34. 🏰 The Fallen Kingdom
Lorelie memilih untuk memejamkan kelopak matanya, meski tanpa melakukan hal itu, ia tak dapat melihat apa pun di dalam kegelapan. Rasa panas yang membakar kulit seketika merambat di sekujur tubuhnya saat sebuah mantra dalam suara sayup-sayup mulai terdengar memenuhi bilik. Suara peri perempuan itu, Minerva, bergema sekaligus membawa aura magis yang membuat bulu kuduk Lorelie meremang di sela-sela rasa sakit.
Gadis duyung itu hanya mampu mengerang lirih, saat puncak rasa sakit menghujam dadanya. Jantungnya seolah diremas oleh kekuatan tak kasat mata. Sementara, tubuh ringkihnya terasa tak menjejak pada pembaringan dingin. Meski tak dapat melihatnya, Lorelie tahu jika tubuhnya tak lagi ditopang oleh tempatnya semula berbaring karena hawa dingin di bawahnya seolah menguap. Ia hanya merasakan udara hampa yang menimbulkan sensasi melayang di awang-awang. Tubuhnya terangkat. Namun,sakit yang mendera bahkan membuatnya lupa bagaimana rasanya takut akan ketinggian.
Setelah beberapa saat yang terasa sangat lama dan penuh siksaan, tubuh Lorelie lantas jatuh terhempas pada permukaan dingin. Rasa sakit yang semula terasa panas dan perih berganti menjadi hantaman pada permukaan keras nan dingin akibat terjatuh dari ketinggian. Lorelie mengaduh lirih, sementara ruangan di sekitarnya perlahan menjadi temaram. Ia dapat melihat kembali keadaan di sekitarnya, pahatan es yang memantulkan wajah dan sosok berantakannya, juga sesosok peri perempuan berambut sehitam jelaga yang tengah mengamatinya penuh tanya.
"Apa yang terjadi padaku?" Lorelie membuka suara sembari mengangkat permukaan telapak tangannya yang gemetar ke depan wajah. Tatapan itu kemudian teralih kepada satu-satunya peri perempuan yang berdiri di hadapannya.
Minerva diam tak menjawab. Sepasang netra ungunya yang menyala mengamati Lorelie penuh selidik.
"Di mana Andromeda?" Lorelie menoleh panik ke sekitar, mencari sosok yang beberapa saat lalu meraih tubuhnya dengan tentakel-tentakel mengerikan.
"Kutukan itu tidak patah." Minerva bergumam sembari berjongkok di hadapan Lorelie alih-alih menjawab pertanyaaan si gadis duyung. Kepalanya meneleng mengamati Lorelie dari sudut yang berbeda.
Sekilas Lorelie dapat melihat kengerian tersirat pada sepasang netra ungu gelap peri perempuan di hadapannya. Akan tetapi, keadaan itu tak berlangsung lama, begitu Minerva mengerjap, Lorelie hanya dapat melihat kegelapan dan kehampaan di sana.
Lorelie mengernyit bingung. "Apa maksudmu?"
Minerva tak juga menjawab. Dalam gerakan cepat, peri perempuan itu berdiri, kemudian berbalik dan menjauh. Ujung jubah beludrunya yang sewarna jelaga terkibas, mengenai wajah Lorelie.
Namun, hanya beberapa langkah di hadapan, peri perempuan tu kemudian berbalik, menatap Lorelie tajam. Dalam gerakan lambat, Minerva kembali berlutut.
"Kau mengenal putraku?" tanya sang ratu kegelapan dalam suara rendah.
Lorelie membelalak. Kegamangan itu kembali tersirat pada sepasang netra ungu milik sang peri, seolah ada sesuatu yang disembunyikannya, ada sesuatu yang salah tentang keberadaannya di tempat itu. Lorelie baru saja hendak membuka mulutnya, saat angin mendadak menderu dari ceruk dinding kristal es yang tak terlihat. Ruangan itu mendadak temaram. Lorelie memahami pertanda ini.
Bersamaan dengan itu, Minerva segera berdiri dalam gerakan cepat. Ekspresinya kembali dingin dan tanpa emosi. Angin yang menderu membentuk sebuah pusaran abu-abu yang berada tepat di samping peri perempuan itu. Dalam sepersekian detik, sosok hitam itu mewujud menjadi Andromeda Aerendyl.
