26. 🌊Phantom of the Sea
Lautan kembali bergolak saat Gloom membalik tubuh besarnya dengan marah. Gelombang besar tercipta saat tentakel-tentakel panjangnya menghempas di atas permukaan lautan hingga menciptakan pusaran dan cipratan air yang menggelegak. Para awak kapal Borbounaisse yang mengambang di lautan terombang-ambing dan tersedot dalam pusaran itu. Begitu pula halnya dengan rumah mereka, Borbounaisse. Bunyi teriakan jeri seketika memenuhi lautan. Padahal hanya tinggal beberapa puluh depa jarak mereka dengan pesisir Phantom Enclave. Namun, kabut dan badai ciptaan Gloom menjadi penghalang absolut.
Kraken itu meraung dengan suara melengking yang memenuhi seisi lautan, menelan suara teriakan meminta pertolongan, sementara tentakel-tentakelnya semakin liar menghempas permukaan lautan yang sedang bergolak. Reaksi dan kemarahannya itu disebabkan oleh ketiga siren yang terus mencoba melumpuhkannya. Alih-alih membuat Bloom roboh, serangan makhluk-makhluk pemburu itu justru memancing kemarahan hingga laut bergolak semakin brutal.
Elijah, sama seperti awak kapal lainnya tengah berjuang susah payah, mempertahankan dirinya agar tetap berada di permukaan. Sementara, gelombang yang bergulung-gulung beberapa kali mencoba menenggelamkannya tanpa ampun. Entah berapa banyak air lautan yang telah tertelan tanpa sengaja, ia tak berani mengira. Pun telah beberapa kali ia nyaris kehabisan napas.
Dalam jarak beberapa meter darinya, Lorelie terlihat melakukan perjuangan yang tak kalah sengit. Meski, barangkali si gadis duyung itu tak memiliki masalah terkait dengan pernapasan, tetapi Elijah tahu jika kekuatannya tak akan berlangsung lama. Permukaan lautan yang menggelap dan kehilangan warna birunya menandakan senja telah berada di batas akhir. Cepat atau lambat, bulan akan muncul, kecuali badai mendadak hadir dan menyembunyikan bulan di balik awan-gemapan pekatnya. Namun, hal itu sepertinya tak akan mungkin terjadi, mengingat hari yang terlampau cerah. Lorelie tak akan bertahan lama dengan siripnya.
Maka, dengan panik, Elijah berenang ke arah si gadis duyung. Meski, lagi-lagi ombak menggulungnya menjauh, ia tak menyerah. Pada kali ketiga, pangeran peri itu akhirnya berhasil mengikis sedikit jarak di antara mereka. Namun, agaknya si gadis duyung masih tak menyadari perjuangannya. Alih-alih menyongsongnya, Lorelie malah berenang menjauh.
"Lorelie, kemari. Malam akan segera tiba!" Elijah berteriak di antara riak lautan yang lagi-lagi terminum olehnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, dan membelalak begitu menyadari situasi.
Lorelie bukan tak mendengar panggilannya. Akan tetapi, si gadis duyung sengaja tak mengacuhkannya karena memiliki rencana lain untuk mendekati Gloom, yang jika dilihat dari sisi mana pun amatlah berisiko. Elijah tak dapat membiarkan kebodohan dan kenekatan menuntun si gadis duyung.
"Lorelie. Apa kau sudah gila?! Kau bisa saja tenggelam jika tentakel Gloom mengenaimu!" Elijah mempercepat renangnya saat gelombang tak menyapu ke arahnya.
Teriakannya ditelan gemuruh lautan dan embusan angin. Namun, di luar dugaannya, Lorelie lantas menoleh. Tubuh si gadis duyung terdorong dari tujuannya dan malah mendekat ke arah Elijah.
"Gloom harus dihentikan!" balasnya berteriak.
Elijah menggeleng seraya meraih pergelangan tangan si gadis duyung, setengah memaksa. Jarak mereka kini telah terkikis. Sebuah gulungan ombak besar membawa Elijah berenang mendekati Lorelie dengan mudah. Namun, jika mereka tak saling terikat, bisa saja gelombang memisahkan mereka lagi.
"Tidak akan bisa. Gloom tak bisa mendengarmu. Sementara, hari sudah mulai gelap. Kita harus menuju daratan.
