21. 🌊 After the Storm

Elijah perlahan membuka mata saat sinar matahari menyusup melalui celah-celah bulu matanya. Sebelah lengannya refleks terangkat menaungi sebagian wajah agar terhindar dari silau. Elijah berusaha menggerakkan tubuhnya yang tertimbun pasir basah di beberapa bagian; terasa lengket dan kasar di permukaan kulitnya. Ia mengerang panjang sebelum menekuk tubuhnya ke arah perut. Untuk yang kesekian  kalinya, Elijah terselamatkan dari kematian.

Bayangan mengenai gelombang besar yang menghantam The Infinite Haven semalam kembali berkelebat dalam ingatan saat Elijah akhirnya berhasil membuka kelopak matanya, mengirimkan rasa sakit yang menjalari sekujur tubuh. Harusnya ia telah mati sekarang mengingat, tetapi bahkan di dalam kegelapan dini hari, Elijah dapat melihat kehadiran sesosok peri lain yang melindunginya. Andai saja tabir tipis tak menguar dari tubuh sang peri misterius, sudah dapat dipastikan jika tubuh Elijah terseret ke tengah lautan atau hancur berkeping-keping diamuk gelombang. Saat sosok peri misterius itu akhirnya menoleh sekilas padanya, Elijah terguncang. Ia mengingatnya, tetapi tak sedikit pun dapat menyebut namanya, seolah ada yang mengunci lidah dan menghilangkan sekeping ingatan dalam kepalanya. Sang pangeran peri merasa jika ia harus mencari tahu sosok misterius itu dan mengurai simpul teka-teki dalam kepalanya.

Lamunan Elijah sontak terpecah berkeping-keping saat sebuah cengkeraman keras melingkar pada salah satu pergelangan tangannya. Peri laki-laki nyaris terlonjak dari posisinya andai saja ia tak melihat siapa gerangan yang melakukannya.

"Rage!" pekiknya sembari bergerak cepat untuk menarik Rage yang sebagian tubuhnya tertimbun pasir basah dan potongan kayu. Peri bertubuh bongsor itu terlihat merintih menahan sakit. Elijah berasumsi jika salah satu kakinya yang tertimbun barangkali terluka, meski belum terlihat olehnya. "Bertahanlah. Aku akan menolongmu," ucapnya menenangkan saat Rage kembali berteriak kesakitan.

Elijah lantas mengendurkan tarikannya pada tubuh berbobot besar itu dan memberi ruang pada Rage agar dapat mengusahakan sendiri pembebasan sebelah kakinya dari benaman pasir. Beberapa menit yang rasanya berlangsung sangat lama, akhirnya Rage berhasil meloloskan kakinya dari pasir. Sekali lagi Rage berteriak kesakitan saat Elijah kemudian membantunya menggeser tubuh ke permukaan pasir yang lebih kering dan rata.

"Kakimu terluka?" Rage mengangguk susah payah, sebelum membaringkan tubuhnya pada permukaan pasir.

"Baiklah, tunggu sebentar di sini, Rage. Aku akan mencari kru kapal Borbounaisse yang lain. Kau akan aman di sini, jadi bertahanlah." Elijah berdiri dan menyisir keadaan sekitar dengan pandangannya.

Pantai itu hancur berantakan hanya dalam waktu satu malam. Timbunan pasir setengah basah ibarat gunung yang tersebar di beberapa sudut pesisir. Pepohon kelapa tumbang, kayu-kayu dan bebatuan yang merupakan serpihan istana Raja Fleur tersebar silang sengkarut di sepanjang pantai. Warna pasir yang menggelap menunjukkan jejak bahwa lautan pernah merendamnya. Tubuh tak bergerak para peri dan sentinel bergelimpangan. Sepertiga tertimbun pasir, sepertiga lagi berada di antara puing-puing reruntuhan istana, dan sepertiga lainnya barangkali telah tertelan Faeseafic.

Embusan angin sepoi-sepoi memainkan surai yang menutupi sebagian kening Elijah saat ia bergerak menyusuri tempat itu. Dari kejauhan Faeseafic terlihat biru dan menenangkan, sungguh berbeda dengan kecamuk gelombang yang menerpa mereka tadi malam. Ombak-ombak kecil berlarian menerpa pasir pantai, membawa pergi serpihan-serpihan kecil bekas amarah sang penyihir lautan. Elijah mengembuskan napas panjang saat bayangan Lorelie hadir di pelupuk matanya, membawa serta kenangan-kenangan yang pernah mereka cipta bersama. Kecemasan perlahan menyusup di dada Elijah, membuatnya menerka-nerka mengenai keadaan si gadis duyung itu saat ini. Namun, tak ada yang dapat ia lakukan selain mendoakan keselamatan Lorelie.

