32. 🧜Frozen Kingdom
Lorelie selalu bermimpi buruk setiap hari selama menjadi duyung terkutuk. Namun, hari itu, sesuatu yang tak biasa terjadi dalam alam bawah sadarnya. Ia bermimpi indah tentang Agrodimor yang berasal dari ingatan masa lalunya menampilkan sebuah istana yang berdiri di atas lautan, secara harfiah, yang dihubungkan oleh jembatan-jembatan gantung. Dalam mimpinya, bangunan-bangunan yang terbuat dari bebatuan tebing berpadu dengan kristal masih berdiri kokoh menghadang ombak yang tak henti-hentinya menggerus. Bunyi pedang memenuhi udara alih-alih siulan burung camar sebagai penanda jika para kesatria tangguhlah yang menghuni kerajaan itu.
Lorelie bahkan bisa melihat dirinya semasa kanak-kanak, gadis berambut merah menyala, berkulit pucat yang berlarian di atas jembatan tanpa secuil pun rasa takut dengan pedang terhunus di salah satu genggaman. Ia memang memakai gaun, tetapi dadanya terpasang armor ketat sekeras baja, sekeras tekadnya. Para peri perempuan di Agrodimor tak sedikit pun dibeda-bedakan dari kaum peri laki-laki, sehingga kaum mereka menjadi bangsa yang tangguh.
Lorelie bahkan menyunggingkan senyum bahagia di dalam mimpinya saat pemandangan mengenai memori masa kecil memenuhi alam bawah sadarnya silih berganti. Ia pun nyaris percaya jika yang dilihatnya bukan berasal dari alam mimpi hingga tubuhnya mendadak berguncang hebat dan menggigil.
Kesadaran akhirnya berkumpul dan memaksanya membuka kelopak mata. Memori masa lalu yang memenuhi alam mimpinya seketika terenggut. Lorelie membelalak dan mendapati langit-langit seputih kristal yang terlihat membeku menaunginya. Tak hanya itu saja, udara dingin sontak menyambut indera perabanya, hingga Lorelie menyadari dari mana sumber dingin yang membuatnya menggigil.
Lorelie serta-merta berusaha bangkit dari posisinya, tetapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu. Segera ia mengedarkan pandangan ke sekujur tubuhnya yang terbujur kaku di atas sebuah dipan yang terbuat dari kristal beku. Begitu pun seluruh penjuru kamar yang didominasi oleh kristal berwarna putih yang menguarkan aura dingin. Bongkahan beningnya yang tak rata pada beberapa sisi bahkan menampilkan sosok Lorelie seumpama cermin. Namun, sejauh mata memandang tak sesosok makhluk pun yang berada di ruangan itu.
Lorelie kembali meletakkan kepalanya pada dipan kristal yang terasa dingin di kulitnya, tetapi hal itu bukan masalah karena sosoknya yang masih berupa duyung. Ia menatap langit-langit dan mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir yang menyebabkannya berakhir di sini. Namun, bola cahaya sihir yang menggantung pada langit-langit kamar itu membuatnya mengingat sesuatu.
"Agrodimor. Apakah aku berada di Agrodimor?" tanpa sadar si gadis duyung bergumam. Kemudian, ia kembali berusaha mengangkat punggungnya. Lagi-lagi kekuatan tak kasat mata seolah memaku tubuhnya di atas dipan. Lorelie tak bisa bergerak sejengkal pun.
Namun, tiba-tiba bola cahaya sihir yang menggantung di atas langit-langit bilik itu bergerak-gerak liar. Embusan dan bunyi gemuruh angin mendadak memenuhi ruangan. Bilik yang semula terang benderang, perlahan meredup.
Lorelie bergerak gelisah di atas pembaringannya. Matanya mengedar luar mencari sosok makhluk yang diyakininya sedang mendatangi tempat itu. Tubuhnya bergidik ngeri kala sebuah bayangan hitam perlahan mewujud dari pusaran angin tipis menjadi sesosok besar tinggi yang Lorelie kenali.
Lorelie membelalak. Memori terakhirnya di Phantom Enclave seketika membayang kembali. Ia lantas mengingat siapa yang membawanya kemari. Sosok itu ternyata telah menemukannya.
