37. ⛵ Sea Shanty
Naga hitam kembali bangkit, meski dengan luka robek di salah satu matanya yang masih mengucurkan darah. Alih-alih terlihat seperti seekor naga, makhluk itu kini malah terlihat seperti makhluk yang baru saja bangkit dari kematian. Gerakannya mengguncang sekitar The Mighty Mountain yang setengahnya telah porak-poranda, membawa serta hujan tanah dan bebatuan yang semula sempat menimbunnya.
Elijah yang terpana hingga nyaris lupa untuk menghindar akhirnya terjatuh saat sebongkah tanah merah besar terlempar dan mengenai bahunya. Dengan sigap lututnya menopang tubuh yang nyaris ambruk. Hal itu membuatnya tersadar dan berpikir keras untuk melakukan sesuatu secepatnya atau mencari apa pun untuk dijadikan senjata. Sang pangeran peri lantas mengorek tanah di sekitarnya dengan panik, sementara sepasang netranya menjelajah liar ke sekitar guna mencari senjata cadangan atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyerang dan bertahan. Namun, aktivitasnya mendadak terjeda panggilan lirih Kapten Tribal.
"Elijah!"
Sang kapten yang semula terpuruk dengan sebagian tubuh tertimbun reruntuhan tanah dan batu ternyata kini telah berdiri, meski Elijah dapat melihat sepasang tungkainya yang gemetar dan goyah. Di sisi Tribal, Rage berdiri kokoh dengan raut mengeras, memapah sang kapten bajak laut dengan setia.
"Jangan memaksakan diri, Kapten." Elijah bergerak lebih dulu menghampirinya setelah meraih sebilah patahan dahan pohon sebesar lengan yang dirasa cukup untuk dijadikan senjata dalam keterdesakan.
"Kita terpojok, Elijah," sesal Tribal. Suaranya serak dan tercekat, tetapi sama sekali tidak terdengar frustrasi. Sang kapten lantas merogoh sesuatu di dalam kantung tuniknya yang sedikit menggembung dan selalu tersembunyi di balik rompi kulit kayu. Elijah seringkali bertanya-tanya tentang apa yang disembunyikannya di sana dan detik itu juga rasa penasaran sang pangeran peri akhirnya terjawab. Tribal mengeluarkan sesuatu yang terkepal dalam genggaman kemudian mengulurkannya pada Elijah dengan tangan gemetar. "Ambil ini! Sudah waktunya."
Elijah mengamatinya, sejenak diliputi keraguan. Akan tetapi, saat Tribal merekahkan susunan jari-jemarinya hingga menampakkan sekeping logam emas berukir sepasang peri, Elijah tak dapat lagi menahan diri. Ia segera meraih benda itu seolah takut jika sang kapten akan berubah pikiran.
Ketakutan pangeran peri itu nyatanya sama sekali tidak beralasan. Tribal sama sekali tidak terlihat akan berubah pikiran. Sang kapten lantas menarik kembali telapak tangannya dengan raut lega seolah telah menunaikan sebuah janji maha penting. Hal itulah yang diinginkan Tribal, Elijah kembali memiliki apa yang seharusnya menjadi miliknya, yaitu logam tanda pengenal anggota kerajaan Avery sekaligus kunci puncak kekayaan di The Mighty Mountain.
"Elijah, sebelum hal buruk apa pun menimpa kita, aku ingin kau berjanji untuk menyelesaikan ini semua. Lalu, kembalilah ke Borbounaisse. Setelahnya, jangan lupa untuk mencari Lorelie dan penuhi permintaannya," ucap Tribal di antara napasnya yang menderu tidak beraturan. Suaranya begitu goyah dan terdengar sangat jauh, tetapi nadanya penuh tekad.
Elijah sampai harus mengerjap berkali-kali, berusaha meyakinkan diri jika kata-kata yang barusan didengarnya itu berasal dari sang kapten. "A-apa yang kau bicarakan, Kapten?" bantahnya dengan tawa hambar seolah kata-kata itu hanya lelucon, meski ia tak dapat memungkiri jika di telinganya pesan itu terdengar bagaikan wasiat.
"Aku terluka parah. Aku yakin waktuku tidak akan lama lagi. Akan tetapi, aku ingin kita menyelesaikan ini. Dan, jika waktuku lebih dulu habis, aku ingin kau melanjutkan misi ini sampai akhir. Bajak laut seperti kita pantang untuk tidak menyelesaikan pelayaran. Apa kau mengerti?"
