17. ⚔️ Attack the Palace

Elijah berlari kesetanan melewati pos penjagaan dermaga dan langsung melesat memasuki Borbounaisse. Jembatan gantung yang menghubungkan kapal dan daratan bergerak liar saat sang pangeran peri melewatinya dengan tergopoh. Pemandangan pertama yang ia tangkap adalh kondisi haluan dan buritan kapal yang terlihat berantakan. Jejak-jejak sepatu kehitaman mengotori geladak. Beberapa tong air tumpah dan persediaan makanan yang berada di luar dapur kapal porak-poranda. Borbounaisse agaknya benar-benar telah didatangi penyusup.

Elijah mempercepat larinya. Jantungnya berpacu saat mendapati kekacauan di kapal. Pikiran-pikiran buruk membuat ketakutan mengambil alih logikanya. Setelah menyoroti sekilas keadaan di buritan, peri laki-laki itu lantas menerobos pintu lambung kapal yang telah terbuka. Engsel dan pengaitnya terlepas seolah dihantam oleh sesuatu yang keras. Jejak-jejak kaki tercetak jelas di sepanjang permukaan geladak mengarah pada satu titik yang ia kenali. Napasnya memburu. Kengerian tersirat di wajah pucatnya. Lorelie, bagaimana keadaanmu?

"Tolong ... tolong ...."

Suara rintihan terdengar berasal dari salah satu bilik yang baru saja ia lewati. Elijah sontak menghentikan larinya, mundur beberapa langkah, kemudian netranya menyorot liar mencari sumber suara.

"Tolong ...."

Saat suara lirih itu terdengar untuk yang kedua kalinya, Elijah langsung mengetahui di mana sumber suara itu berasal dan bergegas menuju sebuah bilik dengan pintu yang rusak. Pintu bilik itu patah menjadi dua bagian, serupa dengan keadaan pintu menuju lambung kapal. Dari balik salah satu patahan pintu yang terlempar di tengah-tengah bilik, suara rintihan itu berasal.

Elijah menyingkirkan sisa reruntuhan lemari dan perabot kamar lainnya yang menutupi puing daun pintu. Peri laki-laki itu kemudian mengangkatnya dengan sekuat tenaga. Membebaskan Thumbelily yang rupanya sedang meringkuk menahan sakit. Betisnya membiru. Makhluk kecil itu membalas tatapan Elijah dengan mata membelalak, tak menyangka jika peri laki-laki itu ternyata yang menolongnya.

"Te-terima kasih," ucap Thumbelily sungguh-sungguh.

Elijah mengangguk sekilas, tak mengucapkan sepatah kata pun. Setelah memastikan peri pixie itu dapat mengobati memarnya dengan serbuk peri sendiri, Elijah melanjutkan penyisirannya di lambung kapal. 

Thumbelily yang telah sepenuhnya pulih mengekornya hingga ambang pintu. "Mereka membawa gadis duyung itu ke istana." ucapnya dengan suara melengking, seolah mengetahui apa yang dicari oleh peri laki-laki itu.

"Apa?" Elijah menoleh sekilas padanya.

"Para sentinel itu adalah utusan Raja Fleur."

Elijah membelalak, kemudian kembali berlari menyusuri lorong lambung kapal, menacuhkan Thumbelily yang terus mengoceh di belakangnya. Ia harus memastikan kata-kata peri perempuan itu karena bagaimanapun juga hubungan mereka tidak begitu baik sebelum ini.

Akhirnya Elijah berhasil tiba di depan bilik tempat jejak kaki bermuara dalam beberapa detik saja. Bilik Lorelia. Pintu bilik itu juga dirusak. Keadaan di dalam tak lebih baik dari pada keadaan di buritan. Genangan air tumpah ruah memenuhi geladak di sekitar bak air yang telah kosong. Sementara, pecahan kaca yang berserakan menambah kengerian tempat itu.

Sesosok mayat sentinel dalam keadaan tertelungkup segera menarik atensi Elijah. Posisinya berada tepat di sebelah bak air Lorelie Dengan kaki dan sebelah lengannya, ia lantas membalik tubuh kaku itu. Alangkah terkejutnya Elijah saat mendapati jejak perlawanan Lorelie yang begitu kentara dan mengerikan. Darah melumuri sebagian besar wajah sentinel malang itu. Sebilah kaca menancap di dalam tepat pada bola matanya.

Elijah mendengkus keras sembari menyeka sebelah pelipisnya yang berdarah. Pandangannya menyusuri sekitar geladak dengan panik, mencari jejak yang mungkin saja tertinggal di sana. Akan tetapi, sebuah pemahaman mendadak menyergap pikirannya. Mayat sentinel itu sebenarnya telah memberi keterangan yang cukup untuk mengetahui siapa yang telah menculik Lorelie. Ternyata apa yang diberitahukan oleh Thumbelily adalah sebuah kebenaran.