Dengan langkah terseok, Elijah menapaki puing-puing kastel dan gunungan pasir basah. Setiap menemukan tubuh-tubuh kaku yang ia duga sebagai kru kapal Bourbounaisse di sepanjang pencariannya, ia akan mengamati dan membalik tubuh-tubuh mengenaskan itu satu per satu guna mencari tanda-tanda kehidupan.

"Tolong ..." Dari balik puing-puing batu yang baru saja ia lewati terdengar sebuah rintihan lirih.

Elijah menajamkan pendengarannya, melambatkan langkah. Matanya kemudian menangkap sebuah pergerakan di bawah timbunan kayu; sebuah tangan yang terulur dan gemetaran. Dengan bergegas, Elijah mendekati puing-puing itu dan mengintip ke dalamnya. Seberkas cahaya samar memberikan penerangan yang mumpuni baginya untuk mengenali sosok yang butuh pertolongan tersebut.

"Bagherra!" serunya tak percaya.  Sosok yang tertimbun itu tak menyahut.

"Bertahanlah aku akan menolongmu!"

Elijah kembali berdiri mengitari timbunan kayu dan batu di atas Bagherra, seraya menilai kemampuannya untuk menyingkirkan puing-puing tersebut. Elijah lantas mulai bergerak, menurunkan satu per satu puing-puing paling kecil yang dapat ia angkat. Tak ada waktu untuk berpikir lebih lama, sembari berharap datangnya pertolongan.

"Elijah!" Sebuah teriakkan menyapanya dari kejauhan. Peri laki-laki itu sontak membalik tubuh. Seumpama oase yang ia harapkan dalam tandusnya kemalangan ini, sosok Tribal berlari ke arahnya dengan tergopoh-gopoh. Di samping sang bajak laut, Thumblelily terbang cepat mengikutinya.

"Kapten Tribal!" Elijah balas berteriak antusias. Sebuah kelegaan yang teramat besar menyambangi benaknya. Pertolongan yang diharapkan akhirnya benar-benar tiba.

"Kapten, aku senang karena kau terlihat baik-baik saja. Dan ... Kau sama sekali tak terluka," komentar Elijah telah tiba di sisinya. Tanpa sengaja, pandangan sang pangeran peri itu bertemu peri kecil berwajah judes yang terbang mengambang di samping Tribal. Thumblelily memelototinya tak ramah. Namun, Elijah memilih untuk mengabaikan makhluk itu, terlebih ada sesosok peri sekarat yang saat ini sangat membutuhkan pertolongan.

Tribal terkekeh memamerkan gigi emasnya yang berkilau di bawah cahaya matahari pagi. Sementara di saat bersamaan, Elijah mengembuskan napas panjang penuh kelegaan. Setidaknya senyum sang kapten menunjukkan jika kerugian yang ia derita tidak terlalu besar. "Sebagian besar awak kapal telah berkumpul di Borbounaisse, dan sebagian lagi ..." pandangan sang kapten menyisir pesisir pantai yang porak-poranda. Kata-katanya menggantung di udara yang berbau campuran asin dan anyir darah. "Apakah kau melihat Rage?" Senyum sang kapten perlahan meredup.

Giliran Elijah yang menyunggingkan seulas senyum tipis sembari menoleh pada salah satu sudut aman di pesisir. Rage terbaring di sana seraya melambaikan tangannya ke arah sang kapten. Untuk pertama kalinya, Elijah melihat senyum mengembang di wajah bajak laut itu. "Tentu saja," sahutnya mantap. 

Sepasang mata cokelat Tribal berbinar. "Mari kita bawa dia ke kapal untuk berkumpul dengan yang lain!" Sang kapten terlampau bersemangat hingga nyaris menghambur ke arah Rage, tetapi Elijah menahan lengannya lebih dulu. "Ada apa?" tanyanya dengan kening berkerut.

"Ada seseorang yang butuh pertolongan di bawah sini," bisik Elijah sambil melirik puing-puing yang berada di dekat kakinya.

Tribal membelalak kemudian mengintip pada celah besar di antara puing tersebut. Sebuah lengan terangkat lemah dari dalamnya disertai suara erangan pelan. "Kau penghianat Raja Fleur, bukan?" Tribal bertanya pada sosok sekarat di bawah timbunan itu.

