10. 🧜The Siren

Elijah terlebih dahulu berdiri dan menyongsong kedua bajak laut yang telah melewati ambang pintu. Ia mengerling sekilas pada gentong kayu yang menjadi tempat persembunyian Lorelie, berharap bayangan samar pada geladak itu tak tertangkap oleh Tribal.

"Kau tidak suka kamarnya, ya?" Kapten Tribal menyapanya ramah. Semburat merah tercetak pada sepasang pipi sang kapten. Jalannya sedikit sempoyongan. Elijah berasumsi jika sang bajak laut itu sedang mabuk sehingga menjadi lebih ramah dari sebelumnya, seolah pertengkaran mereka beberapa saat lalu tak pernah ada.

"Aku bahkan belum melihat di mana kamarku," sahut Elijah sedikit ketus sembari mengerling ke arah Rage yang sepertinya malah sibuk memeriksa keadaan di sekitar buritan. Elijah seketika menjadi was-was. Apakah tangan kanan sang kapten itu mencurigai sesuatu?

"Kebetulan sekali. Ada yang ingin aku bicarakan terkait dengan pulau menjanjikan yang menjadi tujuan kita. Sekalian aku akan mengantarmu ke kamar." Kapten Tribal menarik lengannya dengan cengkaraman yang sedikit memaksa. Elijah terkesiap. Dengan langkah berat, ia menuruti sang kapten. Namun, baru beberapa langkah, ia menoleh lagi pada Rage.

"Rage, kau tidak ikut?" Elijah menawarinya untuk bergabung saat melihat peri bersurai ikal itu terpaku di tempat. Netranya menyisir kegelapan buritan dengan tatapan memicing, seolah mencari sesuatu. Bagaimanapun perhatian Rage harus segera dialihkan.

"Tampaknya Rage sedang memeriksa sesuatu," sahut Tribal seraya menyeretnya lebih cepat.

"Tu-tunggu dulu." Elijah kembali menghentikan langkah. Sang kapten yang berjalan lebih dulu akhirnya berbalik dan mengernyit padanya.

"A-aku ..." Elijah merasa kehabisan alasan. Kepalanya menoleh pada Rage dan kapten Tribal bergantian. Mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian Rage. Entah mengapa, ia merasa harus melindungi Lorelie. "Aku butuh bantuan Rage," ucapnya kemudian.

"Rage?" Kapten Tribal mengulangi. Sang kapten memiringkan kepalanya. Tatapan memicing itu seolah menyelidik pada rahasia terdalam lawan bicaranya.

Elijah gelagapan. Selintas ide membuatnya dapat bernapas lega beberapa saat kemudian. Ia berdeham. "Barangkali aku tidak menyukai letak perabot yang kau sediakan setelah kita berada di bilik nanti, Kapten. Aku akan meminta bantuan Rage untuk memindahkannya." Lidahnya terasa lebih pahit dari biasanya saat menyebut kata 'kapten'. Bukankah dengan menyebutnya 'kapten' berarti ia telah mengakui kepemimpinan sang bajak laut? Hatinya sedikit perih memikirkan kenyataan ini.

Tribal terbahak. Tawa kelegaan. "Tentu saja." Ia menoleh pada Rage yang mulai berjalan mendekati gentong tempat Lorelie bersembunyi. "Rage, kemarilah!"

Hanya dengan sekali teriakan, Rage langsung menghentikan langkah dan mengikuti sang kapten tanpa bantahan. Elijah kembali mengembuskan napas panjang. Sudut bibirnya sedikit tertarik. Lorelie berhutang sesuatu padanya malam ini.

🌊🧜🌊

Mereka kembali masuk ke dalam lambung kapal. Pada lantai yang sama dengan ruang makan Bourbounaisse, Rage menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu kayu berwarna kusam. Sebuah tabung kaca yang menggantung di depan pintu bersinar temaram. Tujuh ekor kunang-kunang melayang di dalamnya menjadi sumber cahaya. Bunyi kunci yang beradu dengan lubangnya memecah hening lorong itu, disusul bunyi berderit yang berat.

Bilik yang disiapkan untuk Elijah terpampang di balik pintu yang terbuka. Beberapa kuntum bunga yang terletak di dalam bejana kaca pada salah satu sudut ruangan, memendarkan cahaya yang cukup terang. Sebuah pembaringan sederhana menempel pada sisi di seberang pintu. Sementara sebuah meja bundar yang terbuat dari pualam dengan beberapa kursi di sekelilingnya berada tepat di tengah ruangan bilik. Elijah sama sekali tak masalah dengan bilik seperti ini, bagaimana pun ia adalah petualang. Ia bahkan pernah tidur di atas tumpukan jerami di Fairyhill.

