41. ❤️War of Hearts
Lorelie tidak pernah menunggangi naga seumur hidupnya. Alasannya, tentu saja karena tidak ada naga di Agrodimor. Kisah-kisah mengenai naga hanya pernah didengarnya melalui dongeng menjelang tidur dari sang ibu atau ketika belajar bela diri bersama Bagherra dan para kesatria lainnya di balai pelatihan. Naga hanyalah makhluk yang mungkin akan ditemukannya di daratan Fairyverse, bermil-mil jauhnya dari Agrodimor. Namun, jika dapat diibaratkan, menyeberangi Faeseafic di atas punggung Gloom barangkali akan sama rasanya dengan menunggang naga. Makhluk besar itu membuat jarak sejauh apa pun terasa singkat. Tentakel-tentakel besar dan panjangnya mendorong begitu kuat, sementara ukuran tubuhnya membuat setengah lautan bergolak brutal saat dilewatinya. Gelombang besar menggunung di kiri dan kanan, bahkan menyeret beberapa makhluk penghuni dasar laut ke permukaan.
Jujur saja, ini pengalaman pertama Lorelie berenang di atas punggung Gloom. Selama ini, ia selalu berenang beriringan, melesat dengan sirip duyungnya mencoba menyamai kecepatan sang kraken. Akan tetapi, sensasi yang ia rasakan kini jauh berbeda. Rasa takut dan antusiasme membuncah menjadi satu, membuat raut wajah Lorelie berganti-ganti, terkadang tegang, terkadang justru rileks hingga tertawa lepas ketika percikan air laut menggelitik kulit dan surainya. Surai merah serta gaun putih Lorelie telah basah keseluruhan oleh percikan air laut, sementara angin mengeringkannya untuk beberapa saat sebelum air laut kembali membuatnya basah.
Selagi gadis duyung itu menikmati perjalanan, Gloom tiba-tiba melenguh keras. Gerakannya pun mulai melambat, hingga membuat Lorelie menajamkan penglihatan pada garis horizon yang terlihat samar-samar di hadapan mereka. Siluet sebuah gunung berkabut terlihat setelah Lorelie mengernyit dan mengucek matanya beberapa kali. Jadi, mereka telah nyaris tiba di Phantome Enclave.
"Kita hampir sampai!" seru Lorelie antusias. Akan tetapi, jantungnya mendadak bergemuruh saat menangkap puncak The Mighty Mountain yang terlihat berbeda dari terakhir kali keberadaannya di sana. Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi di sana. Detik itu juga, pikirannya lantas tertuju pada Elijah.
Lorelie menatap langit dengan garis-garis listrik yang sesekali muncul dan membelah pekatnya gulungan awan. Bau basah kuat menguar selain bau garam yang memenuhi lautan. Badai akan segera datang, begitulah Lorelie senantiasa memahami dan membaca pertanda alam.
"Pelan-pelan, Gloom. Berenanglah sedikit lebih dalam," bisik Lorelie seraya menepuk kulit kepala Kraken tunggangannya yang terasa licin. Jarak mereka dengan Phantom Enclave tidak begitu jauh lagi. Lorelie mendadak khawatir jika kedatangan Gloom akan membawa gelombang besar yang justru akan membinasakan seluruh penghuni di pesisir pulau itu. Dan, bagaimana jika Elijah beserta para awak kapal lainnya ternyata sedang berada di sana? Tentu saja, Lorelie tidak ingin hal itu terjadi. Ia harus mencari cara terbaik untuk menepi.
Lorelie mengamati sekitarnya sembari berusaha berdiri di atas kedua lengan serta lututnya pada permukaan kulit Gloom. Butuh usaha yang cukup keras agar ia tidak terjatuh dan terlempar ke Faeseafic. Sementara, makhluk itu melenguh setelah menghentikan renangnya. Kini Gloom hanya mengambang di antara gulungan ombak, menanti perintah si gadis duyung. Tingkah Kraken itu membuat laut di sekitarnya menjadi lebih tenang.
"Baiklah." Lorelie menggigit bibir bawahnya, merasa tidak begitu yakin dengan ide untuk mendarat ke pesisir yang dimilikinya. Akan tetapi, sepertinya, itu adalah satu-satunya jalan untuk menghindari gelombang besar. "Aku akan melompat ke salah satu ujung tentakelmu dari sini. Kemudian, kau cukup mengulurkan tentakelmu ke arah pesisir dengan sangat perlahan. Bagaimana, Gloom, apakah mau memahamiku?" tanyanya.