"Benar. Dia Bagherra."

Tribal tampak menimbang. Mata karamelnya menelisik pada celah di antara puing-puing. Namun, tak seinci pun ia bergerak untuk menolong sosok tersebut.

"Apa yang kau tunggu, Kapten? tanya Elijah gusar. "Dia bisa mati kapan saja."

Salah satu sudut bibir Kapten Tribal tertarik. Ia lantas berjongkok, mendekatkan wajahnya pada celah agar dapat saling bertatapan dengan Bagherra. "Aku akan mengajukan satu penawaran padamu, Bagherra."

"Apa? Kau keterlaluan Kapten!" Elijah mendesis tak suka.

Tribal mengangkat sebelah tangannya, menginstruksikan Elijah untuk diam sesaat. Dengan wajah kesal sang pangeran peri menurutinya dan menanti tawaran yang akan diajukan sang kapten kepada Bagherra yang sekarat.

"A ...pa ..." Suara lirih dari dalam celah menanggapi pertanyaan Tribal.

"Aku anggap itu sebagai iya. Kami akan menyelamatkanmu jika kau berjanji akan mematuhi dan melakukan apa pun untukku, untuk Bourbounaisse, apakah kau bersedia?" Tribal menaikkan salah satu alisnya. Seringai samar terbit pada bibir tipisnya.

Hening sesaat sebelum sahutan lirih samar yang diucapkan susah payah terdengar dari balik puing. "Ya. A-aku bersedia."

🌊🌊🌊

Di balik sikapnya yang ketus dan wajahnya yang selalu sinis, Thumbelily rupanya sangat berguna dalam situasi semacam itu. Dengan kemampuan penyembuhan yang dia miliki, peri pixie kecil itu dalam sekejab dapat memulihkan kaki Rage yang patah. Dengan bantuan serbuk perinya pula, puing-puing besar dan berat yang menutupi Badherra akhirnya berhasil diangkat. Sementara, dua puluh awak kapal Borbounaisse kemudian berdatangan dari daratan The Infinite Haven, membantu penyisiran pantai. Setelah mengumpulkan beberapa awak kapal yang selamat, mereka segera kembali ke Bourbounaisse. Atas titah sang kapten, Bourbounaisse kembali mengarungi Faeseafic.

Elijah mengembuskan napas lega begitu begitu kakinya menjejak geladak Borbounaisse. Sebagian besar awak kapal telah berkumpul di sana, meski dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Wajah mereka shock, kuyu, serta kelelahan. Penampilan compang-camping dan berdarah-darah. Beruntung luka-luka berat yang mereka alami telah disembuhkan oleh Thumblelily.

Namun, pada sisi lain geladak, terdapat sebuah hamparan tikar kulit yang terhampar cukup luas di mana mayat-mayat awak kapal bergelimpangan dengan kondisi mengenaskan. Mereka adalah para awak kapal yang gugur akibat amukan Penyihir Lautan. Bau busuk dan anyir darah menguar memenuhi udara di seluruh penjuru kapal. Embusan angin laut membawa serta berita kematian itu membaur pada udara asin di Faeseafic sehingga burung-burung pemakan bangkai dan camar berdatangan, berputar di atas geladak dengan mata-mata penuh minat.

Tribal segera mengumpulkan orang-orang setelah ia tiba di Bourbonaisse. Sang kapten tak ingin menunggu lama untuk menyelenggarakan penghormatan terakhir dan upacara 'pemakaman' para bajak laut. Para koki menyediakan anggur dan gelas-gelas serta hidangan seadanya. Segera setelah kapal berlayar, upacara pun segera dimulai.

Kesedihan seketika merambati geladak. Membuat kaki-kaki awak kapal terpaku dalam hening keterpurukan. Demikian pula halnya dengan Elijah, sang pangeran peri menunduk, merapalkan doa penghormatan untuk yang terakhir kalinya kepada para saudara sekaligus kesatria lautan yang telah mendahului. Tak ada isak tangis yang terdengar. Namun, kesedihan bahkan terasa lebih kentara daripada sengatan matahari tengah hari yang menaungi mereka. Setiap hati tengah berkabung dalam kesedihan dan kebanggaan sekaligus; sedih karena kehilangan dan berbangga karena perjuangan yang telah mereka lalui bersama.