Elijah menangkap binar keseriusan dari sepasang netra karamel sang kapten. Ia memberanikan diri untuk menatapnya, sebelum mengalihkan pandangan pada naga hitam yang telah bergerak dari keterpurukan. Beberapa depa di hadapan mereka, Bagherra dan dua kru bajak laut lainnya telah bersedia menghadang sang naga dengan persenjataan seadanya yang barangkali juga mereka temukan di sekitar. Sungguh pertarungan yang sangat tidak imbang.
"Tidak ada yang akan berakhir hari ini, Kapten, jika itu yang kau pikirkan," desis Elijah berusaha menghibur dirinya sendiri. Ada getir yang berusaha ia sembunyikan dari suaranya, tetapi gagal. Ia tahu persis, semua kru Borbounaisse yang tersisa juga memahami jika keberhasilan adalah kemungkinan paling akhir yang dapat mereka harapkan dari pertarungan ini, sementara kematian adalah keniscayaan.
"Berjanjilah padaku, Pangeran Elijah ...."
Suara Tribal kembali menuntut dalam lirih hingga membuat Elijah mau tidak mau mengangkat pandangannya kembali. Tampang sang kapten benar-benar menyedihkan. Wajah kuyu dipenuhi noda tanah serta sepasang mata dalamnya yang sendu. Elijah tiba-tiba saja merindukan binar licik yang selalu menyorot samar dari netra karamelnya, juga seringai berkilauan ketika ia memamerkan gigi-gigi emasnya dengan pongah. Hari ini, Tribal terlihat berbeda di matanya. Andaikan maut memiliki pertanda, Elijah berharap ia salah mengenali kemungkinan itu.
Elijah merasakan koin emas Avery di dalam genggamannya menjadi dingin menusuk dan sedikit lebih berat. Ia meliriknya sekilas sebelum menyimpannya di dalam saku celana. Sebuah tekad terbit di dalam hatinya. Jika hal itu adalah hal terakhir yang dapat dilakukannya untuk Tribal, ia berjanji akan menunaikannya. Sikap sang kapten yang mulanya tidak begitu menyenangkan ternyata telah berhasil meninggalkan jejak persahabatan di hati sang pangeran yang telah lama membeku. Perasaan terasing dan terbuang saat pertama kali mengarungi Faeseafic tanpa disadarinya telah menguap hilang entah ke mana. Tribal adalah sahabat sekaligus saudara tak sedarah yang telah menempa kesendiriannya dan mengajarinya banyak hal, terutama mengenai penerimaan terhadap dirinya sendiri. Sebagai bentuk terima kasih, ia bertekad untuk mengabulkan apa pun permintaan Tribal.
"Aku akan berjanji jika kau berusaha sebaik mungkin untuk bertahan, Kapten." Elijah tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan penawaran. Namun, ia tak dapat menahan diri untuk tidak mengatakannya. Sepasang netra birunya menatap lekat netra karamel milik sang kapten, mencari nyala kehidupan di dalamnya.
Tribal mengerjap. Netranya menjadi berkilauan oleh air mata yang tertahan. Bibirnya yang koyak di salah satu sudut itu tertarik, mengulas senyum getir. "Kau sama sekali belum mengenalku, ya?" tanyanya seolah sedang melontarkan lelucon. Getar dalam suaranya memudar saat ia berusaha memperdengarkan tawa yang sumbang, tawa yang pedih. "Rage, tunjukkan yang kumiliki!"
Rage yang memeganginya dengan satu tangan bergegas mengeluarkan sesuatu dari sabuk kulit yang melingkari pinggangnya dengan tangan lain. Benda itu terbungkus kain usang yang tampak familier. Elijah pernah melihatnya, meski sulit untuk mengingat kapan dan di mana tepatnya.
"Apa itu?" Elijah bertanya tak sabaran. Raungan naga hitam dan denting pedang menjadi latar yang membuat pangeran peri itu enggan berlama-lama. Pikirannya terpecah pada Bagherra dan kru Borbounaisse lain yang tengah berusaha menahan sang naga hitam.
