13. 🧜Mermaid and The Pirate's Deal
Entah bagaimana caranya, Gloom bisa ada di tempat ini. Harusnya ia tak boleh bermain terlalu jauh dari Eibrich. Risiko akan tertangkap ataupun celaka sangat besar, terutama karena ia makhluk langka. Gloom memang besar dan kuat. Namun, makhluk itu terlalu mengikuti naluri, sangat ceroboh, dan ia sama sekali tidak menguasai sihir. Meski ia merupakan salah satu makhluk yang dianggap paling menakutkan di seantero Faeseafic, tetapi sebenarnya ia penakut dan rapuh. Satu-satu alasan yang dapat Lorelie pahami mengapa ia berada di tempat ini sekarang adalah karena merindukannya.
Gloom sang Kraken berdiam pada palung laut Eibrich, yang merupakan palung terdalam di Faeseafic. Ia sebatang kara. Makhluk itu sebenarnya pernah memiliki sesosok induk. Akan tetapi, dalam sebuah pertarungan besar di Notrood Haven, induknya tewas. Sejak saat itu, Lorelie merasa bertanggung jawab pada makhluk malang itu. Tak satu hari pun ia lewati tanpa menjenguk reruntuhan kapal di dekat palung Eibrich hanya untuk memastikan jika keadaan makhluk dengan banyak tentakel itu baik-baik saja. Sehari sebelumnya, Lorelie menghabiskan waktu untuk mengikuti Bourbounaisse dan melupakan rutinitasnya menjenguk Gloom. Tak disangka makhluk itu lantas datang menyusulnya.
"Hentikan!" Lorelie berteriak memohon tepat saat Kapten Tribal melepaskan tembakan pelurunya. Tanpa sadar setetes air bening terbit di pelupuk matanya. Pikirannya berkejaran pada kemungkinan terburuk yang akan dialami Gloom. Ia berharap waktu berhenti saat itu juga agar ia dapat membisikan bujuk rayu pada kraken malang yang tengah ketakutan itu.
Di luar dugaan sang duyung, waktu benar-benar berhenti, persis seperti yang ia harapkan. Tunggu dulu. Bukan waktu, tetapi ia dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya berhenti. Peluru yang baru saja terlepas dari lubang pistol sang kapten membeku di udara, tepat di depan wajahnya. Andai saja peluru itu tetap bergerak, barangkali perak panas itu telah menembus salah satu tentakel Gloom atau bahkan kepalanya.
Lorelie sangat ingin menepis peluru itu. Menjauhkan benda mengerikan itu dari Gloom. Akan tetapi tubuhnya tak dapat digerakkan. Ia bergeming, sama dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Hanya pikiran dan pandangannya yang dapat menjelajah dan memahami situasi yang terjadi saat ini.
Di hadapannya, Elijah, peri elf bersurai gelap itu tampak merentangkan sebelah tangan, sementara tangan lainnya teracung ke arah Tribal. Moncong pistol itu tepat berada di depan wajah sang pangeran. Namun, sama seperti dirinya, kapten bajak laut itu bergeming dengan mata melotot. Awak kapal di sekitarnya pun turut membeku dalam keterkejutan.
Dalam beberapa saat yang membeku dan terasa panjang, serta kepala yang dipenuhi tanda tanya, Lorelie akhirnya melihat binar khawatir membayang pada netra biru Elijah. Sang pangeran peri menoleh, kemudian berjalan ke arahnya. Dengan gerakan yang tak dapat ia duga, Elijah menepis peluru perak yang membeku di udara. Mengenyahkan kemungkinan buruk yang dapat melukai Gloom.
Sekilas netra Elijah menumbuk pada netranya. Gelenyar aneh seketika menyambangi dada Lorelie. Memacu debaran jantungnya bertalu di luar batas kewajaran. Pipinya memanas seolah tersengat matahari siang bolong. Keanehan itu membuatnya segera membuang pandangan dari sang pangeran peri.
"Wajahmu kenapa memerah?" Lorelie membelalak saat Elijah sepertinya sengaja menggodanya dengan pertanyaan tersebut. Namun, tentu saja, ia tak bisa mengatakan ataupun melakukan apa-apa. Tubuhnya benar-benar kaku.
Elijah tersenyum miring, sebelum membalik tubuhnya kembali menghadap sang kapten. Dengan gerakan cepat, sang pangeran peri meraih pistol Tribal. Tak ada perlawanan. Akan tetapi, dalam sekejab mata, waktu dan keadaan yang terhenti kembali berjalan.
