11. ⛵Mermaid on Board
Lorelie memeluk lutut dibalik gentong kayu berlumut yang kini menjadi satu-satunya pelindung. Langkah kaki Elijah dan para bajak laut terdengar menjauh. Meninggalkannya di buritan yang sepi dan berangin. Peri perempuan itu menggigil diterpa embusan dingin angin malam. Tubuh perinya sungguh tak sanggup menahan dingin semacam ini.
Ini adalah pengalaman pertamanya menumpang di atas kapal. Sendirian dan ketakutan. Bagian yang paling buruk adalah kapal ini adalah kapal bajak laut. Kapal yang semestinya harus dihindari para duyung. Akan tetapi, nyatanya, di sinilah ia terjebak sekarang. Tanpa siripnya, ia tak bisa begitu saja kembali ke dalam lautan.
Lorelie bergeser. Merapatkan tubuhnya pada gentong kayu hingga bayang-bayang hitam samar pada geladak kini tak terlihat lagi. Ia menyandarkan punggung dan kepalanya pada permukaan kayu berlendir. Mengacuhkan lumut licin menjijikan yang mengenai kulit leher dan lengannya. Pada situasi biasa, ia bersumpah tak akan pernah melakukan hal gila semacam ini. Namun, kini, apa boleh buat. Gadis duyung itu harus belajar bertahan dan menikmati ini semua. Setidaknya sampai cahaya bulan menghilang. Ia mengembuskan napas panjang. Bukankah ini adalah pilihannya dari awal?
Lorelie menutup kelopak matanya sembari menghayati dinginnya angin yang membelai surai setengah basahnya. Merapal keyakinan dalam kepala bahwa ia akan baik-baik saja dan keadaan ini sama sekali tidak buruk. Tak seburuk kutukan sang penyihir laut padanya.
Entah karena angin, ayunan gelombang atau buritan yang temaram, Lorelie seketika benar-benar merasakan hasrat ingin tidur. Barangkali tidur adalah satu-satunya cara bertahan dalam kesendirian di tempat asing. Memejamkan mata sebentar rasanya tidak akan masalah. Ia memang perlu istirahat sejenak sebelum kembali ke lautan.
Lorelie lantas mulai terlelap, dibuai angin dan gelombang yang menerpa buritan. Senandung lagu-lagu masa kecil yang sering dinyanyikan ibundan ya sayup-sayup mengalun di dalam pikiran. Membawanya terbang menuju tanah yang selama ini ia rindukan.
🌊🌊🌊
Lorelie sangat merindukan tempat itu. Sebuah kerajaan yang terletak di salah satu pelosok Faeseafic, pada daratan hijau yang terletak di tengah-tengah arus dingin dan gelombang. Daratan tempat lahir para kesatria penantang ombak dan para pemburu lautan berdiam. Rindunya berlabuh pada sebuah istana batu yang tingginya mencakar langit. Berdiri tegak di atas sebuah tebing dengan tanaman bunga merambat menutupi hampir seluruh permukaan dindingnya.
Lorelie masih mengingat dengan jelas bagaimana ia menghabiskan separuh hidupnya di sana sebelum terkena kutukan. Hari-harinya dilalui dengan berlari, melompat, menjelajahi seisi daratan. Daratan di tanah para kesatria sedikit berbeda dengan pulau lain di Faeseafic. Daratan ini terdiri dari tebing-tebing tinggi yang dialiri beberapa sungai besar berarus deras, sehingga setiap tempat dihubungkan dengan jembatan yang terbuat dari tautan sulur tanaman.
Lorelie juga merindukan perasaan takut dan tertarik di saat bersamaan, saat menapaki jembatan yang terkadang bergoncang liar akibat angin dan gerakannya sendiri. Tak lupa pula sensasi tajam yang menusuk-nusuk telapak kakinya saat menapaki permukaan sulur. Adrenalinnya benar-benar terpacu, membuat sesuatu di dalam dadanya nyaris meledak karena antusiasme dan rasa takut. Maka, sama sekali tak mengherankan jika para penghuni daratan kelahirannya adalah para kesatria penantang maut dan pemburu yang handal.
