4. ⛰️ Fearsome Enclave
Elijah terlonjak panik saat mendapati wajah sesosok perempuan berada dalam jarak sangat dekat dengan wajahnya, saat ia membuka kelopak mata. Sontak ia mendorong tubuh makhluk itu dengan kasar, mengambil jarak sembari mengumpulkan segenap kesadarannya.
"Siapa kau?! Apa yang kau lakukan padaku, hah?! Dasar makhluk kurang ajar! Berani-beraninya kau mendekatkan wajah padaku!" Elijah berteriak berang. Ia meraih sebilah kayu yang mencuat dari bekas api unggun di samping pembaringannya yang terbuat dari tumpukan daun, lalu mengacungkan ujungnya yang hangus menghitam pada duyung betina yang bergeming dengan mulut menganga.
Baiklah, dalam keadaan normal, mungkin ia akan sedikit tertarik dengan wajah cantik itu. Sekadar untuk digoda. Tidak lebih. Wajah dengan tipikal kecantikan yang mencolok; mata biru yang besar, bulu mata lentik yang panjang, bibir merah, kulit bening, dan surai merah menyala adalah perpaduan yang sangat indah. Namun, terkesan terlalu murahan, terlebih saat senyum pada bibir mungil itu merekah dengan gaya terlalu dibuat-buat.
Pupil mata Elijah melebar saat menyadari jika perempuan itu bukan peri elf, melainkan makhluk separuh ikan yang kisahnya biasa digunjingkan para kesatria Elf penjaga pelabuhan di Avery. Sirip tipis menempel pada belakang telinga dan kedua pergelangan tangannya. Beberapa bagian tubuhnya bersisik mengilap di beberapa tempat, berwarna senada dengan bagian bawah tubuhnya.
Duyung betina itu masih betah tersenyum dengan kelopak mata mengedip genit. Ekor berwarna kuning pucatnya berkilau di bawah cahaya matahari pagi, sementara sirip ekor transparannya yang panjang dan bergelombang meliuk-liuk dalam irama tertentu. Jujur saja, Elijah belum pernah berurusan dengan duyung, jadi ia sama sekali tak dapat menilai makhluk itu lebih jauh. Namun, dari bahasa tubuhnya, Elijah tahu jika makhluk itu tengah berusaha menggodanya.
"Aku ..." Duyung rupawan itu menggigit bibir bawahnya, terkesan berpura-pura takut. Ia duduk pada jalur ombak yang berbuih di atas hamparan pasir putih basah dengan bertumpu pada kedua lengan. Dulu sekali, Elijah pernah mendengar jika makhluk-makhluk laut yang rupawan ini cukup berbahaya, terutama bagi peri laki-laki. Mereka akan merayu, menggoda hingga mendapatkan hati peri laki-laki incarannya. Hal yang benar-benar mereka inginkan adalah jantung sebagai kunci kecantikan abadi.
Tubuh Elijah menegang. Ia tak boleh lengah atau berbaik hati sedikit pun pada makhluk ini. Tak peduli jika sang duyung telah menyelamatkannya. Ia harus membayar keselamatannya ini, bahkan sebelum makhluk bersurai merah itu menagihnya.
"JAWAB AKU!" hardiknya parau. Kayu itu terangkat ke udara, siap untuk menghantam kepala sang duyung. "Atau aku akan membunuhmu."
"Tu-tunggu dulu, tampan. Aku Lorelie. Aku duyung yang menemukanmu tenggelam." Duyung betina itu kini terlihat benar-benar panik dan mengoceh dalam bahasa yang sama sekali tak Elijah mengerti. Beberapa kali duyung betina itu terlihat meneguk ludah sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Aku menyelamatkanmu. Aku sama sekali tak bermaksud jahat. Kau bisa mempercayaiku." Meski ketakutan, netra bulat dengan binar yang seolah mengandung sihir itu tetap saja terlihat begitu indah.
Elijah membuang muka, lalu mengernyit. Di saat bersamaan, sepertinya sang duyung menangkap kebingungan di wajah rupawannya.
