14. 🏝️ The Infinite Haven
Elijah memerhatikan Lorelie begitu lama. Namun, gadis duyung itu sama sekali tak membalas tatapannya. Lebih tepatnya, ia pura-pura tak mengindahkan keberadaan sang pangeran peri. Hal itu membuat Elijah cukup jengkel. Ia sangat ingin mempertanyakan keputusan Lorelie, meski di sisi lain ia tak dapat memungkiri kelegaan akan bergabungnya si gadis duyung dengan Bourbonaisse. Lebih tepatnya, entah mengapa, ia ingin berbicara dengan gadis duyung itu apapun alasannya.
Elijah dan para bajak laut mengadakan rapat di buritan. Duduk lesehan pada lantai geladak sedari petang sewarna lembayung menjadi pemandangan hingga bintang-gemintang perlahan muncul sebagai naungan. Cuaca beberapa hari ini cukup cerah, tak ada hujan apalagi badai yang menjadi penghalang. Lautan stabil, tak ada ombak besar yang berarti. Benar-benar waktu yang tepat untuk memulai sebuah perjalanan.
Tribal memimpin rapat. Lebih tepatnya bermonolog dalam lingkaran terbatas yang tak lebih dari sepuluh peserta. Ia terus menyebutkan rencana-rencana dan keinginannya terkait dengan perjalanan mencari emas, tanpa sedikit pun menggubris pendapat awak kapal lainnya. Elijah lebih memilih diam karena rasanya perangai Tribal yang semacam itu sudah sangat tidak asing baginya.
Lorelie telah lama undur diri, bahkan sebelum matahari terbenam di garis horizon. Meminta sebuah kamar khusus dengan dipan dan sebuah bak berisi air kaut. Ia melewatkan rapat yang menurut Tribal sangat penting itu karena alasan pribadi. Ajaibnya, Tribal dapat memaklumi dan memberikan ruang sebebasnya pada gadis duyung itu untuk selalu berada di kamarnya sebelum bulan muncul di langit malam.
Elijah sebagai satu-satunya makhluk yang mengetahui gelagat janggal sang gadis duyung hanya dapat mencibir penuh ejekan pada Lorelie, ketika Rage dan beberapa bajak laut bertubuh kekar menggotong bak airnya meninggalkan buritan. Membawanya ke bilik untuk beristirahat. Gadis itu mendelik padanya dengan tatapan yang diliputi ketidak sukaan. Alih-alih merasakan amarah, Elijah malah merasa jika tingkah Lorelie sungguh menggemaskan. Sikap itu membuatnya ketagihan untuk menggoda gadis duyung itu lagi dan lagi.
Sepanjang sisa rapat yang bertele-tele dan terpusat hanya pada satu sosok itu, atensi Elijah telah terpecah. Menahan gejolak untuk menggaruk tubuh akibat sengatan cahaya bulan di satu sisi dan memikirkan harta karun leluhur Avery yang akan ia rampok di sisi lain, membuat tubuh dan pikirannya gelusah. Meski samar, hatinya masih diliputi keragu-raguan atas keputusan itu. Sebagian hati nuraninya mempertanyakan dan mengutuk keputusan yang dengan gegabah ia ambil, tetapi sebagian lainnya justru merasa puas karena dengan demikian dendam yang menuntut untuk dituntaskan itu akhirnya menemukan jalan.
Sisa malam seusai rapat dengan para bajak laut, Elijah habiskan dengan bertumpu pada pagar kapal. Membiarkan angin laut yang dingin membelai sisik-sisik yang meradang itu. Lambat laun rasanya ia mulai terbiasa dengan gatal dan perih yang mendera beberapa bagian tubuhnya.
Melihat pemandangan ombak gelap yang menghempas salah satu sisi kapal, buih-buih putihnya yang memercik menimbulkan sensasi dingin yang menyengat kala mengenai wajah, membuat kemelut di kepalanya sedikit mereda. Sebuah perenungan yang dalam kemudian merambati kepalanya bagai sambaran kilat yang menghantam tanah. Menyisakan sensasi sengatan penyesalan dalam relung jiwanya. Hidupnya benar-benar jungkir balik sekarang. Alih status dari sesosok peri terpandang yang menguasai kerajaan terbesar di Fairyverse hingga menjadi sosok yang bukan siapa-siapa bukanlah perkara mudah. Sungguh sebuah ironi kehidupan yang tak dapat ia hindari; dan disinilah nasib membawanya sekarang, menumpang pada Bourbonaisse, menjadi perompak licik yang akan menguras harta leluhurnya sendiri.
"Anda belum tidur, Pangeran?" Rage entah sejak kapan telah berada di sisinya. Berdiri canggung dengan gaya formal yang menggelikan. Tunik panjang selutut dan rompi tanpa kancingnya bahkan tak mampu membangkitkan kesangarannya. Seperti itulah peri bongsor itu terlihat di mata Elijah.
