20. 🧜Tale of the Cursed Mermaid

Elijah rasanya telah merasakan begitu banyak kehilangan. Bahkan, kehilangan atas apa yang belum dia miliki. Kehilangan-kehilangan itu lambat laun menimbulkan sebuah ceruk besar, bahkan lubang menganga di dalam hatinya yang sampai kapan pun tak akan pernah dapat diperbaiki. Namun, lubang menganga dan ceruk itulah yang membuat hatinya terasa hidup. Jari-jemari Lorelie yang mencengkeram bagian belakang tunik segera menyadarkannya jika si gadis duyung itu telah menjadi serupa kepingan yang nyaris terlepas dari hatinya dan Elijah bertekad akan mempertahankannya meski harus bertaruh nyawa.

"Kau berhutang banyak penjelasan padaku setelah ini," bisik sang pangeran peri. Ia menolehkan kepalanya sedikit, sementara pandangannya terpaku pada makhluk besar penguasa lautan yang kini meneror mereka.

"A-apa? Jangan pernah berpikir untuk melakukan hal bodoh." Lorelie memperingatkan Elijah seolah dapat membaca apa yang tengah direncanakan sang pangeran peri. Cengkeraman tangannya mengerat, saat Elijah perlahan memajukan langkahnya.

"Dengar aku Lorelie, menyelam dan berenang menjauh dari tempat ini. Aku berjanji akan menemukanmu setelah ini." Elijah mendesis di antara gigi-geliginya yang gemeletuk.

"Tidak! Kau tidak akan bisa mengalahkannya Elijah."

"Pergilah! Kali ini, aku mohon jangan keras kepala!"

Dalam sekali lompatan tinggi, tubuh Elijah melayang di udara. Salah satu lengannya telah menggenggam sebilah pisau perak yang semula terselip dalam ikatan di dalam sepatu bootnya. Benda itu adalah senjata terakhir yang ia sembunyikan saat memasuki istana Raja Fleur. Di belakangnya, Lorelie gemetaran sebelum akhirnya dengan patuh menyelam ke dalam genangan air laut yang merendam pantai. Raja Fluer dan para sentinelnya sontak bergerak panik begitu sirip Lorelie berkecipak menjauh dari mereka.

Sementara, Elijah menerjang Penyihir Lautan sembari mengayunkan senjata itu ke arah Penyihir Lautan dalam sekali tebasan gesit. Darah hitam kental terbit dari luka gores yang mengenai salah satu tentakelnya dan memercik mengenainya. Sang Penyihir Lautan menggeram marah. Tentakel hitamnya yang lain kemudian terangkat menghantam punggung Elijah, membawa serta begitu banyak air hingga tubuh sang peri terlempar puluhan meter ke arah pesisir pantai yang belum dibanjiri air laut. Sang pangeran peri mengerang beberapa saat sebelum berupaya bangkit.

"KAU MAU BERMAIN-MAIN DENGANKU, FLEUR!" Andromeda meraung marah. Suaranya bergema di lautan dan sepanjang pesisir The Infinite Haven. Tentakel-tentakelnya yang sehitam jelaga menghempaskan lautan dan daratan di sekitarnya dalam sebuah gerakan cepat yang bersinergi dengan deru angin dan gulungan ombak. Suara teriakan serentak menjerit dalam genangan air laut yang gelap dan berbuih. Tubuh-tubuh sebagian peri melambung ke udara sebelum kembali terhembas ke dalam lautan. Sebagian peri yang lebih nahas  dihantam tentakel Andromeda hingga remuk dan kehilangan nyawa, bahkan sebelum tubuh mereka menjejak lautan.

Faeseafic seolah mengamuk bersama amarah Sang Penyihir Lautan yang tak terbendung. Angin secara brutal mulai bergerak menerobos celah terbuka pada taman istana, kemudian dalam tekanan yang lebih besar dan keras menggulung apapun yang ada di atas permukaan tanah. Akar-akar pohon dan tanaman tercerabut kasar hingga berterbangan ke udara. Besi-besi dan kayu-kayu penghias taman terlepas dari tempatnya ditancapkan, turut bergabung dalam angin yang membubung. Angin terus bergerak hingga mencapai istana megah berlapis emas milik Fleur, menghempaskan dinding, atap dan segala benda yang ada di dalamnya, bahkan melayangkan nyawa-nyawa yang hidup di bawah naungannya. Setelahnya, gelombang besar, setinggi pohon kelapa menggerus sisa-sisa amukan angin.