"Mereka keluarga kita dan akan selalu kuanggap demikian, meski raga-raga mereka tak menyertai kita lagi, tetapi jiwa-jiwa mereka tetap berada di sini, menyatu dalam geladak, dalam buritan, dalam tiang-tiang layar, menyatu dalam setiap sendi Borbounaisse ... karena mereka adalah keluarga kita." Tribal berseru dengan suara bergetar. Air mata menyembul dari pelupuk matanya. Ia mengangkat gelas anggurnya tinggi-tinggi ke udara, sementara wajahnya tertekuk dalam kesedihan tertahan. Dalam diam, Elijah dan awak kapal lainnya melakukan hal yang sama, sebelum menenggak minuman mereka dalam sekali teguk sebagai bentuk penghormatan terakhir.

Beberapa saat lamanya, mereka hening, bergumul dalam kesedihan masing-masing. Bahkan bagi Elijah, sedikit kenangan dengan para awak kapal yang baru dikenalnya itu telah dapat membuatnya menitikkan air mata. Tribal yang datang menyusulnya di pesisir pantai telah menjadi bukti kuat betapa kapten dan awak kapal Borbounaisse benar-benar menjunjung tinggi persahabatan dan kekluargaan mereka.

Setelah berkabung dan mengheningkan cipta, mereka lantas melarung tubuh-tubuh tak bernyawa itu ke tengah Faeseafic. Bagi kesatria laut, penghormatan terakhir yang dapat mereka miliki atas kematian saat mengarungi lautan adalah dengan kembali ke lautan. Di sanalah mereka menghabiskan hidup dan di sanalah mereka akan kembali, Faeseafic.

🌊🌊🌊

Elijah berdiri termangu di geladak, menatap matahari senja yang perlahan memasuki peraduan. Embusan angin sore memainkan anak-anak rambutnya yang jatuh menutupi kening. Mata birunya menyorot di kejauhan pada gelombang berwarna biru gelap yang bergulung tanpa henti. Tak ada entitas apapun yang terlihat di lautan, mesti ia sangat berharap jika keajaiban mendatangkan Lorelie padanya detik itu juga. Sejak melarung mayar-mayat awak kapal yang nyaris berjumlah lima puluh orang, Borbounaisse lantas bertolak semakin jauh meninggalkan perairan The Infinite Haven.

"Senja memang indah." Tribal mendadak telah berdiri di sampingnya. Mengangsurkan segelas anggur padanya, sementara satu gelas anggur tergenggam di tangan sang kapten untuk dirinya sendiri. Tribal memang selalu terlihat dengan anggur di tangan, tetapi dia tak pernah mabuk.

Elijah menoleh padanya dengan enggan seraya meraih gagang gelas anggur. Menandaskan cairan kemerahan itu dalam sekali teguk, sebelum melemparkan gelasnya ke dalam buih yang membuncah di lautan. Ia berteriak keras hingga suaranya terdengar bagaikan raungan putus asa. Sementara, tanpa bisa ditahan, air bening menyembul dari kedua pelupuknya.

Di sampingnya, Tribal mengembuskan napas panjang. "Hidup memang terkadang susah ditebak. Tak peduli seberapa keras pun kita berusaha. Namun, satu hal yang harus menjadi peganganmu, Pangeran, Jangan pernah berhenti. Menangislah hari hari ini, tetapi jangan lupa tertawa esok hari," ucapnya seraya menenggak anggur. Pandangannya lurus pada jejak buih yang Borbounaisse tinggalkan pada lautan. 

Elijah tersentak dan menoleh pada sang bajak laut. Kata-kata itu seolah menamparnya dengan tangan-tangan tak kasat mata. Jujur saja, Elijah nyaris menyerah. Hidupnya selalu dibayangi kematian dan kehilangan orang-orang yang dia cintai. Ia nyaris saja ingin melombat, bersatu dengan Faeseafic yang barang kali dapat membasuh lelah dan muaknya akan kehidupan. Alih-alih menampilkan sosok yang sinis dalam melihat kehidupan, Tribal justru memiliki pandangan yang optimis. 

Elijah mendengkus. "Aku hanya---

"Oh iya, aku berharap Lorelie baik-baik saja dan kita dapat bertemu dengannya dalam waktu dekat. Aku menyesal dia tak dapat ikut bergabung bersama kita." Tribal menjedanya cepat seolah tak ingin mendengar keluh kesah sang pangeran peri.

