Chapter 9. Kamu, Kamu, Kamu Lagi
Next part kalau enggak 600 votes, nggak usah diupdate aja apa, yaaa? Jadi bener-bener nunggu 600 gitu.
Komennya 4ribu ya ngoahahaha...
BTW sekarang wattpad bisa Like komen, lhooo...
"INGGRID CLARA YUNIAR KEMANA AJA KAMU??? BOS HONGKONGMU ITU NGGAK BERHENTI NELEPON RUMAHKU LIMA MENIT SEKALI SEJAK MUADZIN NYALAIN MIC SUBUH TADI! ANAKKU KEBANGUN, AKU JADI NGGAK BISA NYIAPIN SARAPAN BUAT SUAMIKU KARENA MESTI NYUSUIN! DIA BILANG KAMU NGGAK MAU JAWAB TELEPONNYA! APA YANG BIKIN KOMANDAN ROMUSA ITU BERPIKIR KALAU AKU YANG NELEPON, KAMU BAKAL BANGUN DARI MATI SURIMU ITU, HAH???"
Oh astaga....
Nggak seharusnya aku menjawab panggilan apapun sebelum benar-benar bangun.
"INGGRID?! NGOMONG SESUATU!"
"Bentaaar... aku lagi ngumpulin nyawaaa...," jawabku malas. "Jam berapa sih ini? Panik banget, santai napa?"
"Santai... santai... bujangan kayak kamu tuh memang sekali-sekali harus tiba-tiba bunting biar ngerasain penderitaan jadi wanita karir dan ibu-ibu menyusui kayak gini. Perempuan itu nggak bisa bener-bener ngaku udah multitasking kalau belum punya bayi, punya bos titisan iblis, sama punya rekan kerja nggak tahu diri macam kamu gini!"
"Eits... technically... aku ini bos-mu juga, lho, Ver....'
"Iya! Bos rasa anak buah!"
Aku mengekeh. "Ya ampun, Vero... tolong jangan lampiasin kemarahanmu ke bayi yang bangun dua jam sekali itu ke aku, dong. Kayak gini kamu masih bertanya-tanya kenapa menurut Ms. Fok kamu lebih bisa ngebangunin aku? Memangnya kenapa menurutmu? Ya ini lah! Kamu kalau teriak-teriak udah ngalahin debt collector pinjol! Kalau kamu ngerasa nggak sanggup kerja kantoran sambil ngurus bayi, resign aja.... Kamu juga nggak butuh referensi apa-apa, kan?"
"Anak babi kau, Nggrid...," Veronica menggemeretakkan gigi-giginya. "Aku butuh duit, Brengsek! Aku memang nggak ngejar karir kayak kamu, tapi sampai aku benar-benar nggak bisa kerja lagi, aku butuh duit lebih buat tabungan supaya anakku punya masa depan yang baik! Biar dia nggak jadi kacung kayak ibunya! Biar dia bisa jadi bos!"
"Semua bos juga dulunya kacung, Ver... kalau nggak lahir dari keluarga kaya," kuapku. "Okay... relaks... aku bangun, nih. Kamu jangan galak-galak, dong. Aku ini supervisormu, lho, Sayang? Kamu butuh naik gaji, kan?"
"Kalau sampai tahun ini aku nggak naik gaji gara-gara kamu, kutaruh anakku di depan rumahmu tiap pagi. Biar kamu yang urus. Soalnya kalau nggak naik gaji, aku nggak bakal sanggup lagi bayar day care tahun depan!"
"Terus... anakmu sekarang di mana? Kok kamu bisa teriak-teriak begini? Apa nggak takut bangun lagi? Ntar kamu telat ke kantor...."
"Anakku udah diantar bapaknya ke day care dari tadi!"
"Sepagi ini? Ya ampun... kasihaaan...."
"Jangan pernah ngehakimin pilihanku, ya, Nggrid.... kalau aku beneran resign karena milih anakku... kamu juga yang bakal kelimpungan!"
Tawaku menyembur makin kencang. Emang bener, sih. Aku emang nggak becus. Kata siapa aku butuh ngejar karir? Kerja di sini aja sebenernya bukan tujuanku, tapi masa aku mau begini-begini terus? Kan aku mau jadi kayak Gandhi biar gajiku lebih gede dan nggak perlu mikir-mikir kalau mau jajan Starbucks. Tujuanku apa aja aku nggak tahu. Thanks to Vero, mataku udah lebih melek. "Iya... ampun, Nyai... aku cuman kasihan aja sama kamu... nggak bisa sayang-sayangan sama bayimu lebih lama gitu.... Ini baru jam berapa, sih? Paling baru jam tujuh, kan?"
"Ini udah jam lapan, Anyiiing!" bentak Vero makin brutal. "Aku udah di kantor. Bentar lagi bel pabrik bunyi. Semua orang udah siap kerja, Inggrid!"
