35. ⚔️ The Battle
Seumur hidupnya Elijah tidak pernah membunuh naga. Di Avery naga bukanlah makhluk yang harus dibunuh, meski dalam beberapa kasus naga jadi-jadian dapat merupakan jelmaan dari sesosok Fire Darrig. Naga-naga sihir seperti itu sangat berbeda dengan naga sebenarnya. Secara fisik, naga sihir berukuran lebih kecil daripada naga yang sebenarnya. Mereka bergerak lebih cepat dan agresif dengan selalu menyemburkan napas panas. Namun, mereka selalu lebih mudah untuk dibunuh, sementara naga asli membutuhkan ketepatan dan keseuaian senjata. Lagi pula, Elijah bukanlah pembunuh naga, ia tak begitu memahami seberapa tepat dan sesuai pedang estoc dalam genggamannya sekarang. Terhentinya waktu adalah satu-satunya kesempatan untuk menghabisi sang naga, menyelesaikan misi yang dikerjakannya dengan setengah hati ini.
Akan tetapi, baru saja pedangnya terangkat dan belum sempat menghunjam kulit hitam jelaga sosok besar itu, suara lolongan kesakitan terdengar menusuk gendang telinganya. Suara itu sontak membuat Elijah tersadar jika waktu ternyata belum terhenti. Ia belum dapat mengendalikan kekuatan sepenuhnya.
"Sial!" umpatnya.
Detik itu juga, sepasang netra merah sang naga yang semula bergeming, bergerak meski tak menatap tepat pada mata sang pangeran peri. Jarak mereka tak lebih dari satu lengan peri dewasa sehingga Elijah bahkan dapat merasakan hawa panas dan bau belerang yang menyengat terembus dari sepasang lubang hidung sang naga.
Elijah belum juga mengedip saat sesuatu membuat naga buta itu tiba-tiba meraung keras, kemudian menggeliat, dan jatuh terjengkang hingga menyebabkan bunyi berdebum nyaring. Bersamaan dengan itu guncangan besar menciptakan longsor di sekitar lereng gunung, menjatuhkan serpihan tanah dan bebatuan yang merekah. Elijah dan para bajak laut lainnya refleks menjerit saat tubuh mereka merosot turun dan berguling bersamaan dengan reruntuhan tanah dan batu.
Dari balik punggung sang naga yang telah roboh di antara kepulan debu kelabu, Elijah mendapati sosok Bagherra dengan sebilah pedang estoc-nya yang berlumuran cairan hijau menyala. Rupanya peri laki-laki itulah yang telah berhasil melukai sang naga, meski mungkin luka yang ditorehkannya bukanlah apa-apa, tetapi upaya itu berhasil menyelamatkan Elijah.
"Aku tahu apa yang akan kau katakan, tetapi sungguh itu tidak perlu." Bagherra seolah dapat membaca pikirannya. Nada congkak serta tawa kecil meremehkan menjadi penutup kata-katanya.
Seringai mengejek sang kesatria membuat Elijah memalingkan wajah, menyesali pikiran naif yang sempat melintas di kepala bahwasannya Bagherra mungkin saja sosok yang tulus. Namun, ekspresi itu membuat asumsi di kepala Elijah menguap seketika. Sang pangeran peri lantas bangkit dari posisi setengah terkuburnya dalam reruntuhan tanah dan bebatuan kecil sembari mengatur napas yang terengah. Tunik lusuhnya telah berubah warna menjadi lebih cokelat dari sebelumnya, sementara tanah menempel di beberapa bagian tubuh dan bersembunyi dalam tiap lipatan tuniknya.
Elijah mengibaskan sisa-sisa tanah dari pakaiannya, mengabaikan luka-luka kecil yang kini menghiasi lengan serta telapak tangannya, mengabaikan Bagherra. Peri laki-laki itu kembali memasang kuda-kuda saat menyadari jika sang naga hitam raksasa telah kembali mengangkasa dengan raungan amarah yang lebih kentara.