Makhluk di bawah kakinya melenguh panjang dengan patuh tanda setuju.
"Bagus!" Meski tidak yakin akan keberhasilan rencananya, Lorelie sedikit lega karena Gloom dapat dengan mudahnya diajak bekerjasama. "Sekarang, aku akan berdiri," ucapnya lagi, memastikan agar Gloom tetap bergeming di posisinya.
Gloom menarik satu tentakelnya dari dalam laut dalam gerakan yang sangat pelan. Laut kembali bergolak, riaknya kian membesar disertai bunyi gemuruh yang berasal dari kedalaman Faeseafic. Gadis duyung itu mengurungkan niat untuk berdiri.
Lorelie mengamati perubahan permukaan Faeseafic itu dengan dada berdebar. Setelah Gloom menjadi lebih stabil, Lorelie perlahan-lahan meluruskan tungkainya dan melepaskan kedua lengan yang semula menempel pada permukaan kulit makhluk itu. Tubuh gadis duyung itu oleng ke kiri dan ke kanan saat hendak bangkit berdiri di atas kedua lututnya. Namun, Lorelie tidak menyerah, meski beberapa kali tergelincir di atas kulit licin Gloom dan kembali menegakkan kaki.
Saat satu ujung tentakel Gloom akhirnya menyembul dari permukaan laut, gelombang yang tercipta semakin besar. Lorelie yang baru saja berhasil berdiri setelah sekian kali jatuh akhirnya terpelanting dari kulit kepala Gloom yang licin. Tubuh rampingnya jatuh melesat ke lautan, sementara gadis duyung itu refleks berteriak. Beruntung, dengan cekatan ujung tentakel Gloom yang dipenuhi rongga meraihnya, kemudian melilit tubuhnya dengan ujung tentakel yang sedikit mencuat. Kraken tidak memiliki jari, tetapi ujung lunak yang sedikit mencuat di tentakelnya itu merupakan organ yang mereka gunakan untuk menggenggam.
"Terima kasih, Gloom!" jerit Lorelie di tengah-tengah napasnya yang memburu. Tubuhnya kembali kuyup, sementara rambut merahnya yang bergelombang terlihat berantakan. Alih-alih menggigil ketakutan, Lorelie justru terbahak, menertawakan dirinya dan kejadian yang baru saja dialaminya. Perjalanan ini bahkan jauh lebih seru dari yang pernah ia bayangkan.
Selagi Lorelie menyeka wajahnya yang basah, Gloom telah mengulurkan tubuh mungilnya yang tenggelam dalam lilitan tentakel ke pesisir Phantom Enclave. Sebagaimana permintaan Lorelie, Kraken itu benar-benar melakukannya dengan sangat perlahan. Meski demikian, lautan tetap terbelah di sekitar tentakel yang terulur, begitu pula dengan gulungan ombak yang tetap menggunung menampar pesisir pantai. Akan tetapi, setidaknya gulungan ombak tidak sampai menyeret pepohonan dari tempatnya tertanam di pesisir.
Tubuh Lorelie perlahan dibawa turun hingga mendarat pada pasir putih yang digenangi air laut setinggi betis. Gulungan ombak besar menerpa pesisir Phantom Enclave disertai angin malam berbau badai. Namun, setelah Lorelie terlepas dari tentakel Gloom, makhluk itu serta-merta menarik tentakelnya, menyedot serta gulungan ombak meninggalkan pesisir. Dari kejauhan Gloom melenguh panjang, sebelum bergerak pelan kembali ke kedalaman Faeseafic.
"Terima kasih, Gloom!" jerit Lorelie setengah melompat dengan tangan melambai ke udara. Sedetik berikutnya, gadis duyung itu segera berlari ke arah bukit, sebelum pukulan ombak akibat pergerakan Gloom yang menjauh kembali menyapu pesisir Phantom Enclave.
🌊🌊🌊
"Bagherra, di mana Elijah?!"
Lorelie berteriak begitu menemukan sosok yang dikenalnya saat mendaki The Mighty Mountain. Kegelapan sekitar dan medan lereng bukit yang rusak membuatnya sedikit kesulitan untuk memanjat naik. Dibutuhkan cukup banyak waktu sebelum Lorelie akhirnya menemukan rombongan Borbounaisse yang tersisa.
