22. 🏞️ Phantom Enclave
Borbounaisse terus berlayar, meski kesedihan dan trauma masih meliputi para awak kapal, perjalanan mereka akan terus berlanjut. Sebagaimana rencana awal yang telah porak-poranda, mereka tetap akan menuju Phantom Enclave. Selain, karena pulau itu merupakan pulau terdekat dengan The Infinite Haven, kerugian besar yang diderita Tribal membuat obsesinya terhadap The Mighty Mountain kian menjadi-jadi. Sebagian besar awak kapal yang tersisa, tak punya pilihan lain selain menyetujui keinginan sang kapten.
Bagi Elijah, terus melanjutkan perjalanan adalah keputusan yang terbaik. Selain karena keinginan Tribal, pangeran peri itu juga punya tujuan sendiri. Dalam sebuah catatan, konon katanya The Mighty Mountain tak hanya menyimpan harta, tetapi juga sebuah senjata digdaya. Dendam yang perlahan menggerogoti hatinya membuat sang peri bertekad untuk menguasai senjata itu.
Selain senjata, percakapan Elijah dengan sang kapten di buritan tentang material sumber kekuatan Borbounaisse terus terngiang di kepala Elijah sepanjang malam. Setelah dapat menguasai senjata, ia juga harus memiliki kemampuan bertahan untuk mengalahkan sang penyihir lautan.
Bahkan, saat sebagian awak kapal telah berkumpul di ruang makan yang telah diubah menjadi ruangan rapat besar sementara, Elijah masih saja tak dapat memfokuskan pikirannya. Pandangannya terus-menerus terlempar ke arah lautan gelap yang mengintip dari celah pintu geladak yang tak tertutup sempurna. Bunyi engsel pintu yang telah lama tak diminyaki, berderit seirama tiupan angin laut.
"ELIJAH!"
Elijah tersentak dan refleks menoleh pada Tribal yang berdiri di ujung meja. Angan-angannya pupus saat bertatapan dengan netra karamel milik sang kapten. Berpasang-pasangan mata di ruangan itu pun turut terpaku padanya.
Tribal berdecak kesal karena tak kunjung beroleh sahutan. Sang kapten melipat kedua lengannya di depan dada dengan wajah masam. "Kau tidak mendengarku dari tadi," keluhnya.
"Maafkan aku, Kapten. Aku ..."
"Sebentar lagi kita akan memasuki kawasan para siren di mana harta karun keluargamu tersembunyi. Dan, kau bahkan mengabaikan pertanyaan-pertanyaanku seputar cara mencapai The Mighty Mountain. Kau pikir kita sedang bermain-main di sini, Pangeran?!" Tribal menggebrak meja kayu panjang di hadapannya hingga Elijah bahkan dapat merasakan getaran di bawah telapak tangannya yang berada di atas meja.
Borbounaisse memang sedang berkabung, tetapi tak satu awak kapal pun yang agaknya terlarut dalam kesedihan. Semuanya tetap bergerak, selama kendaraan besi yang mereka tumpangi bergerak. Pulau terdekat dari The Infinite Haven adalah pulau yang dihuni para siren, pulau penuh harta karun, Phantom Enclave yang menjadi tujuan mereka. Namun, semua persiapan yang telah direncanakan sebelumnya menjadi berantakan akibat penyerangan Andromeda Aerendyl. Selain kehilangan banyak awak kapal, mereka juga mengalami kerugian materil. Terlebih karena harta dan senjata simpanan Tribal di pulau itu hancur dan hilang diterjang badai.
"Kita telah kehilangan Lorelie satu-satunya sosok yang memahami bahasa para siren. Kita kehilangan sumber informasi dan jarak kita dengan pulau mengerikan itu hanya tersisa beberapa jam lagi." Tribal mengembuskan napas berat. Pandangannya mengawang menatap langit-langit geladak. Lampu hias paling besar bergoyang-goyang seirama gelombang yang menerpa sisi-sisi luar kapal.
Dalam sekali kedipan mata sang kapten lantas menurunkan pandangan, menyisir wajah-wajah awak kapalnya. "Adakah yang bisa memberiku solusi?" Suaranya lantang bergema dalam ruang hening itu, tetapi keputusasaan terdengar kentara dalam getarnya.
Di samping Elijah, Bagherra Thallan berdeham kemudian mengangkat sebelah tangannya ke udara, memohon izin untuk bicara. Pandangan Tribal berhenti padanya, sebelum mengangguk cepat. "Terima kasih, Kapten." Bagherra bangkit susah payah karena sebelah kakinya yang masih terluka. "Kami para Kesatria dari Agrodimor memiliki beberapa pengalaman yang telah dituliskan oleh para leluhur kami di dalam kitab-kitab kedigdayaan. Dan, aku pernah membaca beberapa di antaranya."