Makhluk hitam besar itu terbang membelah langit di antara kepulan debu dan tanah yang menyamarkan pandangan. Kepak sayapnya meninggalkan deru angin yang cukup kencang hingga membuat Elijah dan para bajak laut susah payah menapakkan tungkai mereka agar tak terlempar ke jurang atau kaki gunung. Begitu mencapai ketinggian tertentu dalam waktu yang begitu cepat, makhluk hitam itu dengan tak terduga menukik balik, membawa serta deru angin yang jauh lebih kencang. Elijah mencoba bertahan sembari mengukuhkan kuda-kudanya. Ia tak punya banyak waktu untuk membuat pikiran sepenuhnya fokus, tetapi berharap keterdesakkan akan memberinya kekuatan.
Suara teriakan bersahut-sahutan samar dalam pendengaran Elijah, sementara sang naga hitam semakin mengikis ketinggian di atas kepalanya. Naga itu menyasarnya, barangkali berhasil menemukan baunya yang tidak lebih asin dari pada bajak laut lain yang telah lebih lama berteman dengan lautan. Pun suara raungan makhluk hitam itu terdengar semakin nyaring menusuk gendang telinga.
Elijah mengulurkan sebelah lengannya dengan telapak menghadang kedatangan sang naga. Sorot matanya tajam dan lekat seolah mengunci makhluk itu. Rahang Elijah mengetat dan sudut bibirnya berkedut saat bayangan hitam sang naga telah menaungi nyaris keseluruhan lereng gunung. Jarak mereka tidak lebih dari dua lengan peri Elf dewasa.
"Berhenti!"
Makhluk besar yang nyaris menerkam kepala sang pangeran peri mendadak membeku di udara. Pun deru angin yang mengiringi sontak terhenti.
Elijah menoleh ke kiri dan ke kanan dalam gerakan cepat, memastikan jika kali ini waktu benar-benar terhenti atas kuasanya. Para bajak laut bergeming dalam posisi mereka masing-masing. Begitu pula reruntuhan tanah dan batu yang melayang dalam kebekuan di udara. Semua tak bergerak, tunduk atas titah telapak tangan sang pangeran peri.
Baiklah, ini saatnya. Elijah menghunus pedang estoc-nya tinggi-tinggi. Seluruh kekuatan bertumpu pada kedua lengannya agar senjata itu cukup kokoh untuk melukai sedalam mungkin. Bilah pedang berkilat yang tajam itu lantas menghunjam salah satu mata merah menyala sang naga secepat kilat. Cahaya merah menyala pada netra yang tidak mampu melihat itu serta merta redup. Akan tetapi, Elijah tak berhenti sampai di situ. Segera setelah menarik bilah estoc dari netra rusak sang naga, Elijah kembali mengayun dan menancapkan pedangnya pada kepala makhluk itu dengan kekuatan penuh.
Bersamaan dengan itu, waktu yang terhenti kembali bergulir. Lolongan jeri sang naga menjadi penanda berakhirnya kendali Elijah. Sang naga roboh disusul dengan bunyi berdebum dan guncangan yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya.
Sebelum sosok besar itu sepenuhnya roboh, sang naga sempat menyemburkan napas apinya hingga nyaris mengenai sang pangeran peri. Dengan gerakan refleks Elijah menghindar, mendorong tubuhnya sejauh mungkin, meski sedikit lidah api sang naga berhasil menjilat tuniknya. Api kecil itu berkobar membuat Elijah yang panik segera merobek tuniknya. Hawa panas yang menguar membuat wajah sang pangeran peri sedikit kemerahan. Namun, Elijah tak dapat berlama-lama menghayati rasa sakitnya. Segera saja tubuhnya goyah dan jatuh berguling bersama bongkahan batu dan tanah yang longsor dari puncak gunung. Tubuhnya merosot beberapa meter.
"Sial!" Elijah mengumpat sembari mempertahankan cengkeramannya pada akar-akar besar yang berhasil diraihnya saat jatuh berguling, berusaha agar mendekati bibir jurung. Pandangannya mengedar ke sekitar untuk memahami situasi yang tersamar dalam kepulan debu kala itu.