HAH???
"Ya ampun... ya ampun... ya ampun...," aku belingsatan sendiri, lompat dari kasur, nyari-nyari handuk, langsung melesat ke kamar mandi. "Nggak apa-apa... nggak apa-apa.. telat dikit."
"Dikit dari Hongkong! Rumahmu sama sini tuh ujung sama ujung. Kalau kamu nggak mandi juga..., kamu baru nyampe sini satu jam lagi!"
"Bilangin ke Ms. Fok, dong... alasan apa, kek, gitu, Ver. Aku belum pernah telat bulan ini, kok. Eum... udah pernah, deng... tapi baru sekali... eh... apa dua kali, ya?" dumalku sambil duduk di toilet buat buang hajat singkat. "Udah, ya... tutup teleponnya... kalau sambil ngobrol, aku suka susah berak. Mau sambil scrolling tiktok aja, nih..."
Vero membuang napas keras-keras di ujung sana. "Kamu kayaknya tiap bangun tidur lupa ingatan gini, ya?"
"Apa, sih?" tanyaku nggak paham sambil mulai mengejan.
"Pikirin sendiri deh sama otakmu yang cekak itu," tandas Vero tajam.
Aku melamun, menikmati ritual pagiku sebelum tiba-tiba tersentak. Lubang duburku sontak menciut.
"Malik Syarifudien Pramana!" aku menjerit. Taiku jadi kepotong. "Dia nyuruh aku jemput dia gara-gara sopirnya nggak profesional!"
"Nah... sekarang kamu udah ingat," kata Vero santai. "Ms. Fok udah di bawah, dia tahunya kamu udah di apartemen Pramana nungguin dia siap-siap. Kalau Pram bocor, siap-siap aja kamu kena SP. Udah, ya... bel udah bunyi... bye-bye!"
"Ver... Vero... please... Ver... bilangin ke supir Ms. Fok buat jemput Pramana dulu. Dia bisa ngamuk, Ver. VEROOOO!!!"
Brengsek!
Vero kabur duluan.
Oh... sekarang nomornya nggak aktif.
Arrrghhh! Gini nih kalau punya anak buah lebih tua dan udah kerja jauh lebih lama daripada kita. Mereka nggak bisa diandalkan di saat-saat darurat!
Okay... nggak ada waktu buat mengeluh. Aku juga udah kepalang tanggung, nggak mungkin skip mandi pagi kalau udah duluan nongkrong di jamban. Lagian... mana mungkin aku nggak mandi? Aku bakal ngadepin Pramana. Aku yakin bukan cuma mulutnya yang tajam, tapi indra penciumannya juga. Dulu waktu kelas 12, jatah sabun dan cologne remajaku selalu habis duluan sebelum bulan berakhir gara-gara Pramana bilang dia suka cewek yang baunya harum. Sampai aku diomelin Bunda karena dikira minum minyak wangi.
Aku buru-buru menuntaskan hajat besar dan melucuti pakaianku, membasahi tubuhku dengan air dingin dan menyabuninya secepat kilat. Entah semua bagian tubuhku udah terkena sabun atau bahkan terbasuh bersih atau belum, aku nggak peduli. Selalu ada parfum sebagai dewa penyelamat di saat-saat seperti ini dan itu yang kulakukan sekarang. Pakaian apa aja yang ada di tumpukan paling atas lemari kusahut dan kupakai.
Tanpa memanaskan mesin, kukeluarkan mobilku dengan lincah dari garasi, lalu mengebut ke jalan utama. Hampir aja aku masuk tol saking gugupnya. Untung aku ingat bahwa aku masih butuh leherku untuk melanjutkan hidup. Aku membanting setir tanpa memedulikan makian supir truck di belakangku dan menyisir kemacetan kota yang nggak terlalu padat, tapi lumayan merayap. Jam digital di mobilku sudah menunjuk pukul delapan lewat dua belas menit.
Gandhi bikin aku terjaga sampai nyaris pukul tiga dini hari cuma demi memuaskan hasratku akan gosip percintaan Pramana. Akibatnya aku kesiangan dan harus menyelesaikan polesan make up tipisku dalam perjalanan ke apartemen Pramana. Dua kali pipiku tercoreng lipstik dan sekarang aku sedang mencoba meratakannya sebagai pengganti blush on.
Di setengah perjalanan, Ms. Fok mulai meneror dengan panggilan-panggilan tak berkesudahan yang kuabaikan. Pasti Pram udah ngadu ke dia bahwa sampai detik ini aku belum muncul juga di apartemennya. Bisa nggak, sih, orang tua renta itu berhenti marah-marah sebentaaar saja? Dia sadar nggak aku justru bakal makin stres kalau dia terus begini?
