38. ✨The Mission Must Go on

Kematian adalah keniscayaan. Cepat atau lambat setiap makhluk akan menghadapinya. Begitu pun halnya dengan kaum peri. Para elf memang berumur panjang, memiliki kesehatan di atas rata-rata makhluk lain. Namun, mereka bukanlah kaum immortal. Para elf memiliki durasi hidup yang panjang, tetapi mereka memiliki kelemahan yang dapat membawa pada kematian. Begitulah yang Elijah pelajari dari kematian Raja Brian, maupun para leluhur mereka di Avery.

Akan tetapi, kematian kapten Tribal kini benar-benar membuat Elijah terpukul. Peri laki-laki itu pernah terpuruk dalam satu kali yaitu ketika melihat kematian sang ayah di depan mata oleh ibunya sendiri. Sementara, kematian Tribal kali ini kembali mengguncangnya, memutar ulang segenap rasa sakit yang pernah menyayat sanubarinya pada suatu ketika.

Elijah tidak dapat menitikkan air mata. Peri laki-laki itu berlutut menatap gundukan tanah yang di atasnya terdapat setumpuk kayu dan nyala api yang tengah melalap tubuh sang kapten dengan perasaan campur aduk. Pemandangan itu membebaninya hingga membuat Elijah nyaris tak dapat bangkit. Beruntung, Rage tiba-tiba menepuk pundaknya, menyeretnya kembali ke Phantom Enclave.

"Kita akan menabur abunya di lautan setelah misi kita selesai," ucapnya tenang. Elijah mengangkat wajah, tidak mengenali suara Rage sama sekali saking jarangnya peri laki-laki itu berbicara. Akan tetapi, perkataannya kali ini seumpama air yang disiramkan ke dalam kobaran api, benar-benar menyejukkan. Rage terlihat jauh lebih tegar dari yang dapat Elijah bayangkan, mengingat peri laki-laki itu adalah tangan kanan sang kapten.

Dengan perasaan gundah, Elijah mengangguk kemudian menuruti Rage. Tungkainya terasa goyah, tetapi berdiri dan melihat ke sekitar justru membuat perasaan sang pangeran peri jauh lebih baik. Setidaknya, ada kenyataan yang harus ia hadapi serta kehidupan yang harus kembali dijalani.

"Tidak bisakah kita menunda ini?" Elijah mengembuskan napas berat. Ia merasa benar-benar sangat lelah, kelelahan jiwa dan raga.

Rage menatapnya dalam-dalam, lalu menggeleng pelan. Barangkali terlalu frustrasi menghadapi sikap sang pangeran peri. "Para bajak laut yang telah memulai misinya, harus berani mengakhirinya. Atau abu Kapten Tribal harus menunggu lebih lama lagi agar dapat menyatu dengan tempat peristirahatan terakhirnya."

Ucapan Rage seumpama tiupan angin laut yang serta-merta menyapu kegundahan Elijah. Setelahnya, tidak ada kata lagi yang terucap darinya. Bibir peri laki-laki bertubuh bongsor itu seolah kembali terkunci. Sementara, sayup-sayup alunan lagu Sea Shanty yang dinyanyikan para awak kapal Borbounaisse yang tersisa terdengar kian lirih, mengantarkan nyala terakhir yang membakar kayu dan abu Kapten Tribal.

Elijah seketika menyadari kesalahan ucapannya. Bukankah para bajak laut harus selalu menyelesaikan misinya? Ia memang bukan bajak laut, tetapi sedikit waktu yang dihabiskannya di Borbounaisse telah berhasil memikat hatinya. Kekeluargaan, persahabatan, dan petualangan yang selama ini ia rindukan dapat dirasakannya kembali berkat Tribal. Sebagai ucapan terima kasih yang mendalam, harusnya Elijah menunaikan permintaan terakhir sang kapten.

Peri laki-laki itu menengadahkan wajahnya menatap puncak The Mighty Mountain yang tidak lagi Sekokoh sebelumnya. Tanah merekah serta bongkahan bebatuan besar dan kecil memenuhi lereng di sekitarnya. Sebuah ceruk kelam terlihat mencuat muncul pada permukaan puncaknya. Elijah menduga jika ceruk itulah jalan masuk menuju tempat penyimpanan harta Karun yang selama ini hanya dianggap sebagai mitos, harta yang diidam-idamkan Tribal hingga membawanya pada maut. Sebelah lengannya yang telah merogoh koin emas kerajaan Avery kini terangkat ke udara seolah memberi pertimbangan dan kekuatan pada peri laki-laki itu. Elijah meliriknya sekilas sebelum kembali mengepalkan telapak tangan penuh tekad.