The Mighty Mountain ternyata benar-benar telah berbeda dalam ingatan Lorelie sebelum ia meninggalkan tempat itu karena ditawan oleh Andromeda Aerendyl. Gunung besar yang rimbun oleh pepohonan itu kini terlihat menyusut, mengalami lengser di beberapa bagian lerengnya. Pepohonan tumbang di beberapa penjuru lereng, bebatuan pecah terserak dalam aneka ukuran pada permukaan tanah yang berlubang, terserak tak beraturan. Tempat itu seolah telah diguncang bencana alam yang teramat besar hingga membuatnya nyaris luluh lantak.
Bagherra bangkit dari duduknya di sekitar api unggun yang menyala terang, kemudian menoleh. Mulanya peri laki-laki itu menggenggam gagang pedang di pinggangnya, nyaris menghunusnya dengan waspada. Akan tetapi, begitu menyadari jika sosok yang memanggilnya adalah putri Agrodimor, raut wajahnya seketika berubah. Bagherra berlari menyongsong Lorelie, lalu memeluknya erat seolah takut kehilangan.
"Kau kembali?! Syukurlah kau kembali, Melarue!" Suara Bagherra yang serak teredam di antara gerai rambut merah Lorelie yang basah. Kelegaan terdengar jelas dari nada suaranya.
Tubuh gadis duyung itu menegang, sebelum dengan canggung melepaskan rengkuhan Bagherra. "Aku baik-baik saja," sahutnya dengan kening berkerut. Pelukan Bagherra telah terlerai dengan mudahnya dan kini gadis duyung itu mengamati raut wajah peri laki-laki yang berdiri tertunduk di hadapannya. "Katakan, apa yang terjadi? Di mana, Elijah?" Lorelie mengalihkan pandang ke sekitar. Di antara lereng gunung yang porak-poranda itu, hanya ada sekelompok kecil kru Borbounaisse yang tersisa. Wajah-wajah bajak laut itu terlihat kuyu dan penuh luka, duduk melingkar mengelilingi api unggun.
Lorelie merasakan kepanikannya semakin menjadi-jadi saat tidak menemukan wajah Tribal dan Elijah di sudut mana pun yang terjangkau cahaya api unggun. "Bagherra, katakan apa yang terjadi?!" desaknya seraya mengguncang bahu peri laki-laki di hadapannya.
"Kami berhasil mengalahkan naga penunggu The Mighty Mountain. Lebih tepatnya, Elijah yang mengalahkannya."
Lorelie menurunkan lengannya dari pundak Bagherra. Kepanikannya sedikit mengendur, tetapi raut khawatir masih terpampang jelas di wajahnya. "Lantas di mana Elijah? Aku juga tidak melihat Kapten Tribal di mana pun ...."
Dari arah api unggun, sosok peri laki-laki bertubuh besar yang tampak familier berjalan menghampirinya. "Kau kembali?" sapa sosok itu.
Kilat dari salah satu sudut langit memberi penerangan sekilas yang membuat Lorelie dapat mengenali sosok itu. "Rage!" Gadis duyung itu balas menyapanya.
"Syukurlah kau baik-baik saja. Elijah ada di atas sana," sahut Rage seolah tahu alasan yang membawa Lorelie kembali ke tempat itu.
"Apa dia bersama Kapten Tribal?"
Alih-alih menjawab, Rage malah bertukar pandang dengan Bagherra. Awan mendung seketika menyaputi paras keduanya, membuat perasaan Lorelie seketika menjadi tidak enak.
Gadis duyung itu mengembuskan napas panjang, kemudian melangkah mendekati api unggun. Wajah-wajah muram awak kapal Borbounaisse yang tersisa serta sisa pembakaran berukuran besar tak jauh dari tempat mereka berkumpul seolah menjawab tanya yang memenuhi kepala Lorelie. Sisa pembakaran sebesar itu biasanya digunakan saat kematian sesosok peri elf, abunya akan dikumpulkan dalam sebuah wadah untuk kemudian dihanyutkan ke laut atau pun dikubur.
Lorelie merasakan nyeri seketika menghantam dadanya. Rasa sedih yang tak dapat meluruh menjadi air mata terkadang menciptakan kesakitan di dalam rongga dada. Begitulah yang Lorelie rasakan sekarang. Sedikit-banyak, pemandangan di hadapannya memberi petunjuk samar mengenai apa yang telah terjadi di tempat itu.