"Andromeda Aerendyl?" Kegusarannya menjadi nyata. Lorelie menggeleng, berusaha melakukan penyangkalan atas penglihatannya sendiri. Namun, sosok itu bukanlah bayangan semata, sehingga seberapa keras pun kepalanya menggeleng, makhluk dengan kaki gurita itu tak juga menghilang.
"Benar, kau berada di rumahmu yang telah menjadi milikku sekarang." Andromeda menyeringai, sementara satu tentakelnya terulur menyentuh pipi pucat Lorelie.
Si gadis duyung bergidik ngeri, berusaha menggeser tubuhnya, tetapi yang dapat dilakukannya hanyalah memasang ekspresi muak.
"Kau masih mengingat Agrodimor, bukan? Aku harap kau juga tak melupakanku. Aku telah mencarimu nyaris ke seluruh pelosok Fairyverse, tetapi kau seolah tak terjangkau." Sang penyihir lautan lantas terbahak. Suaranya memantul-mantul ke seluruh penjuru ruangan membentuk gema yang membuat sekujur tubuh Lorelie gemetaran.
Bagaimanapun, keberadaan Andromeda di hadapannya sekarang membuat memori masa lalu yang tak menyenangkan kembali menyeruak ke dalam kepalanya. Memori yang sebetulnya sangat ingin ia enyahkan. Andai saja, ia tak mengingat Agrodimor dan kedua orang tuanya yang terkutuk menjadi es, tak terbersit sedikit pun dalam benaknya untuk kembali. Lagi pula, kemunculan Andromeda Aerendyl agaknya terlalu cepat dan di luar dugaannya. Lorelie bahkan belum tahu cara mematahkan kutukan sang penyihir dan membinasakannya.
"Tentu saja, aku tidak akan pernah melupakanmu sebab kau harus menerima pembalasan dariku!" balasnya dengan suara bergetar akibat diliputi kemarahan. Kilasan masa lalu itu telah memantik amarah terpendam Lorelie. Jika saja tubuhnya dapat bergerak, ia pasti sudah akan menerjang sang penyihir meski tahu jika usahanya akan berakhir sia-sia.
Suara tawa Andromeda yang semula nyaris mereda kembali bergema seolah ucapan Lorelie hanya gertakan semata. "Tak sia-sia aku menyisakan jantung Putri Agrodimor sebagai hidangan terakhir. Keberaniannya adalah sesuatu yang langka dan sangat berbahaya di seantero Faeseafic." Sang penyihir mengendus udara penuh hasrat seolah dapat mencium aroma jantung Lorelie. "Aku tak sabar menantikan purnama yang akan datang!"
"Kau tidak akan bisa mendapatkan jantungku selama wujudku masih separuh duyung!" teriak Lorelie berang. Suaranya setajam pedang imajiner yang ia hunuskan kepada sang penyihir. Tak sedikit pun ia merasa takut akan keberadaan makhluk yang disegani seantero Faeseafic itu karena kemarahan telah mengambil alih akal dan pikirannya.
Andromeda Aerendyl bergerak mendekatinya. Makhluk itu tak menapak, tetapi melayang di atas tentakel-tentakelnya yang berukuran besar. Jaraknya kini tak lebih dari dua lengan peri elf dewasa dengan Lorelie, sehingga si gadis duyung menempelkan punggungnya rapat-rapat pada pembaringannya.
Tawa makhluk itu telah lenyap sepenuhnya, sementara wajah maskulin mengerikannya mengelam seumpama langit yang disaputi awan hitam menjelang hujan. "Kau pikir aku tidak melakukan apa pun selama ini, hah? Kau salah menduga. Aku telah menemukan cara untuk mengubahmu kembali menjadi manusia," desisnya penuh ancaman.
"Kau hanya bisa mengubahku kembali menjadi manusia jika membebaskan Agrodimor dan kedua orang tuaku dari kutukan, Andromeda!" bantah Lorelie dengan suara meninggi. Gadis duyung itu sama sekali tak gentar, meski posisinya terbaring dalam kekangan di atas dipan dingin.