Aku udah sering memperingatkannya tentang tekanan darah tinggi mengingat tubuhnya yang udah mulai bau tanah, tapi dia bilang dia justru punya tekanan darah yang cenderung rendah dan memang perlu sekali-sekali marah-marah. Mana dia peduli itu bikin orang lain yang kena darah tinggi?!
Aduh!
Aku hampir melewatkan satu-satunya belokan ke Jalan Sultan Agung!
"Hati-hati kalau nyetir, Goblok!" bentak supir ojol di belakangku.
Sejak kapan sih orang-orang Semarang jadi sekasar ini?
Kenapa sebelum memaki-maki, mereka nggak nanya duluan kenapa aku sampai lupa nyalain lampu sein? Please lah... jangan suka judging perempuan yang lupa ngasih lampu sein, kadang kami lagi banyak pikiran, sibuk memoles gincu, atau melamunkan mantan gebetan selama masa remaja yang gosipnya bakal mengakhiri masa lajang bulan depan.
Pramana kabarnya bakal nikah kira-kira bulan depan....
Siapa perempuan yang sudi menikahi pria segalak Pramana?
(Well... yah... mungkin aku akan rela menjual jiwaku kepada iblis demi bisa nikah sama Pramana sebelas tahun yang lalu....)
Anyway... that's not my question. That's Gandhi's question.
In fact, dia cuma dengar tentang kegalakan Pramana dariku. Selain bahwa mereka berasal dari perusahaan yang berbeda, Gandhi bilang selama ini belum pernah ada keluhan ekstrem mengenai tindak tanduk Pramana di setiap factory yang disinggahinya. Itu artinya kegalakannya selama ini masih dalam batas wajar, atau... kemungkinan kedua... dia hanya galak padaku setelah aku mengatainya gay di buku cetakan terbatasku.
Ohhh... sial... buku itu....
Mending kalau laku....
Gimana aku harus berhadapan dengan pengacara dan tuntutan Pramana? Mana dia mau nikah... dia pasti butuh duit banyak. Aku yakin alih-alih menuntutku di pengadilan, dia bakal mengajukan perjanjian damai yang artinya aku harus membayar cukup banyak uang.
Dia bakal minta berapa, ya?
Pertanyaannya, berapa aku bisa menawar tuntutannya?
Lima ratus ribu? Sejuta?
Sebab paling cuma segitu yang bisa kusisihkan dari gajiku bulan ini. Aku ini karyawan yang titelnya doang supervisor, tapi gajinya cuma cukup buat makan, beli bensin, bayar tagihan listrik, air, paling banter buat hiburan juga langganan WIFI. Aku bahkan masih mau nerima suntikan dana dari orang tuaku tanpa pura-pura menolak.
Kalau Pram tega minta ratusan juta rupiah, dari mana aku dapat uang segitu?
Jual diri?
Jual diri mungkin, ya? Aku kan masih perawan. Tapi... memangnya ada yang mau bayar ratusan juta hanya karena seorang cewek masih perawan? Selain di sinetron atau di Wattpad? Oh... forget the idea, Inggrid. Gimana mau jadi lonte, ngebayangin blow job aja aku geli. Selalu kebayang-bayang mulut Pandu yang bau bangkai.
Gara-gara trauma itu... apa aku akan bisa melepas milikku buat seseorang?
Pertama kali Gandhi menyentuhku dengan intens, aku gemetaran. Satu-satunya hal yang menyelamatkanku dari trauma masa lalu saat kami bemesraan adalah aroma tubuh dan mulutnya yang luar biasa wangi. Itu pun... aku nggak sanggup melanjutkannya sampai titik darah penghabisan. Aku takut..., padahal aku juga horny....
Seorang satpam menyambutku di depan pintu gerbang, "Selamat pagi, Mbak Inggrid.... Wah... Mbak Inggrid pagi ini cantiiik sekali...."
Kebetulan satpam gedung apartemen yang bertugas pagi ini memang sudah mengenaliku. Cuma... emang agak kelewat ngakrab, sih. Biasanya nggak gini. Mungkin hari ini aura kegadisanku terpancar.
"Selamat pagi," balasku sambil mengembangkan senyum dan menyodorkan tanda pengenal lewat jendela mobil. Aku nggak mau membahas pujiannya. Nanti keliatan aku jarang dipuji.
Kadang-kadang aku harus menjemput QA kemari kalau terpaksa. Pada kunjungan pertamanya, Gandhi juga menginap di sini sebelum dipindahkan ke hotel bintang 4 di seberang jalan. Alasannya, dia sering lapar pada malam hari dan sering butuh bantuan orang untuk membelikan sesuatu. Aku yakin bukan itu alasannya. Di gedung apartemen nggak ada bar dan karaoke yang bisa diakses hanya dengan masuk lift.