"Kau sudah memeriksanya?" Suara sang penyihir lautan menggelegar, memecah hening canggung yang sebelumnya melingkupi.
Minerva mengangguk pelan sebagai jawaban, sementara sepasang netranya masih menyorot pada Lorelie.
Andromeda menggeram. "Dan kulihat kau telah gagal mematahkan kutukannya pada percobaan pertama."
"Aku sedang mempelajarinya," sahut Minerva cepat. Satu tentakel Andromeda terulur padanya, menyentuh garis rahangnya dalam gerakan perlahan tetapi penuh ancaman.
"Aku tidak punya banyak waktu menunggu percobaanmu, Minerva. Ingat kesepakatan kita. Jika kau gagal, maka ...."
Minerva mengembuskan napas kasar, kemudian memotong ucapan Andromeda cepat. "Aku mengerti."
Sang penyihir lautan menarik tentakelnya. "Bagus," responsnya. Ia lantas berbalik, tak menghiraukan peri perempuan itu lagi. Atensinya kini teralih penuh pada Lorelie. "Apa yang kau perlukan darinya, Minerva?"
"Darahnya."
Lorelie gemetaran. Jawaban Minerva, meski singkat, mampu membuat nyalinya seketika menciut. Terlebih saat salah satu tentakel sehitam jelaga Andromeda terulur kemudian melilit pinggangnya. Lorelie mencoba meronta untuk melepaskan diri, tetapi upayanya sia-sia. Lilitan itu semakin mengetat hingga tubuh rampingnya terangkat ke udara.
"Lepaskan!" Lorelie menjerit. Akan tetapi, jeritannya justru menuai tawa terbahak Andromeda. Dalam gerakan cepat, tubuhnya tertarik mendekati sang penyihir lautan.
"Ambil apa yang kau perlukan darinya Minerva, tetapi jaga jantungnya agar tetap berdetak untukku."
Seringai memuakkan terbit pada wajah bersisik Andromeda. Parasnya bahkan lebih biru dari pada yang Lorelie ingat sebelumnya. Kata-kata tersebut berhasil membuat si gadis duyung bergeming. Upaya perlawanannya padam seketika, kemudian dalam sekali kedipan mata, tubuh Lorelie terangkat lebih tinggi dan menjauh dari Andromeda.
Namun, kekuatan tak kasat mata menggerakkan sebelah lengannya hingga terulur ke depan. Setelahnya, Lorelie merasakan sesuatu tak terlihat menebas pergelangan tangannya hingga terkoyak dan memercikkan darah segar. Cairan kental berbau anyir itu keluar dari luka menganga seolah tersedot oleh sesuatu, selain rasa perih yang menyertainya. Lorelie dapat melihat cukup banyak darah yang keluar dari lukanya, melayang, dan bergerak menjauh.
Di saat bersamaan, Lorelie baru menyadari mantra lirih yang terlantun dari sosok Minerva yang bergeming di samping Andromeda. Sebelah lengannya terangkat ke udara, sementara darah yang keluar dari luka menganga Lorelie bergerak di udara menuju telapak tangan Minerva.
Lorelie berusaha berontak, menerjang agar tubuhnya terlepas dari lilitan tentakel sang penyihir lautan. Akan tetapi, ternyata bukan lilitan itu yang memaku gerakannya, melainkan mantra Minerva yang seolah memenuhi bilik es tersebut. Tubuhnya seolah kaku, tak mampu bergerak, sementara darahnya terus merambat di udara. Beberapa saat kemudian Lorelie merasakan pening menghantam kepalanya dan sakit di pergelangan tangannya yang semakin mencekik.
Lorelie tak lagi mengingat berapa lama kesadarannya bertahan hingga tubuhnya tiba-tiba jatuh menghantam lantai kristal dingin di bawahnya. Segala sesuatunya lantas berubah menjadi gelap.
