18.🧜Chase the Mermaid
Elijah mengayunkan pedangnya dengan lincah, seolah ia telah menantikan waktu yang sangat lama untuk membasahi ujung pedangnya dengan darah. Sejak, pertarungan terakhirnya dengan Archibald dan terluka parah, Elijah memang tak pernah lagi bertarung. Tak ada lagi alasan berarti untuknya menghunus senjata. Sebagaimana hidup, bilah pedang juga perlu tujuan untuk membuat kekuatannya memiliki arti.
Malam itu, penyerangan ke Infinite Haven bagaikan sebuah pelepasan atas segala kemarahan dan pembalasan yang tertahan. Elijah bergerak lues seumpama pedang itu sendiri, menyatu dalam embusan angin, melibas siapa pun yang berusaha menghancurkan keluarganya, kru kapal Bourbounaisse. Pertarungannya kali ini memiliki arti, bukan sekadar mengangkat pedang dan menebaskannya pada makhluk bernyawa, melainkan pembelaan atas eksistensi sebuah ikatan yang baru saja menjadi bagian dari dirinya.
Meski, para sentinel yang mereka lawan jumlahnya semakin bertambah, semangat para bajak laut tak sedikit pun surut.
Dari kejauhan, diantara denting pedang dan bunyi baku hantam, Elijah menangkap kelebat sesosok peri ramping berjubah yang sedang menunggang unicorn melintasi jembatan dari arah benteng Infinite Haven. Tak hanya dirinya, para bajak laut lainnya yang sedang bertarung seketika menjadi lebih waspada. Beberapa sentinel berkuda mengiringi sosok tersebut dengan gestur posesif.
"Fleur ..." Tribal yang berada tepat di samping sang pangeran peri bergumam pelan. Elijah menoleh padanya dan mendapati sebuah seringai mengembang di bibir sang kapten. Rupanya mereka saling mengenal.
"Siapa dia?"
Tribal menoleh, setelah melayangkan tinjuan pada seorang sentinel bertombak yang hendak menyerangnya. "Raja Fleur," desisnya.
"Jadi, dia ...."
Belum sempat Elijah melanjutkan kata-katanya, suara terompet kerang bergema nyaring sekaligus dalam menjeda ucapannya. Sosok yang ia lihat menyeberangi jembatan kini telah bergabung bersama pasukan sentinel di garis luar benteng. Sosok itu mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi sehingga membuat para sentinel yang sedang bertarung sontak menghentikan serangan mereka.
Tribal melakukan hal yang sama. Ia mengangkat sebelah tangannya, mengembalikan pedang pada sarungnya dengan gerakan cepat yang diikuti oleh para bajak laut. Suasana di luar benteng The Infinite Haven mendadak hening. Pertempuran sedang ditangguhkan karena masing-masing pihak bersepakat untuk melakukan dialog.
"Lama tidak bersua, saudaraku!" sapa Raja Fleur sembari merentangkan kedua lengannya lebar-lebar ke udara. Pandangannya yang setajam elang menyorot pada Tribal. Wajah sempitnya yang pucat tersenyum formal.
Tribal terkekeh sumbang. "Apa kabar, Yang Mulia Raja Fleur?" Sang bajak laut menyelipkan pedangnya yang telah tersarung kembali pada sabuk kulit yang melingkari pinggang. Seketika, ketegangan mengendur. Para bajak laut lain ikut menyimpan senjata-senjata mereka, termasuk para sentinel kerajaan. Mereka kembali membentuk formasi saling berhadap-hadapan. Berbaris pada sisi pemimpin masing-masing.
"Sudah bertahun-tahun kau tak mengunjungiku, saudaraku. Aku pikir kau sudah melupakanku dan pulau ini?" tanyanya penuh seindiran.
Raja Fleur menurunkan jubahnya dengan gerakan anggun. Wajah tirusnya yang pucat kini terekspos sempurna. Sama seperti Tribal, sekujur tubuhnya bahkan terlihat seperti patung emas, jangkung, anggun, bercahaya serupa pahatan. Sekilas, Raja Fleur dan Kapten Tribal terlihat bagai dua makhluk berbeda ras. Akan tetapi, jika ditelisik lebih seksama, mereka memiliki netra dengan nyala serupa dengan warna karamel berkilat dipenuhi ambisi.
Tribal masih terkekeh. Perlahan mendekati sang raja. Namun, langkahnya terhenti saat dua sosok sentinel dengan sigap maju ke hadapannya. "Belakangan aku memiliki banyak misi yang harus diselesaikan dengan cepat. Maafkan aku, Yang Mulia yang baru mengunjungimu sekarang. Sungguh aku tak pernah melupakan tempat ini."
