29. 🧚The Keeper

Lorelie bergeming sembari memeluk tubuhnya sendiri saat burung-burung hitam mengerikan itu terbang semakin dekat. Lima makhluk sehitam jelaga itu terbang menyebar ke berbagai penjuru begitu menuruni gunung berselubung kabut tempat mereka berasal, The Mighty Mountain.

Belum reda keterkejutannya atas ucapan Elijah beberapa saat lalu, Lorelie kini harus dihadapkan pada kejutan lain yang lebih mengerikan. Peri perempuan itu melirik sekilas pada Elijah yang telah maju beberapa langkah mendahuluinya sembari menghunuskan pedang. Peri laki-laki itu berdiri posesif di hadapannya. Sungguh, Lorelie tak menyukai hal itu. Ia pernah menjadi salah satu kesatria perempuan terbaik di Agrodimor sehingga posisi dilindungi terasa sedikit melukai harga dirinya. Lorelie membutuhkan pedang dan harusnya berdiri sejajar dengan Elijah.

Maka, alih-alih membangunkan awak kapal lain untuk membantu mereka menghalau para penjaga The Mighty Mountain, Lorelie malah bergerak cepat ke arah tumpukan senjata dan meraih dua pedang sihir sekaligus. Saat telapak tangan Lorelie akhirnya menyentuh gagang pedang, sesuatu berdesir di dalam dadanya dan di saat bersamaan kekuatan seolah mengaliri nadinya, menjalar dari telapak tangannya. Lorelie merasa hidup.

Dengan gerakan cepat ia kemudian bersisian dengan Elijah, lalu mengambil kuda-kuda kokoh penanda siap menghalau serangan para burung mistis.

Di sisi lain, Peri laki-laki itu meliriknya sekilas bersamaan dengan munculnya keterkejutan kentara yang tersirat dari sepasang netra birunya. Raut wajah sang pangeran peri jelas-jelas tak senang dengan apa yang dilakukan si gadis duyung. Namun, Lorelie tak peduli.

Elijah pasti tak akan memiliki waktu untuk sekadar mengusirnya karena dalam sepersekian detik yang sangat cepat, paruh sehitam jelaga milik para burung telah beradu dengan bilah pedang mereka. Suara dentinganya melengking nyaring, memecah kesunyian pesisir pantai.

Akan tetapi, anehnya, para awak kapal yang tengah terlelap terlihat sama sekali tak terganggu dengan bisingnya pertarungan mereka. Bagi Lorelie, tentu saja keadaan seperti itu sungguh janggal, seolah ada sihir tipis tak kasat mata yang melingkupi pendengaran para awak kapal.

Si gadis duyung mengamati lekat lawannya yang nyaris tak memberikannya jeda mengatur napas barang sedetik. Lima melawan dua membuat bilah pedang mereka harus terus bergerak, mengayun penuh perlawanan. Namun, seberapa keras pun Lorelie berusaha menilai dan mencari makhluk itu di dalam ingatan, kehidupannya sebagai Putri sekaligus kesatria di masa lampau nyatanya tak menyimpan informasi apa-apa tentang makhluk-makhluk itu. Namun, menilik dari asalnya, sudah barang tentu jika makhluk-makhluk itu merupakan penjaga The Mighty Mountain.

Dalam jarak yang demikian dekat, Lorelie menyadari bahwa makhkuk itu bahkan jauh lebih mengerikan. Selain paruh serupa baja hitam, cakar tajam seumpama bilah pedang juga menjadi senjata yang mengancam baginya. Selain menangkis paruh, mereka juga harus menghindari cakar-cakar dan serangan tak terduga para burung hitam.

"Aku tidak menyangka jika kau mahir bermain pedang!" Elijah berteriak di antara deru napasnya yang tersengal.

Lorelie meliriknya sekilas hingga kernyit samar muncul di antara sepasang alis tebalnya. Bahkan, di saat-saat genting seperti itu, Elijah sempat melontarkan kelakar yang sangat tidak tepat waktu. Untuk itu, si gadis duyung memilih untuk mengabaikannya.

