42. 🏞️ The Fall of The Mighty Mountain

Andromeda melolong jeri tepat saat bola cahaya ungu yang dilemparkan Minerva mengenai salah satu tentakelnya. Tubuh besarnya terdorong ke belakang dengan sangat cepat hingga menghantam dinding gua. Retakan menjalar pada dinding batu sebelum berderai menjadi batu-batu kecil, begitu pula dengan stalagmit, dan stalagtit yang seketika porak-poranda.

Rusaknya salah satu sisi gua itu kemudian memicu guncangan samar, yang lama kelamaan semakin kuat. The mighty mountain bergetar, membuat stalagtit satu per satu berguguran. Puncak magis yang selama ini nyaris tak terjamah, bahkan oleh keturunan Avery sendiri, perlahan-lahan mendekati kehancurannya.

Namun, ada yang lebih remuk dari pada The Mighty Mountain dan sekitarnya, yaitu perasaan Elijah saat itu. Kata-kata Andromeda Aerendyl terngiang-ngiang di kepalanya, membuat sesuatu di dalam dadanya meradang.

"Apakah kau sudah melupakan perjanjian kita, Minerva? Kekuatanmu untuk sesuatu yang paling berharga dalam hidupmu, kau ingat? Aku harap kau tidak melupakannya. Karena aku ingin menuntutnya sekarang!"

Apakah selama ini sang ibu memang telah mengorbankan keberadaannya untuk memperoleh kekuatan sebagai penguasa Unsheelie di Hutan Larangan? Lantas apa arti dirinya bagi sang ibu? Apakah selama ini ia benar-benar hanya dimanfaatkan untuk membalaskan dendam sang ibu kepada Raja Brian dan Kerajaan Avery?

Pertanyaan-pertanyaan itu berkelindan di dalam kepalanya membentuk labirin yang rumit, menuntut jawab sebagai jalan keluar. Namun, tidak satu pun tanya itu tercetus dari bibir Elijah, sementara sesuatu di dalam dadanya kian memanas. Ia bahkan tidak mampu menatap netra sang ibu, peri perempuan yang selama ini diperjuangkannya. Kepercayaan yang ia miliki telah dipertaruhkannya secara utuh, tetapi begitu mendengar ucapan Andromeda Aerendyl, kepercayaan itu langsung hancur berderai bak kaca yang terhempas. Tidak ada yang tersisa selain serpihan-serpihan yang hanya akan menoreh luka.

Peri laki-laki itu sudah selesai.

Elijah berusaha menopang tubuhnya dengan kedua lengan dengan sisa-sisa kekuatan, meski harus terjatuh berkali-kali. Luka-luka di sekujur tubuhnya seolah tak memiliki arti. Peri laki-laki itu mengangkat wajah, berusaha mencari jawaban pada wajah sang ibu untuk yang terakhir kali. Beberapa langkah di hadapannya, di antara puing-puing gua yang hancur, Minerva berdiri sekokoh karang. Ekspresi wajah peri perempuan itu keras dan tak tertebak. Beberapa waktu yang lalu, Elijah barangkali memang merindukannya, mempertanyakan keberadaannya setelah menghilang saat Alamein karam. Akan tetapi, sekarang, setelah semua kenyataan yang didengarnya, sosok Minerva di mata Elijah tak lebih dari ratu kegelapan penguasa Hutan Larangan.

Elijah akhirnya kembali tertunduk sembari merasakan nyeri yang berkedut di sudut matanya. Bagaimana pun, ia tidak sanggup untuk berhadapan dengan Minerva, maupun kenyataan yang telah menghancurkan kepercayaannya. Penjelasan seperti apa pun, tidak akan membuat kaca yang telah hancur kembali utuh.

"Jangan memandangiku seperti itu, Elijah," tegur Minerva di antara napasnya yang memburu. Kepulan asap serta guncangan di dalam gua akibat serangannya semakin membentang jarak di antara ibu dan anak itu.

Elijah menunduk semakin dalam, bahkan nyaris menutup kelopak matanya. Namun, bahkan dengan mengalihkan pandangan, Elijah mampu merasakan netra kelam Minerva memerangkapnya dalam jenis tatapan yang mengandung kepedihan.

Peri laki-laki itu mengepalkan tangannya kuat-kuat, membiarkan pecahan bebatuan gua mengiris punggung tangannya. Tidak, Elijah tidak ingin tertipu lagi, seperti terakhir kali ambisi sang ibu menempatkannya dalam sebuah pilihan yang salah. Minerva telah membutakan dan menjebaknya sedari dulu, tetapi tidak hari ini. Alih-alih menjawab, peri laki-laki itu hanya menggeleng lemah, berharap gerakannya terlihat cukup tegas di mata sang ibu.