Suara bisik-bisik samar seketika memenuhi ruangan. Para kru awak kapal menyorot pada peri laki-laki itu dengan keingintahuan. Begitu pula halnya dengan Elijah.
Namun, si sisi lain meja kayu, Raja Fleur berdecih keras seraya memalingkan wajah dari Bagherra. "Jangan dengarkan si penghianat itu!" ujarnya sedikit berang. Keadaannya tak jauh lebih baik dari Bagherra. Pakaiannya compang-camping. Kakinya patah dan salah satu matanya terluka cukup parah hingga hampir tak berfungsi lagi. Di balik semua kemalangan yang menimpanya, satu hal yang tak berubah yaitu arogansi dan kesinisannya terhadap orang lain.
"Diamlah, Fleur!" desis Tribal. Mendengar itu, Raja Fleur bungkam, mencoba menahan diri sekuat tenaga. Namun, tatapan penuh kebencian tetap ia hunuskan pada mantan orang kepercayaannya, Bagherra.
Bagherra menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. Air mukanya yang tenang terlihat tak begitu terpengaruh dengan keberadaan dan tingkah Raja Fleur. "Begitu mendekati pulau itu, lagu-lagu para siren akan langsung menyambut pendengaran kita. Mereka dapat mengetahui bahkan dari kejauhan jika makhluk lain memasuki wilayahnya. Lagu-lagu itu akan mempengaruhi seluruh makhluk, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, seharusnya saat ini kita telah mengambil tindakan apa yang seharusnya kita lakukan agar kita dapat bertahan di atas kapal selama mungkin."
Kapten Tribal sedikit membungkukkan badannya, sementara dua lengannya bertumpu pada sisi meja. Rahangnya mengeras, sementara sepasang netra karamelnya menatap tajam pada Bagherra. "Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk bertahan lebih lama di atas kapal?"
"Berdasarkan apa yang pernah kubaca dari catatan para kesatria terdahulu di Agrodimor, maka masing-masing dari kita harus mengikat diri pada tiang-tiang kapal dan menyumbat telinga. Hanya itulah jalan satu-satunya agar bertahan dari rayuan nyanyian para siren."
Kasak-kusuk mulai memenuhi geladak. Sementara, Bagherra masih menanti respon Tribal yang menatapnya dengan sorot tak percaya.
"Itu terdengar seperti cara pengecut," komentar Elijah sembari menyunggingkan senyuman miring.
Bagherra tampak sedikit tersinggung dengan ucapan tersebut. "Katakan cara yang menurutmu lebih baik untuk dilakukan?"
"Bagaimana dengan sihir? Sebenarnya, selain itu, aku memiliki sebuah rencana." lontar Elijah. Gumaman para awak kapal terdengar semakin keras, masing-masing memberi pertimbangan terhadap dua usul berbeda yang telah dilontarkan. Sementara, di ujung meja panjang, Tribal bergeming dengan kening berkerut.
Raja Fleur mendadak terbahak terlampau keras hingga seluruh mata kini tertuju padanya. "Kalian pikir kalian berhadapan dengan makhluk sejenis duyung, hah?" Jika itu yang kalian pikirkan, maka kalian salah besar! Kalian sama sekali tak mengenal para siren. Dan kalian terlalu menganggap remeh."
Perlahan-lahan hiruk-pikik di geladak mereda, berganti dengan wajah-wajah yang menegang. Kata-kata Raja Fleur barusan seolah menohok diri mereka masing-masing.
"Kerajaan kami bertetangga dengan pulau yang mereka jaga selama ratusan tahun. Setidaknya secara harfiah seperti itu meski Faeseafic membentang di antara kami. Mereka kuat. Mereka licik. Nyanyian mereka mematikan. Dan mereka menguasai sihir hitam dengan sangat baik. Satu-satunya kelemahan mereka adalah jumlah!"
"Jumlah?"
"Benar, jumlah." Raja Fleur mengangkat dagunya yang memar. Meski hanya sesaat dan dalam porsi kecil, tetapi ia dapat merasakan atensi dan kekuasaan mengalirinya saat para awak kapal menatapnya dengan keingintahuan. "Setahuku, jumlah mereka hanya tiga. Sang Penyihir Lautan adalah pimpinannya dan hampir setiap waktu sang penyihir tidak pernah ada di Phantom Enclave."