Hal pertama yang menarpa Lorelie adalah air laut yang serupa hujan deras sebagai akibat dua tentakel Gloom yang terangkat ke atas. Sejumlah besar air menggenangi geladak sehingga gadis itu dapat bergerak leluasa, mendekat pada sahabat monsternya.
"Gloom hentikan!" Lorelie berteriak sembari menengadahkan kepalanya. Wajah makhluk raksasa itu bahkan tak terlihat dari tempatnya berada. Akan tetapi, ia merasa harus segera menghentikan makhluk itu sebelum Bourbonaisse beserta isinya hancur berkeping-keping. Dalam gerakan gugup, gadis duyung itu merogoh kalung kerang yang melingkar dilehernya dan mengambil sejumput serbuk peri. Merapal mantra singkat, kemudian memercikkannya ke arah Gloom.
Makhluk itu segera saja menyadari keberadaannya. Kepalanya menunduk, mendapati sosok Lorelie yang mengambang pada genangan air di geladak. Gadis itu melambai hingga mata besar Gloom menyorot padanya. Bersamaan dengan itu, dua tentakel sang kraken perlahan-lahan turun. Membuat kapal kembali terhempas. Air laut kembali menyirami geladak. Tribal dan para awak kapalnya berteriak panik dan segera sibuk untuk menyelamatkan Bourbonaisse dari kemungkinan tenggelam.
Lorelie mengembus napas panjang yang melegakan. Satu lengannya terulur. Menepuk tubuh berlendir Gloom dengan sayang. Sementara makhluk itu tampak mengendusnya sekilas.
"Lihat, Kapten. Duyung itu berteman dengan monster. Bukankah dia sangat berbahaya? Tembak saja dia, Kapten!" Tiba-tiba suara melengking itu memecah konsentrasi Lorelie.
Gadis duyung itu menoleh sekilas pada pixie kecil yang terbang mengambang tak jauh dari posisinya. Wajah makhluk kecil itu sama sekali tak bersahabat. Sebelah alis tipisnya menukik tajam. Bibirnya mengerucut. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Sementara, Tribal yang berdiri di sampingnya menatap terpana pada Lorelie. Kilat kelicikan sepintas terlihat pada kedua bola mata karamel itu.
"Benar sekali!" sahut sang kapten. Salah satu sudut bibirnya tertarik.
Entah mengapa, Lorelie bergidik mendengar ucapan samar Tribal. Terlebih tatapannya yang menyiratkan minat dan kelicikan yang begitu besar. Jelas sekali jika sang kapten menginginkan sesuatu darinya. Apa pun itu, berurusan dengan kapten Bourbounaisse bukanlah hal yang bagus.
"Apa yang Anda pikirkan, Tuanku? Anda punya pistol lain, bukan? Segera tembak gadis duyung itu!" Thumblelily kembali menjerit tak senang. Ia mulai terbang liar mengitari kaptennya. Namun, dalam sekali tepisan, sang kapten berhasil menyingkirkan makhluk itu dari pandangan. Teriakkan tak terima terdengar melengking saat tubuh kecil itu nyaris menghantam geladak.
"Aku pikir kau cukup menarik." Suara sang kapten terdengar lirih dan berat. Kemudian, senyum lebar mengembang pada bibirnya.
"Apa?!"
Lorelie dan Elijah memekik nyaris bersamaan.
🌊🌊🌊
Butuh nyaris setengah hari bagi Lorelie untuk membujuk Gloom meninggalkan Bourbonaisse. Saat matahari mulai tergelincir, barulah makhluk itu bersedia kembali ke dasar lautan. Kepergiannya meninggalkan sebuah gelombang besar yang menghantam kapal hingga membuat para awaknya harus berpegangan erat pada tiang-tiang layar agar tak terlempar ke lautan. Makhluk itu bersedia kembali ke palung Eibrich setelah Lorelie meyakinkannya akan kembali dalam dua hari. Namun, jika dalam dua hari gadis duyung itu tak kembali, Gloom boleh mendatanginya, di manapun ia berada.
Tribal dan awak kapalnya juga telah berhenti menyerang Lorelie dan Gloom. Membiarkannya membujuk kraken itu, bahkan sang kapten memerintahkan anak buahnya untuk menyediakan sebuah wadah besar yang berisi sejumlah air laut agar Lorelie dapat merendam siripnya di sana. Kapten mendadak menjadi ramah, tetapi bagi Lorelie, ia terlihat semakin mengerikan.