Selain suara raungan sang naga hitam yang terlihat sangat kesakitan, suara mengerikan lain terdengar dari perut bumi seolah sedang terjadi pergolakan brutal yang mengakibatkan guncangan. Lolongan panik dan ketakutan terdengar dari para bajak laut yang tengah berjuang mempertahankan diri dari runtuhan batu dan tanah di lereng gunung.
Elijah tidak dapat menerka, apakah guncangan itu ada hubungannya dengan jatuhnya sang naga? apakah tusukkannya cukup kuat untuk dapat melumpuhkan sang naga secara brutal pada serangan berikutnya? Elijah tidak sanggup berpikir, terutama saat ekor matanya menangkap sosok ramping Fleur meluncur mulus ke dalam jurang kelam yang berada tidak jauh dari posisinya. Korban selalu dapat melumpuhkan mental dalam setiap perjuangan. Begitu pun yang akhirnya Elijah rasakan.
"Tidak ... tidak ....," gumamnya lirih, nyaris frustrasi.
Guncangan demi guncangan semakin kuat dan nyaris tanpa jeda, ketika Elijah merasakan jari-jari dan telapak tangannya semakin perih. Ia merasa tidak akan mungkin bertahan lagi. Satu per satu wajah-wajah yang dikenalnya berjatuhan atau merosot dengan brutal menuju kaki gunung, saat sebuah ledakan besar akhirnya mendesak dari perut bumi. Bunyi dentuman keras terdengar menenggelamkan suara-suara lainnya, menenggelamkan rasa takut ke dalam teror yang jauh lebih mengerikan.
Elijah merasakan cengkeramannya goyah. Jari-jarinya mati rasa. Dalam sepersekian detik berikutnya yang sangat cepat, tubuh sang pangeran peri kembali terguling bersama bongkahan batu dan serpihan tanah.
⛰️⛰️⛰️
"Elijah, bangun!"
Elijah merasakan perih di sekujur tubuhnya saat perlahan-lahan kesadaran mendorong kelopak matanya terbuka. Sesuatu terasa memukul pipinya secara konstan hingga membuat Elijah refleks menggerakkan lengannya guna menepis pukulan itu.
"Hentikan. Aku sudah sadar," decaknya kesal, meski kelopak matanya belum terangkat sempurna. Kedua lengan Elijah lantas meraba ke sekitar mencari gagang estoc yang mungkin terlepas dari genggamannya. Saat ia tak menemukan benda tersebut, kelopak matanya refleks terbuka sempurna. Dalam gerakan panik, sang pangeran peri bangkit, mengabaikan rasa sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya. Pandangannya kemudian bertemu dengan tatapa tanpa ekspresi Bagherra.
"Kau?!'
"Gua harta karun itu telah muncul,' potong Bagherra.
Netra Elijah membola, tak percaya akan ucapan peri laki-laki itu. Tanpa menjawab terlebih dahulu, Elijah segera mengalihkan pandangannya ke sekitar.
The Mighty Mountain nyaris sepenuhnya hancur,kecuali bayangan ketinggiannya yang masih menjulang. Asap hitam pekat mengepul dari puncaknya hingga menyamarkan sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Namun, Elijah nyaris yakin jika penyebabnya bukanlah lahar atau pun sesuatu yang panas. Tak ada bau lahar maupun asap yang tercium. Akan tetapi, langit yang menjadi latar kepulan asap hitam itu menggelap seumpama air yang terkontaminasi tetes jelaga.
Elijah masih menyisir gunung legendaris itu dengan matanya saat menangkap pemandangan lereng yang jauh lebih landai dari sebelumnya. Gunung yang semula lebih besar dengan ketinggian kokoh mencakar langit Faeseafic itu kini terlihat lebih mirip dengan bukit. Tanah dan bebatuan porak-pranda seolah baru saja diruntuhkan dengan brutal. Tanah dan bebatuan merekah menandakan kerusakan di sekitar lerengnya.
Pada salah satu bagian lereng yang porak-poranda, sosok sehitam jelaga teronggok lemah. Rintihan lirih terdengar samar-samar, sementara genangan darah hijau menyala mengalir dari bagian kepala,menodai tanah kuning ke cokelatan di sekitarnya. Sang naga masih hidup, meski gerak pernapasannya melemah.