Salah satu burung hitam terbang rendah hendak menyerangnya. Sebelah sayap hitam mengilap dengan tulang-belulang sekeras baja itu mengibas kuat ke arah Lorelie hingga peri perempuan itu sontak mundur beberapa langkah. Namun, lengan kurusnya yang kokoh dengan sigap menangkis setiap serangan. Bunyi baja beradu memecah hening dini hari yang sunyi. Jikalau mereka berada dalam situasi normal tanpa tabir sihir penidur, barangkali para awak kapal lainnya akan terbangun dan membantu mereka melakukan perlawanan. Akan tetapi, asap tipis serupa kabut yang perlahan turun dari puncak di The Mighty Mountain telah membuat tidur para awak kapal semakin lena.

Sejenak Lorelie lalai saat pikirannya berkelana pada kenyataan yang harus ia hadapi sekarang. Kelalaian Lorelie  berujung pada kegagalannya dalam menghalau salah satu sayap hitam menyasarnya.

Akibat serangan itu, tiba-tiba tubuh Lorelie jatuh terjungkal menghantam hamparan pasir di bawahnya. Butir pasir menciprat ke udara saat tubuhnya melesak ke dalam timbunan putih keemasan yang setengah basah. Sesuatu menghantam punggung Lorelie dari balik gundukan pasir yang tak terlihat hingga peri perempuan itu menjerit kesakitan.

"Lorelie!"

Dengan panik, Elijah menerjang ke arahnya, menariknya dalam rengkuhan yang terasa melingkupi. Mereka berguling di atas pasir. Sementara, sebelah tangannya mengayun pedang, menghalau serangan bertubi-tubi dari burung baja yang menyerang silih berganti. Dari napas sang pangeran peri yang menderu dan putus-putus, Lorelie tahu jika Elijah nyaris kewalahan. Mereka berdua akan segera berakhir jika Lorelie tidak segera memaksakan dirinya untuk pulih.

"Elijah, aku harus berdiri," bisik Lorelie sembari mencoba menggerakkan tubuhnya dalam rengkuhan Elijah. Kedua telapak tangannya yang kosong menggapai pasir di sekitar mereka, mencoba mencari pedang sihirnya yang terpelanting entah ke mana.

"Kau tidak punya senjata." Susah payah Elijah menjawab. Napasnya tersengal. Lima sosok serupa burung hitam besar itu menyerangnya silih berganti.

"Pergilah!"

Lorelie mendorong tubuh Elijah dari atas tubuhnya sesaat setelah mereka berhenti berguling di atas pasir. Secepatnya peri perempuan itu berlari meraih ranting kayu terdekat yang tergeletak di atas pasir, kemudian mengayunkannya ke arah dua sosok burung yang lantas beralih memburu mereka. Lorelie yang sedikit panik dan tak menyangka akan mendapat serangan secepat itu, sontak menjatuhkan ranting dari genggamannya kemudian berlari menghindar ke arah pesisir pantai.

Dua makhluk hitam besar itu masih memburu Lorelie tepat saat peri perempuan itu menemukan sebilah pedang sihir milik salah satu awak kapal yang masih terlelap. Dengan cekatan, Lorelie mengayunkan bilah pedangnya yang memendarkan cahaya putih ke arah para penyerang. Pada serangan pertama, bilah pedangnya lantas telah berhasil menyabet salah satu sayap hitam mengilap sang burung penunggu pulau. Makhluk itu meraung dengan teriakan melengking yang membelah hening. Beberapa helai bulu hitam melayang di udara disertai percikan darah hijau menyala yang jatuh serupa tetes hujan.

Lorelie berjengit mundur saat setetes darah jatuh menitik pada pipi pucatnya yang kedinginan. Peri perempuan itu lantas mengusap kasar noda itu dengan lengan tunik lusuhnya. Namun, belum sempat ia mengumpulkan napas, burung hitam yang lain kembali menyerang. Sedikit kemenangan barusan membuat Lorelie lalai jika predator lain selalu mengintainya. Alhasil, tubuh ringkihnya kembali ambruk saat sepasang kaki hitam sekeras baja itu menabraknya dengan keras dari arah berlawanan.

Lorelie kembali mendarat di atas pasir basah. Punggungnya yang masih terasa nyeri bertambah sakit. Ia meringis dan sepenuhnya lalai akan keadaan. Tanpa disadarinya, salah satu burung hitam terbang menukik ke arahnya dengan paruh baja tajam yang menganga. Tepat saat Lorelie mengangkat wajahnya ke udara, peri perempuan itu seolah dapat melihat merah kematian yang mengintip dari rongga mulut sang makhluk penjaga.