Lorelie kembali mengalihkan pandangan di luar jangkauan api unggun. Siluet hitam samar yang mengelilingi tempat itu terasa janggal dalam penglihatannya. Benar saja, begitu mata Lorelie menangkap siluet paling besar yang menggunung di kejauhan, seluruh pertanyaan di kepalanya langsung memperoleh jawaban. Siluet itu sudah pasti bukan reruntuhan gunung, apalagi tumpukan bebatuan.
"Makhluk apa itu?!" Lorelie membelalak. Kedua telapak tangannya refleks menutup mulut.
"Naga Hitam Buta penunggu The Mighty Mountain," sahut Bagherra yang entah sejak kapan telah menyusul dan berdiri di sampingnya.
Lorelie menoleh pada peri laki-laki itu, masih dengan raut tak percaya. Kengerian terpancar jelas dari sorot matanya. "Dan, Kapten Tribal ....?" Ia tak mampu melanjutkan asumsinya.
Bagherra mengangguk lemah sebagai jawaban. "Dia telah gugur ketika melawan makhluk itu." Salah satu lengannya menunjuk pada tumpukan kayu bekas pembakaran yang telah menghitam.
Hening yang janggal seketika menyergap di antara mereka. Lorelie mendadak kehilangan kata-kata. Sebetulnya, ia sudah bisa menduga, tetapi kenyataan yang disampaikan Bagherra barusan membuatnya sangat ingin menyangkal. Gadis duyung itu hanya bisa menggeleng lemah, kembali menyisir pandangannya pada wajah-wajah sendu awak kapal Borbounaisse. Kesedihan itu masih lekat di sana, tersamar sedikit oleh kelelahan dan luka. Dan, bekas pembakaran itu pastilah tempat tubuh sang kapten terbaring untuk terakhir kalinya, dilahap api sampai menjadi debu. Tribal telah abadi di sana, bersama para leluhur peri di tempat yang tak terlihat.
Tidak ada tanya lagi yang terlontar dari bibir pucat Lorelie. Semua simpul telah terbuka, semua tanya telah terjawab. Hanya deru napasnya yang keluar masuk secara teratur, ketika gadis duyung itu mencoba menahan lelehan air mata yang telah menggenang di pelupuk. Ia perlu hening untuk menerima segenap kenyataan yang terjadi di sana. Namun, beberapa saat kemudian pikirannya teralih pada Elijah, terlebih saat terdengar bunyi ledakan samar dari puncak The Mighty Mountain. Bunga api memercik, menerangi langit gelap Faeseafic yang mengandung badai.
Bagherra refleks menghunus pedang, begitu pula halnya dengan awak kapal Borbounaisse yang tersisa. Lingkaran kecil yang mengelilingi api unggun itu sontak membubarkan diri seraya membawa senjata masing-masing. Namun, tidak seorang pun yang berani mendekati puncak The Mighty Mountain. Mereka hanya menonton dengan waspada, menanti sesuatu yang mungkin akan terjadi setelah ledakan.
Akan tetapi, tidak dengan Lorelie. Setelah keheningannya terenggut oleh kekhawatiran-kekhawatiran tentang Elijah, gadis duyung itu tak dapat menenangkan diri. Lorelie bergegas lari mendekati puncak melalui lereng terdekat dengan sisi paling landai yang dapat didakinya.
"Lorelie, tunggu!" teriakkan Bagherra kemudian menghentikan langkah gadis duyung itu.
Lorelie menoleh dengan raut enggan. "Elijah dalam bahaya," bantahnya saat sebelah lengan Bagherra meraih pergelangan tangannya dalam gerakan menahan.
"Aku tahu. Kita tidak bisa masuk ke sana."
"Pasti ada cara agar aku dapat masuk." Lorelie bersikeras. Pandangannya meneliti puncak The Mighty Mountain yang diliputi kegelapan, kini ditambah kepulan asap samar akibat suara ledakan yang baru saja terdengar, meski rasanya mustahil untuk mengetahui keadaan di atas sana dari posisinya saat itu.
Genggaman Bagherra pada pergelangan tangannya mengerat seolah enggan membiarkan gadis duyung itu mendaki ke atas. "Lepaskan, Bagherra!" hardik Lorelie tajam. Ia berusaha menarik pergelangan tangannya, tetapi cengkeraman peri laki-laki itu juga kian mengetat.