Bunyi denting pedang beradu, yang entah berasal dari mana, seketika membuyarkan lamunan kerinduannya. Dengan sepatu kulit setinggi pertengahan betis berwarna cokelat, peri perempuan itu berlari cepat diantara jembatan sulur tanaman yang bergerak liar. Sejenak Lorelie melupakan antusiasme dan ketakutannya. Satu-satunya kekhawatiran adalah keterlambatan menghadiri latihan. Kaki-kakinya menapak lincah hingga akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang kayu tinggi tanpa penjaga. Pemandangan padang dandelion luas menyambutnya dari balik gerbang . Namun, ada yang janggal. Tempat itu terlampau sepi, seolah tak ada jadwal latihan sama sekali hari itu.
"Bagherra!" Peri perempuan bersurai merah yang dikuncir tinggi itu berteriak parau memanggil partner latihannya.
Hening. Tak ada jawaban.
Lorelie menyusuri tempat itu. Mencari petunjuk keberadaan rekan-rekannya yang lain. Akan tetapi, nihil. Barangkali memang tak ada latihan hari itu.
Lorelie memutuskan untuk kembali. Berbalik menuju jembatan yang mengantarkannya ke tempat latihan para kesatria. Namun, suara gemuruh menggelegar disertai getar di bawah kakinya membuat Lorelie terpaku di tempat. Dalam sekejap mata, jembatan dihadapannya mendadak putus. Disusul oleh tanah yang retak dan bergolak. Sebagian kecil bagian tebing itu hancur berderai dan jatuh ke dalam lautan di bawahnya.
Lorelie mundur dan mengelak cepat kala retakan-retakan itu menjalar ke bawah pijakannya. Tanah yang bergolak itu seolah mengejar dan akan menelannya. Keterkejutannya belum mereda saat tiba-tiba tentakel-tentakel panjang berlendir mencuat dari celah retakan tanah. Dua tentakel hitam paling panjang terulur melilit pinggang ramping sang peri, kemudian membawa tubuh mungil itu ke udara.
Lorelie menjerit saat tubuhnya berguncang liar di udara. Beberapa saat kemudian sesosok peri laki-laki muncul dari timbunan tanah. Sekilas sosok itu mirip peri laki-laki biasa dengan paras rupawan yang menyiratkan kebengisan dan kulit sewarna tembaga yang berkilauan seolah disepuh emas. Akan tetapi, bagian bawah tubuhnya serupa gurita dengan tentakel yang mengembang dan bergerak liar ke sembarang arah.
Lorelie menggeliat mencoba melepaskan diri di sela-sela jeritannya. Namun, kekuatannya bukan apa-apa jika dibandingkan makhluk mengerikan itu. Entah dari mana makhluk itu berasal, tetapi rasanya Lorelie dapat mengenalinya melalui kisah-kisah pada perkamen-perkamen tua yang pernah ia baca, melalui catatan mengenai kisah-kisah leluhur kerajaan yang menjelajah lautan. Makhluk itu, makhluk yang tak boleh disebutkan namanya di Faeseafic atau dia akan menyapa dengan cara mengerikan. Penyihir lautan, Andromeda Aerendyl.
"Kau harus dihukum, peri cantik!" desis sang penyihir lautan dalam suara berat dan dalam. Lorelie bahkan belum menyadari apa kesalahannya saat satu tentakel terangkat tinggi ke udara tepat di depan wajahnya. Pendar cahaya ungu terbit pada ujung tentakel yang terlihat seumpama lubang penghisap. Belum sempat Lorelie berkedip, seberkas cahaya yang bagaikan kilatan petir keluar dari sana dan menyambar tubuhnya.
Tentakel yang melilit tubuh Lorelie kemudian dilepas begitu saja, saat sengatan listri menjerat tubuhnya. Lorelie lantas dihempas ke sembarang arah. Sengatan listri itu lalu menjalar ke sepasang tungkainya. Kebas disertai rasa sakit menjalar dari pangkal paha ke ujung kaki, sebelum peri perempuan itu berakhir kehilangan kesadaran.
