39. 🐙 Gloom the Savior

Lorelie tidak mengingat berapa lama persisnya ia telah hilang kesadaran. Begitu cahaya pertama menerobos netranya, gadis duyung itu terlonjak dari pembaringan dan merasakan nyeri yang mengungkung sekujur tubuh. Lorelie menggeliat hingga merasakan sepasang tungkainya yang kaku. Pandangannya sontak turun pada sirip kuning pucat di bawah tubuhnya yang berkilauan, tetapi mulai sedikit kering. Alih-alih terendam di air, rupanya saat itu ia tengah berbaring di atas sebongkah besar es yang mengepulkan asap putih samar.

Belum lagi Lorelie menyadari keberadaannya dan mengingat apa yang menimpanya sebelum terbaring di sana, sebuah suara perempuan menyambutnya dengan sapaan yang dingin dan bernada tajam. "Apa maksudmu dengan Andromeda mengutuk putraku?"

Gadis duyung itu mengalihkan pandangan dari siripnya, mengedar ke sekeliling ruangan yang dipenuhi bongkahan es. Sementara pikirannya berkelana, menggali ingatan terakhir sebelum tidak sadarkan diri. Bayangan diri Lorelie yang terbaring di atas dipan es memenuhi setiap sisi dinding dan bongkahan es yang mengelilinginya. Ruangan serupa di mana sebelumnya ia pernah disekap. Namun, gadis duyung itu tak juga menemukan sosok pemilik suara di mana pun, sejauh matanya memandang. Lorelie menoleh semakin panik, sekali lagi, guna menyakini penglihatannya, hingga sebuah sentuhan yang bahkan jauh lebih dingin dari es menghampiri sebelah bahunya.

"Katakan apa maksudmu?!" Suara peri perempuan itu membentak. Permukaan tangan dingin itu kini mencengkeram pundak Lorelie dengan tajam. Gadis duyung itu refleks menoleh kepayahan dan mendapati sosok Minerva yang menyorotnya dengan tatapan tajam dalam jarak begitu dekat. Ia bergidik, sementara bagian bawah tubuhnya sangat ingin beringsut menjauh, tetapi tanpa air, siripnya seolah tak berguna.

Alih-alih menjawab, Lorelie merintih kesakitan saat cengkeraman tajam di lehernya terbenam semakin dalam. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, Minerva segera mengendurkan cengkeramannya saat menyadari jika perlakuan itu justru membuat Lorelie tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Kedua lengan pucat dari balik jubah gelap itu akhirnya tetarik turun.

"Kau tidak mengetahuinya?" Salah satu alis Lorelie terangkat, sementara netranya lekat menyelidik perubahan ekspresi Minerva. Meski tatapan peri perempuan itu tetap setajam sebelumnya, tetapi Lorelie dapat melihat secercah goyah di dalam sana. Gadis duyung itu mulai merasakan sedikit kepercayaan diri. Ketakutannya berlangsung menciut. Jika dugaannya tidak meleset, pasti ada sebuah kesepakatan yang telah dilanggar di antara peri perempuan itu dan sang penyihir lautan. Lorelie harus bisa memanfaatkan celah ini.

"Elijah dikutuk oleh Andromeda, sama sepertiku, saat pertama kali aku menemukannya," ungkap Lorelie setelah berdeham guna menyembunyikan getar pada suaranya. Nyalinya kembali berkobar seiring kepercayaan diri yang bertambah. Harus ia akui jika Minerva merupakan sosok yang intimidatif, terlebih dalam jarak sedekat ini. Perlahan, gadis duyung itu membalik tubuhnya menghadap peri perempuan yang kini bergeming bak pahatan batu es.

Minerva masih tak membuka suara untuk merespon ucapannya, tetapi Lorelie tahu bahwa peri perempuan itu mendengarkan sembari menahan diri. "Aku melihat sisik-sisik menyakitkan yang sama di beberapa bagian tubuhnya," lanjut Lorelie. "Saat terkena cahaya bulan, kutukan Andromeda akan menyiksanya."