Lorelie berdeham, mengulangi sekali lagi kata-kata yang ia ucapkan barusan dalam Bahasa Avaric, bahasa bangsa peri. Elijah terkesima dan mereka beradu pandang sesaat. Elijah sama sekali tak menyangka jika duyung juga menguasai bahasa universal para peri. Rupanya Lorelie tak sebodoh kelihatannya.
"Omong kosong! Makhluk laut seperti kalian tak membutuhkan balasan? Yang benar saja!" sergah Elijah ketus.
Peri laki-laki itu menggeser tubuhnya menjauhi Lorelie sambil menggeleng cepat. Ia tak boleh berlama-lama bersama duyung betina ini jika tak ingin terpedaya.
Pandangan Elijah kini beralih menyisir sekujur tubuhnya sendiri yang sedari tadi terasa janggal. Rumput laut kering yang menempel pada beberapa bagian tubuhnya berguguran saat ia bergerak. Sisik-sisik berwarna turquoise mencuat di balik rumput laut yang telah berguguran itu, membuat Elijah mendadak panik.
"Apa ini?" suaranya meninggi, lantas menyorot Lorelie dengan tatapan menuntut penjelasan. Sementara duyung itu hanya menggeleng pelan seraya mengedikkan bahu.
"Aku tak tahu pasti, tampan, tapi sepertinya kau terkena kutukan ... sama sepertiku." Ia melirik pada sisik serupa di bahunya. "Namun, efek yang dihasilkan tubuhmu sepertinya sedikit berbeda dengan yang kualami." Gadis duyung itu berbicara dengan hati-hati, mengamati perubahan air muka sang peri.
Elijah merasa ucapan Lorelie barusan adalah omong kosong belaka. Tentu saja ia tak sama dengan makhluk itu. Ia menggeleng frustrasi, sebelum menggosok dan berusaha mencongkel sisik-sisik itu dengan kuku-kukunya. Sisik yang terlepas membuat kulitnya berdarah disertai rasa panas dan perih. Peri laki-laki itu meringis. Namun, rasa kecewa rupanya lebih besar dari sekadar rasa sakitnya. Ia melakukannya lagi, membuat darah kembali merembes dari bagian lain tubuhnya.
"Berhenti!" Lorelie berteriak panik seraya menggeser tubuhnya, mendekati Elijah. Berusaha sekuat tenaga menahan lengan kokoh milik sang peri. Namun, sia-sia. Tubuhnya terguling saat Elijah dengan keras menepisnya.
Elijah yang diliputi amarah, memelototi sang duyung dengan penuh kebencian. "Kau tak perlu ikut campur! Dan, jangan berani-berani menyentuhku!" geramnya dalam suara rendah.
Setelah berhasil mengatur napasnya yang memburu dan mengendalikan keinginan kuat untuk kembali mencongkel sisik pada bagian lain, Elijah bangkit, berdiri dengan sepasang tungkainya yang masih lemas dan gemetar. Pandangannya menyisir tempat itu.
Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan lautan biru yang permukaannya berkilauan diterpa sang surya di sana. Tak ada apa pun di atas permukaan laut yang sekilas tampak tenang itu. Tak ada kapal atau apa pun yang mungkin dapat menyelamatkan Elijah dari situasi ini. Jalan satu-satunya hanyalah bertahan di tempat itu selama mungkin. Untuk bertahan, ia butuh makan.
Peri laki-laki itu mengembuskan napas panjang, kemudian berbalik dan menimbang sisi lain tempat itu. Pemandangan hijau dengan siluet hitam yang menjulang tinggi terhampar di sana. Langit lazuardi menaungi pemandangan rimba mistis itu menambah keelokannya. Pepohonan yang rimbun baginya berpotensi menyimpan banyak cadangan makanan. Setidaknya, rimba itu jauh lebih baik daripada Hutan Larangan. Baiklah, Elijah sudah menetapkan hati. Jika ia tak dapat keluar dari pulau ini, maka ia harus bisa bertahan selama mungkin di sini.