"Trisula sang penyihir lautan." Senyum Tribal mengembang. Gigi-gigi emasnya memantulkan kilau yang beberapa saat lalu Elijah rindukan. Meski bertopang di atas sepasang tungkai yang goyah, Tribal dengan cekatan menyambar benda berbungkus kain usang yang diangsurkan Rage padanya. Ia membukanya dengan tergesa dan membuang bungkusnya begitu saja.
Sebuah trisula bersepuh emas telah tergenggam kokoh dalam telapak tangan sang kapten. Trisula dengan tiga batu permata hitam berkilau yang bertakhta pada puncaknya. Seringai Tribal menjadi lebih lebar dari sebelumnya dan seolah mendapat kekuatan dari benda sakti itu, sang kapten bajak laut tiba-tiba saja berlari meninggalkan Rage yang sontak menyusulnya dengan raut khawatir.
Elijah bahkan belum sempat mencerna apa yang sebenarnya terjadi saat Tribal telah menghilang dari pandangannya untuk menyongsong Naga Hitam. Suara teriakan panik Rage segera membuat Elijah tersadar dan segera menyusulnya.
"Kapten! Apa yang kau pikir akan kau lakukan,hah?!"
Tribal menoleh sekilas pada Elijah. Netra karamelnya berpijar. "Pergilah ke atas. Temukan kekayaan yang tidak akan pernah habis itu untukku, Brengsek! Dan, naga hitam itu adalah bagianku. Jadi, jangan susul aku!"
⛵⛵⛵
Elijah membeku di tempatnya, mencerna perkataan sang kapten. Sebagai bagian dari Borbounaisse, sungguh tidak masuk akal jika ia harus mundur dan membiarkan Tribal yang terluka parah menghadapi naga hitam itu seorang diri. Terlebih, Tribal adalah kapten mereka, pimpinan, kepala keluarga yang mengayomi kru-nya di lautan. Janji dan tekad Elijah untuk memenuhi permintaan terakhir sang kapten seolah menguap begitu saja dari kepalanya, sehingga dengan tanpa pertimbangan ia melanjutkan larinya, berniat menyusul Tribal.
Namun, belum sampai kakinya menjejak arena pertarungan, sebuah kekuatan besar tak kasat mata tiba-tiba saja mendorong tubuhnya menjauh. Tubuh sang pangeran peri terlempar hingga beberapa depa menuruni The Mighty Mountain. Cahaya yang teramat terang menyergap penglihatannya hingga Elijah tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Suara debuman keras disertai lolongan pilu sang naga terdengar disusul guncangan yang cukup keras pada permukaan tanah, membuat Elijah hanya mampu meringkuk mempertahankan posisinya agar tidak jatuh lebih jauh menuruni lereng gunung. Setelahnya, keheningan janggal menyelimuti tempat itu. Sesuatu yang mengerikan pasti telah terjadi di atas sana, dan Elijah tak dapat mengendalikan pikirannya yang tertuju pada keselamatan Tribal.
"Tidak! Kapten Tribal!"
"Kapten!"
Dugaan Elijah mungkin saja benar. Suara-suara teriakkan itu menyadarkannya jika sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Dengan sisa-sisa tenaga, pangeran peri itu lantas bangkit dan bergerak kembali menaiki lereng gunung yang porak-poranda,mengabaikan nyeri yang merambat di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang, sementara otaknya menerka-nerka sekaligus mengantisipasi pemandangan yang akan dilihatnya.
"Kapten?" Elijah berteriak begitu mencapai puncak The Mighty Mountain yang terlihat diselimuti kepulan debu kemerahan berasal dari tanah dan bongkahan batu merah yang merekah. Bau anyir darah menguar tajam di antara kepulan debu dan samar-samar bayangan makhluk besar yang tergeletak di tanah tertangkap pandangan Elijah.
Peri laki-laki itu lantas mempercepat langkah, kemudian berlari, melompati bongkahan dan ceruk yang menganga. Saat kabut debu mulai menipis oleh jarak, Elijah mendapati sosok Rage yang tengah duduk berlutut dengan wajah tertunduk, sementara Bagherra dan dua kru Borbounaisse lainnya berdiri mematung dengan wajah penuh luka. Ekspresi mereka kelam, sekelam langit yang menaungi mereka.