Raja Fleur berdecih. "Tentu saja, Saudaraku. Kau kemari hanya untuk menggali sesuatu yang telah kautanam di tanahku selama bertahun-tahun, bukan?"
Tangan Tribal terlihat mengepal di samping tubuhnya. Tawanya seketika terhenti. "Bagaimana kau---
Giliran kekehan Raja Fleur yang mengisi udara malam. Ketegangan tak kasat mata perlahan kembali melingkupi kedua pasukan yang saling berhadap-hadapan itu untuk beberapa detik yang terasa sangat lama.
"Aku tahu, Tribal. Aku selalu mengetahui apa pun yang terjadi dan tersembunyi di wilayah kekuasaanku," sahut sang raja dengan suara yang mampu membuat bulu kuduk Elijah dan siapa pun yang mendengarkannya meremang. Wajah sempit sang raja terlihat kejam di bawah temaram cahaya rembulan.
Tribal terlihat maju selangkah. Mendekati sang raja dengan dua sentinel yang menodongkan tombak di depan dadanya. Meski, mata tombak yang runcing tak menjejak tubuhnya, aura mengancamnya bahkan dapat dirasakan Elijah yang saat itu melihat beberapa langkah di belakang sang kapten.
"Jadi, kau mengetahui apa yang kumiliki di dalam kapalku dan mencurinya, hah?" Tribal bertanya sarkastik. Elijah tahu persis ke mana arah pertanyaan tersebut. Refleks jari-jemarinya mengepal kuat dan rahangnya mengetat, sekuat tenaga menahan diri untuk tak menyerang Raja Fleur dan para sentinelnya.
"Aku tidak mengerti, saudaraku. Apa yang kau bicarakan?" Wajah serupa topeng emas itu memasang ekspresi bingung yang terlalu dibuat-buat.
Elijah mengepalkan tangannya lebih kencang, sebelum beralih pada gagang pedang yang tersampir di pinggang. Reaksi yang sama juga terlihat dari punggung Tribal yang menegang demi mendengar ketidakjujuran saudaranya itu.
"Aku membicarakan tentang duyung yang Anda culik, Yang Mulia."
Ujung tombak yang tumpul milik salah satu sentinel menghantam dada Tribal tetap ketika ia mengakhiri ucapannya. Tubuhnya jatuh berlutut. Sementara, Elijah dan para bajak laut lainnya sontak menghunuskan senjata mereka dengan gestur siap menyerang kapan saja.
"Tahan!" Tribal menenangkan suasana gaduh dalam ketegangan yang perlahan memuncak.
Raja Fleur melakukan hal yang sama saat para sentinelnya mulai bereaksi. Suasana yang baru saja menegang, perlahan kembali menjadi tenang.
Tribal telah berdiri kembali di atas kedua tungkainya saat sang raja berjalan ke arahnya beberapa langkah. Namun, jarak mereka masih terlampau jauh untuk melakukan serangan jarak dekat menggunakan pedang.
"Jadi duyung itu adalah bagian dari awak kapalmu? Aku kira makhluk itu hanya peliharaan yang akan kaubuat menangis untuk menghasilkan mutiara."
Suara Raja Fleur setajam dan sedingin bilah pedang yang lama berdiam di bawah guyuran es. Ucapan itu berhasil melecut bara api yang bersarang dalam dada Elijah. Peri laki-laki itu refleks menghambur ke depan, menuju sang raja. Namun, langkahnya tertahan rengkuhan bajak laut yang berada pada barisan terdepan, sebelum kemarahannya sempat membuat kekacauan.
"Elijah, kendalikan dirimu." Tribal memperingatkan. Sementara Fleur terbahak sembari mengibas sekilas jubah keemasannya.
Sang raja menyorot Elijah dengan tatapan yang meremehkan. "Kau harus mengajari awak kapalmu sopan santun, Tribal. Dia pikir dia siapa dengan lancang memelototiku!" ucapnya sinis.
Tribal melirik Elijah sekilas, kemudian mengembuskan napas panjang. Ia melangkah perlahan mendekati sang raja. Namun, lagi-lagi sepasang tombak menyilang di depan tubuhnya, menghalangi kelancangan langkahnya. "Maaf, Yang Mulia, dia baru bergabung dengan Bourbounaisse. Lagi pula, dia adalah pangeran terbuang, jadi tolong maklumi perangainya."