"Yang Mulia Andromeda Aerendyl. Ampuni Hamba. Hamba akan menemukan duyung itu!" Raja Fleur berteriak putus asa dalam desakan air laut yang nyaris mencapai wajahnya. Kedua lengannya bergerak liar berusaha mempertahankan tubuh kurusnya agar tetap mengapung di dalam gelungan ombak yang mengamuk.

"Aku tidak bisa menunggu. Waktumu sudah habis, Fleur. Aku akan mengambil putrimu dan sebagai hukuman atas kebohonganmu, aku akan mengutuk seluruh kerajaanmu!"

"Tidak. JANGAN!"

Tak ada yang dapat menghentikan Andromeda. Tak juga permohonan sang Raja. Belas kasihan sungguh bukan sesuatu yang melekat pada makhluk separuh monster itu. Kebrutalan adalah nama tengahnya. Ia hanya mengenal dendam dan penghancuran. Dua hal yang seolah-olah membuatnya menjadi sosok kuat dan penguasa.

Kilat menyambar dari salah satu sudut langit. Retakan demi retakan bercahaya kemudian menyusul muncul silih berganti dari sudut-sudut langit lainnya diiringi gemuruh yang menggelegar. Ombak kembali mengamuk lebih keras, lebih tinggi. Angin berembus kencang. Dari dalam kegelapan, sebelah tangan manusia Andromeda memunculkan sebilah trisula yang memendarkan cahaya biru dari kegelapan. Sang Penyihir Lautan lantas mengangkat trisulanya tinggi-tinggi, menyerap seluruh kilatan cahaya pada langit gelap. Trisula dalam genggamannya seketika memendarkan garis-garis cahaya biru yang menerangi kegelapan Faeseafic seolah matahari yang bertakhta di kegelapan langit.

"Syntripste to!"

"SYNTRIPSTE TO!" Sesaat setelah Andromeda merapalkan mantranya, bola cahaya besar berwarna biru berpendar keluar dari kepala trisulanya. Bola cahaya itu melesat cepat menabrak puing-puing istana dalam sekali pukulan cepat. Bola cahaya itu lantas pecah dan merengkuh The Infinite Haven ke dalam terang yang menghancurkan. Ledakan besar terdengar, sebelum cahaya kembali menjadi gelap dini hari yang sunyi.

🧜🧜🧜

Lorelie berenang menjauh dengan dada sesak menahan tangis. Hatinya hancur saat Elijah menyuruhnya pergi seumpama pengecut, tetapi keberadaan Andromeda sungguh di luar prediksi. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia benar-benar ingin membunuh makhkuk itu. Akan tetapi, dia sama sekali tak memiliki kekuatan untuk itu dan sampai kemampuan itu dimilikinya, ia harus terus bertahan hidup.

Andai saja Lorelie tidak berada di dalam lautan, butiran kristal dari pelupuk mata yang menuruni pipinya sudah pasti terlihat kentara. Laut dan kegelapan adalah harmoni yang memberikan penyamaran terbaik baginya saat itu. Sementara genangan air laut di sebagian pesisir pantai yang ia tinggalkan menjauh berkecipak riuh oleh para sentinel yang berusaha keras menangkapnya. Namun, para makhluk darat itu tentu saja tak dapat menandingi kegesitannya di dalam air. Hanya sekejap, si gadis duyung itu telah berhasil kabur dan berenang ke tengah lautan.

Lorelie menoleh untuk menatap The Infinite Haven dari kejauhan. Bayangan hitam pekat berkilat terlihat mencengkeram pulau itu, bayangan Sang Penyihir Lautan. Lorelie seketika bergidik ngeri. Sebuah luka menganga akibat ingatan yang menyakitkan berkelebat menghampiri benaknya. Ingatan yang sebenarnya sangat ingin ia hapus. Sebuah penyerangan yang berakhir membuatnya terkutuk untuk selamanya. Penyerangan Andromeda Aerendyl.

Lorelie telah mengenal Andromeda sejak lama. Makhluk keturunan siren yang menjadi momok bagi seluruh kerajaan di seantero Faeseafic, termasuk kerajaan asalnya, Kerajaan Agrodimor. Andromeda memiliki sebuah sihir hitam sebagai ilmu peninggalan dari sang ibu yang ia bunuh dengan tangannya sendiri. Untuk keperluan sihir hitam itu, setiap dua belas purnama Sang Penyihir Lautan akan menculik satu putri dari satu kerajaan di Faeseafic untuk diambil jantungnya guna menggenapi ritual keabadian dan kekuatannya.

