30. 🌟Unlock The Memory
Elijah akhirnya mampu mengingat wajah itu. Wajah cantik nan dingin yang pernah dirindukannya di suatu masa yang telah lalu. Berbagai hal telah mereka lalui bersama; perang, kejayaan singkat yang gilang-gemilang hingga peristiwa yang pada akhirnya menyadarkan mereka jika takdir terkadang tak dapat begitu saja diubah. Lalu, ingatan terakhir mengenai perpisahan yang pedih saat kapal Alamein bertolak mengarungi Faeseafic untuk pertama kali hingga sesuatu yang semula mereka anggap badai menerjang. Sesosok makhluk dengan tubuh bagian bawah penuh tentakel lantas menyerang peri perempuan angkuh yang tengah terkulai terbaring di atas dipan. Memori-memori itu perlahan-lahan terkumpul bagai serpihan yang semula terserak, seolah sebuah kekuatan magis menarik mereka untuk kembali bersatu. Seluruh ingatan Elijah kembali utuh paripurna bersamaan dengan kesadaran yang menariknya perlahan.
Satu nama itu ... Minerva berdesir dalam ingatannya hingga membuat seluruh kesadarannya berguncang.
"Elijah ..." Lorelie menyapa lirih, samar-samar, tetapi suara itulah yang berhasil meyakinkan Elijah kalau saat itu dia masih hidup.
Pelan tetapi pasti, kelopak mata Elijah terbuka. Cahaya matahari pagi yang menerpa pemandangan untuk pertama kali membuat Elijah mengernyit sesaat, sementara tubuhnya menggeliat dan merenggang. Butiran pasir kering terasa menusuk sekujur permukaan kulitnya yang tak terbungkus pakaian, membawa kembali ingatan akan keberadaannya semalam.
"Kau sudah sadar?" Wajah Lorelie yang pucat membelakangi matahari terlihat bercahaya. Namun, ada kegusaran membayang di sana, meski kini sudut-sudut bibir si gadis duyung tertarik melengkungkan senyuman.
Elijah bergerak bangkit. Di sisinya, Bagherra dan Tribal memegangi lengan Elijah, membantu punggungnya tegak. "Apa kita masih berada di Phantom Enclave? Di mana ibu?"
"Ibu?" Tribal mengernyit bingung. "Apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?"
"Kau mengingat perempuan itu?" Pertanyaan Lorelie barusan sontak mengundang tatapan Tribal dan Bagherra mengarah padanya. Demi mendengar pertanyaan si gadis duyung, Elijah pun serta-merta menegakkan tubuhnya.
Setelah kesadaran sepenuhnya terkumpul, Elijah mengangkat wajahnya perlahan menatap Lorelie yang berada tepat di hadapannya. Sinar matahari yang lembut membuat Elijah mengerjapkan kelopak matanya sekilas. Embusan semilir angin laut yang jelas-jelas jauh lebih hangat dari yang dirasakannya tadi malam mengusap surainya yang setengah basah. Setelahnya, Elijah segera tersadar jika ada tiga peri elf yang sedang menanti penjelasannya. Ralat, dua peri elf dan sesosok gadis duyung karena Lorelie telah kembali menjadi sosok bersirip kuning pucat.
"Kau sebaiknya kembali ke laut," komentar Elijah untuk pertama kali yang disambut oleh pelototan tak percaya dari Tribal dan Bagherra.
Mendengar ucapannya, Lorelie berdecak sebal. Wajah rupawannya yang semula menyorotkan kekhawatiran mendadak sirna. "Kau tidak menjawab pertanyaanku," bantahnya. Dengan gerakan yang terlalu dibuat-buat, Lorelie melipat kedua lengannya di depan dada. Dagunya terangkat, sementara matanya sedikit memelotot pada sang pangeran peri.
Baru saja, Elijah hendak membuka mulut, Tribal segera memotong. "Kami di sini menghawatirkanmu Elijah. Kata Lorelie kalian diserang hingga kau tak sadarkan diri selama berjam-jam. Apakah itu benar?"