Elijah menyunggingkan senyum. Nyaris tersedak akibat menahan tawa. "Aku sedang mencari angin," sahut Elijah sekenanya.
"Terlalu banyak angin tidak baik untuk kesehatan, Pangeran." Rage menyahutinya dengan ekspresi datar. Postur formal nan canggungnya tak berubah seinci pun.
"Kau benar, Rage. Aku dan angin pernah menjadi sahabat karib saat aku menjadi penunggang naga dulu." Elijah melipat kedua lengannya di depan dada. Tubuhnya sedikit condong ke arah Rage, meskipun pandangannya masih lekat pada pekatnya gelombang. Elijah sekilas membayangkan jika gelombang itu adalah naga tunggangannya yang pernah ia naiki bersama Ammara.
"Hidup di daratan terdengar menyenangkan."
Komentar Rage barusan membuat Elijah tersentak. Naga dan Ammara dalam kenangannya kembali menguap menjadi gelombang hitam pekat yang menghantam sisi kapal. Ia harus mengakui jika ia juga merindukan daratan. "Tak pernahkah kau merindukan daratan, Rage?"
Hening menggantung di antara mereka. Di antara deburan ombak yang menghantam kapal dan deru angin malam yang mengibarkan layar hingga akhirnya Rage kembali membuka suara. "Aku selalu merindukan daratan, Pangeran. Di setiap helaan dan embusan napasku, aku merindukannya."
"Pernahkah kau berkeinginan untuk kembali ke daratan?"
Rage menggeleng pelan. Lengannya yang beberapa saat lalu mengepal di kedua sisi tubuh kini meraih pagar kapal. Mencengkeramnya kuat seolah pukulan gelombang itu mempengaruhi keseimbangannya. Pandangannya menerawang pada bintang-bintang dan bulan sabit yang hampir mendekati fase terakhir rotasinya.
"Aku tidak perlu kembali ke tempat lain, jika rumahku ada di sini."
Jawaban Rage membuat Elijah tertegun. Bajak laut ini memang sedikit berbeda dengan bajak laut lainnya yang ia temui sekilas di Bourbonaisse. Rage tidak minum miras seperti yang lainnya. Peri laki-laki bertubuh bongsor itu juga irit bicara dan tak pernah mengumpat. Sekarang Elijah mengerti mengapa Rage bisa menjadi tangan kanan Tribal. Namun, ia merasa jika keberadaan Rage di tempat ini adalah sebuah kesalahan, sama seperti dirinya.
"Ke mana kita akan berlabuh? Aku tidak terlalu dapat mengingat namanya ...." Elijah memasukkan sebongkah kecil permen jahe ke dalam mulutnya. Permen jahe yang baru saja disodorkan Rage dalam sebuah bejana kaca berukuran sedang. Manis dan pedas seketika menyengat lidah bersamaan dengan sensasi hangat yang melingkupi tenggorokan sang pangeran. "Ini enak," celotehnya.
Rage menarik sudut bibirnya sedikit. Barangkali ia sedang berusaha tersenyum, tetapi wajahnya tetap terlihat datar, tanpa ekspresi. "Kita akan segera berlabuh di The Infinite Haven dalam beberapa jam ke depan," sahutnya sembari mengerling langit malam yang semakin pekat.
"Apa menariknya tempat itu? Mengapa kita harus singgah ke sana?" Elijah kembali memasukkan permen jahe entah untuk yang keberapa kali ke dalam mulutnya. Ia telah terbiasa dengan pedas yang hanya menyengat sesaat itu dan agaknya sedikit ketagihan dengan sensasinya.
"Itu adalah pulau yang dihuni oleh para Elf cahaya, para Calaquendi. Kapten selalu singgah ke sana sebelum menjalani perburuan besar. Mereka memiliki pasar ilegal terbaik dan terbesar di seantero Faeseafic."
Elijah mengernyit. "Sebenarnya apa yang ia cari di sana?"
Rage mengedikkan bahu. "Tak ada yang pernah mengetahuinya dan tak ada yang pernah menanyakannya." Raut wajah peri laki-laki bertubuh bongsor itu seketika berubah, seolah percakapan yang sedang mereka lakukan saat itu adalah percakapan terlarang. Dalam netra Rage, Elijah dapat menemukan keteguhan hati dan binar kesetiaan di sana. Percakapan ini mungkin saja mengusik kesetiaannya. "Aku permisi dulu, Pangeran." Rage lantas memutuskan percakapan mereka yang awalnya menyenangkan itu begitu saja. Ia berlalu setelah mengangguk sekilas padanya. Meninggalkan geladak yang telah sepenuhnya hening.