"Barangkali kau akan memerlukan ini." Bagherra bergerak ke sisinya diam-diam, menyerahkan trisula penyihir lautan yang digunakan Tribal untuk menghabisi si naga hitam.

Elijah tidak langsung menerimanya, tetapi menatapnya seolah sedang menimbang sesuatu. Benda keramat itu anehnya telah bersih dari sisa-sisa darah sang naga seolah permukaan penuh ukiran mantra itu telah menyesap tiap tetes kehidupan yang telah direnggutnya.

"Trisula itu berbahaya," ucap Rage memperingatkan ketika Elijah nyaris menggenggam benda itu. Netranya menatap tajam pada trisula di genggaman Bagherra dan ekspresi wajahnya mengeras.

"Apa maksudmu? Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana dan senjata ini akan sangat membantu." Bagherra mengernyit heran.

Rage menggeleng. "Kau tahu milik siapa ini?" tanyanya tanpa memerlukan jawaban. Netranya menyorot ngeri, sehingga Bagherra lebih memilih bungkam dan mendengarkan. "Kapten telah menggunakannya. Aku khawatir sang penyihir akan melacak keberadaan trisulanya yang hilang dan menemukan kita di sini. Makhluk itu pasti akan marah besar. Kemungkinan terburuk, dia akan menghabisi kita semua."

Bagherra menganga seolah akan mengucapkan sesuatu. Namun, ekspresi Rage mencegahnya untuk melontarkan bantahan. Barangkali ia tak menyangka, sama halnya seperti Elijah, jika tangan kanan mendiang sang kapten yang terkenal pendiam dapat melontarkan peringatan yang sangat meyakinkan.

"Aku akan menyimpannya," putus Elijah setelah membiarkan keheningan merambat di antara ketiganya. Ia meraih Trisula itu dari tangan Bagherra tanpa ragu. Sebuah rencana lain terlintas di pikirannya saat itu. Apa pun yang terjadi, Elijah tidak akan menghindari Andromeda, bahkan ia ingin menemukannya. "Dia benar, barangkali aku memerlukannya."

Rage menatapnya dengan sorot tidak percaya. "Setidaknya aku sudah memperingatkanmu, Pangeran."

"Aku tahu kekhawatiranmu Rage. Jangan khawatir. Lagi pula, aku memiliki urusan pribadi dengan sang penyihir. Jika ia tidak menemukanku, maka aku yang akan menemukannya. Untuk itu, aku membutuhkan senjata ini."

Rage terdiam, tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia mengangguk sekilas sebelum menjauhi Elijah. Peri bertubuh besar itu kembali sibuk dengan pengabdian terakhirnya kepada Tribal. Sisa nyala api yang mulai meredup disiramnya dengan air, sebelum mengumpulkan abu pembakaran Tribal dengan teliti dalam sebuah toples bening. Lantunan 'Sea Shanty' telah berakhir dan suasana The Mighty Mountain kembali hening.

Elijah memandangi wajah-wajah kru bajak laut Borbounaisse yang tersisa satu per satu. Selain kesedihan, wajah-wajah lusuh itu juga menyiratkan kesedihan dan kelelahan. Tidak satu pun dari mereka yang luput dari luka sisa perjuangan di The Mighty Mountain. Sedikit banyak, pemandangan itu membuat Elijah terenyuh. Jika ia memutuskan untuk kembali dan mengakhiri semua ini, maka luka dan pengorbanan mereka akan menjadi sia-sia.

Detik itu juga, Elijah telah memutuskan. Setelah menyelipkan Trisula di balik pinggangnya, peri laki-laki itu mulai menaiki lereng menuju puncak The Mighty Mountain yang merekah. Tidak ada yang bisa menyertainya, karena hanya keturunan keluarga kerajaan Avery yang konon katanya dapat memasuki tempat itu.