Elijah menggeleng pelan, tetapi sepersekian detik kemudian mengangguk cepat. "Mereka berasal dari The Mighty Mountain, para penyambut," sahutnya kemudian. Bayangan mengenai makhluk sehitam jelaga kembali berkelebat sekilas dalam ingatannya.
Tribal menelengkan wajahnya. "Para penyambut?"
"Salah satu penunggu The Mighty Mountain." Lorelie memotong sambil mengibas-ngibaskan ujung ekornya yang dipenuhi pasir. "Namun, aku tak tahu mereka itu apa," tambahnya lagi.
Tribal mengangguk-angguk. Sementara jari telunjuk dan jempol tangan kanannya menyangga dagu, tampak berpikir. "Lantas bagaimana kalian bisa selamat?" selidiknya.
Lorelie melirik Elijah hingga pandangan mereka bertemu selama beberapa detik. Seolah bersepakat bahwa kejadian tadi malam adalah rahasia mereka berdua, Lorelie lantas hanya mengendorkan bahu. "Mereka mendadak hilang," sahut gadis duyung itu sekenanya.
Bukan Tribal namanya jika langsung puas dengan jawaban palsu itu. Kernyitan samar perlahan muncul di antara sepasang alis tebal sang kapten. Tatapan penuh selidiknya membuat Elijah merasa tak nyaman. "Siapa yang kau maksud dengan ibu?" cecarnya lagi.
"Bukan apa-apa, aku hanya sedang meracau," sahut Elijah setelah menemukan jawaban yang tepat di antara segenap kebingungan yang berkelindan di kepalanya.
Tribal mendengkus sembari memijat pelipisnya. Ia segera berdiri dari sisi Elijah, seolah pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya tak beroleh informasi apa-apa. "Baiklah, cukup dengan racauanmu, Elijah, kita terlambat dari rencana semula. Hari beranjak siang dan kita tidak tahu berapa jarak yang harus kita tempuh untuk mencapai The Mighty Mountain. Kita telah membuang begitu banyak waktu," omelnya.
Elijah mafhum. Mengangguk enggan ke arah sang kapten. "Aku mengerti, Kapten. Ijinkan aku berbicara dengan Lorelie sebentar."
Tribal mengendikkan bahu, kemudian membuat gestur dan eksoresi terserah, sebelum beranjak meninggalkan mereka. Bagherra yang segera sadar diri pun berdiri dari posisinya. Setelah menatap enggan pada Lorelie dan Elijah bergantian, peri laki-laki itu lantas bergabung dengan para awak kapal lainnya yang sedang mengemasi bawaan mereka.
Setelah kepergian dua sosok itu, Elijah dan Lorelie lantas bertukar pandang untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya sang pangeran buka suara. "Aku mengingatnya, Lorelie. Perempuan itu, dia ibuku," tuturnya setengah berbisik.
"Apa katamu?" Lorelie membelalak dengan satu telapak tangan menyumbat keterkejutan yang membuka mulutnya. Si gadis duyung beringsut mendekat.
Elijah mengangguk mantap. "Aku harus mencarinya setelah ini," lanjutnya salam suara setengah berbisik, seolah keputusan itu adalah sebuah keputusan rahasia dan hanya mereka berdua yang mengetahuinya.
"Kau akan mencarinya ke mana?"
"Aku belum tahu." Tatapan Elijah menerawang pada langit biru muda yang menaungi mereka. Pikiran Elijah kembali berkelana menuju badai brutal yang menyerang kapal Alamein, kemudian pada perkataan beberapa awak kapal mengenai penyihir lautan. Ingatan mengenai sesuatu yang menyerang Minerva dalam biliknya yang sedang diamuk badai serta merta menari di pelupuk matanya. Otak Elijah refleks menghubungkan antara sosok penyihir lautan yang ditemuinya langsung beberapa waktu yang lalu dan badai brutal yang menyerang Alamein dan Minerva. Bagaimana jika seluruh kejadian itu ternyata saling berhubungan?
Elijah membelalak saat pikirannya menemukan simpul yang menjadi punca dari misteri hilangnya Minerva. Ia seolah mendapat Ilham ke mana harus mencari. "Bagaimana jika hilangnya ibuku ada hubungannya dengan sang penyihir lautan?"
