15. 🔱 The Trident
Elijah tak bisa mengalihkan pikirannya dari ucapan sang peramal, bahkan setelah ia menjauh diri dari keramaian di depan tenda itu. Sepasang tungkainya melangkah menyusuri jajaran tenda aneka warna. Kerangka aneh yang bergelantungan pada bagian depan tenda, organ-organ makhluk hidup berupa kuku, mata, taring, dan tanduk dalam bejana kaca yang tersusun pada salah satu sisi tenda pun agaknya tetap tak berhasil menarik atensinya. Semua terlihat samar dan monoton dalam penglihatannya.
Bersamaan dengan matahari yang beranjak naik ke atas singgasana langit, pasar ilegal itu semakin dipadati pengunjung. Perahu-perahu kecil dan beberapa kapal berukuran besar satu per satu menambatkan talinya pada tonggak-tonggak kayu di sepanjang dermaga atau menurunkan jangkar. Antrian di depan gerbang pelintasan semakin mengular. Para sentinel yang menyambut di gerbang semakin bertambah jumlahnya--- masing-masing dari mereka membawa persenjataan lengkap--- menanti dan memeriksa setiap makhluk yang akan masuk ke Infinite Haven dengan seksama.
Kenangan hidup yang pernah dilalui Elijah di Avery kembali menerjang ingatan. Membawa sang pangeran peri pada kilasan petualangan-petualangan liar yang pernah ia lakukan di tempat-tempat tersembunyi, bahkan terlarang. Ia mengingat makhluk-makhluk aneh dan mengerikan yang pernah ia temui di setiap petualangan. Dahulu, ia mengira jika ia telah bertemu dengan mereka semua, seluruh penghuni Fairyverse. Akan tetapi, keyakinannya akan hal itu runtuh seketika setelah menyaksikan lebih banyak makhluk yang belum pernah ia temui sebelumnya. Mereka tumpah ruah di jalanan, di antara tenda-tenda aneka warna di sepanjang jalan yang ia lalui. Elijah seketika merasa pengetahuannya selama ini hanyalah butiran debu belaka.
Elijah terus berjalan menikmati pemandangan yang tersaji di hadapan hingga langkahnya mencapai tenda sepi yang berada pada deretan paling akhir di dermaga. Pada bagian itu, jarak antara dermaga dan lautan sangat dekat. Hanya terpisah oleh sebidang pasir putih landai yang berada dalam jangkauan ombak.
Peri laki-laki itu menghentikan langkah dan memilih untuk mendudukkan bokongnya pada sebongkah batu besar. Pandangannya menyisir sekitar. Beberapa dwarf berpakaian merah dan hijau mengunjungi salah satu tenda yang terlihat jelas dari posisinya. Sementara, sesosok peri laki-laki ramping berkulit pucat tampak sedang melayani mereka dengan wajah tanpa ekspresi. Wajahnya terlampau tirus dan sempit. Sesekali bola matanya yang tenggelam di antara kelopak mata yang seolah membengkak itu melirik Elijah dengan penuh tanya.
Salah satu sudut bibir Elijah tertarik ke atas saat menyadari apa yang mungkin saja dipikirkan peri cahaya itu tentangnya. Pencuri rendahan. Kenyataan mengenai siapa dirinya sekarang kembali menohok Elijah. Perutnya terasa bergolak. Ia pasti akan memuntahkan seluruh kesialan ini andai saja ia bisa. Menjadi bukan siapa-siapa sungguh terasa sangat menyedihkan dan semua ini berawal dari hawa nafsunya sendiri untuk berkuasa, untuk memiliki apa yang semestinya tak ia miliki. Penyesalan yang merongrongnya ini menjadi aral yang terus saja menghalanginya untuk menjalani kehidupan yang baru.