Dengan emosi yang memuncak, Elijah segera berlari menuju pintu keluar lambung kapal. Ia menghunus pedangnya siaga dan penuh tekad. Sang pangeran peri sudah tahu kemana harus mencari Lorelie. Berbagai pertanyaan dan asumsi bergumul di kepalanya, menuntut penjelasan. Namun, sebelum tubuh peri laki-laki itu melewati ambang pintu, Tribal yang baru saja tiba dengan pasukannya sontak menahan sang peri.

"Kau mau ke mana?" Tribal mendesis di depan wajahnya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan.

"Aku akan menyelamatkan Lorelie," tuturnya sembari berusaha mendorong tangan Tribal yang menghalangi tubuhnya.

"Kau tak tahu apa yang kau hadapi!"

"Jadi kau tahu? Kau tahu siapa yang melakukan ini, bukan?"

Tribal mengatupkan bibirnya hingga membentuk sebuah garis lurus. Rahangnya berkedut.

"Jawab aku! Siapa yang melakukan ini?" Elijah mendesaknya. Mencekal kerah tuniknya hingga Rage dan satu awak kapal lainnya bereaksi dan sontak menarik kedua lengannya ke belakang tubuh.

Tribal merapikan kerah tuniknya setelah cekalan Elijah terlepas. Ia berdecak seraya menggeleng pelan. "Lihatlah betapa cinta telah merusak pikiranmu, anak muda," cetusnya.

Elijah meraung. Melampiaskan segenap kemarahannya, sementara kedua lengannya tak dapat melakukan apa-apa. "Lepaskan! Aku akan menyelamatkan Lorelie!"

"Tidak seperti ini caranya, Elijah. Apakah kau ingin mati sia-sia sebelum menyelamatkan kekasihmu?" Pertanyaan Tribal membuat peri laki-laki itu terdiam. Raungannya terhenti saat ia mulai mencerna perkataan sang kapten.

"Aku bisa saja membiarkanmu pergi dengan kegilaan dan kenekatanmu untuk menghadapi Raja Fleur. Akan tetapi, karena kau adalah bagian dari misiku, bagian dari pelayaran ini, aku tak akan membiarkanmu mati sia-sia. Kecuali jika kau memang sudah bosan hidup," lanjut Tribal.

Lagi-lagi ucapan sang bajak laut berhasil membungkam Elijah. Perlahan, Rage dan satu awak kapal lainnya melepaskan rengkuhan mereka pada kedua lengan sang peri laki-laki saat menyadari jika api perlawanan Elijah telah sepenuhnya redup.

"Lorelie juga bagian dari pelayaran ini, maka aku pasti akan menyelamatkannya."

Entah bagaimana caranya, kata-kata Kapten Tribal sontak membuat sesuatu di dalam dada Elijah menghangat dengan cara yang tak pernah ia alami sebelumnya. Sang bajak laut yang gila emas itu telah mengajarkan sesuatu yang berharga baginya detik itu, dan Elijah tak akan pernah melupakannya.

Setelah Tribal membagi pasukan bajak lautnya menjadi dua; sebagian bertahan di Borbounaisse dan sebagian lainnya akan bergabung bersamanya untuk menyerang istana Raja Fleur. Tak lupa ia membawa sebuah lencana khusus yang terbuat dari emas, dengan ukiran wajah Fleur yang tercetak jelas di sana, sebagai tanda pengenal untuk memasuki istana. Ia juga meminta para bajak laut membawa senjata pilihan mereka masing-masing. Senjata-senjata yang mereka bawa dapat dengan mudah melewati gerbang pelintasan dermaga jika Tribal menunjukkan lencananya. Jika perundingan mereka tak berjalan mulus, besar kemungkinan mereka akan menyerang dan berperang.

Beberapa saat kemudian Tribal dan pasukannya menuruni tangga Bourbounaisse satu per satu, menuju dermaga. Thumbelily, peri kecil pemarah itu berurai air mata saat melepas kepergian Tribal.

Elijah menyunggingkan senyum meremehkan pada perilaku Thumbelily. Namun, pada detik berikutnya, Elijah baru menyadari jika ada sebuah hubungan yang tidak biasa antara Tribal dan peri kecilnya.