"Hah! Tiga ekor dan kita sekalut ini!" Tribal terbahak. Namun, sedetik kemudian sudut-sudut bibirnya mengerut turun. Matanya menatap Fleur nyalang. "Jangan menakut-nakuti kami, Fleur. Kau pikir aku tak tahu permainanmu. Ingat! Kau adalah bagian dari Borbounaisse sekarang, seorang tawanan lemah yang mengharap belas kasihanku. Jadi jangan berpikir kau akan selamat jika kami binasa! Hentikan omong kosongmu dan carilah cara agar kita dapat menghadapi para siren."
"Aku tidak menakut-nakutimu, Kapten. Aku hanya menyampaikan apa yang kuketahui. Menuju Phantom Enclave dengan awak kapal seadanya dan persiapan nihil adalah misi bunuh diri yang paling bodoh! Lagi pula, siapa yang dapat memastikan jika The Mighty Mountain itu benar-benar ada." Fleur melirik Elijah saat melontarkan sindiran di akhir kalimatnya.
Elijah menggeram, lalu sontak menerjang ke depan meja hendak mencapai Raja Fleur. Bagherra dan beberapa awak kapal menahan tubuhnya. Andai saja tak seorang pun yang menghalanginya, peri laki-laki itu barangkali telah menghajar sang raja.
"CUKUP!" Tribal menghantam meja panjang dengan tangan besinya. Sang kapten menatap nyalang Fleur dan Elijah bergantian. Wajahnya keruh, barangkali karena ritual berpikirnya telah dirusak oleh pertentangan kedua sosok tersebut.
Setelah keadaan hening dan masing-masing awak kapal dengan tertib kembali ke posisinya masing-masing, Tribal mulai angkat suara. "Untuk menghadapi tiga siren saja, aku rasa kita tak perlu mengikat diri di tiang layar. Namun, aku setuju jika kita harus memakai penyumbat telinga agar suara nyanyian mereka tak terdengar. Menurutku, Borbounaisse juga harus berada sejauh mungkin dari pesisir tempat mereka berada. Jika keadaan memungkinkan, kita akan memantau kebiasaan mereka terlebih dahulu selama beberapa hari, sebelum memasuki pulau. Untuk itu, kita perlu umpan."
"Para siren tidak bisa diawasi. Mereka akan mengetahui terlebih dahulu keberadaan kita, bahkan sebelum kapal ini melewati kabut yang menyelubungi Phantom Enclave," potong Bagherra mengingatkan.
Tribal mengacak rambutnya frustasi, sebelum menatap Bagherra. "Kau bersedia jadi tumbal?"
Bagherra bungkam. Menunduk dari tatapan bengis sang kapten hingga suara tawa miris terdengar dari bibir Tribal yang nyaris berputus asa.
Netra karamel Tribal lantas kembali menjelajahi wajah-wajah tegang para awak kapal. Kata-kata 'umpan' benar-benar memberikan efek seumpama sengatan ubur-ubur, mengejutkan dan beracun hingga membuat semuanya menghindar. Netra sang kapten kemudian berhenti pada Elijah, satu dari sedikit awak kapal yang tak menundukkan pandangan.
"Elijah---
"Aku memiliki sebuah rencana, Kapten," potong sang pangeran peri saat Tribal kembali hendak membuka mulut. Dari sorot mata sang kapten, ia dapat menerka jika peri laki-laki itu akan menunjuknya sebagai umpan. Dia memahami permainan ini, karenanya ia harus waspada.
"Katakan!"
Elijah menarik salah satu sudut bibirnya. "Selain umpan, kita juga perlu penyusup. Kita memerlukan dua kelompok penting, yaitu para pengalih perhatian dan para penyelinap yang akan menyelinap ke Phantom Enclave. "
Elijah tentu saja tidak sebodoh yang Tribal bayangkan, dengan begitu saja menerima usulan sang kapten yang menjadikannya umpan. Elijah telah belajar untuk tidak mudah percaya dengan siapa pun, terutama Tribal. Bahkan, pada sosok yang telah menyelamatkan nyawanya sekali pun.
Di kejauhan, Elijah dapat mengamati perubahan raut wajah Tribal yang mengelam. Rahangnya mengeras dan dari gigi-giginya yang mengatup erat, Elijah seolah dapat mendengar suara geraman tertahan sang kapten.
"Aku rasa dia benar." Rage menimpali. Peri laki-laki bertubuh bongsor yang selalu bungkam itu akhirnya membuka suara. Ia mengangguk antusias, meski wajahnya didominasi oleh memar dan bekas luka. Responnya membuat wajah Tribal semakin masam.
Di sisi lain, ucapan Rage barusan justru diikuti ungkapan persetujuan oleh sebagian besar awak kapal. Geladak menjadi riuh dan ketegangan yang semula mengungkung suasana perlahan mengendur. Mereka memiliki pengharapan atas strategi yang Elijah sarankan.