Elijah mengembuskan napas panjang nan berat, kemudian membuang pandangan ke arah lautan. Mengacuhkan tatapan curiga dan bisik-bisik samar dari balik tenda sang peri cahaya berwajah tirus. Namun, sudut matanya tiba-tiba menangkap kelebatan sosok yang sangat familier tengah melintasi jalan setapak di antara dua tenda di seberang posisinya. Bayangan sosok itu sontak membuyarkan lamunannya. Memaksa sepasang tungkainya beranjak dari duduk dan mengekor sosok bertudung hitam itu.
Batu dan kerikil kecil yang menutupi keseluruhan badan jalan setapak itu menimbulkan sensasi menusuk-nusuk pada telapak kakinya yang hanya beralas sepatu kulit usang saat ia melangkah tergesa. Di luar dugaannya, bagian belakang sederetan tenda-tenda di dermaga itu ternyata adalah sebuah hamparan padang ilalang kekuningan yang sangat luas. Warna kuning keemasan mendominasi pandangan Elijah. Membuatnya mengernyit sesaat menahan silau. Barangkali rumput ilalang di tempat itu juga mengandung emas. Punggung kokoh berjubah yang menjadi penuntun Elijah menghilang cepat di penghujung padang ilalang setinggi dada, di balik sebatang pohon besar berdaun lebat.
Elijah memacu tungkainya lebih cepat, mengingat luasnya Padang ilalang yang harus ia jelajahi. Cahaya matahari yang telah tergelincir dari takhta di puncak langit membakar kulitnya dengan semena-mena. Napasnya memburu. Setelah bermenit-menit yang sangat lama dan ia nyaris saja menyerah, langkahnya kemudian terhenti saat mendapati kembali sosok berjubah itu beberapa langkah dihadapannya.
Rage ada di sana. Berdiri menyamping, menampakkan salah satu sisi wajahnya yang tak akan mungkin salah ia kenali. Sementara sosok berjubah itu berlutut dihadapan Rage, menurunkan tudung kepalanya pelan, lalu menunduk pada sesuatu yang ada di bawah sana. Dua gundukan tanah merah di sisi kanan dan kirinya menandakan sebuah penggalian dan penemuan.
"Aku tahu kau di sana. Keluarlah!"
Sapaan itu bagai sambaran petir yang menyengat pendengaran Elijah. Membuat tubuhnya gemetar seketika. Suara itu suara yang sangat ia kenali. Tribal The Gold Digger Tydes. Apa sebenarnya yang dilakukan bajak laut itu?
Rage sontak menoleh pada sang pangeran peri, dengan wajah sedatar biasanya. Hanya saja, kali ini iris matanya sedikit melebar karena keterkejutan atau mungkin ketakutan akan reaksi Tribal selanjutnya.
Sementara, Elijah membelalak, masih mematung pada tempatnya, saat Kapten Tribal berdiri dari posisinya, kemudian berbalik menyorotnya. Di antara gundukan tanah yang terlihat dari balik jubah sang bajak laut, sebuah lubang galian yang menganga menampakkan salah sesuatu yang seperti peti harta karun.
"Kau telah mengetahui terlalu banyak, Pangeran. Lebih banyak dari yang sepantasnya kau ketahui." Tribal mengesah pelan, sebelum melanjutkan ucapannya, "jadi apa yang sebaiknya kulakukan terhadapmu?" Netra sang kapten mengelam, sementara bibirnya membentuk satu garis lurus yang tegas. Ekspresinya sungguh tak terbaca.
"Aku tidak tahu apa-apa." Hanya kata-kata itu yang berhasil lolos dari mulut Elijah. Keterkejutan masih mengungkung pergerakannya. Terlebih tatapan netra karamel sang kapten yang secara misterius mengantarkan aliran dingin dengan perlahan, memanjati telapak kaki dan tangannya.
Sejurus hening menyelimuti area padang ilalang yang nyaris gundul itu. Sebatang pohon besar yang menjadi naungan Elijah dari sengatan matahari merupakan satu-satunya pohon yang tumbuh pada hamparan Padang ilalang. Di sela-sela ilalang, rumput hijau pendek mencuat dari celah di antara bebatuan yang mendominasi permukaan tanah itu. Beberapa helai diantaranya adalah rumput yang hidup, bernyanyi pelan dalam lirih dan bahasa serupa gumaman.