🏰🏰🏰
Lorelie tersadar saat gelenyar aneh mengaliri tubuh bagian bawahnya hingga ke arah tungkai. Sebuah perasaan familier yang dirasakannya setiap kali siripnya berubah kembali menjadi sepasang tungkai. Cahaya bulan pastilah telah tersaput awan atau barangkali hari menjelang pagi. Mengingat dua peristiwa itu, Lorelie lantas serta-merta membuka kelopak matanya. Kesadaran yang menyusup samar-samar di kepalanya perlahan mejadi nyata saat pemandangan pertama yang tertangkap netranya adalah ruangan kristal yang temaram.
Dengan panik, Lorelie menegakkan punggung, mengawasi sekitarnya yang lengang. Tak ada lagi sosok Andromeda, maupun peri perempuan yang tadi menyedot darah dari lengannya. Ingatan akan rasa sakit yang membuat tubuhnya ambruk lantas membuat Lorelie refleks memeriksa pergelangan tangannya hingga menemukan sebuah garis memanjang berwarna kemerahan. Namun, tak ada luka menganga dan bekas darah di sana. Luka itu seolah telah mengering.
Setelah memastikan keadaan di sekitarnya, Lorelie segera bangkit perlahan. Rasa pening samar mengungkung kepalanya sehingga peri perempuan itu nyaris terhuyung seandainya tak berpegangan pada pinggiran pembaringan kristal. Dengan sedikit upaya akhirnya sepasang kaki Lorelie dapat menapak dengan kokoh pada lantai kristal es di bawa telapak kaki.
Selangkah demi selangkah Lorelie menyeret tungkainya menjelajahi ruangan kristal es yang dipenuhi citra dirinya. Dalam potongan-potongan yang aneh dan meresahkan, peri perempuan itu dapat melihat bayangannya bergerak pada setiap lekuk dan patahan kristal yang memenuhi dinding dan lantai. Dalam keadaan normal, hal itu akan sangat mengerikan bagi Lorelie. Namun, ia tak begitu peduli tentang hal itu sekarang. Ada hal lebih penting yang harus ia lakukan, yaitu cara untuk keluar dari tempat itu.
Setelah beberapa saat mengitari bilik, Lorelie akhirnya menemukan sebuah pintu. Meski awalnya tidak mudah untuk menentukan jika celah yang membentuk persegi panjang itu adalah pintu karena teksturnya yang sama persis dengan dinding kristal di sekitarnya. Setelah meraba dan melihat lebih seksama, Lorelie dapat menemukan pintu tersebut. Ia mengguncang permukaan yang diduga sebagai pintu perlahan hingga terlihat celah yang semakin renggang.
Lorelie harus menemukan sesuatu, apa pun itu yang dapat dijadikan alat untuk mengungkit celah yang renggang. Dengan demikian, ia berharap dapat membuka pintu tersebut. Peri perempuan itu membalik tubuhnya, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Sejauh matanya dapat menjangkau hanya bayangannya sendiri yang dapat terpantul dari dinding-dinding kristal dan satu-satunya benda yang ada di ruangan itu hanyalah pembaringan kristal.
Pandangan Lorelie lantas teralih ke arah langit-langit kristal dengan lampu-lampu es ajaib dan bongkahan-bongkahan yang menjulur seumpama lelehan es beku di antaranya. Netranya serta merta berbinar penuh minat saat mendapati pemandangan tersebut. Sebuah pengharapan terbit. Jika ia bisa mendapatkan patahan bongkahan kristal itu, makan ia akan dapat keluar dari tempat ini.
"Aku harus mencobanya," gumam peri perempuan itu pelan. Pandangannya menyorot pada salah satu bongkahan terpanjang yang menjulur tepat di atas pembaringan kristal. Bongkahan itu paling terlihat memungkinkan untuk diambil.
Lorelie merenggangkan otot-ototnya, melakukan gerakan sederhana berupa pemanasan ringan yang kerap dilakukannya menjelang latihan rutin di Agrodimor. Ia berharap latihan dan kekuatannya sewaktu masih menjadi keturunan kesatria di Agrodimor masih meninggalkan jejak.
Setelah dirasa cukup, peri perempuan itu bergerak lincah menaiki pembaringan kristal yang pernah memasung tubuhnya, kemudian berdiri di sana. Tangan kanannya terulur berusaha menjangkau bongkahan kristal yang mencuat. Agaknya perhitungannya sedikit meleset. Semula Lorelie mengira jika dengan berdiri saja di atas pembaringan, ia akan dapat menjangkau kristal itu dengan tangannya. Akan tetapi, ternyata bongkahan itu terletak sedikit lebih tinggi dari jangkauannya.