Kemarahan seketika menyala pada sepasang bola mata kelam milik Minerva. Rahangnya mengeras dan bibir merahnya mengatup membentuk garis lurus seumpama busur panah yang siap melesat. "Tapi, dia sudah berjanji untuk tidak melukai putraku. Kau jangan coba-coba membohongiku!"

Kata-kata peri perempuan itu setajam belati, meski diucapkan dengan nada yang dalam disertai geraman tertahan. Sementara, kedua lengannya yang terkulai di sisi tubuh mengepal kencang. Kuku-kuku tajamnya yang semula mencengkeram leher Lorelie kini bahkan melukai dirinya sendiri. Dari sela-sela jari-jari tersebut lelehan darah segar mengintip dan samar-samar menguarkan bau amis bercampur tembaga, bau khas darah peri.

Isi perut Lorelie bergolak, tetapi sekuat tenaga ditahannya rasa mual yang mendesak di tenggorokannya dengan cara menarik samar sebelah sudut bibir. "Aku tidak berbohong. Kau bisa memeriksa sendiri keadaan putramu," bantah Lorelie. "Andromeda Aerendyl bukanlah makhluk yang setia, sama seperti kaum siren pada umumnya."

Wajah peri perempuan itu semakin mengelam. Sementara, Lorelie bergeming waspada di posisinya, menanti respon Minerva dengan jantung berdegup kencang.

Dengan gerakan tiba-tiba, Minerva mengibaskan sebelah lengannya ke udara dalam gerakan sarat emosi hingga sebuah bola cahaya berwarna ungu terbit pada permukaan telapak tangannya. Bola cahaya itu lalu dilempar ke sembarang arah sehingga meledak saat menghantam langit-langit es.  Ledakan itu meruntuhkan sebagian langit-langit bilik, sementara serpihannya berhamburan memenuhi lantai bilik yang beku. Sementara, kibasan lengan peri perempuan itu serta-merta membuat tubuh Lorelie terdorong dan menghantam dinding es di belakangnya hingga retak.

Peri perempuan berambut gelap itu melaungkan teriakan penuh kemarahan. Suara seraknya memantul-mantul pada dinding es dan puing-puingnya yang hancur berserakan. Dengan amarah yang masih meluap-luap, Minerva kembali mengulangi serangan brutalnya.

Lorelie menyeringai saat merasakan nyeri sekaligus dingin pada punggungnya yang berkedut menghantam dinding. Sungguh, rasa sakit itu bukan apa-apa. Kemarahan Minerva memberinya secercah harapan untuk dapat keluar dari tempat itu. Meski harus terluka, setidaknya ia telah berhasil mempengaruhi dan merebut kepercayaan Minerva. "Aku tahu di mana putramu," ucap Lorelie di tengah napasnya yang tersengal sembari menyeka setetes darah segar dari sudut bibir.

Minerva berbalik cepat dalam gerakan yang bahkan nyaris tak tertangkap oleh penglihatan Lorelie. Sebelum gadis duyung itu mengedip, Minerva telah berjongkok di hadapannya. Kemudian, dalam gerakan tangkas mencengkeram leher  si gadis duyung, kemudian mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi.

Lorelie menggeliat berusaha melepaskan diri, juga menggerakkan siripnya yang nyaris kering dengan lemah. Ia kembali tercekik dan kesulitan bernapas.

"Di mana putraku? Cepat katakan!" bentak Minerva dengan suara menggelegar. Sisa-sisa serpihan es berguguran akibat getaran yang ditimbulkan oleh bentakkannya.

"Le-lepas-kan!" Lorelie semakin tersengal.

Minerva menggeram, kemudian menurunkan gadis duyung itu dengan gerakan setengah membanting. "Di mana putraku?!" bentaknya tidak mengacuhkan Lorelie yang terbatuk saat udara akhirnya kembali memenuhi rongga dada gadis duyung itu.