Malam terus bergulir. Angin laut yang berembus semakin dingin dan membekukan. Saat bintang-bintang yang memenuhi langit gelap itu perlahan mulai memudar, Elijah memutuskan untuk kembali ke lambung kapal. Beberapa awak kapal terlihat teler dan berbaring sembarangan di sudut-sudut lain geladak. Kendi-kendi minuman keras bergelimpangan menguarkan bau unik yang merupakan perpaduan aroma arak dan lautan.
Elijah berjalan melewati lorong lambung Bourbonaisse yang sepi itu perlahan. Buaian ombak dan derit papan kayu, entah sejak kapan, menjadi penenang tersendiri baginya. Ia mulai terbiasa menyeimbangkan diri, meski tak menjejak daratan. Barangkali lautan dan petualangan ini memang telah menjadi panggilan hatinya sejak lama. Akan tetapi, ia terlambat menyadarinya sehingga terjebak dalam ambisi dan kemilau mahkota kala itu. Peri laki-laki itu menggeleng cepat, mengenyahkan perangkap-perangkap masa lalu yang mulai menggerogoti pikirannya. Ia harus melupakannya dan menjalani kehidupan yang penuh misteri ini sekarang.
Saat melewati pintu bilik Lorelie, langkah kaki Elijah sontak terhenti. Ia menoleh sekilas pada pintu kayu berlumut yang tertutup rapat. Pendengarannya menangkap bunyi ketukan samar dengan tempo tertentu yang diiringi oleh senandung lirih. Jadi, gadis duyung itu sedang bernyanyi, menghibur diri dalam kungkungan bilik kecil yang sama sekali tak seperti lautan. Tanpa sadar salah satu sudut bibirnya tertarik. Sebenarnya apa yang diinginkan Lorelie hingga mengikutinya sampai sejauh ini?
🏞️🏞️🏞️
Matahari baru saja terbit saat Bourbonaisse akhirnya berlabuh pada sebuah pulau yang dipenuhi cahaya, bahkan dari kejauhan cahaya itu menjadi penuntun di tengah kabut pagi yang menyelimuti Faeseafic. Elijah berjalan tergesa menuju pintu lambung kapal yang terbuka. Awak kapal Bourbonaisse yang hampir berjumlah 150 orang berjejalan di jembatan kayu yang telah menjejak tepian pelabuhan. Pangeran peri itu rupanya termasuk rombongan terakhir yang keluar dari lambung kapal, selain Tribal, Thumblelily dan Rage.
The Infinite Haven tak seperti tempat lainnya yang pernah Elijah kunjungi. Tak seperti Fearsome Enclave yang bahkan dari kejauhan menguarkan aura gelap, The Infinite Haven adalah tempat bercahaya. Terang-benderang. Peri laki-laki itu bahkan sampai harus menyipitkan mata menahan silau. Sebelah tangannya terangkat menaungi pelipis. Setelah telapak kakinya menjejak pelabuhan, Elijah baru mengetahui jika sumber cahaya yang menyilaukan itu berasal dari bangunan-bangunan dan atap-atap hunian mereka yang disepuh emas.
Gerbang pelintasan besar yang dijaga oleh peri-peri cahaya menyambut kedatangan rombongan bajak laut Bourbonaisse. Tak seperti pulau lainnya, The Infinite Haven merupakan pulau yang selalu ramai oleh pengunjung. Terbukti dengan beraneka makhluk yang kini tengah mengantre di depan gerbang pelintasan itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rage, di pulau yang lumayan besar itu memang terdapat sebuah pasar yang cukup unik.
Setelah melewati gerbang pelintasan dan pemeriksaan yang cukup memakan waktu--- di mana senjata-senjata tajam yang mereka miliki harus dititipkan pada sebuah bangunan besar setinggi benteng yang terletak tepat di samping gerbang, mereka akhirnya dipersilakan masuk secara berombongan. Tenda-tenda besar aneka warna berjajar rapi di sisi kanan dan kiri gerbang pelintasan, menyambut pandangan para pengunjung. Jumlahnya sangat banyak, terletak berderet di sepanjang pelabuhan. Berbagai jenis peri berlalu lalang menyambangi setiap tenda yang ada di sana.
Pupil mata Elijah melebar antusias. Terlebih saat pandangannya menangkap samar benda-benda yang di jual pada beberapa deret tenda yang paling dekat dengan posisinya. Tanduk naga, kepala naga, kuku naga bergelantungan di bagian depan setiap tenda, menjadi penyambut pandangan untuk pertama kali. Beraneka jenis tanaman yang digunakan untuk ramuan bahkan tanaman bergerak terletak tepat di bawah kios, berjajar dengan rapi dalam pot-pot tanah liat. Gelas-gelas kaca berderet pada bagian dalam kios, memantik rasa penasaran siapapun yang melihat untuk mampir dan menilik benda berpendar dan aneka warna di dalamnya.