"Kau mau ke mana, tampan?" Suara melengking itu lagi. Elijah mendengkus lalu berbalik seraya melemparkan pandangan tak suka pada Lorelie.
"Berhenti memanggilku dengan panggilan menjijikkan itu!" Elijah menggeram tertahan.
Lorelie terkikik. Senyum duyung itu kembali merekah. "Istirahatlah di sini, aku akan mencari makanan untuk kita. Kau masih harus beristirahat. Hmm, beri tahu namamu, tampan, supaya aku bisa memanggilmu dengan benar." Netra biru besar itu mengedip nakal padanya.
Duyung betina ini benar-benar menguji kesabarannya. Peri laki-laki itu nyaris mengumpat, tetapi sekuat tenaga ia tahan. "Jangan mengaturku! Dan, hentikan omong kosong ini!" hardiknya. Elijah berbalik dan hendak mengayunkan langkah.
"Jangan ke sana! Tidak ada pelaut yang selamat jika masuk ke belantara Fearsome Enclave. Apa kau tak mengetahuinya?" Kali ini Lorelie berkata dengan nada serius. Senyum di wajahnya telah menguap.
Elijah kembali berbalik dengan ekspresi kesal. "Kau tidak perlu mempedulikanku, duyung. Andai pun aku mati di dalam sana, itu sama sekali bukan urusanmu!"
Duyung itu menaikkan salah satu alisnya. "Lorelie. Namaku Lorelie," koreksinya kembali dengan gaya centil yang memuakkan. "Aku memang tidak peduli padamu, tampan. Aku menyampaikan apa yang aku ketahui. Setidaknya, jika kau masih punya pilihan, pilihlah dengan bijak. Jangan bertindak seputus asa itu. Kau terlihat menyedihkan. Sayang sekali, wajah tampanmu itu jika harus berakhir sia-sia." Telunjuk lentik berselaput bening itu bergerak-gerak pelan di depan wajah sang peri, membentuk rahang tegas Elijah pada udara kosong yang menjadi jarak mereka.
Elijah melotot, sementara Lorelie memasang tampang pura-pura tak acuh. "Kau bahkan tak mengenalku, tapi kau menilaiku seenaknya, duyung!" Ia berdecak frustrasi. Harinya benar-benar sial karena bertemu duyung genit dan cerewet ini. "Pergilah! Aku tak ingin bertemu denganmu lagi," lanjutnya kesal. Kedua lengannya lantas dengan cepat melepas sabuk kulit yang melingkari pinggang, melepas tempat pedang estoc-nya.
"Kau mau apa?" Lorelie menatapnya kebingungan, tetapi netranya mengerling penuh minat pada pedang dalam genggaman sang peri, seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Duyung betina itu menggeleng tepat saat Elijah benar-benar mengangsurkan pedang estoc kepadanya. "Ambil ini. Anggaplah kita impas. Aku tak punya apa pun Aku hanya pengelana miskin yang bernasib sial. Aku tak ingin berurusan denganmu lagi," tutur Elijah tegas. Matanya memicing berserobok dengan netra Lorelie.
Duyung itu menggeleng sekali lagi. Wajah cantiknya seketika mendung. "Tidak. Aku tidak memerlukannya. Kau lebih membutuhkan pedang ini," tolaknya seraya menunjuk dengan ujung dagu pada rimba lebat di balik punggung Elijah.
Elijah tersenyum miring. Duyung ini ternyata lebih keras kepala dari yang ia duga. Rasanya ia kenal seseorang yang sama keras kepalanya dengan makhluk ini di masa lalu. Ia mendengkus, muak dengan apa yang dihadapinya sekarang. "Ambil ini atau kau tak akan mendapatkan apa pun! Jangan harap aku akan memberikan hal lainnya!" bentaknya.
Sepertinya gertakan itu cukup mengintimidasi Lorelie sehingga makhluk itu bungkam dan memelototinya dengan sorot tak percaya. Bersamaan dengan itu, Elijah melemparkan pedang estoc-nya hingga jatuh tepat di hadapan sang duyung, lalu berbalik. Dengan langkah berat, ia menjauhi pesisir pantai. Suara panggilan Lorelie lambat laun menghilang ditelan jarak.
