi untuk beberapa bulan ke depan. Aku hanya mampir untuk posting dan menyelesaikan cerita yang hanya tinggal 2 atau 3 chapter ini. Sampai ketemu lagi semuanya. Terima kasih buat yang sudah setia mampir ke cerita ini. Semoga sehat selalu. ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top