Raja Fleur meludah, sementara tatapannya masih mengunci Elijah. "Aku raja, aku ada tidak untuk memaklumi apa pun atau siapa pun!" geramnya. Netranya lantas beralih pada sang kapten sebelum kembali membuka suara, "aku hanya ingin berunding denganmu saja, Tribal. Tinggalkan semua awak kapalmu di luar balairung istanaku."
Sang raja berbalik dalam gerakan cepat, membuat jubah sewarna emas yang berkibar di belakang tubuhnya bergerak liar. Ia kembali menaiki unicornnya dengan angkuh. Namun, belum sempat para sentinel menuntun raja mereka menyeberangi jembatan untuk kembali ke istana, Tribal membuka suara dengan nada tinggi.
"Aku berhak melakukan penawaran yang sama, kau dengar itu Fleur? Kau memang raja di tempat ini, tetapi aku adalah raja di seluruh penjuru Faeseafic!" gertaknya.
Raja Fleur yang telah berada di atas tunggangannya berbalik dengan gerakan cepat. Netranya membara menatap saudaranya yang telah lancang mengancam dirinya di wilayah kekuasaannya sendiri. "Kelak kau akan membayar kelancanganmu ini, Tribal," cicitnya.
Tribal terbahak. "Tentu saja, saudaraku. Jika umurmu cukup panjang untuk membalasku. Karena dari para camar dan ikan di lautan, aku mendengar jika dirimu sedang bermasalah dengan si penyihir lautan. Kau memerlukan bantuanku, Fleur atau kau akan kehilangan putrimu!"
Ucapan sang kapten bajak laut benar-benar telah mengejutkan semua orang di tempat itu. Suara gumaman dan 'oh' tertahan samar-samar memenuhi deretan sentinel dan para bajak lauk. Agaknya tak ada yang mengetahui fakta ini sampai Tribal mengungkapkannya. Demikian juga halnya dengan Elijah, ucapan tersebut entah mengapa membuat pelipisnya perlahan dirambati nyeri tertahan. Sesuatu tentang sang penyihir lautan menimbulkan efek tersendiri bagi emosi dan fisiknya.
Sementara di atas unicornnya, wajah sang raja menjadi lebih pucat dari pada cahaya bulan. Mulut kecilnya menganga seolah kata-kata Tribal barusan adalah kengerian nyata yang susah payah ia hindari. Ia tak dapat menampik bahwasannya dia benar-benar sedang ketakutan, sedang terancam dan teramat membutuhkan pertolongan.
"Aku tak akan pernah melupakan kelancangan ini, Tribal," desisnya dengan suara bergetar. Bukan kemarahan yang kali ini meluap, melainkan ketakutan dan keterpurukan. Nyala kesombongan yang menjadi pijar dalam bola matanya telah padam. Sang raja berbalik, membuang pandangan pada kejauhan istananya di seberang jembatan. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, dia berucap, "masuklah, bawa serta awak kapal kepercayaanmu ke Aula Perjamuan."
🤴🤴🤴
Dalam sekejap, sikap menutup diri Raja Fleur runtuh. Dia mengundang Kapten Tribal, Elijah, Rage dan beberapa awak kapal pilihan Tribal untuk sebuah perjamuan dadakan di aula perjamuan. Sementara di ruangan terpisah, para awak kapal Bourbounaisse mendapat jamuan tersendiri yang tentu saja didominasi oleh anggur dan hiburan.
Elijah menatap awas ruangan besar bersepuh emas milik sang raja yang kini ia jejaki. Meja panjang di tengah-tengah aula itu bagaikan sebuah perahu kecil di tengah-tengah lautan. Sungguh tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan besarnya aula. Betapa ruangan itu menunjukkan seberapa besar kekayaan dan keangkuhan yang dimiliki sang raja.
Pandangan sang pangeran peri lantas bertumpu pada sebuah kolam air mancur--- yang lagi-lagi disepuh emas di tengah-tengah Balairung--- yang terletak di samping meja perjamuan mereka. Meski kolam itu kosong tanpa ikan atau hewan-hewan lain yang menghuninya, tetapi entah mengapa pikirannya terarah pada Lorelie. Tak dapat ia pungkiri jika sedari awal menjejakkan kaki di istana itu, yang ia cari hanyalah jejak keberadaan si gadis duyung.