Namun, hal itu tak berlangsung lama. Tepat saat Tribal mulai mengangkat sebelah tangannya untuk kembali menenangkan para awak kapal, Thumblelily menyeruak masuk melewati celah pintu geladak sambil berteriak panik. Wajah pucatnya yang ketakutan segera saja menarik atensi seluruh penjuru ruang makan.
"Ada apa?" Tribal bertanya dengan suara tinggi. Wajahnya yang seketika memerah menunjukkan bahwa dia mungkin bisa meledak kapan saja.
Thumblelily berhenti dan membiarkan tubuh kecilnya mengambang tepat di depan wajah sang kapten. Susah payah, peri kecil itu mengatur napasnya yang memburu. "Sss-ssiren. Pu-pulau para sss-ssiiren sudah terlihat!" Saat kata-kata akhirnya berhasil lolos, tubuh kecil peri pixie itu mendadak tak seimbang, tetapi dengan sigap Tribal menangkapnya.
Kepanikan kemudian melanda geladak. Kursi-kursi berjatuhan saat sebagian awak kapal beranjak panik dari posisinya.
Di antara keriuhan itu, Elijah berjalan lincah melewati meja-meja dan kursi-kursi yang porak-poranda, mendekati Tribal. "Putuskanlah, Kapten," desaknya.
Tribal mendengkus. Sebelum membuka mulutnya dengan enggan, "Baiklah, kita lakukan sesuai rencanamu."
🏞️🏞️🏞️
Phantom Enclave adalah pulau yang paling dekat dengan The Infinite Haven, sehingga mau tidak mau, tempat itulah yang menjadi tujuan Lorelie untuk singgah sebelum malam tiba. Kecepatan renang dan siripnya yang lincah, bahkan saat melawan arus Faeseafic, membuatnya dapat berenang dengan sangat cepat sehingga jarak dua hari menggunakan kapal menuju pulau para Siren itu dapat dipangkas menjadi sehari. Sebelum matahari terbenam dan siripnya berubah menjadi sepasang tungkai, Lorelie akhirnya berhasil mencapai wilayah kekuasaan para siren.
Untuk kedua kalinya, Lorelie kembali melihat sosok para Siren yang beberapa tahun lalu berhasil memporak-porandakan Agrodimor. Tiga sosok cantik nan kejam yang sekilas terlihat mirip para duyung itu tengah bertengger di atas bebatuan, tak jauh dari pesisir Phantom Enclave. Mereka memiliki surai setengah basah yang berwarna menyala dengan sirip yang juga berwarna mencolok jika dibandingkan dengan duyung. Kulit mereka bersisik dan cenderung lebih pucat kehijauan. Bagian yang paling mengerikan di antara seluruh penampilannya adalah sepasang garis-garis insang berkedut yang berada di leher mereka dan sepasang netra berbeda warna yang terlalu mencolok untuk diabaikan.
Lorelie merasakan ketegangan merambati sekujur tubuh hingga siripnya begitu ia memasuki kawasan air laut yang berwarna lebih gelap. Sihir para siren menyebabkan wilayah kekuasaannya menjadi hitam dan suram.
Bahkan, dalam jarak yang masih terlampau jauh di bawah permukaan laut, ketiga siren itu agaknya dapat merasakan kehadiran Lorelie. Mereka serta merta mulai melantunkan nyanyian pembunuh.
Air laut di sekitar Lorelie mulai beriak lebih kencang. Sesuatu tak kasat mata seolah menuntun gerakan dan arah renang si gadis duyung menuju permukaan Faeseafic yang menggelap. Namun, ternyata Lorelie sama sekali tak terpengaruh oleh nyanyian. Ia hanya dituntun oleh rasa penasaran.
Saat separuh kepalanya berhasil muncul ke permukaan, Lorelie tahu jika bukan dirinya yang sedang menjadi target para pembunuh cantik berdarah dingin itu, melainkan sesuatu yang datang dari balik kabut. Lorelie mengikuti arah pandang ketiga siren itu. Iris matanya membulat sempurna saat mendapati apa yang bersembunyi di balik kabut di kejauhan.
"Elijah!" Lorelie memekik kaget dan sedetik kemudian kembali menyelam di kedalaman Faeseafic menuju ke arah kabut. Ia harus segera memperingatkan para bajak laut itu, sebelum mereka mati sia-sia.
Pontianak, 29 Oktober 2020
Terima kasih banyak sudah membaca. Maaf jika cerita ini updatenya agak selow soalnya aku punya beberapa naskah yang bakal jatuh tempo muehehehe jadi aku duluin.
Sampai di sini, aku pengen tahu, siapa tokoh favorit kalian di cerita ini?? Para siders juga muncullah dan berikan pendapatmu 😆🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top