Naga hitam buta itu rupanya telah binasa. Tubuh besarnya terbujur kaku, merintangi posisi Elijah dan Rage. Trisula penyihir lautan menancap gagah pada perutnya yang mengalirkan darah kental berbau anyir. Cahaya merah memancar samar dari batu permata hitam yang sebagiannya terbenam dalam daging sang naga hitam yang terkoyak. Namun, alih-alih merasa lega, Elijah justru semakin panik dan gusar.
Pangeran peri itu berlari, tersaruk-saruk mendekati Rage, mengitari mayat sang naga yang tergeletak di antara mereka. Netra Elijah sontak membelalak saat mendapati pemandangan dan asumsi yang sebelumnya paling ia takuti. Tribal yang tergeletak kaku bersimbah darah berada di sana.
"Apa yang terjadi pada Tribal?!" jerit sang pangeran peri panik.
Hening,tak ada jawaban. Hal itu membuat Elijah lantas menjatuhkan lututnya di sisi Tribal begitu saja, memeriksanya dengan tergopoh, menyentuh darah yang mengucur dari robekan di dada sang kapten. Elijah bahkan menepuk pipi sang kapten beberapa kali untuk membangunkannya, menekan dadanya dengan kedua tangan guna memompa udara yang barangkali sedikit terhambat. Namun, Tribal sama sekali tidak bergerak.
"Bangun, Bajingan! Jangan mengerjaiku!" Elijah menghardiknya, lalu menamparnya sekali lagi dengan lebih keras, kemudian mengguncang tubuh dingin sang kapten. Akan tetapi, lagi-lagi, Tribal membeku, sama sekali tidak bergerak. Sebelah lengannya terkulai di sisi mengenai lutut Elijah.
Elijah melepas cengkeramannya pada kerah tunik sang kapten dengan kasar sembari berteriak berang. Kedua lengannya berlumuran darah Tribal hingga sebatas siku. Elijah menggeleng kuat-kuat seolah dengan melakukan hal itu pemandangan Tribal yang kaku seketika enyah dari pandangan. Akan tetapi, tentu saja hal semacam itu tidak terjadi. Hati Elijah hancur dan terasa sakit seolah baru saja dikhianati dan untuk mengenyahkan rasa sakit itu Elijah memukul dadanya berkali-kali sekuat tenaga hingga ia tersedak, lalu tangisnya pecah kembali menjadi teriakan penuh amarah. Ia terlambat untuk mencegah kematian.
Sang kapten telah pergi, dan pesan terakhir yang disampaikannya benar-benar menjadi wasiat.
Rage yang sedari tadi hanya berlutut dalam diam akhirnya melepas kesedihannya dengan raungan tangis. Sementara, beberapa kru Borbounaisse yang tersisa satu per satu berdatangan, membentuk lingkaran di sekitar mayat Tribal. Meski mereka tidak menangis, tetapi raut wajah itu menyorotkan kesedihan yang tak terbantahkan.
Elijah terdiam, tak lagi berteriak marah. Pun tidak menitikkan air mata. Bukankah kematian bajak laut dalam sebuah misi pelayaran adalah sebuah kebanggaan? Pencapaian paling tinggi, prestasi yang paripurna.
Kru Borbounaisse yang lain agaknya memiliki pemikiran dan pemahaman itu sehingga alih-alih menangis, mereka malah menunduk dalam, melakukan penghormatan terakhir. Saat senja pada akhirnya melingkupi langit dan The Mighty Mountain yang sepi, mereka mulai melantunkan nyanyian lirih yang samar-samar tertiup angin hingga ke tengah lautan. Nyanyian para bajak laut yang akan mengantarkan Tribal menuju peristirahatan abadinya itu terus melantun memenuhi seluruh Phantom Enclave yang sepi.
There once was a ship that put to sea
The name of the ship was the Billy of Tea
The winds blew up, her bow dipped down
Oh blow, my bully boys, blow (huh)
Soon may the Wellerman come
To bring us sugar and tea and rum
One day, when the tonguing is done
We'll take our leave and go
She'd not been two weeks from shore
When down on her a right whale bore
The captain called all hands and swore
He'd take that whale in tow (huh)
Soon may the Wellerman come
To bring us sugar and tea and rum
One day, when the tonguing is done
We'll take our leave and go.
Selamat jalan kapten Tribal. RIP. 😭😔
Pontianak, 26 Mei 2021 pukul 00:35 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top