Tribal dan Fleur terlibat dalam percakapan sepasang saudara yang telah lama tak bersua. Jenis percakapan bertele-tele yang akan membuat pendengarnya mati kebosanan. Sementara Rage dengan patuh memakan aneka hidangan, tanpa sedikit pun terlihat berminat untuk mengerling atau menguping pada sang kapten dan sang raja. Wajahnya sedatar biasa. Sementara, Elijah telah berkali-kali menyesap anggurnya sembari mengetukkan jari-jemarinya di atas meja perjamuan, setelah menyantap sepiring hidangan dan nyaris mati bosan.
Sebenarnya, ia sangat ingin menyela percakapan Tribal dan Raja Fleur untuk menanyakan perihal keberadaan Lorelie. Akan tetapi, ia teringat ancaman Tribal, sebelum mereka akhirnya sepakat memasuki istana emas itu bersama-sama. Elijah harus menjaga ucapan dan tingkahnya, tak melakukan dan mengucapkan apapun di luar persetujuan sang kapten. Hal ini tentu saja karena sedari awal Raja Fleur terlihat sangat tak menyukainya.
Setelah berjam-jam yang berlangsung sangat lama dan dengan percakapan keluarga yang sama sekali tak Elijah pahami, sesosok sentinel akhirnya masuk menerobos perjamuan dengan lancang. Kedatangan sosok itu membuat Elijah mengembuskan napas lega terlalu keras sehingga Rage dan Tribal sekilas mengerling ke arahnya. Langkah si sentinel yang tergopoh beradu dengan bunyi decit sol sepatu kulitnya sontak membuat Raja Fleur mengangkat wajahnya dengan kesal.
"Ada apa?" bentaknya saat percakapan mengenai perjodohan putrinya dengan sesosok pangeran dari pulau lain terputus begitu saja.
"Ampun, Yang Mulia Raja Fleur." Sentinel malang itu gemetaran.
"Katakan cepat!"
"Hamba mendapat laporan dari sentinel yang berjaga di Gerbang Utara jika Bagherra membawa pergi tawanan!"
Raja Fleur membelalak, "apa maksudmu? Bukankah tawanan itu harusnya berada di ruangan ritual?" Namun, sedetik kemudian dia seolah menyadari kesalahan ucapannya. Ekspresi wajahnya berubah. Sang raja mengerling pada Tribal dengan wajah tidak enak, berharap ucapannya barusan tak mengundang kecurigaan para tamu.
Elijah yang mencium gelagat janggal sang raja tak tahan lagi untuk tidak membuka suara. Dengan gerakan refleks sang pangeran peri menggebrak meja hidangan hingga gelas perak anggurnya terpelanting. Cairan merah membasahi alas meja hidangan. Seluruh mata di meja itu kini menghujam padanya. "Lorelie, di mana kau sembunyikan Lorelie?"
"Sabar Elijah," desis Tribal sembari menahan sebelah tangan sang pangeran yang siap menghunus pedang. Pandangan sang kapten kini beralih pada Raja Fleur. "Apakah ini ada hubungannya dengan Lorelie?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.
Raja Fleur yang merasa tersudut lantas bangkit dari kursi emasnya. Emosinya meluap."Ya, duyung itu semula akan aku tumbalkan pada Penyihir Lautan agar putriku dapat terbebas darinya. Putriku harusnya menikah dengan pangeran terbaik, bukannya dengan si pemangsa macam Andromeda Aerendyl!"
Demi mendengar pernyataan sang raja barusan, seluruh mata di dalam ruangan aula itu saling pandang dengan ketakutan. Tak ada yang menyebut nama sang penyihir lautan segamblang itu. Menyebut namanya berarti memanggilnya.
Elijah, Tribal, Rage dan beberapa awak kapal lainnya sontak bangkit dari kursi mereka masing-masing. Mereka menghunus senjata bersamaan dan bersiap mengejar Bagherra yang diduga telah membawa lari Lorelie.
"Sentinel, cepat tangkap Bagherra!" titah sang raja dengan suara menggelegar.
Sementara Elijah telah terlebih dahulu melesat cepat meninggalkan ruang jamuan raja itu tanpa menoleh lagi. Inilah yang ia tunggu selama nyaris berjam-jam dalam ruangan serba emas itu, mencari jejak keberadaan Lorelie dan meninggalkan obrolan membosankan sang raja dan sang bajak laut. Namun, kekalutan lain menyergapnya mengenai keberadaan Lorelie dan siapa yang telah lancang untuk membawa pergi si gadis duyung. Dalam hati ia berdoa semoga ia tak terlambat.