🌊🌊🌊
Lorelie membuka mata dengan napas terengah. Cahaya temaram menyambut pemandangannya. Ia dapat melihat langit dengan semburat lembayung dan merah muda di salah satu sudut langit yang menaunginya. Suara debur ombak samar-samar terdengar, bersamaan dengan wangi lautan pagi hari menyambut penghidunya.
Lorelie menggeliat dan merasakan sesuatu yang keras menjadi pembaringannya saat itu. Tiang-tiang kapal, tali tambang yang bergelantungan, bendera bajak laut ... Tunggu dulu!
Gadis duyung itu sontak terlonjak dari posisinya. Mengedarkan pandangan ke sekitar dengan perasaan gamang. Ah, ya! Lorelie baru ingat. Ia jatuh tertidur saat bersandar pada gentong kayu berlendir. Akan tetapi, entah mengapa, kini ia tengah berbaring terlentang di geladak. Lorelie menjadi panik.
"Apa yang dilakukan seekor duyung di sini?" Suara tinggi nan cempreng itu membuat Lorelie mengangkat wajah.
Pupil matanya melebar saat mendapati sesosok peri kecil dengan tampang tak bersahabat mengambang tak jauh dihadapannya. Kedua tangan mungil peri pixie itu terlipat, mengintimidasi. Di samping makhluk mungil itu sesosok peri elf bajak laut dengan kemeja longgar yang lusuh menyeringai, menampilkan gigi-giginya yang tak lagi sempurna, sembari menodongkan ujung tombak berkarat ke arahnya.
"Jawab!" geram makhluk kecil itu dengan mata memicing.
Lorelie menggeleng gelagapan. Terlalu kaget dengan keadaan ini. Sebelah kepalanya terasa berdenyut akibat bangun tidur dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Rupanya ia tidur terlampau nyenyak hingga lupa kembali ke daratan. Sirip kuning pucatnya telah kembali.
"A-aku ..." Lorelie berusaha keras mencari sebuah alasan dalam kepalanya. Namun, entah mengapa rasanya begitu sulit. Gadis duyung itu segera memperbaiki ekspresi wajahnya. Mengangkat ujung dagu, menunjukkan seolah tak ada hal besar yang terjadi di antara mereka. Ia tak boleh kalah dengan makhluk kecil pemarah itu. "Maaf, sepertinya aku tersesat. Aku harus segera kembali ke laut," sahutnya sembari beringsut dengan siripnya menuju pagar kapal.
Mata tombak peri elf di samping si Pixie kecil lantas menyentuh kulit punggungnya. Dingin dan tajam. Lorelie sontak menghentikan gerakan, kemudian menoleh enggan pada Pixie kecil yang kini terbang mendekat ke arahnya.
"Apa maumu?" tanya Lorelie ketus. Matanya memicing, mengancam makhluk kecil yang kini terbang mengambang di depan wajahnya.
Agaknya Pixie kecil pemarah itu terganggu oleh sikap Lorelie. Dengan gerakan cepat ia melemparkan segenggaman serbuk perinya yang berkilauan tepat ke wajah gadis duyung itu.
Lorelie terkesiap dan refleks menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Akan tetapi, ia terlambat. Sebagian kecil serbuk seri mengenai matanya. Pedih. Lorelie menjerit. Siripnya menggelepar di atas geladak.
"Jangan main-main denganku!" bentak peri pixie itu berang. Seringai kemenangan terpatri pada bibir mungilnya.
"Dasar Pixie sialan!" Lorelie mengumpat. Menahan perih yang menggelenyar pada bola matanya.
Tawa kemenangan sang Pixie semakin membuat hati Lorelie terbakar. Serbuk peri itu bukan apa-apa baginya, terlebih ketika ia berada dalam sosok duyungnya. Segera setelah efek kejut dari serbuk yang mengenai matanya menghilang, Lorelie lantas menghambur ke arah makhluk kecil yang mengambang di depan wajahnya.
Tawa sang Pixie sontak lenyap, berganti jeritan nyaring yang menusuk pendengaran Lorelie. Tubuh mungilnya ditindih tanpa ampun oleh Lorelie. Kini giliran gadis duyung itu tertawa penuh kemenangan.