Air laut yang semula membanjiri geladak Bourbonaisse telah hilang sepenuhnya. Menyisakan lantai kapal yang menggelap dan lembab. Gloom membantu memiringkan kapal pada satu sisi dengan ujung salah satu tentakelnya, sehingga air yang semula menggenangi geladak, mengalir keluar dari sela-sela pagar kapal dengan mudahnya. Makhluk yang sering dianggap monster itu dapat menjadi sangat berguna jika Lorelie yang memintanya.
"Apa yang kau pikirkan, Kapten? Kau berubah pikiran dengan mudah, setelah membuatnya nyaris mati dan hampir menenggelamkan kita semua?" Elijah bersidekap. Menuntut penjelasan Tribal yang masih memperhatikan Lorelie lekat-lekat, seolah sedang menaksir kemurnian sebongkah besar emas.
"Aku rasa dia akan cocok bergabung bersama kita," sahutnya tanpa mengalihkan pandang dari Lorelie.
Elijah yang berdiri tepat di sampingnya, mengembuskan napas panjang. "Sudah kubilang, kan? Berhentilah berpikiran sinis tentangku, Kapten. Percayai aku sedikit saja." Pangeran peri itu berucap di penghujung embusan napasnya. Melerai kedua lengannya yang saling bertaut di depan dada. Peri laki-laki itu memilih duduk bersandar pada sebuah tiang layar. Membiarkan tunik panjangnya menyerap sisa-sisa air pada lantai geladak yang lembab. Ia menekuk lututnya dan membiarkan kedua lengannya yang terlipat bertumpu di atas lutut. Kelegaan tergurat jelas pada wajah rupawannya yang letih.
Tribal mengerling sang pangeran sekilas. Agaknya terganggu dengan kata-katanya barusan. Akan tetapi, suasana hati sang kapten jauh lebih baik sekarang. "Aku masih perlu banyak bukti, Pangeran. Setidaknya sampai aku benar-benar bisa melihat emas yang kau janjikan, mungkin aku akan berpikir untuk mempercayaimu," ucapnya diiringi kekehan sumbang. Bola mata karamelnya kembali fokus pada Lorelie. "Apa sebenarnya tujuanmu kemari, duyung?" tanyanya dengan suara lembut. Ia berjongkok dalam jarak yang tak menyebabkan Lorelie terintimidasi.
Gadis duyung yang tengah bertopang dagu pada bak air besar dengan tubuh separuh terendam itu menegakkan punggung. Menatap waspada pada sang kapten. Matanya menyipit curiga. "Aku ingin bertemu Elijah," sahutnya ketus.
Tribal membuka mulutnya dengan sudut-sudut bibir yang tertarik. Ia menoleh lagi pada Elijah, kemudian kembali pada Lorelie dengan binar mata ganjil yang tak tertebak. "Jadi kalian saling kenal?"
"TIDAK!"
"Iya."
"Demi leluhur para peri, aku sama sekali tidak mengenalnya! Dia hanyalah duyung aneh yang mengikutiku." Elijah bersikeras membantah fakta itu. Ia menatap Lorelie tak percaya sembari menggelengkan kepalanya cepat.
Elijah mulai lagi. Tingkahnya membuat sesuatu di dalam dada Lorelie mendidih. Perkataan Elijah barusan benar-benar memancing emosinya. Kekagumannya saat peri laki-laki yang menyelamatkannya tadi seketika menguap. "Bukankah aku menyelamatkanmu?!" Lorelie tak ingin mengikuti permainan sang pangeran. Tidak, demi apa pun.
"Jangan mengada-ada. Dasar duyung aneh!"
"Aku tidak menyangka jika kau adalah peri laki-laki yang tak tahu berterima kasih!"
"Jangan berlagak mengenaliku, gadis duyung!"
Tribal berdecak dengan suara agak keras, sembari mengetuk-ngetuk geladak dengan tumit sepatunya sebagai bentuk kekesalan. Lorelie dan peri laki-laki itu akhirnya terdiam. Saling lirik dengan tatapan menusuk. Elijah terlihat tak mau mengalah dan ia akan melakukan hal yang sama.
"Aku muak dengan tingkah kalian berdua. Benar-benar merusak suasana hatiku yang sedang senang," gerutu Tribal, kemudian ia melanjutkan, "baiklah, aku tak peduli jika kalian saling mengenal atau tidak. Persetan dengan hubungan kalian berdua. Jika kalian bergabung dengan Bourbounaisse, maka mau tidak mau, kalian harus saling mengenal mulai sekarang."