Berbagai asumsi berkelindan dalam kepalanya, menjadi pemompa semangat yang mempercepat laju tungkai-tungkai. Lorong-lorong bersepuh emas yang sempat membetik kekagumannya ketika menuju ruang jamuan kini tak lagi diindahkannya. Semuanya terlihat samar dalam kecepatan yang diciptakannya. Tepat pada sebuah lorong sempit menuju pintu utara, pintu masuk yang ia lewati beberapa jam lalu, sekelebat bayangan menangkap atensinya. Bayangan dua sosok yang berlari sambil berpegangan tangan itu berbelok pada sebuah tembok di sebuah sudut minim cahaya. Mereka menuju sebuah taman yang barangkali memiliki jalan keluar tersembunyi.
Elijah memacu tungkainya lebih cepat, menjadikan sisa-sisa tenaga yang ia miliki sebagai bahan bakar terakhir. Ia tak boleh kehilangan jejak. Surai merah di bawah temaram cahaya bulan itu tak mungkin salah ia kenali. Salah satu sosok itu pastilah Lorelie.
Saat napasnya semakin memburu dan dadanya terbakar oleh sesak, Elijah yang takut kehilangan jejak Lorelie lantas berteriak, "Lorelie, tunggu!"
Panggilannya berhasil melambatkan langkah kedua sosok yang diburunya. Si surai merah menoleh padanya dan tampak sedang berusaha melepaskan diri dari sosok lain yang menarik salah satu lengannya.
"Lorelie, ini aku Elijah!" panggilnya sekali lagi.
Pada salah satu sudut taman yang sepi, dua sosok itu berhenti dan berbalik membiarkan Elijah menyusul mereka.
"Elijah?" Lorelie balas menyapanya dengan tatapan tak percaya. "Kau menyelamatkanku?" ulangnya. Binar bahagia terbit pada sepasang netra biru laut si gadis duyung.
Elijah yang masih kepayahan mengatur napas mengangguk cepat. "Kami semua datang untukmu," sahutnya susah payah.
"Tuan Putri, siapa dia?" Namun, sosok yang sebelumnya berdiri di bawah bayang-bayang gelap sebatang pohon seketika maju ke hadapan Lorelie dengan bilah pedang terhunus mengancam Elijah. Detik itu juga Elijah langsung mengenali sosok yang dituduh sebagai pengkhianat oleh sang raja.
Elijah mengernyit bingung. Panggilan itu menarik perhatiannya, lebih dari sosok si penculik. Ada sesuatu yang rupanya belum ia ketahui tentang si gadis duyung. "Tuan Putri?"
"Bagherra, dia temanku. Turunkan pedangmu!" bentak Lorelie setelah membaca situasi yang dapat berpotensi kesalahpahaman itu.
"Lorelie, siapa dia?" Elijah yang telah selesai mengatur napas lantas maju selangkah seraya menghunus pedang dari sarungnya. Situasi ini benar-benar ganjil baginya.
"Aku bisa jelaskan, Elijah. Aku---
Belum sempat Lorelie menyelesaikan kata-katanya, pemuda pirang dengan baju zirah dan jubah berbulu bernama Bagherra itu merangsek maju dan mengayunkan bilah pedangnya pada Elijah dengan gesit. Beruntung sang pangeran peri telah bersiaga dan langsung menangkis serangan tersebut dengan tak kalah cekatan.
Denting pedang yang saling beradu seketika memenuhi sudut istana yang sepi dan temaram, mengundang kedatangan beberapa sentinel yang sedang berjaga di sekitar taman ke sudut itu. Sementara Elijah dan Bagherra terlibat adu pedang sengit selama beberapa saat.
"Cukup, hentikan!" Lorelie berteriak berusah meredakan perkelahian itu.
"Hentikan! Aku mohon. Kita berada di pihak yang sam---
Teriakan Lorelie meninggi saat tiba-tiba langit menjadi lebih gelap karena satu-satunya sumber cahaya tersaput awan. Di saat bersamaan, adu pedang terhenti. Elijah yang mengetahui apa yang mungkin menimpa Lorelie dengan sigap bergerak ke sisi si gadis duyung dan dengan cepat menahan tubuhnya yang ambruk akibat mendadak kehilangan tungkai. Bagherra datang tepat saat Lorelie telah berbaring di atas pangkuan sang pangeran peri.
Si gadis duyung melengkungkan senyum terindah yang pernah Elijah lihat. "Terima kasih sudah menolongku," ucap Lorelie lirih.
Pontianak, 26 September 2020 pukul 21.45 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top