Setelah Rage, yang memilih berdiri di pojok bilik seumpama patung, kapten Tribal menyusul masuk dan mendudukkan bokongnya pada salah satu kursi, bahkan tanpa meminta ijin pemilik bilik. Elijah mendengkus, kemudian mengikuti jejak kedua bajak laut itu. Kini ia telah duduk berhadapan dengan sang kapten. Bersidekap, menanti apa gerangan yang ingin disampaikannya.

"Ceritakan padaku tentang .... ?" Agaknya Kapten Tribal tak memiliki kemampuan yang baik untuk sekadar berbasa-basi. Jari-jari tangannya yang bertumpu pada meja, mengetuk-ngetuk permukaannya dengan tidak sabar.

Elijah berdeham. "Sudah kukatakan aku belum pernah ke sana, sama seperti keluarga kerajaan lainnya. Tak ada satupun dari kami yang pernah berkunjung ke sana. Cerita apa yang kau harapkan dari makhluk sepertiku."

Raut wajah sang kapten berubah. Agaknya ia telah salah memilih kata-kata pengantar untuk memulai dongengnya tentang The Mighty Mountain dan harta karunnya yang tak pernah habis. Ia memang tak berniat menceritakan apapun. "Jangan mempermainkanku, pangeran kecil!" Tribal memperingatkan. Rage yang berdiri di salah satu sudut ruangan lantas melangkah maju, berdiri di samping tuannya dengan waspada.

Seketika Elijah merasa jika mengajak Rage ke bilik adalah keputusan yang salah. Ia meneguk ludah susah payah, sebelum kembali membuka suara. "Rumor yang mengatakan jika pulau itu terselubung atau tidak pernah ada adalah sebuah kebohongan yang dikarang oleh keluarga kerajaan Avery. Rumor itu sengaja kami ciptakan untuk melindungi sesuatu yang berharga di sana."

Seperti yang ia duga, raut wajah sang kapten kini berubah serius. Jejak-jejak kemarahannya barusan menguap seketika. "Jadi pulau itu benar-benar ada. Mengapa tak ada satu makhluk pun yang dapat menemukannya selama ratusan tahun?" Pupil mata Tribal melebar. Pijar keingintahuan menyala di sana.

Elijah menyunggingkan senyuman miring. "Banyak yang telah menemukan pulau itu, Kapten. Namun, tak ada satu makhluk pun yang berhasil kembali." Sensasi rasa pahit yang aneh kembali muncul pada pangkal lidahnya sekilas tepat saat mengucapkan kata 'kapten' dan segera menghilang saat ia menyelesaikan kata-katanya. "Pulau itu tidak seperti Fearsome Enclave. Pulau ini memiliki penjaga yang menghalangi jalan masuk. Kita harus menghadapinya terlebih dahulu sebelum menepi."

Mulut kapten Tribal membuka tanpa sadar. Elijah dapat melihat kedutan pada rahangnya saat sang kapten kemudian mengatupkan bibirnya. "Katakan lebih jelas, Pangeran!" Jari-jemarinya tak lagi mengetuk permukaan marmer. Jari-jari itu kini menekuk menjadi kepalan yang dipenuhi ketegangan. Bau lautan sehabis hujan yang pekat menguar saat Tribal kemudian mendekatkan wajahnya pada Elijah.

"Siren. Mereka adalah para penunggu Phantom Enclave!"

"Mereka ...?"

"Dalam perkamen terakhir yang pernah kubaca, setidaknya terdapat tiga sosok siren penunggu di sana."

Suasana mendadak hening.

Pikiran Elijah kembali melayang pada ruang baca Kerajaan Avery, di mana Claude dan Albert selalu menjadi partner belajarnya. Ia sangat tidak suka membaca. Menurutnya, hal itu membosankan. Bagi peri laki-laki itu, lebih baik belajar langsung dari alam, pada hutan-hutan liar di Fairyhill dan Hutan Larangan yang misterius. Namun, terkadang, ia menemukan sesuatu yang dapat membuatnya penasaran dalam perkamen yang kebetulan terbuka dan selintas ia baca.

Salah satu hal menarik kala itu adalah mengenai siren. Jika mermaid adalah duyung dengan jiwa murni yang baik hati, maka siren adalah kebalikannya. Kedua makhluk itu sama-sama memikat, indah dan penuh misteri. Namun, siren, siapapun tak akan pernah kembali jika terjerat pesona gelapnya. Mereka adalah pemilik sihir hitam tertua di lautan. Mereka adalah sesuatu yang bahkan berada di luar kuasa Kerajaan Avery saat menentukan Sheelie dan Unsheelie. Mereka terbebas dari ikatan apapun dan sebagian besar kemampuan dan kebiasaannya masih diselimuti tabir misteri.