"Para siren menyerangnya," bantah Lorelie keras kepala, sembari berusaha meraih kembali kebebasan pergelangan tangannya.
Elijah mencengkeram semakin kuat, bahkan hingga membuat Lorelie berteriak gusar. Pangeran peri itu mengabaikannya, keselamatan si gadis duyung itu jauh lebih penting sekarang.
"Lepaskan aku!" Lorelie mendesis marah. Namun, bagi Elijah kemarahan itu sungguh bukan apa-apa.
"Kelak kau akan berterima kasih padaku."
Elijah lantas merengkuh tubuh si gadis duyung dan mendekatkannya ke dalam pelukan. Kemudian, susah payah Elijah berenang melawan gelombang, menjauhi Bloom yang masih bergerak gusar di tengah lautan. Dalam rengkuhannya Lorelie berteriak hingga suaranya nyaris habis dan terus menggeliat liar. Kedua lengan si gadis duyung terulur ke arah sang Kraken seolah berusaha menggapainya dari kejauhan.
Gloom kembali meraung. Dari sisi yang tak terlihat, agaknya sesosok siren menyerang makhluk besar itu lagi. Tentakelnya semakin bergerak gusar. Salah satu tentakelnya lantas terangkat ke udara hingga membawa sejumlah besar air yang kemudian menciptakan gelombang besar. Gelombang itu lantas menampar tubuh Elijah dan Lorelie menjauh memasuki wilayah berkabut.
Elijah mengeratkan rengkuhannya pada pinggang ramping si gadis duyung, sementara Lorelie tak lagi berontak. Dalam hati, sang pangeran peri bersyukur karena gelombang besar itu tanpa sengaja telah membawanya mendekati pesisir, sedikit menjauh dari lautan yang bergolak.
Akan tetapi, pemandangan Borbounaisse yang terombang-ambing di tengah lautan tetap meresahkan hatinya. Belum lagi rekan-rekan sesama awak kapal yang menumpang dalam sekoci yang sama sekali tak terlihat sejauh mata memandang. Di tengah lamunan dan gelombang lautan yang menerpa wajahnya, tiba-tiba Lorelie yang bergeming di dalam cengkeraman Elijah buka suara.
"Bloom akan menghancurkan kapal kalian," tuturnya setengah berteriak.
Elijah nyaris saja tergelak jika saja ia tak ingat bahwa mereka sedang mengarungi lautan dan sedikit saja membuka mulut rasa asin akan segera menyergap indra pengecapnya. "Borbounaisse tidak selemah itu," bantahnya.
"Dan, Gloom sebesar itu." Lorelie terdengar tak mau kalah.
Jika dalam keadaan normal, Elijah barangkali akan segera tersulut emosi demi mendengar sahutan keras kepala si gadis duyung. Namun, di saat seperti ini tentunya ia harus menahan diri. "Awak kapal yang tersisa akan menjauhkan rumah mereka dari kebrutalan Gloom," sahutnya lagi. Rupanya Elijah tidak tahan untuk diam begitu saja.
Tubuh Lorelie sedikit menegang di dalam rengkuhan ketat Elijah. Bahkan tanpa melihat wajahnya, Elijah tahu jika gadis duyung itu tengah memendam sedikit kemarahan padanya. "Bagaimana dengan para awak kapal di sekoci?" Suara gadis duyung itu terdengar tajam dan sinis.
Elijah memuntahkan sedikit air laut yang tanpa sengaja tertelan saat ia berbicara. Namun, kali ini pun ia tak dapat menahan diri untuk tidak menjawab Lorelie. "Kau ingin bertengkar denganku di saat seperti ini?" Suaranya meninggi di tengah-tengah napas yang tersengal, meski masih kalah jauh dari deru ombak yang melingkupi mereka.
Lorelie tidak menjawabnya lagi. Akan tetapi, tubuh si gadis duyung bergerak liar sebagai respon. "Gloom harus diingatkan!" bantahnya.
"Aku tidak ingin kau mati tenggelam!" bentak Elijah. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Lorelie dengan kasar hingga gadis itu terdiam.