Setelah berhasil menopang tubuhnya, Elijah lantas berjuang untuk bangkit, terlebih saat stalagmit dan stalagtit di sekitarnya satu per satu mulai hancur berguguran. Minerva masih melaungkan namanya di antara gemuruh yang melanda tempat itu, sementara Elijah memilih untuk mengabaikannya.

Pada akhirnya, Elijah berhasil bangkit dan menghindar dari reruntuhan langit-langit gua. Peri laki-laki itu berhasil berdiri, kemudian bergerak menjauhi Minerva meski peri perempuan itu jelas-jelas berdiri di depan pintu gua yang merupakan satu-satunya jalan keluar.

"Elijah, kau mau ke mana? Kembali Elijah!"

Guncangan demi guncangan yang melanda The Mighty Mountain semakin kentara, tetapi sama sekali tak menyurutkan langkah Elijah. Beberapa langkah di hadapannya, Andromeda Aerendyl terlihat masih berjuang melawan rasa sakit yang menderanya. Suaranya menggerung, tetapi sekilas sepasang netranya yang diliputi kebencian itu mengerling ke arah Elijah, mengikuti gerak peri laki-laki itu. Elijah sadar betul bahaya yang tengah mengintainya. Namun, ia lebih memilih menghadapi bahaya itu ketimbang berlari ke arah sang ibu. Hantaman tubuh besar sang penyihir lautan beberapa saat lalu menciptakan retakan-retakan yang membuat celah muncul pada beberapa bagian dinding gua tepat di belakangnya. Bagi Elijah, celah-celah itu adalah kemungkinan alternatif jalan keluar.

Keterpurukan Andromeda sama sekali tak disia-siakan oleh Elijah. Tanpa keraguan sedikit pun, peri laki-laki itu menghantam dinding gua yang berjarak tidak lebih dari satu lengan peri laki-laki dewasa di balik punggung sang penyihir lautan. Ayunan kepalan tangannya menciptakan retakan yang lebih banyak, tetapi sama sekali belum memperbesar celah. Napasnya menderu, bersamaan dengan adrenalin yang terpacu, Elijah menoleh sekilas pada Andromeda yang terlihat belum melakukan pergerakan apa pun, kemudian pandangannya kembali teralih pada upayanya menghancurkan dinding gua.

Sekali. Dua kali. Tinjunya kembali menghantam dinding hingga buku-buku jarinya berdarah. Namun, jalan keluar yang diharapkan tak kunjung tercipta. Elijah yang terluka nyaris kehabisan tenaga, sementara gua terus berguncang. Suara raungan Andromeda perlahan menghilang, berganti lengkingan Minerva.

Elijah rupanya sedikit terlambat memahami situasi. Ketika ia menoleh, ke belakang, sesuatu lantas menghantamnya dengan sangat kuat, membuat tubuhnya terpental menghantam dinding gua dengan sangat keras. Celah dan retakan yang mati-matian dihancurkan Elijah kini hancur berderai. Serpihannya menghujani Elijah, sementara hawa dingin di balik dinding itu sontak memeluk tubuhnya. Peri laki-laki itu melayang pada langit gelap untuk beberapa saat, sebelum akhirnya jatuh berguling pada lereng gunung. Nyeri di dada dan rasa sakit yang menjalar di punggung membuat Elijah mengerang. Napasnya tersengal, terputus-putus.

"Elijah!"

Di antara pandangannya yang mulai menggelap, gemuruh yang berasal dari kedalaman The Mighty Mountain, Elijah menangkap suara itu samar-samar. Ia berharap jika pendengarannya tidak berhalusinasi dan suara itu senyata rasa sakit yang kini mendera tubuhnya. Akan tetapi, sangat susah membedakan kenyataan dan khayalan dalam keadaan sekarat seperti ini. Bahkan, langit-langit yang menaungi peri laki-laki itu terlihat terlampau pekat, atau mungkin kelopak matanya yang tertutup. Elijah tidak dapat memastikannya.

"Elijah ...."

Suara itu terdengar lagi, jauh lebih lirih dari sebelumnya dan rasanya begitu dekat.

Peri laki-laki itu menggerakkan lehernya susah payah, mencari sumber suara itu dalam pandangan yang kian gelap.

"Lorelie ..." Elijah menggerakkan bibirnya, meski suaranya terasa tercekat dan terkunci di dalam tenggorokan. Sesuatu yang dingin tiba-tiba terasa meraih pergelangan tangannya. Peri laki-laki itu bergidik sesaat, sebelum merasakan kehangatan menyusup perlahan di dalam dadanya.