Elijah baru saja hendak melangkahkan kaki menuju salah satu kios yang menarik perhatiannya, saat sebuah tepukan kasar menghantam bahu. Ia terkesiap dan hendak menghardik siapa pun yang melakukannya. Namun, urung kala mendapati binar penuh kewaspadaan pada netra karamel itu.
"Jangan pernah lengah, Elijah. Di sini, terdapat berbagai jenis penyihir. Udara beraroma sihir sangat kentara. Maka, berhati-hatilah!" Sesaat wajah bengis yang mengelam itu mengendus udara, sebelum tatapan penuh peringatan kembali menyorot Elijah.
Pangeran peri itu mengangguk pelan.
"Bagus! Berkumpulah di titik ini sebelum petang," lanjut sang kapten, setelah sekali lagi menepuk pundaknya dengan cukup keras.
Elijah meringis. Namun, cukup lega saat Tribal akhirnya menuju arah yang berlawanan dengannya. Bajak laut itu singgah pada sebuah kios penjaja tulang-belulang. Sementara Elijah, kembali melanjutkan langkah melihat-lihat kios tanpa tujuan tertentu.
Pada sebuah kios dengan terpal merah menyala sebagai naungan, Elijah menghentikan langkah kakinya. Kios itu sebenarnya tak jauh berbeda dengan kios lainnya. Akan tetapi di depan pintu masuk terdapat sebuah antrian yang cukup panjang, memantik rasa penasaran sang pangeran peri.
Sesosok peri elf yang tengah menangis seraya membenamkan wajahnya pada telapak tangan, baru saja keluar dari kios itu dan menabrak tubuh Elijah. Membuatnya terhuyung dan mundur beberapa langkah. Elijah nyaris mengumpati makhluk malang itu, saat pemilik kios menyapanya.
"Hei, pangeran. Mendekatlah kemari!" Sapaan itu tak ayal membuat para peri yang berbaris di hadapan Elijah menoleh padanya.
"Aku?"
"Ya, kau! Siapa lagi pangeran di sini!" Peri perempuan bertubuh ramping itu mendengkus. Jubahnya bergerak-gerak saat salah satu jari telunjuknya mengarah pada Elijah. Dari penampilan fisiknya, sangat jelas terlihat jika makhluk itu adalah penduduk asli The Infinite Haven. Kulit putih yang bercahaya, rambut perak yang berkilauan serta netra biru terang merupakan ciri-ciri fisik peri cahaya yang paling kentara.
Beberapa makhluk yang berbaris di depan Elijah mundur dan memberi jalan baginya untuk mendekati meja tempat sang peri cahaya berdiam. Netra biru terang itu telah berhasil menyedot keseluruhan atensi sang pangeran. Membuatnya tak dapat berpaling dan menuruti panggilan itu.
Elijah telah duduk pada sebuah kursi kayu yang berhadapan dengan sang peri cahaya, saat satu lengannya terulur dan menyentuh sekilas kening sang pangeran. Pupil mata sebiru langit itu melebar. Terkejut.
"Ada apa?" tanya Elijah kebingungan.
Peri cahaya berjubah marun itu membuka suaranya, gemetaran. "Kau ditakdirkan untuk melepaskan Faeseafic dari penjajahan sang penyihir lautan. Kaulah orangnya!"
Suara gumaman dan bisik-bisik seketika terdengar dari makhluk-makhluk di sekitar Elijah. Sebagian menggunakan bahasa Maesash dan sebagian lagi bergumam dalam bahasa yang sama sekali tak ia pahami.
"A-apa maksudmu?" Kernyit di kening Elijah tercetak semakin dalam.
"Kau hanya perlu menemukan senjatamu, pangeran."
Omong kosong apa ini?! Elijah menggebrak meja, kemudian berdiri. "Maaf, tapi kau pasti salah menerka. Lagi pula, aku bukan pangeran."
"Semuanya tertulis jelas di wajahmu, Pangeran. Semuanya. Aku bahkan bisa merasakan auramu sejak kau menjejakkan kaki di daratan ini."
Elijah menggeleng pelan. Ucapan makhluk itu sungguh tak masuk akal. Ia mulai berjalan meninggalkan sang cenayang masih menatapnya dengan sorot yang tak bisa tertebak. Samar-samar di balik punggungnya, bersama embusan angin, Elijah dapat mendengar peri cahaya yang kembali berucap.
"Kau akan menemukan senjatamu di puncak kekayaan."
Puncak kekayaan? Entah mengapa Elijah langsung berpikir tentang The Mighty Mountain.
TBC
Publikasi pertama: Di Pontianak, 07 Agustus 2020 pukul 21.16 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top