Dengan gerakan pelan, Lorelie lantas menoleh padanya, mendelik. Meski jarak mereka kini sangat dekat, wajah pucat itu menunjukkan raut tidak senang yang kentara. Dalam gerakan cepat bibir merah si gadis duyung membuka seolah akan menyemburkan umpatan saat sebuah ombak besar tiba-tiba menghantam ke arah mereka.
Elijah dan Lorelie serempak berteriak. Namun, mereka sama sekali tak dapat menghindar saat kegelapan yang dingin dan asin melingkupi mereka. Kedua makhluk itu saling mengeratkan rengkuhan mereka. Dalam sekejap, lautan lantas merenggut kesadaran mereka.
🌊🌊🌊
Elijah terbangun diiringi batuk hebat. Air menyembur dari mulutnya dalam jumlah yang cukup banyak. Punggungnya refleks terangkat saat ia memuntahkan sejumlah air ke samping. Bau asin samar masih meliputi penghidunya, sementara sejumlah kecil butiran pasir bersarang dalam mulutnya, yang kemudian ia muntahkan.
Pening samar menyerang kedua pelipisnya sesaat sebelum kesadarannya terkumpul sempurna. Hal pertama yang tertangkap netranya adalah wajah cantik Lorelie yang tak sadarkan diri berbaring di sisinya menindih bagian atas lengannya. Saat Elijah berusaha menarik lengannya, tubuh si gadis duyung menggeliat pelan hingga membuat sang pangeran peri urung melakukannya.
Elijah kembali membaringkan tubuhnya pada pasir yang setengah basah. Mata sang pangeran menerawang pada langit gelap berbintang yang menjadi atapnya. Sedetik kemudian ia menyadari segala sesuatu yang baru saja dialaminya dan bangkit dalam gerakan cepat. Kepala Lorelie yang masih terkulai lemah, diletakkannya perlahan di atas pasir.
Sang pangeran peri lantas mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dan mendapati pantai temaram dengan pasir putih yang seolah bercahaya diterpa cahaya bulan. Ia tak dapat melihat dengan jelas, tetapi beberapa sosok peri elf bergelimpangan nyaris di sepanjang pesisir pantai itu. Pandangannya lantas teralih ke tengah lautan yang terlihat tenang dengan gulungan ombak yang tak terlalu besar. Namun, bahkan di dalam kegelapan, Elijah dapat melihat siluet makhluk besar berdiam di tengah lautan dalam kabut. Gloom, masih di sana walaupun telah lebih tenang daripada sebelumnya. Suara lenguhan pilunya bahkan terdengar samar-samar menyapa pendengaran Elijah, terbawa oleh deru angin malam.
Pandangan Elijah lantas teralih pada peri perempuan yang tergeletak tak sadarkan diri di sisinya. Gaun putih selututnya yang basah seketika membuat pupil mata Elijah melebar. Pandangannya bergulir pada sepasang tungkai pucat ramping di balik gaun itu. Serta-merta Elijah mengembuskan napas lega. Ia berhasil menyelamatkan si gadis duyung tepat pada waktunya.
Suara langkah tergopoh menapak pasir yang datang mendekatinya memecah atensi Elijah. Peri laki-laki itu menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati Bagherra dalam kondisi yang mengenaskan dan setengah basah mendatanginya. Bagherra lantas berlutut di sampingnya, di sebelah Lorelie yang tak sadarkan diri.
"Apakah dia baik-baik saja?" Dengan lancang Bagherra mengulurkan salah satu tangannya untuk menyentuh wajah Lorelie. Wajahnya terlihat khawatir. Namun, belum sampai jari-jemarinya menjejak pada kulit pucat sang peri, Elijah segera menepis tangannya kasar.
Hal itu sontak membuat Bagherra mengangkat wajah dengan kaget. Pandangannya kini bertemu dengan tatapan nyalang Elijah. Dalam sedetik yang terasa sangat lama dan dipenuhi aura menegangkan, mereka saling tatap dan seolah saling mengumpat serta memperingatkan satu sama lain.
"Aku hanya memastikan jika dia baik-baik saja." Akhirnya Bagherra mengalah. Ia menarik kembali lengannya seraya duduk di atas pasir setengah basah di samping Lorelie.
"Dia baik-baik saja," jawab Elijah ketus.