✨✨✨

Ceruk yang semula terlihat kelam pada jarak beberapa depa dari bawah lereng kini menampilkan bentuk aslinya. Sebuah pintu batu berwarna gelap tersembunyi di dalam bayang-bayang ceruk yang menjorok keluar. Dari kejauhan, siapa pun tidak akan menyangka jika terdapat sebuah pintu di dalamnya.

Elijah bergegas mendekati permukaan pintu batu itu, meraba permukaannya sembari mempelajari garis-garis samar yang terukir di atasnya. Sebagian besar berbentuk tulisan peri kuno yang terlihat familier, meski Elijah tidak memahami maknanya, sementara sebagian lagi berupa gambar-gambar peri yang sedang bertarung, lengkap dengan zirah mereka. Peri laki-laki itu menerka jika gambar serta tulisan kuno di atas permukaan pintu batu itu menceritakan tentang perang dan kepahlawanan bangsa peri di masa lampau, meski ia tak dapat memahami pertarungan yang mana. Ingatan Elijah mengenai nama, waktu, serta kejadian tidak begitu baik, dan kini, ia menyesali sikap abainya pada pelajaran sejarah yang pernah disampaikan oleh Claude di masa lampau.

Jari-jemari Elijah terus menyusuri permukaan pintu batu itu, sementara pikirannya berkelana dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya yang pernah terjadi di masa lampau. Ia masih berusaha keras mengingat, meski rasanya nyaris sia-sia. Akan tetapi, satu hal yang dipahaminya saat itu, mengenai heroisme bangsa peri masa lampau yang luar biasa dan tidak perlu diragukan lagi. Dadanya membusung ketika sedikit kebanggaan terbit karena bagaimanapun ia telah menjadi bagian dari pemilik tampuk kepemimpinan di Avery. Ia tidak peduli jika namanya justru dikenang karena sesuatu yang mencoreng, yang jelas, namanya telah terukir dalam sejarah.

Selagi Elijah sibuk dengan pikirannya, jarinya lantas menyentuh sebuah permukaan yang membentuk ceruk kecil melingkar. Ceruk itu lebih dalam dari pada ukiran lainnya sehingga Elijah yakin jika hal itu bukanlah bagian dari kisah yang terpahat di permukaan batu.

Sekali lagi, Elijah memastikan temuannya, menyentuh ceruk berbentuk lingkaran yang tidak terlalu dalam itu. Netranya seketika membola seolah mendapatkan Ilham. Dengan tergesa Elijah merogoh logam emas berlambang kerajaan Avery dari salah satu kantung celananya, kemudian menempatkannya dalam ceruk itu. Bagaikan menemukan pecahannya yang hilang, logam dan ceruk itu berpadu tanpa celah, sebelum terdengar bunyi gemuruh dari balik pintu batu.

Elijah yang terperanjat sontak mundur beberapa langkah, menghindari serpihan-serpihan batu yang gugur dari langit-langit ceruk yang menaungi pintu batu. Namun, suara gemuruh itu tidak berlangsung lama, pintu batu di hadapan Elijah lantas bergetar, kemudian bergeser terbuka dengan suara berat. Asap putih tipis mengepul dari balik pintu batu itu menguarkan bau apak dan debu. Elijah takjub membayangkan betapa ratusan bahkan ribuan tahun pintu itu tidak pernah dibuka.

Cahaya senja yang kian redup menyorot ke dalamnya meski tidak menampakkan apa pun, selain batu-batu panjang serupa taring yang terulur dari langit-langit gua. Elijah sempat dilanda keraguan untuk menerobos tempat itu, tetapi ia segera teringat Trisula sang penyihir lautan yang memendarkan cahaya. Peri laki-laki itu memutuskan untuk menggunakannya sebagai penerangan.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Elijah lantas melangkahkan kakinya. "Mari kita lihat apa yang ada di dalam," gumamnya pad diri sendiri. Tubuh rampingnya menyelinap dengan leluasa melewati celah pintu yang terbuka separuh. Selain kepulan debu tipis, jaring laba-laba yang lumayan tebal menyambut kedatangannya untuk pertama kali. Peri laki-laki itu sampai harus membersihkan jaring yang menyangkut di kepala serta pundaknya, menepis dengan lengan sebelum mengedarkan pandangan ke sekitarnya.