Elijah nyaris tak percaya dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya. Ia menggeleng pelan berusaha mengenyahkan bayangan mengerikan yang telah tertangkap ingatan. Setelahnya, ia mengalihkan pandangan pada Bagherra yang menatapnya dengan kening mengerut seolah mengingat sesuatu.
"Apa katamu tadi?"
Bagherra menarik salah satu sudut bibirnya. "Pintu gua harta Karun itu telah terbuka," ulang peri laki-laki itu dengan tidak sabar dan antusiasme samar.
Netra Elijah membola. Kini ia mengingat tujuannya dan para bajak laut Borbounaisse susah payah mendatangi The Mighty Mountain. Pangeran peri itu lantas mengangkat tubuhnya yang melesak ke dalam timbunan tanah dan bebatuan, berusaha mengabaikan rasa sakit di setiap persendian dan permukaan kulitnya.
"Ayo, kita ke dalam." Elijah nyaris berbalik menuju puncak gunung terselubung debu yang telah mengeluarkan sebuah gua hanya dalam sebuah guncangan hebat. Namun, langkahnya terhenti karena Bagherra sama sekali tak beranjak mengekornya. "Ada apa?" tanyanya bingung.
Alih-alih menjawab, Bagherra malah mengedarkan pandangan ke sekeliling, sebelum kembali menatapnya dengan netra berkaca-kaca.
Elijah mengikuti arah pandang peri laki-laki itu, berusaha memahami situasi. Elijah baru menyadari jika mereka telah kehilangan hampir setengah tim untuk melanjutkan perburuan harta itu. Wajah ketakutan Raja Fleur saat tubuh ringkih itu melayang jatuh ke dalam jurang kembali berkelebat dalam ingatannya, membuat sepasang tungkai Elijah menjadi goyah.
Sedetik kemudian, Elijah tertunduk sebelum mengangkat wajah dalam gerakan cepat. "Di mana Kapten Tribal?"
"Dia terluka---"
"Apa?"
Dengan langkah gegas yang terseok, Elijah berlari mengitari lereng. Timbunan tanah dan bebatuan yang terserak di sepanjang jalan pencarian sedikit menghalangi langkahnya. Di beberapa sudut lereng, Elijah berhenti saat menemukan awak kapal Borbounaisse yang tergeletak membutuhkan pertolongan atau bahkan tak lagi bernyawa. Di belakangnya, Bagherra dengan setia membuntuti dan melakukan hal yang sama dengan raut tak kalah gusar.
Saat akhirnya ia menemukan Rage yang berjongkok dengan wajah kalut, Elijah menyadari jika di sanalah Kapten Tribal berada. Suara teriakan menyayat Tribal yang didengarnya ketika ia pikir telah berhasil menghentikan waktu kembali terngiang. Ia sedikit menyesal karena tak langsung menghampiri Tribal tepat sebelum tubuhnya meluncur menuruni lereng dan tepat sebelum gunung itu mulai lengser. Kini Elijah baru mengetahui kengerian yang menimpa sang kapten bajak laut.
"Apa yang terjadi?" semburnya seraya mempercepat langkah untuk kemudian berjongkok di samping Rage. Bahkan, belum sempat Rage membuka mulut, Elijah telah mendapatkan jawabannya.
Di hadapan Rage, Tribal terbaring dengan wajah mengernyit kesakitan. Dari sela-sela bibir pucat sang kapten terdengar rintihan lirih. Matanya setengah terpejam, bahkan mungkin kesadarannya tidak terkumpul sempurna saat Elijah dan Bagherra mendekat, karena sang kapten sama sekali tidak membuka kelopak matanya.
"Sepertinya kakinya patah," sahut Rage ragu. Namun, kegetiran terdengar kentara dari suaranya yang tersendat. Peri laki-laki bertubuh bongsor itu agaknya tak sedikit pun beranjak dari sisi Tribal sedari tadi sehingga timbunan tanah dan bebatuan kerikil bahkan mengubur sebelah tungkainya.