Lorelie mendengkus. "Apa yang harus kulakukan sekarang ..." gumamnya dengan nada frustrasi.
Peri perempuan itu kembali mengangkat lengannya tinggi-tinggi, kali ini disertai dengan kakinya yang berjinjit semaksimal mungkin. Namun, jarak yang diperlukan untuk mencapai bongkahan kristal tersebut masih sebesar satu kepalan tangan, sedikit lagi.
Lorelie kembali menegakkan tungkainya, sementara sorot matanya tetap terpaku pada bongkahan di atas kepalanya. Ia harus berusaha sedikit lebih keras atau kehilangan jantung dalam beberapa hari ke depan. Tentu saja ia tak akan sudi mengorbankan jantungnya yang berharga kepada sosok yang telah menghancurkan keluarga dan kerajaannya.
Hati Lorelie kembali mendidih. Hal tersebut memberinya motivasi untuk berpikir lebih keras.
Setelah menimbang beberapa saat, Lorelie akhirnya memutuskan untuk melompat ke arah bongkahan, meski kemungkinan untuk berhasil dan gagal memiliki porsi yang sama besarnya. Ia akan menggunakan bobot tubuhnya untuk mematahkan bongkahan itu dari langit-langit bilik.
Lorelie menarik napas dalam-dalam sembari bersiap untuk melakukan lompatan tinggi. Melompat bukanlah hal yang baru baginya. Sedari kecil hingga remaja, Lorelie telah terbiasa melompati jembatan-jembatan gantung yang menghubungkan istana dan tempat-tempat di dalam benteng kerajaan Agrodimor. Kakinya telah cukup terlatih. Meskipun lompatan ini adalah lompatan pertamanya setelah terkutuk menjadi separuh duyung, Lorelie tak pernah meragukan keterampilan yang dimilikinya sedari kecil.
Setelah memperoleh fokus dan ketenangan dari ancang-ancangnya dan mengirimkan seluruh energi pada sepasang tungkainya, Lorelie melompat cukup tinggi hingga berhasil mendekati bongkahan targetnya. Sepasang lengan pucatnya dengan sigap memeluk, begitupun sepasang tungkainya yang turut mengapit bongkahan kristal. Begitu targetnya terkunci dalam rengkuhan, Lorelie lantas menggerak-gerakkan tubuhnya dengan gerakan yang tak beraturan berharap bongkahan es yang menjulur itu tercerabut dari langit-langit.
Akan tetapi, usahanya ternyata belum berhasil. Alih-alih menciptakan retakan pada bongkahan yang mencuat itu, tubuh Lorelie malah merosot turun hingga rengkuhannya terlepas. Suhu tubuhnya yang menghangat setelah berubah menjadi peri elf membuat bongkahan kristal dingin itu sedikit mencair. Lorelie jatuh menghantam lantai kristal es dibawahnya seraya menjerit kesakitan.
Lorelie mengumpat dan mengutuk, tetapi dengan cepat peri perempuan itu bangkit untuk kembali berdiri di atas pembaringan kristal. Ia tak menyerah, terlebih nyatanya ia telah melupakan satu hal penting yaitu menggunakan serbuk perinya.
Peri perempuan berambut merah itu kembali mengambil ancang-ancang. Setelahnya, ia meraih segenggam serbuk peri yang tersisa di dalam kalung kerangnya. Lorelie tak tahu pasti apa yang dapat ia lakukan dengan serbuk peri tersebut. Selama ini, ia hanya menggunakannya untuk hal-hal remeh terkait dengan sulur rumput lautnya. Kali ini ia akan bertaruh.
Lorelie kembali melompat, lebih tinggi. Dengan sigap diraihnya bongkahan kristal yang menjulur dari langit-langit tersebut, berusaha sekuat tenaga mengabaikan hawa dinginnya yang membekukan. Kemudian, dalam gerakan cepat, Lorelie melemparkan serbuk peri ke pangkal bongkahan kristal.
"Hancurlah!" jeritnya geram.