Elijah yakin jika ini adalah alasan sebenarnya mengapa Tribal selalu singgah di The Infinite Haven sebagaimana yang dikatakan Rage. Menyembunyikan sesuatu yang berharga pada pulau-pulau tertentu adalah salah satu kebiasaan bajak laut, sebagaimana yang diterangkan dalam perkamen yang pernah Elijah pelajari dalam perpustakaan di Avery. Jadi, apa yang dilakukan Tribal saat ini bukanlah suatu keanehan dan tindakan tabu.
"Rage, keluarkan benda itu sekarang!" Alih-alih melontarkan segenap ancaman dan sumpah serapah pada Elijah, Tribal menitahkan tangan kanannya untuk mengeluarkan apa yang sedang ia gali di dalam lubang menganga itu. Namun, netra karamel sang bajak laut tetap mengunci Elijah pada tempatnya.
Rage mengangguk, selalu mematuhi tanpa perlu mempertanyakan. Melepaskan gagang cangkul yang bilah tajamnya dilumuri tanah merah dan hitam dari genggaman, kemudian berjogkok. Dengan sedikit kesusahan peri bertubuh bongsor itu menarik sebuah peti kayu selebar ambang pintu dari dalam lubang galian. Tanah merah memerciknya, sesaat sebelum peti itu terangkat naik dari lubang galian. Ukiran-ukiran rumit memenuhi permukaan peti yang berwarna keemasan kala diterpa cahaya matahari.
"Mendekatlah kemari!" Tribal menaikkan dagunya dalam gerakan cepat, mengundang Elijah untuk mendekat. Tatapannya pada Elijah mencair bersamaan dengan aura dingin dan intimidasi yang berangsur mengendurkan belenggunya pada kaki-kaki sang pangeran peri.
Elijah mengembuskan napas lega kala ketegangan yang tercipta sebelumnya menguap dalam panas matahari yang membakar kulitnya. Ia melangkah pelan dengan kewaspadaan yang sama sekali tak berkurang, mendekati Tribal yang kini memusatkan atensi pada peti berukirnya. Jantungnya masih berdetak di luar kendali dari balik tunik lusuh khas bajak laut yang ia kenakan. Bahkan di saat seperti ini pun, Elijah merasa sama sekali tak dapat menebak pikiran sang kapten. Keinginan sang bajak laut selalu terselubung dalam tingkah polahnya yang tak terduga.
Kapten Tribal kembali berlutut di atas kedua tungkainya, saat Elijah telah berada di sisi. Tangan berpengait besinya mengetuk perlahan permukaan peti berukir sembari terkekeh pelan. Sebelah tangannya lantas membersihkan sisa-sisa tanah merah yang menempel pada permukaan peti dengan afeksi yang tak pernah Elijah lihat sebelumnya. "Kau tahu, Pangeran, Infinite Haven adalah tempat paling aman untuk menyimpan barang berharga," ucapnya tanpa mendongakkan wajah.
Entah mengapa ucapan sang kapten semakin mengerucutkan asumsi yang Elijah. "Apakah tempat ini adalah tanah kelahiranmu?" tanyanya penuh selidik.
Tribal sontak menghentikan gerakan tangannya. Terdiam sesaat, sebelum bangkit sembari mengembuskan napas panjang. Rage di sisinya menganga dengan keterkejutan yang amat kentara. Namun, Elijah sama sekali tak merasa jika pertanyaannya itu adalah sesuatu yang tabu.
Sang kapten berdecak, sementara sebelah telapak tangannya membersihkan pengait besinya. Merontokkan butir pasir dan kerikil yang menempel di sana. "Sesosok pangeran tetaplah pangeran, meski berpakaian serupa bajak laut miskin," selorohnya dengan delikan mata yang meremehkan. Akan tetapi, sedetik kemudian raut wajahnya melembut, bahkan salah satu sudut bibirnya tertarik menampakkan lengkung senyuman. "Nalurimu sungguh tajam, Pangeran. Tempat ini memang tanah kelahiranku."