⚔️⚔️⚔️

Pratritish Kingdom tidak seperti kerajaan mana pun yang pernah Elijah kunjungi. Istana yang seolah disepuh emas itu berdiri kokoh di atas bukit Lavender yang kuas. Sementara aneka jenis batu mulia beragam warna bertakhta pada puncak menaranya yang berjumlah ratusan--- menyembul anggun dari balik tembok benteng yang tingginya nyaris lima kaki. Elijah seketika mafhum dari mana kegilaan Tribal terhadap emas itu berasal.

Namun, untuk mencapai benteng di kaki bukit, siapa pun harus melewati sebuah jembatan besar, yang melengkung di atas sebuah danau. Pada pangkal jembatan puluhan sentinel telah berjaga dengan persenjataan lengkap dan baju zirah yang hanya menyisakan sepasang mata untuk melihat bagi penggunanya.

"Sepertinya kedatangan kita sudah disambut," gumam Tribal sembari menyunggingkan senyum palsu terbaiknya. Satu tangannya terangkat ke udara, memberi tanda agar para awak kapal berhenti di belakangnya. Sementara ia berjalan perlahan mendekati salah satu sosok sentinel yang tak bertopeng baja. Sudah dapat dipastikan jika sosok itu memiliki pangkat tertinggi dalam pasukan.

"Selamat malam, Tuan." Peri laki-laki tanpa topeng baja itu membungkukkan separuh punggungnya, memberi salam takzim. Dia satu-satunya sentinel yang tak menghunuskan senjata, setidaknya itu yang dapat Elijah lihat dari luar.

"Selamat malam." Tribal terkekeh, memamerkan deretan gigi emasnya. "Aku, ingin bertemu Raja Fleur."

"Maaf, Tuan. Apakah Anda adalah tamu undangan kerajaan?"

"Tamu?" tanya Tribal pura-pura tak mengerti. Sandiwara sang kapten bajak laut sangat terlihat natural. Selanjutnya ia merogoh saku pada rompi kulitnya. Mengeluarkan sebuah lencana yang telah ia siapkan sedari masih berada di Borbounaisse, kemudian mengangsurkannya pada sentinel itu.

Alis sang prajurit mengerut dalam saat mengamati benda tersebut. Entah mengapa, Elijah memiliki firasat yang amat buruk mengenai ekspresi sentinel itu.

Benar saja, begitu ia meletakkan lencana tersebut kembali ke atas telapak tangan Tribal, beberapa sosok sentinel merangsek maju tanpa aba-aba, kemudian menghunuskan bilah pedang yang tajam ke leher Tribal.

Puluhan sentinel lainnya sontak turut menghunuskan senjata mereka ke arah para awak kapal. Berdiri berjajar membentuk barisan yang memblokade mereka dari sang kapten. Hal tersebut seketika mengundang reaksi yang sama dengan para bajak laut. Mereka memasang kuda-kuda sekaligus menghunuskan senjata mereka masing-masing untuk melawan para sentinel.

"Lepaskan kapten kami!" desis Elijah penuh ancaman. Ia dan Rage maju beberapa langkah, mencoba sedekat mungkin dengan posisi Tribal untuk melindunginya. Akan tetapi, blokade sentinel yang menghunuskan pedang itu menghalangi mereka.

"Aku mendapat titah dari Raja Fleur untuk menghalangi rombongan Tribal," tegas sentinel itu dengan wajah tanpa ekspresi.

Rahang Elijah mengetat. Gigi-geligi di dalam rongga mulut beradu menahan geram. "Jika kau tak mau mengijinkan kami masuk secara baik-baik, maka kami akan masuk secara paksa!" teriaknya.

"SERANG!"

Para awak kapal Borbounaisse sontak menyerang para sentinel segera setelah komando dari Tribal. Suara dentingan bilah pedang yang saling beradu memenuhi udara malam The Infinite Haven. Tangkisan dan serangan silih berganti dilepaskan oleh masing-masing kubu. Bertahan dan menyerang adalah strategi yang mereka adu. Embusan angin meningkahi jiwa-jiwa marah yang ingin memberontak, merebut kembali apa yang seharusnya menjadi bagian dari mereka. Malam itu akan menjadi malam yang panjang bagi para awak kapal Borbounaisse.

⚔️⚔️⚔️

Saat cahaya bulan samar-samar menerobos lewat salah satu celah jendela Praritrish Kingdom, Lorelie mulai bergerak gelisah di dalam air. Siripnya perlahan tapi pasti mulai terasa panas. Setitik cahaya mulai muncul dari pinggangnya, kemudian merayap turun. Lorelie mengerang pelan, netranya lekat mengawasi Raja Fleur yang sedang terpana menatap proses perubahan sirip menjadi tungkai. Perubahan itu tak berlangsung lama, setelah cahaya menyelubungi seluruh siripnya, dalam sekejap mata sirip itu sontak berganti menjadi sepasang tungkainya.