Retakan samar tercipta pada pangkal bongkahan kristal saat butiran serbuk peri yang berkilauan menyentuh permukaannya. Namun, sesuatu di luar dugaan Lorelie terjadi di saat bersamaan. Bilik kristal itu berguncang seolah terjadi gempa dari dalam perut bumi atau yang semacamnya. Lorelie tak dapat menerkanya dengan pasti.
Guncangan demi guncangan terjadi semakin kuat dan tanpa jeda hingga beberapa bongkah kristal es pada langit-langit bilik berjatuhan satu per satu. Begitu pula halnya dengan dinding-dinding kristal yang turut retak dan runtuh.
Tubuh Lorelie yang bergelantungan memeluk bongkahan kristal dan bola-bola cahaya lantas meluncur turun saat pangkal benda itu akhirnya patah. Sebagian besar ruangan turut hancur bersamaan dengan guncangan yang kian menggila. Pintu kokoh yang semula tersembunyi di balik balutan kristal akhirnya roboh, nyaris menghantam Lorelie jika saja ia tak menghindar dengan gesit.
Di saat bersamaan, ruangan yang semula temaram itu menjadi sedikit terang dan dalam sekejap maya berubah menjadi gua batu yang didominasi warna tanah. Kristal es bening yang semula memenuhi bilik itu telah beralih rupa sepenuhnya, seolah sihir yang menyegel tempat itu telah sirna.
Lorelie sempat terpana takjub dengan penglihatannya. Namun, secepatnya ia bangkit dan berlari terseok-seok ke arah ambang pintu. Barangkali ini adalah kesempatan terakhirnya untuk kabur sebelum Agrodimor dan Minerva datang atau sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Lorelie berhasil melewati ambang pintu saat bongkahan besar terakhir jatuh dari langit-langit bilik hingga menutupi jalan keluar. Peri perempuan itu mengembuskan napas lega karena keputusannya untuk tidak menunda-nunda pelarian terbukti tepat. Segera ia berbalik menyusuri lorong kristal es yang masih mendominasi di luar bilik. Meski tak ada siapa pun di lorong itu, tetapi Lorelie tahu jika sihir Andromeda masih berkuasa.
Sejujurnya Lorelie merasa sangat familier dengan tempat tersebut. Meski telah diselimuti es dan segala sesuatunya berubah jadi kristal beku yang memantulkan sosoknya di mana-mana, tetapi Lorelie masih mengingat lorong-lorong istana Agrodimor. Ia tahu persis jika lorong itu akan membawanya ke Balairung istana, tempat terakhir petaka yang menghancurkan kehidupannya terjadi.
Semakin dekat dengan Balairung, langkah Lorelie terasa semakin berat. Patung-patung es beraneka bentuk terlihat semakin banyak di sudut-sudut lorong istana. Dada peri perempuan itu pun semakin sesak seolah kesedihan dan kebrutalan petaka yang pernah dialaminya di masa lalu kembali terjadi. Dari jarak dekat, ia baru mengenali jika patung-patung es itu bukanlah patung, melainkan para sentinel istana yang dibekukan oleh Andromeda.
Lorelie yang mulanya terisak lirih kemudian menangis semakin kencang saat melihat pintu Balairung yang membeku terbuka. Reruntuhan langit-langit menutupi sebagian pintu. Kejadian brutal itu seolah abadi di hadapan Lorelie dan juga dalam ingatannya.
Mendekati ambang pintu Balairung, tangis Lorelie pecah tak terkendali. Sepasang tungkainya jatuh terduduk seumpama kehilangan kekuatan untuk melanjutkan langkah. Tubuhnya gemetaran saat melihat pemandangan yang terhampar di dalam Balairung yang porak-poranda dalam keabadian. Kejadian naas hari itu kembali berputar di kepala Lorelie. Luka lama yang bersemayam di hatinya kembali berdarah.
"Ibu! Ayah!"
🏰🏰🏰
Pontianak, 20 Maret 2021 pukul 15.02 WIB
Haloo maafkan karena begitu lama tidak update. Lagi-lagi karena masalah kesehatan huhuhu Awalnya aku ingin Hiatus dulu, tetapi karena masih ada yang menantikan kelanjutan cerita-cerita di lapakku, aku memutuskan untuk tetap menulis. Terima kasih buat kalian yang masih bersedia mampir di sini. Have a great day and stay healthy❤️😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top