Secara fisik, para siren memiliki penampilan laiknya duyung. Mereka memiliki perbedaan hanya pada warna surai, netra dan sirip. Surai panjang para siren cenderung berwarna gelap. Demikian pula halnya dengan sirip. Sirip siren lebih panjang dan memiliki bagian transparan yang menjuntai seperti pita, warnanya hitam atau biru gelap yang berkilat jika diterpa cahaya. Sementara sepasang netra para siren memiliki dua perpaduan warna yang unik dan indah. Rupa mereka sebenarnya mengerikan dengan sepasang insang berkedut di leher dan gigi-gigi serta kuku yang tajam. Namun, mereka memiliki tabir pesona berupa suara dan nyanyian yang menghipnotis yang mengandung sihir. Mereka indah sekaligus gelap di saat bersamaan.

Konon populasi siren sangat sedikit. Pada perkamen terakhir yang Elijah baca, mereka hanya terdiri dari 3-5 ekor dengan tingkat daya tahan hidup yang sangat tinggi. Meski hidup berdampingan dengan makhluk Faeseafic lainnya, siren tentu saja, tak pernah berinteraksi dengan makhluk lain. Para siren selalu menutup diri, bahkan dengan sesamanya. Suatu kali, salah seorang pangeran dari kerajaan Evolitish, kerajaan kecil tak jauh dari Avery, berlayar ke Phantom Enclave dan ia tak pernah kembali. Banyak yang menduga, sang pangeran menghilang terpikat nyanyian siren.

Elijah yakin, Tribal bahkan jauh lebih mengenal makhluk itu jika dibandingkan dengan dirinya. Sepasang netra karamel itu kini juga menyorotkan kengerian yang sama.

Setelah beberapa saat lamanya mereka terdiam, embusan napas Tribal akhirnya terdengar. Meredakan ketegangan yang merayap di balik temaram ruangan. Ia menyentuh pelipisnya, tampak berpikir keras. Elijah menduga, Tribal mengetahui apa yang ia ketahui.

"Aku tak pernah bertemu siren sebelumnya ... menurutmu apa yang sebaiknya aku lakukan?" tanyanya kemudian.

Elijah cukup terkejut saat mendengar pernyataan sang kapten. Apa sebegitu tak berdayanya Tribal sehingga meminta saran padanya? Atau ini hanya sebagai sarana untuk mengetesnya? Apapun itu, ia harus mempertimbangkan jawabannya sebaik mungkin. Tiba-tiba selintas ide muncul di dalam kepalanya. "Menurutku kita harus menemukan makhluk laut yang dapat dijadikan informan mengenai siren. Mereka pasti jauh lebih mengenal predator itu ketimbang para peri yang tinggal di daratan." Elijah mengucapkannya dengan sangat hati-hati sembari mengamati perubahan raut wajah sang kapten.

Kengerian yang tadi membayang pada netra Tribal berangsur-angsur menghilang. Namun, wajahnya datar, tanpa ekspresi. "Kau tahu, aku telah melanglang buana di Faeseafic nyaris seumur hidupku. Aku mengetahui setiap inci tempat ini seperti mengenali kamar tidurku sendiri ..." ucap sang kapten sembari memicingkan matanya. Wajah dengan rahang tegas itu mendekat.

Elijah meneguk ludah kasar. Seketika ia merasa lagi-lagi telah melakukan kesalahan.

"Rage!" seru sang kapten yang masih menatapnya dengan garang.

Rage yang sedari tadi terdiam di samping sang kapten mengangguk takzim. Meski hanya membisu dan menatap tepat pada salah satu sisi dinding bilik, ternyata Rage menaruh perhatian penuh terhadap percakapan itu.

"Bagaimana menurutmu?" Sungguh ajaib, sang kapten meminta pendapat peri laki-laki pendiam bertubuh besar itu. Rupanya Rage memiliki kedudukan yang sangat penting bagi Tribal.

Rage lantas mengerling sekilas pada Elijah, sebelum kembali meluruskan pandangannya pada pintu bilik yang setengah terbuka. "Saya rasa tidak ada salahnya mencoba sarannya, Kapten."

Lebih ajaib lagi, kewaspadaan pada wajah Kapten Tribal mengendur. Peri laki-laki itu tiba-tiba terbahak, membuat ketegangan yang mengungkung udara seketika mencair. "Bagus sekali!" serunya di sela-sela tawa. "Kau bisa memulai mencari informan besok. Aku harap kau mendapatkan informan yang cukup bagus." Sang kapten menyeringai. Elijah menganggap perkataan itu sebagai ancaman, alih-alih sebuah kepercayaan.