Setelah batuknya mereda dan napasnya lebih teratur, barulah Lorelie menjawab dengan suara parau. "Phantom Enclave. Aku yakin, Elijah masih berada di sana.

Kedua netra kelam Minerva sontak melebar begitu mendengar nama tempat itu. Jenis ketakutan lain seketika membayang pada tatapan tajamnya. Lorelie mengira jika peri perempuan itu akan kembali mengamuk atau bahkan membanting tubuhnya. Akan tetapi, peri perempuan itu segera berbalik dan menjauhinya melewati puing-puing pintu bilik yang hancur. Embusan angin dari jubahnya menyapu pipi Lorelie, menambah dingin suhu yang mengungkung si gadis duyung di tempat itu.

Lorelie melepas kepergian Minerva dengan ekor matanya, sementara sudut-sudut bibirnya kembali tertarik. Inilah kesempatannya untuk melarikan diri.

🐙🐙🐙

Lorelie sempat berpikir untuk menghabisi Andromeda Aerendyl saat itu juga, mumpung ia berada di sarang sang penyihir. Namun, setelah kepergian Minerva, ia sadar jika siripnya tidak akan mampu membawanya lebih jauh atau melakukan perlawanan yang diperlukan jika tak segera menemukan air. Di sisi lain, Lorelie juga membutuhkan usaha lebih untuk meninggalkan istana tanpa sepasang tungkai, tetapi melarikan diri adalah hal yang lebih mungkin untuk diperjuangkan.

Melalui celah langit-langit bilik yang sebagiannya telah runtuh, Lorelie mendapatkan sepotong langit jingga  mengintip ke arahnya. Sesekali langit itu memancarkan garis terang yang membelah langit disusul gemuruh samar di kejauhan. Jika asumsi gadis duyung itu benar, maka tak lama lagi malam dan badai akan segera datang. Lorelie berpacu dengan waktu sebelum siripnya berubah menjadi sepasang tungkai.

Setelah menguatkan tekad, Lorelie mulai beringsut sembari menggelontorkan sisa-sisa reruntuhan es yang menimbun beberapa bagian tubuhnya. Bongkahan es yang cukup besar sempat menghalangi pergerakan gadis duyung itu hingga menggores dan menusuk-nusuk siripnya, tetapi Lorelie terus bergerak. Meski sulit dan terlihat nyaris mustahil, tetapi ia tidak akan menyerah. Ia harus segera menemukan jalan keluar menuju lautan.

Istana Agrodimor yang terletak di gugusan pulau Notrood Haven merupakan istana dengan bentuk bangunan paling unik di Faeseafic. Sebagian besar benteng berdiri kokoh di atas tebing dengan balkon dan celah terbuka yang menjorok ke arah lautan. Beberapa bagian istana yang terpisah bahkan dihubungkan dengan jembatan-jembatan gantung kokoh yang akan berayun jika tertiup angin, alih-alih terhubung oleh taman seperti istana lain pada umumnya. Istana tersebut dibangun sedemikian rupa mengingat Agrodimor adalah kerajaan yang berdiri di atas lautan. Para kesatria penghuninya sangat menyukai bau lautan dan memiliki kebiasaan memandangi ombak yang menyapu bagian bawah benteng mereka. Suara lautan juga merupakan irama penuh makna tersendiri bagi mereka, penyerta sekaligus penyemangat kehidupan damai para peri di Agrodimor. Namun, segala sesuatunya terenggut semenjak kemunculan dan penjajahan Andromeda Aerendyl yang menginginkan kurban jantung setiap putri dan pangeran dari seluruh kerajaan penghuni Faeseafic setiap dua belas purnama. Sejak itu lautan menjadi momok tersendiri bagi para penghuninya, begitu pula bagi Agrodimor.