Lorelie membelalak begitu mendengar nama terlarang itu disebut. Refleks si gadis duyung menggeleng. "Jangan menduga yang tidak-tidak." Lorelie memperingatkan.
"Aku tidak menduganya. Segala sesuatunya jelas saling berhubungan," bantah Elijah. "Setelah misi ini selesai, aku akan membantumu menghilangkan kutukan ini. Aku akan menghabisi si penyihir lautan."
Lorelie menggeleng. "Kau tidak tahu apa yang kau katakan, Elijah."
"Aku berjanji padamu, Lorelie," bantah Elijah sembari meraih jemari si gadis duyung ke dalam genggamannya. Elijah mengusap lembut sisik samar yang tumbuh pada punggung tangan Lorelie. Kemudian, menatap netra sebiru lautan itu dengan penuh tekad. "Aku akan mematahkan kutukanmu sekaligus menyelamatkan ibuku."
Lorelie membuka mulut, tetapi tak meloloskan sepatah kata pun dari tenggorokannya. Si gadis duyung terlihat tertegun dan takjub akan ucapan sang pangeran peri. Bukankah itu yang diharapkan Lorelie sedari awal? Elijah adalah penyelamat yang ia lihat di dalam mimpinya.
"Cepatlah Elijah!" Suara teriakan Tribal di kejauhan sontak membuyarkan momen magis di antara mereka. Elijah serta merta melepaskan genggamannya dari jari-jemari Lorelie, sementara si gadis duyung pun turut menarik tangannya dan tertunduk menekuri pasir.
"Kembalilah ke laut," bisik Elijah di antara suara ombak yang terdengar samar-samar. "Tunggu aku kembali. Aku berjanji padamu."
Kata-kata Elijah yang terucap bersama semilir angin laut membuat Lorelie enggan mengangkat pandangannya. Semburat merah samar membayang di kedua pipi pucatnya hingga membuat senyum terbit di bibir Elijah.
Sang pangeran peri lantas berdiri, lalu membersihkan tuniknya dari sisa-sisa pasir setengah basah yang menempel di sana. "Aku akan mengantarmu ke laut," bisiknya. Tanpa aba-aba, Elijah segera mengangkat tubuh si gadis duyung dari atas pasir ke dalam gendongannya. Mengabaikan persendiannya yang ngilu dan luka-luka kecil yang masih menganga di beberapa bagian tubuhnya, Elijah membawa Lorelie menuju bibir pantai.
Mulanya Lorelie cukup kaget akan perlakuan sang pangeran peri yang terlampau manis menurutnya. Namun, setelah merasakan hangatnya dada Elijah dan merdunya dentuman jantung yang samar-samar didengarnya dari balik tunik lusuh sang pangeran peri, Lorelie refleks melingkarkan lengannya di leher Elijah. Dalam diam, ia menikmati perlakuan manis itu dan diam-diam berharap jika jarah menuju pantai menjadi sangat jauh.
Begitu gulungan ombak menyapu kaki telanjang Elijah, perlahan sang pangeran peri menurunkan Lorelie dari gendongannya. Memindahkan bobot tubuh si gadis duyung pada gulungan ombak dengan gerakan hati-hati seolah sedang meletakkan sesuatu yang sangat berharga.
Untuk sesaat lamanya, mereka saling bertatapan. Namun, Elijah tahu, dari kedalaman netra biru Lorelie, berjuta perasaan sedang disimpan si gadis duyung. Meski samar, Elijah dapat melihat kekhawatiran, ketakutan, ketakjuban dan rindu terpancar dari sorot mata si gadis duyung.
Didorong oleh perasaan naluriahnya untuk melindungi dan menyayangi, Elijah mendekatkan wajahnya pada wajah pucat serupa pahatan yang terpaku menatapnya. Dalam gerakan cepat dan tak terduga, Elijah lantas melayangkan sebuah ciuman pada kening pucat si gadis duyung. Ciuman sederhana yang mengungkapkan seluruh perasaan yang dipendamnya selama ini. Bersama semilir embusan angin laut, Elijah berbisik lirih. "Tunggu aku di sini."