🌅🌅🌅
Elijah menyeret tungkainya memasuki rerimbunan pohon di penghujung hamparan pasir putih. Ia tak menoleh lagi. Lorelie kemungkinan besar telah kembali ke lautan, karena tak terdengar lagi suara lengkingannya yang mengganggu pendengaran.
Kini tinggalah suara debur ombak dan siulan camar yang terdengar samar di balik punggungnya. Hari beranjak siang. Namun, hanya sedikit sinar matahari yang lolos dari celah dedaunan yang menaungi kepala.
Mulanya perjalanan itu cukup melegakan. Setidaknya sampai suara lautan dan bau asinnya benar-benar menghilang. Elijah mulai merasakan hutan yang terlampau hening. Garis-garis cahaya yang menerobos masuk melewati celah dedaunan semakin berkurang. Hutan perlahan menjadi lindap.
Peri laki-laki itu menoleh sesaat pada semak dan aral yang telah ia lalui. Jejak yang harusnya tertinggal di sana, entah mengapa sama sekali tak membekas. Seolah ia tak pernah melewatinya, sementara tempatnya bermula tak lagi tertangkap pandangan. Nalurinya sebagai seorang petualang perlahan-lahan mulai terusik. Ada yang tak beres dengan tempat ini.
Elijah mengedarkan pandangan ke sekeliling menilai pepohonan yang mungkin menjadi tempat tinggal dryad. Di Avery, pepohonan besar dan berdaun rindang biasanya menjadi rumah bagi para peri pohon. Namun, pepohonan di tempat ini sepertinya sedikit berbeda. Dalam hati, Elijah menyesal karena telah menyerahkan pedang estoc-nya pada Lorelie sebagai balas jasa. Sebagian dirinya ingin berbalik dan meminta benda itu kembali, tetapi tentu saja hal bodoh semacam itu tak akan pernah ia lakukan.
Sang pangeran terbuang itu menelan kekesalannya sambil terus melanjutkan langkah. Sebenarnya tubuh Elijah masih terasa nyeri dan sangat lemas. Terlebih ia belum memakan apa pun sejak kemarin. Ia berharap dapat menemukan buah-buahan atau bunga yang mengandung nektar untuk mengganjal perut. Barangkali jika ia beruntung, ia dapat menemukan sungai atau danau yang memiliki banyak ikan.
Namun, hingga lewat tengah hari, buah, bunga dan ikan-ikan seolah hanya fatamorgana di tengah belantara. Pohon-pohon semakin rapat, menampakkan bagian hutan yang tak pernah terjamah makhluk pendatang. Tak ada suara serangga atau binatang lainnya sebagai penanda kehidupan. Jauh di dalam lubuk hatinya, Elijah mulai resah.
Beberapa kali, sang pangeran mencoba berbalik untuk menemukan jalan kembali ke tepian pantai. Alih-alih mendapati jalan keluar, ia justru tersesat semakin jauh dalam rimba yang tak ia kenal. Berulang kali ia kehilangan arah datangnya matahari melalui petunjuk lumut di pepohonan, sehingga Elijah tak dapat menerka lagi arah mata angin.
Tiba-tiba sebuah suara ilalang yang tersibak samar tertangkap pendengarannya. Tubuh Elijah seketika membeku di tempat. Ujung runcing telinganya bergerak-gerak saat fokus pada bunyi yang hilang timbul. Namun, satu hal yang pasti, suara itu terdengar semakin jelas, semakin dekat.
Elijah beringsut pelan, meminimalisir bunyi. Dengan gerakan cepat, ia meraih sebilah kayu dengan ujung meruncing yang berada di dekatnya, menggenggamnya erat sebagai senjata. Dadanya bergemuruh dan adrenalinnya terpacu.