"VIRION!" Peri pixie itu berteriak tepat di depan salah satu lubang telinga Lorelie. Gadis duyung itu dengan kesal membekap mulut makhluk kecil itu dengan telapak tangannya.
"Hephat helamatkhan aphkhuuh!" Pixie pemarah itu menjerit dari balik telapak tangan Lorelie.
Bajak laut yang bernama Virion itu kebingungan beberapa saat, sebelum menyadari situasi yang terjadi dihadapannya. Dengan gelagapan ia mencoba melukai Lorelie. Mengayunkan mata tombaknya beberapa kali.
Lorelie menghindar dengan lincah. Berguling-guling di geladak setelah mendapatkan tubuh kecil peri pixie itu di dalam genggaman tangannya. Gerakan dan tindakannya itu membuat Virion kewalahan, terlebih ia takut jika serangannya salah sasaran dan malah mengenai rekannya.
Suara langkah kaki setengah berlari mendekati buritan. Beberapa sosok peri elf mendatangi mereka. Lorelie menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati Tribal, Elijah dan sesosok peri bertubuh bongsor mendekat.
Netranya berserobok dengan netra biru sang pangeran peri.
"Elijah!" Kelegaan seketika menjalari Lorelie. Namun, berbeda dengan ekspresi yang ditampilkan Elijah. Alih-alih menghampirinya, Elijah malah melotot dan menampilkan wajah tak bersahabat padanya.
🌊🌊🌊
"Ada apa ini?!" bentak Kapten Tribal sambil berkacak pinggang.
Suasana buritan mendadak hening. Virion dan Pixie kecil bergeming di posisinya. Lorelie sontak menghentikan penyerangan brutalnya pada makhluk kecil yang masih berada di genggamannya. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama, Pixie kecil pemarah itu akhirnya berhasil meloloskan diri dari genggaman Lorelie yang mengendur, kemudian terbang ke sisi sang kapten.
"Kau mengenalnya?" Tribal menoleh pada Elijah yang masih melotot ke arah Lorelie.
Dari raut wajah Elijah yang mengeras, Lorelie menerka bahwa peri laki-laki itu akan berlagak tak mengenalnya. Posisinya benar-benar sangat terancam saat sini.
Lorelie menggigit bibir. Ia harus menyelamatkan dirinya. "Elijah, kekasihku. Aku sangat merindukanmu," ucapnya lirih dengan sorot mata sendu. Wajahnya perlahan-lahan berubah sedih. Sesuatu seperti hendak melesak keluar dari tenggorokkannya. Kebohongan ini benar-benar memuakkan.
"Di-dia berbohong!" sangkal Elijah. Peri laki-laki itu menyorotnya dengan tatapan tak percaya.
Sang kapten bajak laut menatap Lorelie dan Elijah bergantian. Barangkali sedang menimbang kejujuran pada wajah keduanya.
Tiba-tiba Lorelie menjerit sembari melolongkan tangisan. Kedua telapak tangannya menangkup wajah, sehingga bahu ringkihnya terlihat berguncang. Ia berpura-pura menangis. "Aku sudah mengikutimu sejauh ini dan kau sama sekali tak mengakuiku sebagai kekasih. Aku benar-benar terluka!"jeritnya dalam suara teredam.
"Aku bukan kekasihnya ... Dia berbohong!" Elijah mati-matian menyangkalnya.
Lorelie baru saja hendak membuka telapak tangannya dan kembali bersuara, ketika ledakan tawa Tribal menggelegar memenuhi buritan.
Lorelie secara refleks menurunkan telapak tangannya. Menatap was-was pada sang kapten. Benar saja, dalam satu gerakan cepat yang nyaris tak terlihat, kapten Tribal meraih pistolnya dan menodongkan moncong berkarat itu ke arah Lorelie.
"Kau pikir aku bodoh?!" hardiknya. Seringai culas terbit pada bibir sang kapten. Menampilkan gigi emasnya yang berkilauan.