🌟🌟🌟
Lorelie menyaksikan punggung Elijah yang menjauh dari pandangannya dengan perasaan membuncah. Jantung peri di dalam rongga dadanya berdentum tak karuan kala bibir hangat nan lembut sang pangeran peri mendarat di pelipisnya. Mimpi apa dia semalam hingga Elijah memperlakukannya dengan begitu manis?
Tanpa sadar sudut-sudut bibir si gadis duyung melengkungkan senyuman. Untuk beberapa saat lamanya, Lorelie terpaku menatap garis pantai Phantom Enclave dengan perasaan berbunga-bunga. The Mighty Mountain yang menjulang samar-samar di hadapannya sama sekali tak terlihat menyeramkan saat itu.
"Aku akan menantimu," ucapnya lirih pada angin yang menyapu ke arah pantai dan kepada gulungan ombak yang menghantam tubuhnya. Lorelie benar-benar menikmati segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Si gadis duyung membalik tubuhnya, enggan berenang menuju lautan dan memilih ombak mendorong tubuhnya perlahan-lahan ke tengah Faeseafic. Entah menatap langit biru muda dengan gumpalan awan putih tipis yang menaunginya kala itu terlihat jauh lebih indah. Tanpa sadar, mulutnya melantunkan nyanyian samar yang nyaris tak pernah lagi dilakukannya setelah menjadi terkutuk seperti saat itu.
Lorelie masih tenggelam dalam euforia yang membalut perasaannya saat mendadak awan gelap menutupi langit. Warna biru terang yang mendominasi langit sebelumnya, kini berubah jadi kelabu sepenuhnya. Angin menderu lebih kencang membuat pepohonan di pesisir pantai condong dengan ranting-ranting bergerak liar. Lorelie tersadar saat gulungan ombak yang menerpa tubuhnya terasa lebih keras dari sebelumnya. Senandung yang keluar dari bibir merahnya serta merta berhenti.
Si gadis duyung lantas menegakkan punggungnya, menatap pesisir pantai yang telah ia tinggalkan beberapa jengkal. Namun, atensinya segera teralih pada langit yang semakin gelap. Di penghujung cakrawala yang menghitam sesuatu serupa gulungan badai datang mendekat, membawa serta pusaran badai dan gulungan ombak brutal.
Tubuh ringkih Lorelie terempas ke sembarang arah, terombang-ambing dalam gelombang yang menggila. Gulungan badai yang berwarna hitam kini semakin dekat, nyaris mencapainya. Akan tetapi, belum sampai di bibir pantai, gulungan badai itu memecah menjadi angin sekaligus hujan yang sangat lebat, kemudian ada sosok hitam besar yang menyeruak keluar dari gulungan tersebut. Berdiri tegak di hadapan Lorelie dengan keangkuhan paling dikenali seantero lautan.
"Andromeda Aerendyl?!" Lorelie sontak terpekik. Melafalkan nama yang terlarang untuk disebut di seluruh penjuru Faeseafic.
Suara tawa yang membahana menyambut keterkejutan dan kegusaran si gadis duyung. Jenis tawa yang membuat lautan bergolak brutal. Langit di atas Faeseafic semakin menggelap hingga sepasang mata merah bercahaya sang siren menyorot bagai matahari siang bolong di antara kegelapan itu.
Di tengah gulungan ombak yang menggila, tubuh Lorelie terpaku gemetaran. Kekuatan dan perlawanan yang berkelindan di dalam kepala si gadis duyung seolah dibungkam oleh sebuah kekuatan tak kasat mata.
"Akhirnya, aku menemukanmu, Lorelie."
Dalam sepersekian detik yang berlangsung sangat cepat, gulungan ombak yang brutal menelan tubuh ringkih si gadis duyung. Badai yang semula menggila mendadak hilang begitu bersamaan dengan hilangnya Lorelie dan sang penyihir lautan, menyisakan Faeseafic yang sunyi dan menyimpan misteri.
1870 words. Maaf baru update setelah sekian lama 😭 realife hectic banget. Terima kasih sudah mampir di sini, sehat selalu yaa kawan ❤️😍🤗
Pontianak, 15 Januari 2020 pukul 03.57 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top