Gua itu sama seperti gua yang pernah Elijah datangi sebelumnya. Bebatuan dalam bongkahan besar dan kecil memenuhi permukaan lantai gua, sementara batuan yang tajam dan memanjang mencuat dari langit-langit gua yang tidak rata. Sejauh penerangan yang dapat dijangkau oleh pendar cahaya senja dari celah pintu dan trisula, Elijah belum melihat apa pun yang istimewa di dalamnya.

Elijah terus berjalan dengan langkah hati-hati berusaha meminimalkan pantulan bunyi yang ditimbulkan langkah dan napasnya, tetapi sia-sia. Ia mungkin dapat mengendalikan gerakannya, tetapi dinding-dinding gua selalu dapat memantulkan bunyi apa pun dengan cukup nyaring, termasuk helaan napasnya sendiri. Sama halnya dengan ukiran-ukiran yang terdapat pada pintu batu, dinding-dinding gua juga dipenuhi gambar-gambar serta tulisan peri kuno dalam jarak yang lebih besar. Elijah sempat mengamatinya sekilas dan mendapati gambar dengan tema yang jauh lebih beragam, tidak melulu mengenai adegan peperangan, tetapi kegiatan sehari-hari yang kemungkinan dilakukan bangsa peri pada masa lampau.

Semakin dalam menyusuri gua, semakin Elijah merasakan tekanan udara yang menurun serta udara gua terasa lebih menyesakkan. Cahaya senja yang semula mengintip dari celah pintu kini tak terlihat lagi sehingga suasana semakin temaram. Beberapa kali, peri laki-laki itu harus berusaha menjaga keseimbangannya akibat tersandung bebatuan yang nyaris tak terlihat dalam keremangan pendar cahaya trisula.

Elijah akhirnya tiba pada sebuah persimpangan. Dua lorong bersebelahan kini membentang di hadapannya menanti untuk di pilih. Sekilas kedua lorong gelap gulita itu terlihat serupa. Elijah nyaris saja melangkah tanpa pertimbangan jika tidak berpikir seandainya salah satu lorong itu berujung jebakan atau sesuatu yang matikan. Ia harus berpikir matang sebelum memutuskan langkah.

Untuk beberapa saat lamanya, Elijah berdiri mematung di antara kedua lorong tersebut. Dengan gamang, ia mengangkat trisula penyihir lautan masing-masing di hadapan dua lorong itu secara bergantian, berusaha menimbang dan mencari petunjuk. Namun, sebagaimana yang terlihat sejak awal, lorong itu sama persis.

Pada akhirnya, pangeran peri itu membuat keputusan berdasarkan insting. Ia akan memilih yang sebelah kanan karena bebatuan yang terlihat menutupi permukaan lantai jauh lebih sedikit. Hal itu akan memudahkan perjalanan dengan penerangan yang seadanya. Setelah mantap dengan pilihannya, Elijah mulai melangkah memasuki lorong pilihannya dengan mantap.

Akan tetapi, belum jauh ia menyusuri lorong, tiba-tiba suara raungan bergaung dari penghujung lorong yang tak terlihat pangkalnya. Elijah refleks menghentikan langkah. Keterkejutan membuat peri laki-laki itu mematung di tempat untuk sepersekian detik, memastikan jika pendengarannya tidak salah. Kemudian, suara raungan kedua kembali terdengar disertai gentar yang semula samar dan kian lama kian mendekat.

Elijah berlari kencang, meski sedikit terlambat saat lantai di bawahnya perlahan menimbulkan retakan-retakan samar yang menjalar hingga memecah bongkahan kayu yang dipijaknya. Alhasil, peri laki-laki itu gagal mempertahankan keseimbangan hingga jatuh terjengkang. Trisula dalam genggamannya terpelanting beberapa langkah dari lengannya sehingga suasana di sekitarnya lantas menggelap. Peri laki-laki itu berusaha menggapai trisulanya dengan panik. Namun, gerakannya terhenti saat netra Elijah lantas membelalak saat mendapati sosok yang muncul dari balik kegelapan lorong.










Pontianak, 7 Juni 2021 pukul 00:26 wib. Belum direvisi. Maaf telat update, baru sampai rumah jam 11 malam😭. Terima kasih sudah membaca. 😍🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top