Di saat bersamaan, entah mengapa Elijah justru merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya ia tidak perlu berlarut-larut dalam kegundahan yang sedang mengungkungnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tribal, jika ia tidak boleh berhenti hanya karena satu peristiwa yang baru saja menimpanya.Ia masih memiliki tujuan pasti yaitu mematahkan kutukan dan menghancurkan sang penyihir lautan. Seolah mendapatkan ilham dari pikiran tersebut, semangat Elijah pun tersulut.

"Apakah kita akan tetap melanjutkan rencana perjalanan kita? Bagaimana dengan Fleur?"

Tribal terkekeh pelan. "Tentu saja. Setelah seluruh kerugian yang kuderita akibat Fleur, aku harus segerakembali mengisi pundi-pundi kekayaanku." Binar serupa emas kembali terbit di sepasang netra sang bajak laut. Binar yang nyaris Elijah lupakan. Jika dalam keadaan normal, barangkali ia akan muak melihat binar itu. Akan tetapi, dalam keadaan porak-poranda seperti ini, binar pada mata sang kapten bajak laut merupakan pertanda yang melegakan. 

"Aku penasaran bagaimana, Borbounaisse bisa bertahan dalam serangan gelombang Penyihir Lautan dan sama sekali tak terkena imbas?" Elijah akhirnya melontar tanya yang selama beberapa waktu lalu ia pendam sejak menjejakkan kaki kembali ke Borbounaisse.

"Ah, itu." Tribal menyunggingkan senyum asimetris yang kelewat misterius. Gelas anggurnya telah kosong dan diletakkannya di atas pagar kapal begitu saja. Sementara ia kembali meraih sebotol besar anggur yang tutupnya telah terbuka. Ia menenggaknya sesaat sebelum kembali melemparkan pandangan pada Faeseafic yang beriak. "Itulah kenapa Borbounaisse menjadi kapal yang tak terkalahkan di seantero Faeseafic. Gelombang dan sihir sehebat apapun tak akan membuatnya hancur. Kami menjadi yang paling unggul dan yang paling ditakuti karena sesuatu pada kapal ini," ungkapnya penuh kebanggaan. 

"Apa maksudmu, Kapten?"

Tribal mengendikkan bahu sekilas. "Itu rahasia!"

Elijah mengembuskan napas panjang. Langit di hadapan mereka kini telah menggelap, menyisakan sebaris terang lembayung terakhir sebelum matahari sepenuhnya tenggelam. "Aku berpikir ... barangkali kita dapat menggunakan sesuatu seperti yang dimiliki kapalmu untuk mengalahkan Penyihir Lautan atau setidaknya bertahan darinya."

Sang kapten mengalihkan pandangan dari lautan, menatap ke arah Elijah dengan sorot tak percaya. "Berhentilah berpikir untuk mengalahkan makhluk itu Elijah. Dia bukan tandinganmu."

"Aku harus mematahkan kutukan ini dan juga kutukan terhadap Lorelie. Gadis duyung itu tidak akan bisa hidup dengan tenang jika makhluk itu masih memburunya di luar sana." Tanpa sadar suara Elijah meninggi.

Tribal mendengkus. Namun, sedetik kemudian terbahak. "Sungguh jiwa muda yang keras kepala, " gerutunya. "Aku bisa memahamimu, Pangeran. Akan tetapi, material yang kugunakan untuk membangun Borbounaisse tidak sesederhana yang kau pikirkan. Mendapatkannya barangkali akan membuatmu bertaruh nyawa." Kengerian dalam suara sang kapten terdengar kentara hingga membuat Elijah bergidik sekilas.

"Jadi apa yang kau gunakan untuk membuat Borbounaisse menjadi yang terkuat, Kapten Tribal?" tanyanya hati-hati. Detik itu juga Elijah merasa napasnya tertahan di tenggorokkan, menanti kunci rahasia kedigdayaan Borbounaisse.

Tribal kini memalingkan tubuhnya menghadap Elijah yang masih berdiri menghadap lautan di balik pagar kapal. "Kau tidak bersunggu-sungguh 'kan, Elijah?" Tatapan matanya memicing.

Salah satu sudut bibir Elijah tertarik. "Tentu saja aku bersungguh-sungguh, Kapten."









Pontianak, 23 Oktober 2020 pukul 22.22 WIB

Yeay aku update muehehe maaf kalo Faeseafic selalu telat update sebenarnya karena aku masih punya dua deadline naskah prioritas. Namun, aku senang sekali sama yg suka nagih2 jadinya aku semangat nulis donk 😆❤️🌹 terima kasih banyak atas atensinya untuk Faeseafic yaa love u.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top