Susah payah, akhirnya Lorelie berhasil melewati ambang pintu bilik es yang ambruk. Butuh beberapa saat lamanya bagi si gadis duyung untuk menyadari keberadaannya. Istana Agrodimor memiliki begitu banyak lorong dengan pintu bilik yang serupa dalam posisi berderet-deret. Terlebih saat itu keseluruhan istana telah diliputi es dengan permukaan yang memantulkan bayang-bayang di permukaannya. Sejauh mata memandang, selain putih yang dingin dan mengilap akibat pantulan cahaya bola kaca berisi kunang-kunang di langit-langit lorong, Lorelie juga melihat dirinya di mana-mana, pada sisi dinding, dan kaca yang membeku. Sementara, deru napas samar memenuhi seluruh lorong yang sepertinya kosong.

Minerva tidak terlihat di mana pun. Demikian pula para penjaga, jika sang penyihir lautan memang memilikinya. Lorelie juga tidak melihat Andromeda sejak pertemuan mereka terakhir kali. Barangkali, istana Agrodimor memang sedang berada dalam keadaan kosong dan meski tanpa penjaga, Lorelie tahu jika sang penyihir lautan tengah mengawasinya dari suatu tempat.

Lorong di luar pintu bilik seumpama jalan bebas hambatan. Lantai beku di bawah sirip Lorelie benar-benar mulus tanpa pecahan atau bongkahan yang berasal dari bilik. Dengan kedua lengan, gadis duyung itu mendorong siripnya, beringsut pada permukaan lantai setelah akhirnya mengingat keberadaannya. Bertahun-tahun meninggalkan istana membuatnya nyaris melupakan letak ruangan-ruangan di sana. Ingatan masa lalunya yang samar-samar akhirnya menuntun Lorelie dalam menentukan lorong mana yang ia pilih untuk menemukan jalan keluar.

Jika ingatannya tidak salah, maka ia sedang berada di sisi barat istana Agrodimor. Jika ia terus mengikuti lorong itu hingga melewati celah terbuka yang menyajikan pemandangan tebing batu dari ketinggian, maka Lorelie akan kembali menemukan Balairung. Dari Balairung, ia hanya perlu mencari pintu keluar yang langsung terhubung dengan sebuah balkon di atas tumpukan bebatuan yang jauh lebih landai. Setelah menuruni beberapa anak tangga dan bebatuan, Lorelie dapat melompat ke arah lautan dari sana. Begitulah rencananya.

Dengan jantung berdegup kencang dan adrenalin yang terpacu, Lorelie melewati lorong dingin itu secepat yang ia bisa. Sungguh, membawa bobot tubuh serta sirip dengan kedua lengan bukanlah perkara mudah. Akan tetapi, ia tidak dapat menunggu hingga malam benar-benar menjejak Faeseafic dan kehilangan kesempatan melarikan diri. Sirip kuning pucat inilah yang akan membawanya menyeberangi Faeseafic untuk kembali ke Fearsome Enclave.

Selagi menyusuri lorong, pikiran Lorelie terus tertuju pada Elijah. Kekhawatiran dan pengharapan mengenai senjata yang akan ditemukan peri laki-laki itu di The Mighty Mountain berkelindan hingga membentuk jaring-jaring yang membelenggu pikirannya. Elijah adalah satu-satunya harapan untuk menghancurkan penyihir lautan sekaligus mematahkan kutukan mereka. Dan, lebih dari itu, Lorelie merasakan kekhawatiran pribadi yang rasanya tidak beralasan terhadap peri laki-laki itu.

Lorelie menggeleng beberapa kali, berusaha menepis paras Elijah dari kepalanya. Pikiran tentang Elijah dengan kurang ajarnya hadir pada waktu dan tempat yang sama sekali tidak tepat. Untuk itu, Lorelie harus mengumpat berkali-kali sepanjang perjalanannya. Namun, tanpa disadarinya, peri laki-laki itu adalah satu-satunya motivasi yang membuat Lorelie berusaha sekuat tenaga menyeret tubuhnya mencari jalan keluar menuju laut.