"Aku di sini." Genggaman pada pergelangan tangan Elijah semakin mengerat. "Elijah, apa yang ... Kau harus terus membuka matamu, Elijah. Kau akan baik-baik saja. Aku akan segera membawamu pergi dari sini," ucap Lorelie panik tepat di telinganya.

Detik itu juga, Elijah tahu bahwa dia tidak sedang baik-baik saja.

🧜🧜🧜

Lorelie merasakan tanah di bawahnya perlahan berguncang. Guncangan itu semakin kentara saat kaki-kakinya menapak menaiki the Mighty Mountain. Jantungnya berdetak kencang, sementara berbagai pikiran buruk berkelindan di dalam kepala Lorelie silih berganti. Setelah bunyi ledakkan itu, Lorelie tidak dapat memikirkan hal lainnya selain berbagai asumsi mengenai apa yang terjadi di dalam sana dan apakah Elijah baik-baik saja?

Suara Bagherra yang meneriakkan namanya sayup-sayup semakin menjauh terkikis jarak yang tercipta oleh langkah-langkah kaki Lorelie yang terus menapaki lereng The Mighty Mountain. Sekarang rasanya, gadis itu telah masuk dan bergabung ke dalam kegelapan yang meliputi puncak paling berbahaya di seantero Faeseafic. Kabut gelap yang semula hanya dilihatnya dari kejauhan itu kini melingkupinya, beserta guncangan samar yang terasa menjalar dari bawah kakinya, membuat pikiran-pikiran buruk Lorelie menjadi tak terkendali.

Gadis duyung itu berusaha menenangkan diri, sementara pintu gua The Mighty Mountain yang selama ini hanya dapat ia bayangkan terlihat semakin dekat. Guncangan samar di bawah kakinya kini terlihat melalui visual gua yang seolah bergetar. Sesuatu yang buruk pasti tengah terjadi di dalam sana.

Selagi Lorelie sibuk menenangkan pikiran-pikiran buruknya seraya meremas jari-jemari untuk mengendurkan ketegangan, sebuah bunyi serupa ledakan menghantam salah satu sisi dinding gua dari dalam, menyemburkan retakan dan pecahan bebatuan ke udara malam di puncak gunung yang nyaris membeku. Beberapa kerikil tajam bahkan terlempar ke arah Lorelie, mengenai lengan serta pelipisnya. Namun, bukan hal itu yang menjadi puncak kekagetannya. Dari balik kepulan kabut hitam tipis yang menyembur dari ledakan dinding gua dan kegelapan yang menyelimuti puncak gunung itu, sesosok peri laki-laki terlempar beberapa depa, lalu berguling di atas lereng. Sosok itu mengerang lirih dalam suara yang familier dan tubuhnya berhenti saat sebongkah batu besar yang mencuat di permukaan lereng menghalanginya.

Bahkan di dalam kegelapan, kekacauan yang menyamarkan pandangan, Lorelie dapat mengenalinya. Gadis duyung itu segera memacu langkah, menaiki lereng dengan panik untuk mendapati sosok itu.

"Elijah!"

Sosok itu bergerak sedikit, barangkali mencari asal suaranya. Namun, pergerakan itu begitu tidak kentara hingga Lorelie mengira peri laki-laki itu mungkin telah kehilangan kesadaran.

"Elijah ...."

Gadis duyung itu menghambur ke arah Elijah yang tergolek lemah, kelopak mata peri laki-laki itu bahkan sepenuhnya tertutup. Lorelie membiarkan lututnya mendarat lebih dulu di atas bebatuan di sisi sang pangeran peri, sementara sebelah tangannya dengan sigap menggenggam pergelangan tangan Elijah.

Tubuh peri laki-laki itu terasa hangat ketika mengenai kulit Lorelie. Akan tetapi, alih-alih merasakan kelegaan, Lorelie malah semakin panik saat menelusuri sekujur tubuh Elijah yang dipenuhi luka, tanah kering, dan balutan debu. Darah segar bahkan terlihat mengalir di antara bibirnya yang mengatur, begitu pula pelipisnya.

"Aku di sini," bisiknya lirih Lorelie susah payah menelan tangisnya yang nyaris meledak, terlebih saat peri laki-laki itu perlahan membuka kelopak matanya, tetapi nyaris menutupnya dalam gerakan yang jauh lebih cepat. "Elijah, apa yang ... Kau harus terus membuka matamu, Elijah. Kau akan baik-baik saja. Aku akan segera membawamu pergi dari sini." Gadis duyung itu mengguncang pundak Elijah keras-keras, berharap dengan melakukan hal itu kesadaran kembali membuat Elijah membuka mata.