Gadis duyung itu masih mengingat kengerian hari itu, meski sudah berlalu bertahun-tahun silam, saat Andromeda membawa awan gelap ke atas kerajaannya dan tiga sosok siren brutal. Makhluk kejam itu menyerang Agrodimor dan para tentara sirennya, membunuh begitu banyak sentinel dan nyawa peri-peri yang tak berdosa, serta memporak-porandakan benteng beserta isinya.

Ratu Mathienne yang panik menyeret Lorelie yang sedang berlatih pedang dan memaksanya menaiki sebuah perahu setelah menyuruhnya menenggak cepat sebotol ramuan pahit berwarna merah pekat. Lorelie tak mengerti mengapa kala itu sang ibu menangis tergugu dan memeluknya begitu erat. Namun, saat tali perahu yang tertambat pada sebuah dermaga di pinggir sungai kecil itu dilepaskan oleh sang ibu begitu saja, Lorelie segera tahu jika sesuatu yang buruk telah terjadi.

"Dia tak akan bisa mendapatkanmu sampai kapan pun," bisik sang Ratu lirih sebelum melepasnya pergi. Tanpa menoleh padanya, sang ratu berlari menapaki jembatan gantung untuk kembali ke dalam benteng. Peri perempuan itu mengabaikan sang putri yang berteriak memanggil namanya berulang kali sambil menangis histeris.

Para penghuni Agrodimor bukanlah peri elf biasa. Darah kesatria mengalir dalam tubuh mereka, begitu pula di dalam darah Lorelie, dan melarikan diri baginya bukanlah pilihan bijak, segawat apa pun situasinya. Lorelie lantas melompat dari atas perahu yang mengapung pelan menuju muara, berenang menuju rumahnya kembali. Bagai penyusup, peri perempuan itu mengendap-endap agar dapat kembali mencapai istana.

Peperangan rupanya sedang berkecamuk. Para sentinel dan kesatria Agrodimor mengerahkan segenap perlawanan mereka untuk menghalau Andromeda dan tiga siren yang merupakan kaki tangan sang penyihir jahat. Meski kalah jumlah, tetapi Sang Penyihir Lautan memiliki kekuatan yang cukup untuk menghancurkan satu kerajaan dalam sekali serangan. Satu libasan tentakelnya bahkan sudah cukup untuk membunuh puluhan sentinel. Namun, fakta itu sama sekali tak membuat Lorelie gentar.

Tepat di saat Lorelie menjejak balairung yang hancur lebur, Andromeda sontak menahan serangannya. Tatapannya terpaku pada putri paling berani yang pernah ia temui di seantero Faeseafic. Seringaian liciknya tersungging, sembari merentangkan kedua lengan untuk menyambut sang putri.

"Kau tidak akan pernah mendapatkannya, Andromeda!" Ratu Mathienne Larona berteriak berang dalam cekalan salah satu siren yang sedang mencabiknya.

Sementara Raja Simone sedang berada dalam gulungan tentakel sehitam jelaga milik makhluk itu. "Lepaskan putriku!"

Lorelie yang emosinya telah tersulut lantas langsung menghunuskan pedang, melompat tinggi menyerang sang penyihir. Namun, serangannya ditampik dengan begitu mudahnya oleh salah satu tentakel Andromeda. Sang Penyihir Lautan terkekeh, tawa kejam yang akan selalu Lorelie ingat sampai kapan pun, sebelum satu tentakel lain terulur dan melilit tubuhnya dengan ketat.

Seringai menjijikkan kembali bertengger pada bibir kebiruan Andromeda. Dia membawa tubuh Lorelie mendekat padanya. "Putri Melarue, bersediakah kau ikut denganku dalam damai?"

Lorelie meludah sekuat tenaga hingga air liurnya mengotori pipi Andromeda. "Aku tidak Sudi!" jeritnya. Kakinya terus menendang liar, sementara kedua tangannya terus memukul udara udara kosong di antara dirinya dan Andromeda.

Alih-alih marah, Sang Penyihir Lautan malah terbahak dengan suara dalam yang serak. Dia mengusap liur sang putri di pipinya tanpa perasaan jijik sama sekali. "Sungguh keberanian yang indah," gumamnya dengan netra berkilat penuh hasrat. "Sebuah kematian yang cepat dan tanpa nyanyian adalah penghormatan yang sesuai untuk sikap ksatriamu, Putri. Aku tak sabar menimang jantung terbaikku tahun ini!"