Angin perlahan mulai berembus, kian lama kian kencang, sementara bau lautan tercium semakin kuat. Penghujung lorong terlihat lebih terang dari sebelumnya dan es di bawah kulit Lorelie yang semula membekukan kini terasa sedikit mencair, licin. Siripnya menjadi lebih leluasa bergerak, bahkan sedikit meluncur pada permukaan lorong.

Lorelie merasa semakin bersemangat. Kebas dan kaku di permukaan telapak tangannya tidak diacuhkannya hingga akhirnya gadis duyung itu mencapai penghujung lorong. Cahaya matahari keemasan yang cenderung jingga menyentuh kulitnya. Pemandangan bayangan dirinya yang memantul pada dinding es dan pintu-pintu bilik yang membeku kini berganti dengan pemandangan tebing dan deburan ombak yang menghantam karang di sela-sela pagar semen yang berlapis es. Lorong ini adalah salah satu celah terbuka yang menghubungkan lorong berisi deretan bilik dengan Balairung.

Gadis duyung itu menghentikan gerakannya sejenak, sekadar untuk membuang pandangan ke arah gejolak lautan yang sangat dirindukannya. Ia mengintip di antara salah satu celah pagar dengan tatapan takjub. Sempat terlintas dalan benaknya untuk melompat saja melalui celah itu. Akan tetapi, tebing yang terlampau tinggi dengan bebatuan karang yang tajam membuat nyalinya ciut. Bagaimana kalau ia tidak jatuh langsung ke dalam lautan, melainkan menghantam karang kelam yang mencuat itu? Tubuhnya akan hancur dan rencananya otomatis gagal.

Maka, rencana awal melewati balkon Balairung adalah pilihan terbaik yang dapat diusahakannya saat itu. Lorelie mengembuskan napas panjang, bersiap melanjutkan perjalanan saat pandangannya sekilas mendapati langit yang semakin gelap. Matahari rupanya tidak lagi bertakhta di puncak langit, melainkan telah lengser meninggalkan semburat jingga yang semakin pekat. Waktunya tidak banyak lagi.

Lorelie segera berbalik, memanfaatkan es yang sedikit mencair akibat cahaya matahari senja. Siripnya meluncur dengan mulus hingga mencapai ambang pintu menuju balairung jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Bongkahan es besar, sebesar peri elf dewasa berjejer di kiri dan kanan jalan masuk yang kembali membuat hati Lorelie mencelus. Patung-patung es itu adalah para sentinel Agrodimor yang terkena kutukan Andromeda.

Namun, sekali lagi, fokus Lorelie kembali terpecah saat melewati patung es kedua orang tuanya. Secepat mungkin gadis duyung itu memalingkan wajah saat melewati sepasang patung itu. Pelupuk matanya kembali berkedut saat kesedihan perlahan merayapi benak hingga membuat perjalanannya nyaris terhenti.

"Ayo yang kuat, Lorelie. Kau kuat!" bisiknya berulang kali pada diri sendiri.

Ruang Balairung yang semakin gelap akibat senja yang semakin pekat itu akhirnya berhasil Lorelie lewati. Hanya berjarak beberapa jengkal saja dari tempatnya beringsut, sepotong langit lembayung mengintip dari sela-sela pintu Balairung yang tak tertutup. Gadis duyung itu kembali merasakan jantungnya yang perpacu kencang sementara pikirannya telah berkelana ke tengah lautan. Bunyi debur ombak dan embusan angin berbau laut semakin menambah ketegangan.

Akan tetapi, baru saja sirip Lorelie menyentuh daun pintu dan mendorongnya terbuka, waktunya telah nyaris habis. Langit telah sepenuhnya menjadi gelap. Matahari telah tenggelam menyisakan gradasi warna ungu, merah, jingga, serta hitam yang berbaur di ufuk barat.