Rage membelalak. Begitu pula halnya dengan Elijah. Agaknya, tak satu pun bajak laut di Bourbonaisse yang mengetahui perihal ini.
"Kakakku adalah raja para peri cahaya. Diplomasi dan strategi perang yang ia kuasai berhasil mengantarkannya menjadi penguasa di tempat ini. Sungguh membanggakan, bukan? Sementara adiknya hanyalah sesosok pengumpul emas di lautan yang pulang kemari hanya untuk menyimpan apa yang paling berharga dari setiap perjalanan."
Rahang Elijah mengeras. Sementara bibirnya membentuk garis lurus. Sang pangeran dapat menangkap kegetiran terselubung dari nada dan pilihan kata yang diucapkan sang kapten. Sedikit banyak, ia melihat kesamaan antara dirinya dengan Tribal. Mereka sama-sama saudara terbuang, yang selamanya akan hidup di balik bayang-bayang sosok lain jika tak pergi menjauh.
"Pengumpul emas terdengar sangat keren." Hanya itu yang dapat Elijah ucapkan untuk menetralisir kegetiran yang menular padanya dalam sekejap.
Tribal terbahak. Kesombongannya kembali. Netra karamel itu berkilat penuh keangkuhan seperti biasanya. Layaknya sesosok pembohong ulung yang dengan mudahnya menutupi kepedihan hati melalui ekspresi wajah. "Tentu saja. Aku sekeren itu, bahkan raja sekali pun tak akan mampu menyaingi banyaknya emas dan barang berharga yang aku miliki."
"Jadi apa yang kau miliki di dalam peti itu, Kapten?"
"Pertanyaan yang kutunggu sejak tadi," sahutnya masih dengan kekehan yang sama. Tangan pengaitnya telah ia lepas dan simpan dalam tas kulit yang menggantung di sisi tubuh. Setelah merogoh pada saku tas kulitnya yang menimbulkan suara bergemerincing beberapa saat, akhirnya ia berhasil meraih kunci. Jari-jemarinya dengan gesit memutar anak kunci di dalam gembok besar berkarat yang menempel pada salah satu sisi peti. Dalam dua putaran, tutup peti lantas terbuka. Kain beludru menjadi pembungkus sesuatu yang panjang dan terlihat berat, yang telah bersemayam di dalam sana untuk jangka waktu yang tak dapat Elijah pastikan. Debu pekat berwarna abu-abu menjadi selimut yang menguarkan asap tipis begitu tangan-tangan sang kapten meraih benda berbungkus itu.
Tribal mengangkat benda tersebut sangat hati-hati, seumpama tengah menggendong anaknya. Perlahan, jari-jemarinya menyibak kain beludru hitam berdebu yang mambungkusnya. Elijah membelalak begitu kain penutup benda itu tersingkap. Sebilah trisula sewarna tembaga dengan sebuah permata besar berwarna amethyst bertahta di atasnya berhasil membuat Elijah bergeming takjub.
"Trisula Faeseafic?!"
"Lebih tepatnya, Trisula Sang Penyihir Lautan."
Elijah menggeleng, masih dengan ketakjuban yang tak pudar. "Bagaimana kau bisa mendapatkannya?" Pikiran sang pangeran berkelana pada masa-masa ia berada di atas kapal pengasingan sebelum badai yang membuatnya terdampar di Fearsome Enclave terjadi. Sesosok peri pernah menyebut tentang Penyihir Lautan. Pening seketika menghantam pelipisnya setiap mengingat peristiwa itu, seolah ada keping memori yang terlepas dan membuat segala sesuatunya tak seperti sebagaimana mestinya.