"Dasar bajingan!" Lorelie menjerit marah tepat saat tubuhnya kemudian dilempar ke udara. Andromeda tak bernyanyi sebagaimana yang ia lakukan saat merenggut jantung-jantung putri lain. Sang Penyihir Lautan itu mengangkat trisulanya tinggi-tinggi ke udara, merapal mantra, sebelum segaris cahaya mirip kilasan petir menyambar sang putri.

Suara teriakan Raja Simone dan Ratu Mathienne yang bersamaan sontak membelah balairung, tepat saat tubuh sang Putri jatuh menghantam reruntuhan dan bergeming kaku saat terkena garis cahaya dari trisula Andromeda. Dalam sekali kedipan mata, tubuh ramping itu mengerang hebat, berselubung cahaya sihir.

Rasa sakit dan panas mendera dan menjalari sekujur tubuh Lorelie, seolah terdapat dua energi yang saling bertentangan di dalam tubuhnya. Kemudian rasa nyeri dan terbakar itu turun menjalari sepasang tungkainya. Hanya butuh beberapa saat hingga bagian tubuhnya kemudian berubah sempurna menjadi sirip kuning pucat yang mengilap. Sisik-sisik kuning bercampur hijau juga muncul di beberapa bagian tubuhnya yang lain.

Lorelie sontak membekap mulut dengan tangan saat mendapati perubahan pada fisiknya. Tangisnya tercekat di tenggorokan beserta kengerian yang menyirat dari kedua bola mata birunya. Berubah menjadi makhluk lain rasanya bahkan lebih mengerikan dari pada mati tanpa jantung. Namun, lamunan kengerian dan kesedihannya seketika sirna saat suara teriakan Andromeda menggelegar di antara puing-puing balairung.

"Apa yang terjadi?!" Andromeda marah. Kemarahannya membuat tubuh Lorelie menegang di tempat.

"Sudah kubilang, kau tak akan mendapatkannya!" teriak sang ratu diiringi tawa sumbang sekaligus derai air mata.

Andromeda semakin berang. Tentakel-tentakelnya menghantam ke sekitar bersamaan, membuat istana yang porak-poranda itu berguncang hebat seolah ada yang bergolak di dalam perut bumi. Puing-puing reruntuhan terakhir berguguran menindih tubuh-tubuh mati dan terluka di balairung, menindih tubuh sang Raja dan sang Ratu yang sekarat.

Langit gelap tanpa bulan menaungi pemandangan mengerikan di Agrodimor. Angin seketika berembus kencang. Sang Penyihir Lautan mengangkat trisulanya tinggi-tinggi seolah hendak membelah langit malam. Retakan cahaya muncul silih berganti dari seluruh penjuru langit, terserap ke dalam puncak trisula yang memendarkan cahaya biru. Bola Cahaya berwarna biru terlepas dari pangkal trisula, melesat cepat manghantam reruntuhan balairung. Dalam suara mendesis penuh ancaman, Andromeda mulai merapalkan mantranya.

"Syntripste to!"

Dengan mata kepalanya sendiri, Lorelie menyaksikan semuanya serta merta membeku diliputi es yang mengkristal, kecuali dirinya. Sebelum dia beringsut,  sebuah garis cahaya mendadak melemparkan tubuh duyungnya ke tengah lautan. Asin air laut untuk pertama kali menjejak tubuhnya, sebelum segala sesuatunya menjadi gelap yang absolut.

Bunyi dentuman diiringi ledakan cahaya terang di kejauhan seketika membuyarkan lamunan si gadis duyung. Ledakan cahaya yang sama seperti yang pernah ia ingat di Agrodimor tepat sebelum dirinya berada di lautan. Tubuhnya kembali terguncang dalam tangis tertahan yang coba ia sembunyikan dari dirinya sendiri. Hatinya terasa remuk. Apakah kali ini ia akan kehilangan lagi seperti dahulu?









Pontianak, 15 Oktober 2020 23.26 WIP

Huaaa akhirnya aku update cerita ini lagi. Maaf Minggu lalu enggak update. Bukannya mentok, hanya saja aku sedang berjuang untuk menyelesaikan cerita untuk lomba dulu 🤧 Terima kasih banyak yaa sudah menunggu dan setia membaca petualangannya Lorelie dan Elijah❤️🤗🧜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top