Lorelie mengumpat saat merasakan tubuh bagian bawahnya mulai bergetar. Sensasi bergetar diiringi rasa kesemutan itu menjalar dari atas hingga ke bagian bawah siripnya, sementara cahaya kekuningan perlahan menyelimuti sisik kuning pucat di sekujur sirip. Bahkan belum sempat gadis duyung itu mengedip, siripnya telah menghilang berganti sepasang tungkai lengkap dengan gaun putihnya.

Lorelie mendongak, kembali melaungkan umpatan pada langit yang seolah telah bersekongkol untuk mengkhianati upaya pelariannya. Bulan sabit pucat yang baru saja muncul dari salah satu sudut langit lantas menjawab kemarahannya saat itu juga. Rencananya telah gagal untuk berenang menuju Phantom Enclave. Tanpa sirip, ia tak mungkin berenang mencapai tempat itu dengan selamat.

Suara debur ombak yang menghantam tebing tempat balkon istana Agrodimor berdiri segera menyadarkan Lorelie dari ratapan keterpurukannya. Gadis duyung itu berdiri, berlari menyongsong pagar pembatas balkon yang membeku untuk beberapa saat. Dalam sosok peri elf-nya kini, dingin dari permukaan pagar itu menyengatnya.

Gadis itu berdiri gamang di sana, memandangi laut berombak yang menggerus bebatuan dengan tatapan kecewa. Apakah ini artinya ia telah kehilangan kesempatan untuk melarikan diri?

Tiba-tiba suara lenguhan besar terdengar menggelegar menyelimuti laut dan Istana Agrodimor. Sebuah pusaran air besar terbentuk tidak berapa jauh dari balkon tempat Lorelie berdiri, membuat gadis itu menatap waspada. Akan tetapi, suara lenguhan familier itu tidak sedikit pun membuat si gadis duyung takut. Alih-alih berlari menghindar atau bersembunyi kembali ke dalam istana, Lorelie justru mencengkeram pagar balkon yang membeku dengan kedua lengannya dan menanti dengan penuh rasa ingin tahu.

Pusaran air yang semakin lama semakin besar itu akhirnya membuat sebuah lubang, membuat ombak yang semula menghantam tebing melesak masuk ke dalamnya. Dari lubang hitam itu, sesosok Kraken muncul membawa serta tirai air yang menyelimuti tubuhnya, sementara lautan di sekitarnya membentuk gelombang tinggi.

Netra biru Lorelie melebar. Pengharapannya mendadak terbit. "Gloom, kau kah itu?" pekiknya tak percaya. Meski suaranya tertelan angin dan riuh lautan, makhluk besar yang berenang mendekati balkon itu menyahutinya dengan lenguhan panjang.

Salah satu tentakel Gloom terulur, berusaha menggapai Lorelie, sementara sejumlah besar air laut ikut naik dan membanjiri balkon istana. Lorelie serta-merta menyambut tentakel besar itu sembari tertawa, meski pada sudut matanya, kristal bening berkilat terlihat nyaris terbit. "Gloom bawa aku pergi dari tempat ini. Bawa aku ke Phantom Enclave!" teriaknya kegirangan.

Suara lenguhan Gloom menyahutinya.

Tanpa bantahan sedikit pun, makhluk itu mengulurkan tentakelnya lebih panjang untuk dapat merengkuh pinggang ramping Lorelie. Dililitnya gadis duyung itu dengan hati-hati, sebelum menariknya turun melewati pagar balkon.

Lorelie menjerit kesenangan saat angin dan percikan air laut menyentuh tubuhnya. Gloom membiarkan Lorelie bertengger di atas kepala besarnya yang menyembul di atas permukaan, sebelum berenang membelah Faeseafic, membawa sahabatnya menuju Phantom Enclave.







Pontianak, 19 Juni 2021 pukul 10.57 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top