Kini sumber suara itu tak hanya satu. Telinganya menangkap bunyi pergerakan lain di balik punggung. Elijah berbalik cepat dengan salah satu lengan teracung. Namun, belum sempat penglihatannya menangkap para pendatang itu, tubuhnya mendadak terlilit oleh sesuatu. Kedua pergelangan kaki, salah satu pergelangan tangan dan pinggangnya tercekik. Dalam sekali kedipan mata, tubuh Elijah terseret pada semak-semak dan menghantam akar timbul di permukaan tanah. Peri itu menjerit kesakitan.
Suara-suara tawa seketika terdengar sahut-menyahut. Bersamaan dengan itu, berpasang-pasang mata muncul dari setiap batang pohon yang ditempeli lumut tebal. Ranting-rantingnya bergerak liar bagai tentakel makhluk laut, menggapai-gapai ke arahnya. Pohon-pohon itu hidup!
Tubuh Elijah terangkat tinggi dalam posisi terbalik. Sulur tanaman yang menjerat kaki dan pinggang peri laki-laki itu menggantung tubuhnya. Ia menjerit sambil terus meronta berusaha mengenyahkan lilitan. Alih-alih merenggang, lilitan itu justru semakin ketat mengungkungnya.
"Lepaskan. LEPAS!"
Tawa paling besar tercetus memekakkan telinga, diiringi rentetan kata-kata dalam bahasa yang tak ia pahami. Namun, satu hal yang kentara dari nada suara misterius itu, yaitu kemarahan.
"Hei. Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku tersesat di sekitar sini dan tak bisa menemukan jalan keluar!" Elijah berusaha menjelaskan. Namun, jeratan di kedua pergelangan kakinya justru semakin mengerat. Agaknya mereka tak menyukai apa pun yang ia katakan dan lakukan.
Peri laki-laki itu mengeluh lirih. Namun, seketika ia terdiam saat menyadari sebuah ide melintas dalam benaknya. Sebuah ide yang mungkin saja dapat menyelamatkannya atau bahkan membunuhnya. Ia tak peduli. Persetan dengan kematian. Bukankah ia memang menginginkannya?
Elijah mulai mengayunkan tubuhnya perlahan, tak mengacuhkan suara-suara dan desisan yang menggema di sekitarnya. Lambat-laun ayunannya semakin kencang, sementara tubuhnya meliuk-liuk di udara. Satu lengannya yang menggenggam bilah kayu tajam mencoba menyabet sulur tanaman yang membelit pada pergelangan kaki.
Dalam sekali sentakan cepat yang tiba-tiba, Elijah berhasil memotong beberapa sulur sekaligus hingga suara erangan marah terdengar. Ikatan yang melilit kakinya terlepas di saat bersamaan. Tubuhnya berayun secara horizontal. Peri laki-laki itu mengembuskan napas lega saat menyadari usahanya mulai membuahkan hasil.
Elijah tak ingin membuang-buang waktu lagi. Dengan cekatan, mata kayu tajam itu kembali menyabet lilitan sulur di pinggang. Ikatan terlepas, tubuhnya nyaris terhempas. Sulur tipis yang melilit salah satu pergelangan lengannya ikut terputus akibat gaya dorong yang tercipta saat akhirnya ia terjun bebas menghantam tanah.
Elijah mengerang, saat akar-akar besar yang menyembul di permukaan tanah mengenai memar-memar dan bekas luka di beberapa bagian tubuhnya. Namun, peri laki-laki itu bergegas bangkit, ketika sulur tanaman baru terulur dan mulai mendekatinya lagi.
Secepat tenaga ia berlari menerobos semak setinggi dada peri elf dewasa. Ia tak berani menoleh. Namun, Elijah tahu persis melalui bayangan samar yang tercipta, jika terdapat begitu banyak sulur tanaman yang mengejarnya seumpama lengan-lengan monster yang siap meraup tubuh rentannya kapan saja.
Elijah sempat menganggap jika Hydra yang pernah menyerang Avery adalah yang paling mengerikan, tapi kini sepertinya ia harus meralat pemikiran itu. Tanaman merambat dan pepohonan ini jauh lebih mengerikan, terlebih karena ia sendirian di belantara yang asing. Entah mengapa, seketika Elijah berharap Lorelie atau siapa pun menemukannya sekarang.
To be Continue 🧜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top