"Baiklah, aku rasa, masalah siren tak perlu terlalu kita pikirkan. Dengan atau tanpa penjagaan para siren, aku telah memutuskan untuk tetap ke sana. Namun, aku cukup pemasaran, apakah yang ada di Phantom Enclave sebanding dengan apa yang akan kita hadapi? Sekarang ceritakan padaku tentang The Mighty Mountain dan apa yang ada di dalamnya, Elijah?" Binar keemasan itu kembali membayang pada netra karamelnya yang menggelap.

Elijah berdeham beberapa kali. Menimbang kata-kata yang akan ia ucapkan pada sang kapten. Bagaimana pun, percakapan ini harusnya tidak pernah ada. Percakapan semacam ini bukanlah percakapan yang dapat ia umbar ke sembarang makhluk yang baru ia kenal. Namun, keadaan memaksanya menjadi sedikit oportunis. Harus ia akui, ia sedikit menyesali ini. Namun, ia telah kepalang tanggung.

"The Mighty Mountain berisi emas yang tak pernah habis, seberapa banyak pun diambil. Dan hanya keturunan langsung raja Avery yang dapat membuka kuncinya. Namun, kau juga harus mempertimbangkan sang naga buta penunggu gunung. Makhluk itu juga merupakan ancaman yang serius, Kapten." Elijah menyorot Tribal dan Rage bergantian. Tribal tampak tak begitu menyukai ceritanya. "Kau membutuhkan kesatria pemburu naga ...."

"Hah! Siren! Naga! Persetan dengan semuanya!" Tribal menghantam meja dengan sebelah tangannya. Mengacak rambutnya yang sedikit berantakan frustrasi.

Rage dan Elijah tersentak bersamaan. Namun, wajah Rage tetap tenang, seolah telah mafhum dengan reaksi sang kapten.

"Aku tidak peduli ada apapun atau siapa pun di sana. Aku ingin memiliki emas-emas itu!" tegasnya menghancurkan segenap benteng keraguan yang Elijah bangun agar para bajak laut itu mengurungkan niatnya. Namun, agaknya, apapun yang ia ceritakan, Tribal tidak peduli. Emas adalah targetnya dan ia tak akan berhenti sebelum mendapatkannya.

Sepanjang sisa malam, Tribal terus mengorek informasi tentang Phantom Enclave dan The Mighty Mountain. Sang bajak laut bahkan berulang-ulang menanyakan hal yang sama dalam kalimat berbeda. Setelah memaksakan kepuasannya terhadap jawaban-jawaban Elijah, kapten Tribal dan Rage lanjut membincangkan rute yang akan mereka tempuh menuju The Mighty Mountain.

Elijah bergeming dalam duduknya yang kaku setelah begitu banyak pertanyaan yang diajukan padanya. Beruntung, ia tak begitu banyak mengetahui isi perkamen rahasia tentang harta karun simpanan para peri Avery. Jika saja ia mengetahui, sebanyak yang mungkin diketahui Claude, barangkali pengkhianatannya tak akan pernah terampuni para leluhur peri Avery.

Kelopak mata Elijah nyaris jatuh menutup, sementara Tribal dan Rage terus berbincang seolah tak memiliki rasa kantuk saat suara langkah panik mendekati lorong di depan bilik. Sinar yang dihasilkan kunang-kunang dalam tabung kaca telah nyaris redup kala itu, ketika sesosok bajak laut membuka pintu bilik yang tak terkunci dengan kasar.

Napasnya memburu. Wajahnya panik. "A-ada seekor siren di buritan, Kapten!"

Tribal sontak berdiri dari duduknya. Membelalak. Ia melirik sekilas pada Elijah yang tak kalah terkejut. "Jangan mengada-ada kau, Michael!"

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Rage melewati pintu, melesat meninggalkan bilik.

"Ampun, Kapten. Aku tidak berbohong. Thumbelily ada di sana."

Demi mendengar nama peri pixie itu, Tribal lantas merogoh pistol yang terbenam dalam kantung kulit pada sabuk yang melingkar di pinggangnya. Menyenggol bahu peri bernama Michael dan berjalan cepat menuju pintu bilik. Michael mengekornya dari belakang.

Kekhawatiran perlahan menyusup di dalam dada Elijah ketika mengingat Lorelie yang bersembunyi di buritan. Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam benaknya, membuat peri laki-laki itu berlari mengikuti kedua bajak laut yang telah mendahuluinya. Dalam hati ia berharap jika dugaannya salah. Namun, saat melihat semburat cahaya menerobos dari celah pintu keluar dari lambung kapal, ia tahu sebentar lagi fajar menyingsing. Cahaya rembulan mungkin saja telah menghilang beberapa waktu lalu. Hal ini berarti Lorelie dalam bahaya.












TBC
Ditulis di Pontianak, tanggal 02 Juli 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top