*Benarkah?" Sepertinya dia belum sadarkan diri," balas Bagherra sembari menyelidiki penampilan Lolerie dengan tatapannya.
Elijah mendengkus kasar. "Lebih baik kau perhatikan dirimu sendiri."
"Aku baik-baik saja." Emosi Bagherra agaknya mulai tersulut. Ia menjawab dengan tak kalah ketus. "Aku akan merawat Lorelie---
"Kau siapanya?!"
Bagherra tersentak saat Elijah tiba-tiba memotong ucapannya. "Kami sama-sama berasal dari Agrodimor." Peri laki-laki itu kembali mengulurkan lengannya hendak meraih Lorelie yang lagi-lagi ditepis kasar oleh Elijah. Mereka lantas saling bertatapan sengit untuk beberapa saat lamanya hingga sebuah suara lain terdengar.
Suara kekehan parau yang familier itu mendekat dan seketika mengendurkan ketegangan di antara mereka. Elijah dan Bagherra sontak menoleh ke asal suara. Beberapa langkah dari tempat mereka berdiam, sesosok elf berjalan terpincang-pincang di bawah temaram bulan. Mulanya mereka bersikap waspada, tetapi perlahan cahaya rembulan dan jarak yang terkikis akhirnya mengungkap identitas sosok itu.
"Kapten?" Elijah menyapa sosok itu penuh kelegaan. Sosok lain berjalan dalam kegelapan di tepat di belakang sang kapten. Tubuh besarnya menjulang, membuat Elijah langsung dapat mengenalinya. "Rage!" sapanya kemudian.
"Aku senang kalian selamat, meski aku sungguh tak mengharapkan untuk melihat drama percintaan bodoh kalian," ucap sang kapten sarkas sembari terkekeh pelan. Rage, yang masih sediam biasa, berjalan tertunduk di belakangnya.
Elijah mengernyit tak senang. "Ini tidak seperti yang kau pikirkan," bantahnya.
" Kau tidak perlu menjelaskan. Sikapmu telah sangat jelas." Senyum lebar mengembang di bibir Tribal yang pecah-pecah. Namun, sedetik kemudian senyum itu mendadak hilang.
Wajah sang kapten menjadi muram seketika. Tribal mengembuskan napas panjang. "Aku kehilangan 6 awak kapal dari sekoci. Dan, sekarang, Borbounaisse tak dapat menepi," keluhnya dengan nada getir. Ia lantas mendudukkan bokongnya tanpa beban ke atas gundukan pasir basah di sebelah Bagherra.
"Apa?!" Elijah dan Bagherra sontak memekik.
"Aku mengalami kerugian besar." Tribal menggeleng frustrasi dalam gerakan pelan. Sementara, Rage mengelus punggung sang kapten sekilas guna memberikan dukungan, sebelum duduk di belakang Tribal.
"Kita semua mengalaminya," timpal Elijah.
"Para siren sudah pergi?" Bagherra menyela dengan tampang tak berdosa. Sementara, Tribal dan Elijah tampak saling bertukar pandang.
"Mereka telah pergi, tetapi kapan pun mereka dapat kembali sesuka hati."
Elijah dan Bagherra terdiam. Setelah saling lirik dalam kecamuk pikiran masing-masing.
Beberapa saat kemudian, Elijah berdeham. "Jadi, apa kau masih mau melanjutkan misi ini, Kapten?"
Tribal mengembuskan napas panjang. "Tentu saja," sahutnya cepat. "Aku tidak mau kehilangan sumber pemasukan lagi. Kita sudah sejauh ini. Kita hanya perlu mendaki ke atas, bukan?" Tatapan sang kapten teralih pada pemandangan di kejauhan hutan itu.
"Misi ini sudah memakan cukup banyak korban sejauh ini, Kapten." Elijah berucap skeptis berharap Tribal akan mempertimbangkan pembatalan perjalanan mereka. Elijah tak dapat membayangkan kengerian seperti apa lagi yang akan mereka hadapi saat mendaki puncak. Para leluhur Avery saja tak satu pun yang pernah menjejak ke pulau itu. Hal itu pastinya bukan tanpa alasan, pasti ada sesuatu yang mengerikan atau bahkan tak terkalahkan yang menjaga tempat itu. Elijah menggeleng pelan, seketika saja ia menyesali keputusannya pernah menyetujui perjalanan ini.