Erangan peri laki-laki itu semakin samar, bahkan menghilang. Pergelangan tangan Elijah yang berada dalam genggaman Lorelie justru akhirnya jatuh terkulai.

"Ti-tidak! Elijah sadarlah! Aku mohon!" Lorelie dengan kalap kembali mengguncang bahu Elijah, lalu menekan dadanya, bergantian dengan memukul pipi peri laki-laki itu agak keras. Ia tidak bisa mendapati Elijah dalam keadaan seperti ini.

Bagherra tiba-tiba berlutut di samping Lorelie hingga gadis duyung itu menoleh sekilas sembari menyeka air matanya dengan kasar. Entah sejak kapan peri laki-laki itu dengan keras kepala mengikutinya. Namun, kehadiran Elijah justru membawa sedikit kelegaan bagi Lorelie.

"Apa yang terjadi?" tanya peri laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya guna memeriksa leher serta pergelangan tangan Elijah, mencari jejak-jejak vital sang pangeran peri.

Lorelie membenamkan bibir lalu menggeleng frustrasi. "Sesuatu menyerangnya dan melemparkan tubuhnya menembus dinding gua ..."

"Dia akan baik-baik saja," tukas Bagherra yang lantas mengeluarkan sekantung serbuk peri dari salah satu saku di rompi lusuhnya. Lengan-lengan kokohnya dengan cekatan membuka pengikat kantung itu dan menaburkannya di atas tubuh Elijah.

Lorelie mengembuskan napas panjang. Kata-kata Bagherra terdengar seperti upaya untuk menghiburnya belaka, karena siapa pun yang melihat kondisi Elijah akan tahu jika pangeran peri itu sekarat. Namun, setidaknya serbuk peri yang dibawa Bagherra dapat mengurangi rasa sakit Elijah untuk beberapa waktu.

"Kita harus segera membawanya menjauh dari tempat ini atau---"

Ucapan Lorelie terputus saat sekali lagi bunyi serupa ledakan terdengar. Kali ini disertai guncangan yang teramat kuat hingga ia dan Bagherra jatuh tersungkur. Bumi tempat mereka berpijak seolah bergolak. Hujan bebatuan dan asap pekat memenuhi udara di sekitar mereka. Seolah tak cukup sampai di situ, tanah di bawah kaki mereka bergerak, merekah, membentuk celah-celah menganga yang menimbulkan longsor.

Lorelie secepatnya memeluk tubuh Elijah, melingkarkan kedua lengannya agar tubuh peri laki-laki itu tidak terlempar menjauh. Dari sudut matanya, gadis duyung itu baru menyadari jika The Mighty Mountain telah runtuh, setelah sebelumnya meledak menimbulkan hujan bebatuan.

"Lorelie!" Bagherra berteriak entah dari mana. Lorelie tak dapat menemukan peri laki-laki itu lagi di sisinya. Hujan kerikil dan kepulan asap menghalangi pandangan, sementara lereng yang longsor menyeret tubuhnya turun.

"Bagherra, di mana kau?" Tak ada jawaban dari peri laki-laki itu. Barangkali, Bagherra telah terseret jatuh lebih dahulu atau mungkin telah berhasil menemukan tempat untuk menapak.

Lorelie merasakan napasnya mulai sesak oleh debu yang menyeruak tanpa ampun ke tenggorokan. Ia terbatuk-batuk, berusaha mencari kelegaan di antara partikel pekat yang memenuhi udara di sekitarnya. Namun, satu hal yang sedikit disyukurinya sekarang, ia telah membawa serta Elijah dalam rengkuhannya. Lengannya mencengkeram lebih erat setiap kali longsor membawa tubuh mereka turun hingga menghantam bongkahan batu atau kayu. Sungguh, rasa perih yang menggores kulit lengannya bukan apa-apa.

Pada satu titik tubuh Lorelie dan Elijah akhirnya berhenti berguling. Getaran dan gemuruh di sekitar mereka perlahan mereda, berganti suara-suara teriakkan yang terdengar samar pada suatu tempat, di balik kabut.

Lorelie berusaha membuka matanya lebar-lebar, menggerakkan leher berusaha memahami keadaan di sekitarnya melalui pemandangan yang terlihat. Akan tetapi, nyatanya ia tidak dapat melihat apa-apa. Malam terlampau gelap, tetapi kepulan asap dan kabut lebih pekat. Butuh beberapa saat lamanya hingga kepulan asap dan kabut itu mereda, menampilkan The Mighty Mountain yang porak-poranda. Puncak tertinggi di Faeseafic itu tak disangka-sangka luluh lantak, menyisakan tumpukan bebatuan yang berkilauan diterpa remang cahaya.