Pandangan Lorelie dan Bagherra kini beradu. Raut wajah keras kepala kedua makhluk itu saling berhadap-hadapan dalam jarak tidak lebih dari sebelah lengan peri elf dewasa. "Aku mohon, dengarkan aku kali ini, Melarue. Di dalam sana berbahaya. Kita tidak tahu apa yang dihadapi Elijah. Lagi pula, aku tidak mau kau terluka ...."
Lorelie menyentak lengannya keras-keras hingga cengkeraman Bagherra akhirnya terlepas. Pada akhirnya peri laki-laki itu akan selalu mengalah untuknya, sejak dulu selalu begitu. "Aku akan menolong Elijah." Lorelie melirik sekilas pada Rage serta awak kapal Borbounaisse lainnya yang sedang mengamati mereka dari kejauhan. Gadis duyung itu lantas mengeraskan suaranya. "Kalau kalian tidak ingin membantu, tinggallah di sini, tetapi jangan halangi aku," tegasnya, lalu melirik Bagherra dengan tajam.
"Aku mengetahui bagaimana cara menghapus kutukanmu, Melarue. Untuk itulah aku mencarimu selama ini ...." Rupanya peri laki-laki itu masih berusaha menahannya.
Lorelie baru saja hendak berbalik, tetapi kata-kata Bagherra barusan refleks menghentikan langkahnya. Gadis duyung itu kembali memerangkap Bagherra dalam pandangan menuntut. "Apa katamu?"
"Aku tahu cara mengembalikan sepasang kakimu, Melarue. Tinggallah dan aku akan menghapus kutukanmu," tutur Bagherra pelan. Sorot matanya melembut dan Lorelie melihat sesuatu yang berbeda dalam tatapan itu.
Lorelie bergeming, mendengarkan batinnya yang tengah berperang saat itu juga. Ia tak dapat menampik jika menghapus kutukan duyung ini adalah tujuannya selama ini, begitu pula alasannya mengikuti Elijah pada awalnya. Lorelie berharap dapat menghancurkan kutukannya dan Elijah bersama-sama karena mulanya mengira jika sumber kutukan mereka berasal dari Andromeda Aerendyl. Namun, dugaannya salah, sang ibulah yang memberinya kutukan, justru untuk melindunginya dari Andromeda. Dan, setelah sekian waktu dan petualangan yang dilewatinya bersama Elijah, Lorelie sadar, ada alasan lain yang membuatnya selalu mengkhawatirkan peri laki-laki itu.
Pada akhirnya, Lorelie hanya menggeleng lemah. Senyum penuh penyesalan terukir di bibirnya. "Aku harus menolongnya," ucapnya samar.
"Melarue, aku mohon. Aku telah mencarimu sejauh ini, melakukan apa pun untukmu sejauh ini ... Aku benar-benar tidak ingin kau terluka. Aku mohon ...."
Lorelie bergeming.
"Aku tidak ingin kehilanganmu lagi," ucap peri laki-laki itu lagi.
Suara Bagherra bergetar dan terdengar emosional dalam pendengaran Lorelie. Sesuatu yang tidak pernah didengarnya dari peri laki-laki itu, salah satu kesatria tangguh sekaligus rekannya berlatih di Agrodimor sejak kanak-kanak. Namun, bagaimana pun keadaannya, peri laki-laki itu tidak lagi dapat menahannya atau mengubah keputusannya.
Lorelie nyaris berbalik, tetapi kata-kata Bagherra membuat sepasang tungkainya kembali membeku sesaat.
"Aku menyukaimu, Melarue. Aku telah menyukaimu sejak lama."
Suara Bagherra rendah dan dalam. Namun, kata-kata itu mampu membuat gemuruh brutal di dalam dada Lorelie. Alih-alih mengundang debar bahagia, entah mengapa ungkapan itu justru terasa menggores luka di dada Lorelie. Sungguh ucapan yang tidak tepat untuk diutarakan pada saat-saat seperti ini. Tanpa menoleh, Lorelie bergegas mendaki lereng gunung, setengah berlari, mengabaikan ungkapan perasaan peri laki-laki itu. Ia tahu jika Bagherra pada akhirnya akan membiarkannya pergi. Seperti dahulu, peri laki-laki itu akan selalu mengalah untuknya.
Aww, sedikit gula dari Bagherra 🤤😘
Tanya donk, kalian lebih setuju Lorelie sama Elijah atau Bagherra? 😆 Jawab yaa 🤭🤭
Pontianak, 26 Juni 2021. Pukul 21:28 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top