Namun, reaksi sang kapten benar-benar di luar dugaanya. Wajah Tribal mendadak mengelam, bahkan sebelum sang pangeran peri sempat mengedip, pada detik berikutnya, Tribal telah menghambur ke arahnya dan mencengkeram kerah tuniknya dengan kasar. Sang kapten mendekatkan wajahnya dengan tatapan melotot.
"Jangan berharap bahwa misi ini akan dibatalkan, Elijah. Aku menginginkan harta itu dan kau harus membawaku ke sana!" geramnya.
"Hei kalian, tenanglah!"
Bagherra beranjak dari posisinya dan mencoba memisahkan kedua peri yang tengah bersitegang itu. Namun, alih-alih menenangkan keadaan, Bagherra justru harus menerima bogem salah sasaran dari Tribal. Tubuh peri laki-laki itu akhirnya jatuh terhuyung menghantam pasir basah beberapa depa di belakangnya. Peristiwa itu sontak membuat tersulutnya emosi Bagherra. Peri laki-laki itu lantas bangkit dengan cepat sembari menepis pasir dari jubah dan tuniknya kasar. Ia lantas berlari ke arah Tribal dan menerjangnya sebelum sang kapten sempat menghindar.
Kedua peri laki-laki itu lantas berguling di atas pasir. Tribal dan Bagherra bergantian melayangkan tinjuan satu sama lain sembari berteriak. Beberapa awak kapal yang telah sadar dan bangkit dari posisi mereka masing-masing, kemudian berkerumun di sekitar kedua peri yang berupaya saling melukai itu.
Elijah bangkit dari posisinya sambil mendengkus kasar. "Kalian berdua, hentikan!"
Akan tetapi, baik Tribal maupun Elijah sama-sama tak mengacuhkannya. Sang pangeran peri lantas mencengkeram punggung Tribal untuk memisahkannya dari Bagherra. Dengan kasar sang kapten menepisnya hingga Elijah terhuyung mundur. Di sisi lain, pada saat bersamaan Rage lantas menghambur ke arah Bagherra untuk menarik peri laki-laki itu mundur. Demi melihat itu, Elijah kembali mengukuhkan pijakannya pada pasir untuk melakukan hal yang sama terhadap Tribal. Pada akhirnya kedua peri itu pada akhirnya dapat dipisahkan, setelah masing-masing mereka jatuh berdebum menghantam pasir basah. Keheningan malam seketika terusik oleh kericuhan para awak kapal Borbounaisse.
Namun, di antara suara-suara itu, suara Lorelie sontak membungkam teriakan mereka. Si gadis. Peri perempuan itu rupanya telah sadar dan lantas berdiri menantang lautan hingga ombak sedikit mengenai kakinya. Gaun putihnya berkibar tertiup angin berpadu dengan surai merahnya yang setengah basah.
Elijah membelalak begitu menyadari apa yang hendak dilakukan peri perempuan itu. Dengan langkah cepat dan sigap, ia berlari menghampiri Lorelie. Bersamaan dengan itu, teriakan peri perempuan itu kembali bergaung untuk yang kedua kali dengan lebih nyaring.
"Gloom, aku di sini!"
Dari kejauhan, bayangan hitam besar di tengah laut terlihat bergerak, berbalik pelan. Di saat bersamaan, lautan mulai bergolak. Ombak besar bergulung-gulung menghantam pesisir. Semakin lama semakin besar. Saat itu, Elijah tahu persis apa yang akan terjadi setelahnya. Lengannya cepat memeluk Lorelie dari belakang, sementara lenguhan Gloom menyahut di kejauhan.
Dalam napas memburu dan jantung berdentum panik, peri laki-laki itu lantas berteriak lantak pada para awak kapal di pesisir. "Semuanya, cepat lari ke bukit sekarang!"
Pontianak, 04 Desember 2020 pukul 21:27 wib.
Dear reader, maaf telat banget update karena ada kesibukan di dunia nyata. Terima kasih telah mampir dan mendukung karya ini yaa, semoga sehat selalu 😍🤗 untuk mendapatkan info seputar cerita-ceritaku di wattpad, bisa kunjungi Ig: zuraida.thamrin 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top