Tribal lantas menatap Lorelie agak lama, sementara gadis duyung itu membuang muka pada geladak yang hampir kering. "Apakah kau bersedia bergabung denganku dan pelayaran ini?"
Pertanyaan itu sontak membuat Lorelie mengangkat wajah. Menelisik keseriusan di mata sang kapten bajak laut. Bukankah ini yang ia inginkan sejak lama? Bergabung dalam sebuah kapal untuk dapat berkunjung ke suatu tempat yang paling ingin ia datangi. Akan tetapi, Lorelie tak ingin terlihat begitu menginginkan tawaran ini. Sedikit jual mahal tak akan membuatnya merugi. "Aku ... ingin pulang," ucapnya nyaris tak terdengar.
Tribal terbahak. Menganggap ucapannya barusan adalah lelucon. "Kau pikir akan mudah keluar dari sini setelah dengan lancang menyelinap ke Bourbounaisse, hah?"
Lorelie meneguk ludah. Tribal rupanya bukan sosok yang senang bernegosiasi. Akan tetapi, Lorelie tak akan menyerah, terlebih ia memiliki keinginannya sendiri. "Kau nyaris menyiksaku, Kapten. Bagaimana mungkin aku bisa begitu saja memercayaimu?"
Wajah sang kapten bajak laut mendadak mengelam. Ia tak lagi terbahak seperti saat menanggapi jawaban sebelumnya. "Kau tidak dalam posisi untuk tawar-menawar denganku, Duyung!" Ia melangkah pelan di atas geladak, mendekati bak air tempat Lorelie berendam. "Jika kau menolak bergabung denganku, maka kau akan kembali ke lautan dalam bentuk buih," bisiknya lembut tetapi penuh ancaman.
"Kau mengancamnya, Kapten?" Elijah menyela pembicaraan, hingga membuat Tribal mengusap berewok tipisnya dengan gusar.
"Jangan ikut campur, pangeran!" desisnya.
"Oh iya, aku hampir lupa. Bukankah kau memang mengancam semua orang untuk mendapatkan apa yang kau inginkan." Elijah menimpali dengan sarkas.
Tribal bangkit dari posisinya seraya mengembuskan napas panjang. Tampak jelas dari wajahnya yang mulai memerah, jika ia sedang menahan marah. "Jangan menguji kesabaranku, Elijah," geramnya, sebelum kembali menumpu atensinya pada Lorelie. "Baiklah, aku akan mengungkapkan yang sebenarnya. Aku pikir kau akan sangat berguna untuk menghadapi para siren. Kalian sebangsa, bukan?"
Tubuh Lorelie sontak menegang. Siren adalah makhluk laut yang paling dihindari di seantero Faeseafic. Mitos mengenai penyihir lautan yang berasal dari golongan mereka menambah prasangka kengerian itu. Lorelie masih mengingat jelas pertemuan terakhirnya dengan makhluk itu hingga ia berakhir di Fearsome Enclave. Ketegangan dan ketakutannya kala itu bahkan masih dapat ia ingat dengan jelas hingga sekarang.
Kepalan tangan sang duyung bergetar hebat. Lidahnya Kelu dan tak mampu berkata-kata. Trauma akan kejadian masa lalu melintas di pikirannya bagai kilatan petir yang menyambar dan menyisakan kepedihan samar di dalam dada.
"Kebisuanmu kuanggap sebagai jawaban 'iya'." Suara Tribal memecah lamunan Lorelie.
Tangan gadis duyung itu tak lagi gemetaran. Ia menggeleng cepat. Namun, Tribal telah memutuskan atas kehendaknya sendiri. "Teman monstermu itu juga akan sangat berguna kelak," gumam Tribal sembari menyunggingkan senyuman lebar.
"Aku mohon, jangan libatkan Gloom. Dia masih terlalu kecil." Lorelie memohon.
Tribal terbahak. Jenis tawa yang kembali membuat bulu kuduk Lorelie meremang. "Sekarang, katakan apa yang kau inginkan sebagai imbalan?" tanya sang kapten sembari kembali menelisik ke dalam netra biru sang duyung.
Lorelie merasa jika ini adalah kesempatannya. "Antarkan aku ke suatu tempat setelah misi pelayaran ini selesai," ucapnya.
Tribal menyeringai. Memamerkan gigi-gigi emasnya. "Setuju!"
TBC
Selesai ditulis di Pontianak, pada tanggal 31 Juli 2020.
Dipublikasikan pada 03 Agustus 2020, pukul 10.17 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top