Lorelie segera berdiri di dalam kolam dangkal itu saat sepasang tungkainya telah terbentuk sempurna. Gaun putih polos yang setengah basah membaluti tubuhnya. Sisik-sisik kuning keemasan yang terdapat di beberapa bagian tubuhnya telah menghilang sempurna. Wujud aslinya kini terpampang di hadapan sang raja.

"Kau ... rupanya benar-benar peri yang dicari sang Penyihir Lautan selama ini." Raja Fleur melangkah pelan, mendekatinya. Pupil mata sang peri cahaya melebar. Sementara Lorelie melakukan hal yang sebaliknya, mundur perlahan seraya memasang kuda-kuda. Kini setelah sepasang tungkainya muncul, ia merasa sebagian besar kekuatannya sebagai kesatria turut kembali.

"Jangan mendekat atau aku akan menghajarmu!" ancam Lorelie.

Alih-alih marah dan terganggu atas ucapan gadis duyung itu, Raja Fleur malah terbahak keras. "Sangat menarik. Andai saja Penyihir Lautan tak mengharapkan pertukaran sepadang dengan putriku, barangkali aku akan melindungi dan membawamu ke sisiku."

Sang raja kemudian menjentikkan salah satu jarinya ke udara. Tiga sosok sentinel seketika datang menghadap. "Perintahkan Barrack untuk mempersiapkan ritual pemanggilan Sang Penyihir Lautan. Aku telah menemukan apa yang diinginkannya!" Salah satu sentinel membungkuk kepadanya, sebelum melesat cepat meninggalkan balairung untuk melaksanakan tugas.

Lorelie gemetar di tempatnya. Bayangan sesosok peri laki-laki dengan tubuh gurita kembali menghantuinya. Jadi inilah arti mimpi-mimpi yang selama ini menjadi bunga tidurnya. Sepertinya, mimpi itu akan segera menjadi nyata. 

Lorelie menyorot liar ke sekitarnya, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melawan. Netranya mendapati sebuah penyangga bejana berisi kunang-kunang yang berjarak hanya beberapa langkah dari posisinya. Dengan gerakan cepat dan tak terduga, gadis duyung itu meraih penyangga lampu yang disepuh emas itu. Bejana di atasnya jatuh terhempas ke lantai. Kacanya berderai hingga  membuat kunang-kunang yang tertawan di dalamnya terbang bebas. 

Sementara Raja Fleur dan para sentinelnya terkesiap atas perbuatan Lorelie. Dua sosok sentinel merangsek maju melindungi raja mereka. Pedang terhunus dan langsung terayun menyerangnya. Gadis duyung itu refleks mengangkat peyangga bejana yang serupa tongkat panjang dengan diameter tak lebih dari satu ruas jari. Denting bilah pedang yang beradu dengan logam segera memenuhi ruangan saat Lorelie berjuang mempertahankan dirinya dari serangan para sentinel.

Raja Fleur menggeram marah. "Bawa pasukanku kemari dan tangkap gadis duyung itu. Segera bawa ia ke ruangan ritual!" teriaknya sembari berjalan mundur ke arah pintu keluar balairung.

Sesosok panglima berambut pirang gelap menghampirinya, membungkuk hormat sebelum menyampaikan sebuah berita yang sontak menimbulkan pengharapan di hati Lorelie. "Yang Mulia, Tribal dan awak kapalnya menyerang benteng istana."

Raja Fleur kembali berteriak marah. "SIAL!" raungnya. "Kau bereskan gadis duyung itu dan aku akan menangani Tribal beserta rombongannya," ucap sang raja sebelum berlalu.

Para sentinel silih berganti datang menyerang Lorelie. Gadis duyung itu mulai kelelahan, keringat membanjiri pelipisnya. Napasnya terengah. Logam penyangga yang semula menjadi tamengnya telah berganti sebilah pedang dari sesosok sentinel yang telah ia kalahkan. Lorelie bergeming saat netranya bersirobok dengan sesosok panglima peri cahaya yang baru saja datang dan nyaris menyerangnya, pedang dalam genggamannya terlepas.

"Bagherra!" serunya dengan mata membelalak.

Hal yang sama juga terjadi pada sang panglima perang. Alih-alih menghunus pedangnya pada Lorelie, peri laki-laki itu malah membantunya, menangkis serangan para sentinel yang mengincarnya.

"Tuan Putri, Apa yang anda lakukan di sini?"







TBC
Pontianak, 27 Agustus 2020, pukul 23.41 WIB.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top