Untuk beberapa saat lamanya Lorelie terpana, menatap tumpukan logam mulia dan permata yang begitu banyak, harta Karun The Mighty Mountain. Ia tak akan sanggup menaksir berapa nilainya, yang jelas siapa pun akan rela mati untuk memilikinya. Suara erangan samar Elijah tiba-tiba membuyarkan lamunan Lorelie. Gadis itu menoleh ke sekitar dengan gelagapan dan saat menyadari jika ia berada di atas tubuh Elijah, Lorelie segera berguling menghindar.

"Elijah, kau baik-baik saja?" tanyanya sedikit lega.

Elijah tidak menjawab, sekali lagi mengerang lirih. Perlahan-lahan, tubuh peri laki-laki itu menggeliat, meski kelopak matanya masih tertutup rapat.

"Aku senang kau telah----"

Tiba-tiba seberkas cahaya terang menyorot ke arah Lorelie hingga membuat gadis duyung itu mengernyit, menahan silau. Punggung Lorelie refleks menegak waspada, sementara sebelah lengannya terulur dalam gestur melindungi Elijah dengan posesif.

Suara tawa yang keras nan parau membahana, memecah hening yang semula melingkupi tempat itu. Suara memuakkan yang terdengar tidak asing. "Putri Melarue, senang sekali karena kau telah bergabung di sini. Jadi aku tidak perlu repot-repot menemuimu, setelah membereskan Pangeran Peri ini!"

Andromeda berdiri beberapa langkah di hadapan Lorelie dan Elijah, mengangkangi reruntuhan The Mighty Mountain dengan superior, seolah mengumumkan kepada siapa saja yang melihatnya jika ia telah berhasil menaklukkan kaum peri elf dari Avery. Trisulanya menyala menjadi sumber terang yang menyilaukan mata.

Lorelie membuang muka, meludah dengan penuh penghinaan."Sudah kuduga itu kau! Asal kau tahu, aku sama sekali tidak takut padamu!" gertaknya, padahal tubuhnya gemetar. Akan tetapi, kemarahan dan dendamnya jauh lebih besar dari sekadar rasa takut.

Andromeda terbahak. "Semula, aku ingin menyimpan jantungmu untuk purnama yang akan datang, dan menyantap jantung si bangsawan ini lebih dulu.... Akan tetapi kau muncul. Kau tahu, jika jantungmu adalah sesuatu yang telah lama aku idam-idamkan. Apa boleh buat, aku akan menyantap keduanya sekaligus!"

Lorelie berdiri di atas kakinya dengan kemarahan yang membara. Kegemarannya sontak menguap. "Kau tidak bisa mendapatkan jantungku selama aku masih terkutuk!" bantahnya.

"Minerva akan melunturkan kutukanmu untukku!" raung Andromeda. Salah satu tentakelanya yang melilit peri perempuan itu mendadak muncul dari kegelapan, kemudian menghempaskan tubuh Minerva begitu saja di hadapan Lorelie. Sementara satu tentakelnya yang menggenggam trisula terangkat tinggi-tinggi. Cahaya kembali berpendar terang dari benda tersebut, garis-garis halus berupa retakan menguar di sekitar pangkal trisula, terlihat bagai petir yang tengah membelah langit.

Sebuah mantra samar mengalun, membuat angin berkecamuk di seantero Phantom Enclave. Lalu, sebuah bola cahaya muncul, mengambang pada langit Faeseafic seumpama bulan kedua.

Lorelie merasakan lututnya menjadi goyah hingga ia kembali menjatuhkan tubuh di sisi Elijah. Satu lengannya kembali menggenggam pergelangan sang pangeran peri, sementara matanya terpejam, bersiap menerima segala kemungkinan terburuk. Saat mantra Andromeda memuncak, bunyi ledakan terdengar menggelegar, bersatu dengan deru angin, lalu terang yang janggal bahkan menyelinap paksa ke dalam kelopak mata Lorelie. Si gadis duyung menunggu dengan napas tertahan dan selusin doa spontan yang dirapalnya dalam hati.

Sesuatu telah terjadi. Namun, tidak seperti yang Lorelie duga.
















Pontianak, 31 Juli 2021. Pukul 21.46 WIB
Aku up dulu tapi belum sempat direvisi huhu udah keburu kelelahan. Terima kasih sudah membaca ya. 😍❤️







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top