Bantahan demi bantahan itu tak urung menyebabkan sang penyihir lautan menjadi berang. Satu tentakel berlendirnya terulur, kemudian mencengkeram dagu Lorelie dan menyentaknya kasar. Wajah si gadis duyung serta-merta tengadah dengan rahang mengetat menahan amarah.
"Jangan membuatku marah, Putri Melarue? Aku tak peduli jika harus merenggut jantungmu dalam keadaan seperti ini jika kau terus membantahku. Kuingatkan sekali lagi bahwa aku bukanlah makhluk yang murah hati! Mulut kecilmu itu telah menyulut kemarahanku." Makhluk itu menggeram dalam suara rendah.
Namun, sedetik kemudian Andromeda melepaskan cengkeramannya dari rahang Lorelie dan bergerak mundur. "Ketidakpatuhan kedua orang tuamu tak bisa dimaafkan, maka selamanya mereka harus abadi menjadi kristal es. Lagi pula, aku tidak menyukai keberanian, kelancangan, dan sifat sok kesatria bangsa Agrodimor yang menyusahkan. Bangsa pembangkang itu tidak perlu ada."
Lorelie yang semakin mendidih lantas mencetuskan tawa terbahak yang bahkan terdengar sumbang di telinganya sendiri. Andromeda yang hendak beranjak meninggalkan ruangan refleks mendelik. "Aku tidak menyangka jika penyihir terkuat di seantero Faeseafic adalah sosok pengecut. Kau bahkan takut dengan bangsa kami!" ledeknya dengan sengaja.
Andromeda menggeram marah, lantas dalam satu gerakan cepat salah satu lengannya yang menggenggam trisula terangkat ke udara dan mengeluarkan bola cahaya merah. Bola cahaya itu kemudian melesat cepat menghantam salah satu sisi pembaringan Lorelie.
Lorelie berjengit berusaha menghindari serangan yang meski sedikit meleset, tetapi cukup membuatnya khawatir. Pembaringan di sisi kirinya hancur berantakan menyisakan kepulan putih tipis. Lorelie bahkan dapat merasakan pembaringan di bawah salah satu lengannya sedikit mencair akibat serangan itu.
Akan tetapi, Andromeda tak puas sampai di situ. Dengan membabi buta, ia kembali menyorotkan trisulanya ke sembarang arah hingga mengenai susunan dinding kristal di belakang Lorelie. Sementara, si gadis duyung menjerit beberapa kali saat serpihan-serpihan kristal mengenainya. Ia tahu Andromeda tak bermaksud menyakitinya, tetapi hanya memberikan teror agar dirinya merasa terancam. Namun, apa pun yang makhluk itu lakukan, tekad Lorelie tak goyah sedikit pun.
"Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku!" bentak Andromeda. Ia nyaris berbalik, tetapi urung. Seolah mengingat sesuatu yang harus disampaikannya pada Lorelie. "Kau akan segera bertemu dengannya, sosok yang akan membantuku mematahkan kutukanmu."
Lorelie memelotot. Alih-alih merasa gentar oleh ancaman sang penyihir lautan, ia justru merasa penasaran terhadap ucapan Andromeda. Meski ia cukup terkejut dengan serangan tersebut dan masih bernapas pendek-pendek sebagai akibat peristiwa sebelumnya, tetapi Lorelie sama sekali tak merasa terancam. Si gadis duyung memilih bungkam dan menanti tindakan Andromeda dalam diam penuh kemarahan.
Saat sosok hitam besar sang penyihir lautan berbalik dan menghilang pada tembok kristal di hadapannya, Lorelie mengawasinya sembari merapal umpatan dan kutukan di dalam hati. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuh. "Aku akan membalasmu, Andromeda. Lihat saja nanti!" geramnya.