"Aku pernah menangani ini." Bagherra menyela dan langsung mendahului Elijah, mengulurkan lengannya ke arah Tribal. Namun, baru saja ia hendak menyentuh kaki sang kapten yang diduga patah, peri laki-laki itu tiba-tiba bergerak marah seraya membuka kelopak matanya.
"Jangan menyentuhku!" jerit Tribal. Ia menarik tungkainya yang sedikit terkubur di dalam timbunan tanah dan bebatuan sembari berteriak kesakitan. Bahkan, di saat kritis seperti itu harga dirinya masih terlampau besar untuk menerima pertolongan dari sosok asing.
"Jangan bergerak, Kapten." Rage panik.
"Aku hanya berusaha menolongmu." Bagherre berdecak, tetapi kemudian menuruti perkataan Tribal. Ia menarik lengannya dan sedikit menggeser tubuhnya menjauh.
"Kau bukan penyembuh, jadi jangan coba-coba menyentuh kakiku!" hardik Tribal.
"Demi Leluhur Para Peri, ini kondisi darurat, Kapten. Dan, kau masih mengharapkan sesosok penyembuh. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku pernah menangani ini sebelumnya---."
"Jangan harap aku akan begitu saja mempercayaimu!" potong Tribal tajam.
Elijah mendesah pelan lantas mengangkat sebelah tangannya. Perdebatan ini bisa saja berlangsung selamanya dan mereka akan kehilangan momentum terbaik untuk mencapai tujuan. Pintu menuju harta karun itu telah terbuka, seharusnya mereka tak membuang-buang waktu dengan berdebat di sini, terlebih sang naga hitam belum sepenuhnya dikalahkan.
"Kau mau kami membawamu ke dalam?" tanya Elijah dengan salah satu alis terangkat. Ucapannya sontak mengendurkan tegangan yang telah menguar di udara.
Tribal dan Bagherra sontak memandang ke arah Elijah seolah telah terlupa jika tujuan awal mereka datang ke tempat itu adalah harta terpendam milik Avery.
"Bisakah kau berdiri, Kapten?" tanya Elijah lagi.
Tribal tak menyahut, tetapi pandangannya segera teralih pada satu tungkainya yang patah. Ia berusaha menggerakkannya dan seperti sebelumnya, rasa sakit yang teramat sangat bergelenyar dan sontak membuatnya menjerit jeri. Namun, lolongannya segera berakhir begitu sebuah guncangan kembali terjadi.
Elijah, Bagherra, Rage, dan Tribal refleks mencari pegangan dan penyangga berupa akar-akar yang mencuat di atas tanah, sementara reruntuhan tanah dan bebatuan kembali berguguran dari puncak gunung. Meski guncangan kali ini tak sebesar guncangan sebelumnya, kejadian yang tiba-tiba berhasil membuat kepanikan kembali menyebar ke seantero lereng.
Kepanikan dan kengerian semakin bertambah-tambah saat sesosok hitam mendadak bangkit dari salah satu sisi lereng. Kebangkitannya membawa serta kepulan debu, hujan serpihan tanah, dan bebatuan kecil di sekitarnya. Sang naga hitam yang telah Elijah lukai telah bangkit kembali dengan kemarahan yang jauh lebih besar.
"Makhluk itu belum mati?!" Bagherra menjerit penuh kengerian. Tubuhnya gemetar.
"Aku hanya melukainya," sahut Elijah dengan ketegangan yang sama.
Belum sempat Elijah berkedip dan berdiri untuk memasang kuda-kuda siaga, makhluk besar yang berjarak tak lebih dari sepuluh meter dari hadapan mereka itu meraung marah. Suaranya menggelegar menusuk pendengaran sekaligus menciptakan guncangan di The Mighty Mountain. Sedetik kemudian, sang naga segera mengepakkan sayapnya dan meluncur cepat ke arah Elijah, Bagherra, Rage, dan Tribal dengan kemarahan yang rasanya akan sanggup membunuh makhluk hidup mana pun.
Pontianak, 05 April 2021. Posting: 06 April 2021 pukul 05.55 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top