Pixie kecil yang sedari tadi mengawasi dramanya dan Elijah, kini turut membuka suara. "Makhluk itu tertidur di geladak, Tuan. Rasanya tidak mungkin jika duyung ini memanjat sendiri ke buritan. Pasti salah satu penghuni kapal dengan sengaja membawanya kemari." Sang peri mengerling ke arah Elijah. Menuduh dengan pandangannya. "Tubuh duyung itu diikat dengan sulur rumput laut sihir agar dapat mengekori kapal ini. Benar-benar sebuah rencana yang matang," lanjutnya sembari menunjuk pada lilitan rumput laut di dada Lorelie.
Moncong senjata api sang kapten kini menempel ketat pada pelipis Lorelie. Wajah Tribal terlihat tenang, tetapi ia jelas telah terpengaruh cerita karangan pixie-nya. Bersamaan dengan itu, Tribal berjongkok hingga wajahnya kini berhadapan dengan Lorelie. Jarak mereka kini sangat dekat. Ada binar mengerikan pada netra karamel itu yang membuat Lorelie bergidik.
"Kau tahu, aku menyukai duyung," ucap Tribal sembari menyusuri rahang Lorelie dengan moncong senjatanya. Alih-alih merasa tersanjung, Lorelie malah gemetar.
"Elijah, sayang. Tolong aku." Lorelie bergumam lirih, sementara Elijah sama sekali tak menggubrisnya. Peri laki-laki itu malah membuang pandangan ke sisi lain geladak. Wajahnya sekeruh lautan.
Tribal terkekeh geli. "Menangislah. Aku suka melihat duyung menangis." Tribal menekankan ujung senjatanya pada salah satu pipi Lorelie.
Lorelie yang sedari tadi menahan geram di dadanya, sontak bergerak cepat menepis ujung pistol itu hingga terpelanting ke sisi lain geladak. Tindakannya sontak membuat Tribal berang dan refleks menampar salah satu pipinya.
"Rage, ikat duyung kurung ajar ini di pagar kapal. Siksa dia hingga menangis!" Suara Tribal yang menggelegar membuat beberapa awak kapal berdatangan untuk melaksanakan perintahnya.
Tribal mendekatkan wajah untuk yang terakhir kali pada Lorelie. "Menangislah yang banyak, duyung! Berikan aku mutiara terbaikmu!" desisnya parau.
Lorelie menggeleng keras. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sekuat apapun menangis, ia tak akan pernah menghasilkan mutiara.
Gadis duyung itu hanya terdiam pasrah saat Rage dan beberapa bajak laut lain menyeret tubuhnya, kemudian mengikatnya pada salah satu tiang kapal. Lorelie menggeliat sesaat, merasakan ketatnya tali-temali itu mengungkungnya. Siripnya menggantung lemas di atas geladak, mulai kehilangan kilaunya karena terlampau lama berada di daratan.
"Aku tidak akan memberikan apa-apa untukmu! Aku bukanlah seperti duyung kebanyakan yang kau pikirkan, Tuan Bajak Laut!" Lorelie membantah dengan segenap keberanian yang ia miliki.
Ucapannya barusan ternyata membuat emosi Tribal kian tersulut. Sang bajak laut yang hendak berbalik dan meninggalkan buritan kini berbalik. Mendekatinya lagi dengan langkah cepat dan wajah merah padam.
"KAU MENANTANGKU?!" Tribal mengangkat satu tangannya ke udara kembali hendak mendaratkan tamparan pada Lorelie. Namun, di luar dugaan, Elijah menahan pergelangan tangan itu.
Tribal mendelik. "Kau membela duyung kurang ajar ini?!"
Elijah menjawab dengan tenang. "Aku membunyai sebuah tawaran. Apa kau bersedia mendengar penawaranku?"
Tribal mendelik padanya. Entah apa yang dipikirkan peri laki-laki itu. Lorelie menggeleng frustrasi. Apapun yang Elijah pikirkan, harusnya ia menghentikan rencana itu sekarang atau mereka berdua akan berada dalam bahaya.
Tbc
Dibuplish di Pontianak, 13 Juli 2020
IG penulis: zuraida.thamrin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top