❄️❄️❄️
Lorelie mengingat setiap malam pada masa kanak-kanaknya di Agrodimor, sang ibu sering menceritakan kisah-kisah legenda dari pulau-pulau yang berada di Faeseafic. Pada suatu malam saat bintang-bintang terlihat pada posisi paling terang di Agrodimor, sang ibu pernah menceritakan sebuah legenda mengenai sesuatu yang terang dan hangatnya bahkan mengalahkan sinar matahari. Sesuatu itu bahkan bisa mencairkan segala sesuatu yang membeku dan memupuskan segala jenis kutukan. Namun, entah mengapa, Lorelie tak mengingat sama sekali tentang benda yang diceritakan sang ibu, seberapa keras pun ia mengingat.
Lorelie akhirnya tersadar akibat frustrasi untuk mengingat nama benda tersebut. Bahkan, setelah segenap kesadarannya terkumpul, Lorelie masih tak dapat mengingat sedikit pun mengenai legenda yang pernah didengarnya di masa lalu. Kegusaran dalam tidurnya lantas membuatnya berpikir jika hal itu barangkali merupakan sebuah pertanda.
Akan tetapi, belum sempat Lorelie memikirkan hal tersebut lebih jauh, salah satu sisi dinding kristal beku yang tepat berada di hadapan ranjangnya mendadak bergerak terbuka. Lorelie terkesiap, refleks melihat ke dalam kegelapan di balik pintu yang terbuka.
Sesosok berjubah hitam dan bertudung melangkah masuk melewati ambang pintu, membawa aura gelap yang menyertainya. Bilik kristal beku yang semula putih dan terang-terangan perlahan meredup seolah kehilangan cahaya. Bola-bola cahaya sihir yang bergelantungan di langit-langit perlahan meredup hingga menyisakan penerangan yang temaram.
Lorelie menegakkan punggungnya susah payah. Kali ini tubuhnya tak lagi tertahan seperti sebelumnya di atas dipan setengah rusak yang menjadi pembaringannya. Ia beringsut mundur sembari menerka-nerka sosok di balik jubah hitam yang berjalan mendekat. Sosok itu tak sedikit pun terlihat seperti Andromeda, tak ada tentakel yang berkelindan di bawah tubuhnya yang lebih mirip sosok peri elf. Namun, meski demikian, aura yang menyertainya bahkan jauh lebih menakutkan daripada Andromeda.
"Si-siapa kau?" tanya Lorelie tergagap.
Tepat di tengah-tengah bilik sosok itu menghentikan langkah, kemudian membuka tudungnya dalam gerakan dramatis. Wajah cantik sesosok peri perempuan yang berbahaya lantas terekspos, membuat Lorelie sontak membelalak. Ia mengenali paras itu meski samar-samar.
Setelah berusaha mengingat-ingat dalam ketakutan dan ketertekanan, Lorelie akhirnya menemukan sosok peri perempuan itu dalam ingatannya. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya setengah terpekik. Ia menginat peri perempuan itu.
Sosok itu menyunggingkan senyum asimetris. "Apakah kita saling mengenal sebelum ini?"
Lorelie menggeleng ragu, tetapi kemudian mengangguk cepat. "Aku mengenal putramu---"
Seringai pada wajah peri perempuan itu seketika sirna, berganti ketegangan yang tak dapat Lorelie artikan. Mulut peri perempuan itu membuka nyaris mengucapkan sesuatu. Namun, sebelum sosok itu sempat menanggapi ucapannya, Andromeda muncul dari ketiadaan, bahkan tanpa melewati ambang pintu yang terbuka. Embusan angin yang dibawanya memadamkan sisa cahaya yang menggantung di langit bilik. Tentakelnya bergerak liar, membuat bilik itu seolah penuh sesak.
Lorelie panik merasa kehilangan kemampuan melihatnya akibat ruangan yang terlampau pekat. Tanpa disadarinya, sepasang tentakel Andromeda lantas terulur ke arahnya di dalam kegelapan, lalu merengkuh pinggang ramping Lorelie dan mengangkatnya ke udara. "Minerva, lakukan tugasmu sekarang!"
Pontianak, 07 Februari 2021 pukul 01.19 WIB
Aku ingin mengabarkan jika cerita ini masuk ke dalam reading list wattpad Writteninaction Indonesia, loh 😍💕🤗 Sebagai bentuk rasa syukur, aku akan fokus menyelesaikan cerita ini. Doakan semoga idenya lancar ya. Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top