"Tribal The Gold Digger Tydes selalu mendapatkan apa yang diinginkannya." Sang kapten menyeringai mengamati trisula dalam genggamannya. "Kita akan membutuhkan ini dalam perburuan nanti," sambungnya lagi.
"Tapi, Tuan---"
Rage membuka suaranya setelah berdiam sebagai pengamat. Ia hendak mengucapkan bantahan. Wajah peri bongsor yang selalu terlihat datar itu kini dibayangi oleh kengerian.
"Kau sama sekali tak punya hak untuk melarangku, Rage. Percaya padaku. Kita akan baik-baik saja." Tribal mendengkus dan dengan cepat menyimpan senjata itu ke dalam sarungnya. Tunik longgarnya yang masih cukup luas untuk menyembunyikan sesuatu menjadi tempat bernaung senjata itu selanjutnya. Sang kapten lantas merapatkan rompi kulitnya yang tak berkancing.
"Penyihir Lautan akan memburu kita jika mengendus keberadaan senjatanya." Rage bersikukuh dengan pendapatnya. Benar-benar berbeda dari si penurut yang selalu diam dan mematuhi perintah sang kapten tanpa tanya.
Tribal berbalik menghadapnya dengan lengan terlipat di depan dada. "Aku tidak meminta pendapatmu, Rage!"
"Tunggu dulu, siapa Penyihir Lautan itu?" Elijah menyela. Sama sekali mengacuhkan ketegangan di antara kedua bajak laut itu. Akibat pertanyaannya, kini Kapten Tribal dan Rage serempak memelototinya dengan tatapan tak percaya.
"Demi Leluhur Para Peri, jadi kau benar-benar tak tahu siapa Penyihir Lautan?" Tribal berteriak dengan suara meninggi. Memelototinya dari kepala hingga ke ujung kaki. Berulang hingga beberapa kali, sebelum akhirnya kapten bajak laut itu mendengkus frustrasi.
"Dia adalah---"
"Kapten! Kapten!"
Ucapan Tribal terputus saat dua sosok kru bajak lautnya muncul tergopoh-gopoh dari balik sebatang pohon besar. Napas kedua makhluk itu memburu dengan wajah memucat yang menyiratkan kengerian. Ekspresi itu seketika menjalari Elijah.
"Ada apa?!" Tribal membentak tak senang.
"Bo-bo-bourbonaisse!" Salah satu bajak laut bertubuh kurus tak terawat tergagap, mencoba meloloskan kata-kata dengan susah payah dari mulutnya. Sementara bajak laut lain---berambut gondrong--- yang datang bersamanya menepuk punggunnya keras hingga menyebabkan peri kurus itu tersedak.
"Biar aku saja yang sampaikan!" sergahnya. Setelah kepanikan sedikit menyurut dari wajahnya, ia melanjutkan ucapan, "Ada penyelinap di Bourbonaisse. Mereka mengobrak-abrik kapal kita, Kapten!"
"APA?!"
Namun, berita dari si awak kapal bukanlah yang terburuk di hari itu. Segera setelah bajak laut yang tersedak tadi sedikit lebih tenang, ia akhirnya membuka suara. Wajahnya terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya, seolah apa yang ia sampaikan dapat mendidihkan kemarahan sang kapten. "Lo-Lo-Lorelie menghilang!"
Elijah membelalak. "Apa?"
Tanpa perlu menanti reaksi sang kapten, pangeran peri itu sontak berlari, menapaki jalanan berkerikil yang menusuk telapak kakinya. Mengacuhkan teriakan bajak laut yang memanggil namanya. Rasa sakit yang ia tanggung nyatanya tak sebesar kegusaran akibat memikirkan ke mana gadis duyung itu menghilang. Ia harus segera menemukan Lorelie, sebelum matahari tenggelam.
TBC
Dipublikasikan pertama kali pada tanggal 15 Agustus 2020 di Pontianak, pukul 15.01 WIB, main-main ke IG @zuraida.thamrin untuk info tentang cerita.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top