Lorelie menjerit, kemudian refleks menutup matanya. Ia berharap pemandangan mengerikan itu segera menghilang.

🧚🧚🧚

"Lorelie!" Elijah berteriak lirih saat peri perempuan itu melepas paksa rengkuhannya. Lorelie memang selalu keras kepala, tetapi di situasi genting seperti itu, tingkah si gadis duyung benar-benar membuatnya gusar.

Dengan gerakan cepat Elijah bangkit sembari menepis pasir yang menempel pada tuniknya. Ia nyaris mendatangi Lorelie tepat saat sesosok burung hitam mengaitkan cakar pada bagian belakang tuniknya. Elijah bergerak liar saat perlahan tubuhnya terangkat ke udara. Beruntung pedang sihir yang terayun di genggamannya dapat bergerak cepat dan menyabet salah satu kaki baja si burung hitam.

Makhluk itu sontak melolong kesakitan, kemudian, serta-merta melepas cengkeramannya dari tunik Elijah. Tubuh Elijah melayang turun menghantam pasir diiringi bunyi berdebum samar. Sesaat peri laki-laki itu dapat merasakan tulang-belulangnya nyaris rontok dan patah di beberapa bagian. Elijah mengerang seraya berusaha menggerakkan tubuhnya untuk bangkit perlahan. Namun, saat salah satu sudut matanya menangkap Lorelie yang terlihat kepayahan menghadapi serangan dua sosok makhluk penjaga The Mighty Mountain, Elijah sadar jika ia harus segera mendatangi si gadis duyung.

Sembari menghalau dua sosok makhluk sehitam jelaga yang menyerang dari langit, Elijah berlari secepatnya. Kaki-kaki kokohnya menapak dalam pada pasir lembab yang dilaluinya, membuat langkahnya terasa lambat dan berat. Sementara, di kejauhan, jarak antara Lorelie dan sesosok burung hitam tak lebih dari satu lengan peri dewasa.

"Tidak!" Elijah menjerit pilu saat cakar-cakar baja yang tajam itu nyaris mendarat pada kulit mulus Lorelie. Bibirnya berkomat-kamit merapal permohonan pada para Leluhur Peri agar Lorelie dapat terhindar dari serangan yang mungkin saja mematikan.

Saat segenap emosi Elijah terkumpul, dadanya mendadak terasa sesak. Napasnya memburu, serta kepalanya terasa panas. Ia mengenali reaksi ini. Reaksi familier sekaligus asing yang pernah dialaminya beberapa waktu yang lalu. Dengan gerakan refleks, sebelah tangan Elijah lantas terangkat setinggi dada. Telapak tangannya terbuka, menantang makhluk yang menerjang ke arah Lorelie dengan rune mantra yang terpatri di sana.

Dalam sepersekian detik yang teramat cepat, Elijah merasakan udara di sekitarnya seolah membeku dan terasa berat. Angin seolah berhenti berembus, sementara suara binatang malam seketika menghilang. Kemudian, dalam gerakan melambat, segala sesuatu di sekitar Elijah terhenti secara ajaib. Makhluk hitam yang semula terbang mengitarinya mendadak ikut terhenti. Pun burung yang nyaris menyerang Lorelie juga terhenti. Sementara, Lorelie turut bergeming di bawah Kungkungan serangan yang dibekukan sembari melotot ke arah Elijah.

Elijah tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera setelah dunia di sekitarnya berhenti bergerak, peri laki-laki itu lantas mengambil langkah seribu, mengikis jaraknya dengan Lorelie. Kemudian, dengan gerakan cepat ia menarik pergelangan tangan peri perempuan itu dan membawanya menjauhi si burung hitam.

Namun, belum sempat peri laki-laki itu beranjak begitu jauh,  dunia di sekitarnya kembali bergerak dan bergemuruh. Makhluk-makhluk penjaga The Mighty Mountain pun kembali bebas dan meraung marah begitu menyadari buruan mereka telah terlepas dari pantauan. Lima ekor burung hitam telah bergabung dalam blokade berbentuk lingkaran yang mengitari langit, mengepung kedua makhluk yang tersisa. Agaknya kali ini tak ada celah bagi mereka untuk dapat luput dari serangan.

"Mari berlari ke arah pantai!" Lorelie berucap di tengah kepanikan mereka.