Jadi antar jemput semacam ini sebenarnya bukan job desc yang ajaib. Ini jadi ajaib karena Pramana yang minta.
"Maaf, Mbak... saya nggak bisa ngasih masuk kalau Mbak Inggrid nggak tahu nomor kamarnya."
Aku mengangguk pasrah dan akhirnya mau menjawab telepon dari Ms. Fok yang seketika menyemprotku, "Haiyaaa! Inggrida... you olang pikil saya telepon mau ingatkan you salapan aaa? You tahu tidak ada nomol unit olang kenapa tidak tanya dali tadi, aaa...? Bodoh aaa.... haiyaaa... jam belapa ini, aaa? Pablik bukan pablik kakek you a, Inggriiid...! Datang tepat waktu, aaa... haiya. Cepat masuk sana, a, olang sudah malah-malah, aaaa!"
"Nomornya Ms. Fok...?" tanyaku lemah.
"Nomol 319 aaa, you tuli, aaa?!"
Dih... padahal dia belum bilang. Main ngatain tuli aja. Lu tuh yang pikun!
Lagian kalau telepon nggak diangkat, kenapa nggak tulis pesan WA aja, sih, ngasih nomornya?
Of course dia nggak mau nulis pesan WA, Inggrid. Selain dia bos, dia nggak akan melewatkan kesempatan buat maki-maki anak buahnya. Ponselnya mana pernah sih dipake chat? Palingan cuma dipakai buat nelepon, nonton Youtube, dan main Facebook.
Namanya juga nenek-nenek, sukanya main Facebook. Doyan banget ngomentarin setiap foto yang diunggah semua karyawan yang berteman dengannya di sana, tapi jangan harap dia bersikap baik meski sedetik sebelumnya baru memuji foto anak si karyawan dengan kata-kata manis. Jarinya di ponsel cuma berfungsi buat Facebook. Dia cuma mau balas email via laptop. Dia bilang mengetik pesan di WA itu memusingkan. Memang apa sih bedanya?
Tahu nggak apa yang paling bikin kesyal?
Dia tinggal di kawasan elit yang jauh lebih dekat ke gedung apartemen Pramana. Dia punya supir pribadi dan satu unit Inova untuk dirinya sendiri. Apa ini ada hubungannya dengan kode etik? Sama sekali enggak. Dia cuma mau jemput buyer-buyer QA yang baik, manis, dan bisa diajak makan siang bareng kayak Gandhi dan sebangsanya. Buyer QA kejam seperti Pramana akan diumpankan ke orang lain supaya kalau terjadi apa-apa di kemudian hari, dia bisa cuci tangan sambil bilang, "What did I tell you, a? Haiyaaa!"
"Nomor 319."
"Nomor 319? Pak Malik Pramana?"
"Iya betul."
"Ohhh... kalau nggak salah... beliau barusan sekali ada tamu."
"Tamu? Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan."
Perempuan...?
Siapa perempuan itu, Pramana? Siapa???
Eh... kenapa aku harus marah-marah?
"Mau saya hubungkan dulu saja ke kamarnya supaya Mbak Inggrid nggak kecele?"
"Hmmm... boleh."
Sementara mantan satpam BCA itu kembali ke pos dan melakukan panggilan, aku turun dari mobil dan menunggu di depan. "Nggak ada jawaban, Mbak... Mbak Inggrid yakin kalau Mbak naik, saya nggak akan kena masalah?"
"Harusnya sih enggak... saya ditugasi kantor buat jemput beliau."
"Oh... ya... kalau begitu silakan. Tanda pengenalnya biar di sini dulu, ya, Mbak? Ini kunci akses masuk lift-nya."
Aku menukar tanda pengenal dengan access card di tangan satpam berwajah tersenyum yang sangat patuh pada protokol ramah tamah itu, lalu masuk dan naik ke lantai tiga menggunakan lift. Begitu lift berdenting tanda bahwa aku sudah tiba di lantai yang kutuju, bahkan sebelum pintu sepenuhnya membuka, seorang perempuan melompat masuk mendahuluiku dan memenceti tombol panel dengan brutal. Aku hampir saja tergencet pintu lift yang nyaris menutup kembali sebelum tubuhku benar-benar keluar dari sana.
"Heyyy...," aku baru akan memprotes, tapi nggak jadi.
Di belakangku, Pramana berdiri berkacak pinggang hanya dengan selembar handuk melilit di pinggang. Saat aku berbalik, jari telunjuknya sudah menudingku, "Kamu...," katanya pendek dengan rahang menggemeretak. "Semua ini gara-gara kamu!"
Gara-gara aku?
Dia hampir menggencetku sampai gepeng, lho, di pintu itu. Kok malah gara-gara aku???
Reading list udah masuk semua, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top