Sementara, Elijah hanya menjawab dengan anggukan. Tenaganya benar-benar terkuras padahal hanya menghentikan segala sesuatunya dalam waktu yang teramat singkat. Akan tetapi, sebelah tangannya masih mencengkeram pergelangan tangan Lorelie dengan posesif, seolah bersedia kehilangan apa pun asalkan bukan si gadis duyung.

Perhitungan Lorelie rupanya agak meleset. Sebelum mereka sampai ke bibir pantai yang berselimut banjir, dua sosok burung besar telah lebih dahulu menghadang dengan sayap terentang. Dengan sigap, Elijah menarik lengan Lorelie hingga mereka serentak mundur beberapa langkah. Namun, bertahan juga bukan merupakan keputusan yang bijak kala itu. Di balik punggung mereka, dua burung sehitam jelaga menghalau dengan sorot mata merah penuh ancaman. Paruh mereka terbuka, berteriak dengan lengkingan yang mengganggu pendengaran. Sementara, dari atas, seekor burung lain turut menukik tajam setelah mengitari mereka beberapa kali. Elijah dan Lorelie kini benar-benar terjebak.

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Elijah sembari menarik Lorelie ke belakang punggungnya. Ada getar ketakutan di suaranya. Namun, ia berusaha untuk tak menunjukkan sedikit pun rasa takut yang bersarang di dada.

"Kita terjebak."

"Tenanglah, aku akan melindungimu ...."

Di saat bersamaan, mata kalung yang melingkar di leher jenjang Elijah memendarkan cahaya ungu yang berkedip-kedip. Hawa panas samar seketika menjalar dari mata kalung yang dikenakannya sehingga dengan refleks Elijah menyentuhnya.

"Kalung itu ...." Lorelie urung melanjutkan kata-katanya saat satu burung hitam kembali menyerang mereka. Pedang sihir yang baru saja ia temukan di antara timbunan pasir basah itu terayun ke udara, menangkis serangan yang begitu tiba-tiba.

Sementara, Lorelie menghalau para burung yang menyerang mereka, Elijah yang masih diliputi keragu-raguan akhirnya menarik kalung itu dari lehernya. Batu di dalam telapak tangannya berpendar semakin terang. Elijah lalu menengadahkan telapak tangannya ke udara, membebaskan garis-garis cahaya terang yang mulai menyebar ke arah kegelapan malam. Sebuah mantra dibisikkan halus oleh desau angin, membuat Elijah refleks merapalnya.

Cahaya ungu bersinar semakin terang. Garis-garis cahayanya seolah dapat menjangkau setiap sudut pulau itu. Secara ajaib dan tak terduga, makhluk-makhluk penjaga The Mighty Mountain seketika hancur lebur menjadi serpihan abu hitam yang kemudian menghujani langit. Tanpa upaya sedikit pun, makhluk-makhluk itu akhirnya binasa.

Namun, ketakjuban Elijah tak berhenti sampai di situ saja. Setelah makhluk-makhluk itu menghilang, mata kalung ungu di dalam telapak tangan Elijah lantas mengalami sebuah ledakan cahaya. Terang yang teramat sangat sedetik menggantikan kegelapan dini hari di Phantom Enclave, sebelum cahaya ungu itu memecah menjadi bunga api kecil yang menghujani langit. Di antara bunga api yang turun, samar-samar Elijah melihat bayangan masa lalunya bersama peri perempuan bersurai hitam berkelebat dalam pandangannya.

Perasaan familier perlahan menyusupi kepala Elijah disertai rasa sakit yang menghantam pelipisnya.

Elijah menjerit, kemudian jatuh berlutut di atas pasir, sementara Lorelie mendekatinya dengan khawatir. Bayangan masa lalu itu terlihat semakin jelas sebelum potongan-potongan adegannya mendadak memudar menjadi kepulan asap yang lantas melingkupi segenap kesadaran Elijah.

"Elijah! Kau kenapa? Elijah! Sadarlah!"

Suara teriakan panik Lorelie menjadi pengiring Elijah menyongsong ketidaksadarannya. Perlahan tetapi pasti, segala sesuatunya kemudian berubah menjadi gelap yang pekat.








Pontianak, 30 Desember 2020 pukul 23.57 WIB
Maaf baru update muehehehe thanks yaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top