Chapter 8. Tongkat Ali Tong-Tong
Hehe... lama ya update-nya?
Jangan pelit vote makanya. Tuh cek part sebelumnya, siapa tau ada yg belum divote.
Coba lagi ah...
600 votes, ya... komennya 3000 🤣
Sampai kami selesai makan dan beres-beres, driver Pramana belum datang juga. Kalau sejam kayaknya udah lebih. Aku ditahan, dong, pastinya. "Jika dalam waktu satu kali enam puluh menit driver-nya nggak datang, kamu harus nganterin aku pulang!" begitu titah Baginda.
Kenapa nggak sekalian aja ditinggal biar sama-sama enak? Biar nggak kemaleman. Toh aku-aku juga yang jadi korban. Ya coba kamu tanya aja sendiri sana sama Baginda Pramana apa maksudnya. Aku sih udah males nanya-nanya.
Tapi mungkin... mungkin, nih... karena Pram nggak mau mecat seseorang tanpa alasan.
Sadis, memang.
Driver-nya juga, sih yang kelewatan. Itu kalau dia nyetirin Ms. Fok, begitu kakinya melangkah sejengkal aja dari ambang pintu lobi dan driver-nya nggak ready, udah langsung dipecat tanpa basa-basi. Di depan mukanya. Nggak peduli siapa yang lagi sakit keras di Karanganyar sana. Ibunya, kek, kakeknya, neneknya, kucingnya, dia nggak akan peduli.
Pram masih ada rasa kemanusiaannya dikit.
Gini katanya waktu HRD kami menghubunginya. "Just... cut him off dari tugas ngantar jemput aku. Bilang ke bos-nya... jangan kasih sanksi, atau apa. Aku ngerti dia ada urusan, tapi urusannya nggak bisa kutolerir. As win-win solution, suruh perusahaan mereka sediain kendaraan lain buat aku. Jadi mereka nggak kehilangan uang. Nggak usah pakai driver. Biar aku pegang sendiri aja."
Cukup bijaksana mengingat Agus dipekerjakan lewat pihak ketiga.
Jadi, singkat cerita, dia duduk di sebelahku menerjang banjir luapan air laut setinggi setengah ban, dan pertanyaan pertama yang dilontarkannya adalah, "Jadi kamu beneran masih perawan?"
Aku jelas nggak mau jawab.
Dia tertawa kecil sambil membuang mukanya ke luar jendela, "Apa yang kamu pikirin waktu itu? Sampai rela menguak aibmu sendiri?"
"Itu bukan aib," kataku pendek.
"Tapi bener... kamu masih—"
Aku memotong, "Aku nggak mau ngomongin masalah pribadi sama rekan kerja."
"Ouch...," celetuknya sambil megang dadanya. "Kenapa? Kita kan udah nggak di kantor lagi. Kita bebas ngomongin apa aja, kan?"
"Rekan kerja hanya boleh ngomongin soal pekerjaan," tandasku ketus. Konsentrasi pada kemudi.
"Aneh... kamu boleh gantian judes di luar jam kerja, masa aku nggak boleh gantian nanyain masalah pribadi di luar kantor?"
Aku nggak terpancing.
Lagi-lagi, dia mulai lagi, "So you don't see me as an old friend?"
Lagi-lagi juga, aku nggak mau menjawab dan lagi-lagi-lagi-lagi juga, Pram mengekeh kecil lagi, "Kamu pasti sering, ya, diperlakuin nggak enak sama buyer QA sebelumnya?"
"Nggak juga," kataku.
Yang galaknya kayak ibu tiri malah baru kamu aja.
"Hmmm... kamu tahu, kan? Kalau kamu diperlakuin nggak senonoh sama buyer QA, kamu tinggal ngadu dan semuanya beres? Perusahaan yang naungin kami nggak akan ambil pusing aduan itu terbukti, atau enggak. Nggak ada asap kalau nggak ada api. Intinya... nggak boleh ada hubungan di luar pekerjaan antara kami dengan personel factory di mana kami ditempatkan."
Aku tahu. Makanya Gandhi nggak pernah berani macam-macam kalau aku nolak, meski kami cuma berduaan di hotel.
"Baju yang kemarin kamu pakai itu...," sambungnya. "Siapapun yang ngasih itu ke kamu... dia pasti tahu risikonya terlalu besar kalau sampai ketahuan. Limited edition internal sample. Dia pasti dapat dari orang dalam dan harusnya yang pakai dia sendiri... atau paling aman... istrinya. Pacarnya aja harusnya nggak boleh. Personel QA yang berani ngambil risiko besar seperti itu memang sering diromantisasi... tapi kalau aku jadi perempuan... I will consider it as a red flag. Kalau sampai dia dapetin kamu dengan sogokan barang 'curian', terus dia kehilangan pekerjaan... dia mau ngasih kamu makan apa?"
"Aku bisa ngasih makan diriku sendiri," sambarku.
"I know...," desahnya. "Tapi bukan itu poinku."
Aku paham poinnya, tapi aku diam.
Kami berhasil keluar dari gerbang kawasan berikat tanpa drama macet, ataupun mogok. Pramana bertanya lagi, "So... kamu masih sering ketemu teman-teman zaman SMA dulu?"
Deb.
Di situ, jantungku berhenti berdetak.
Dan diam-diam, air mataku sontak menggenang. Aku menarik napas panjang sampai dadaku membusung.
How insensitive you are, Pramana? Kalau kamu ingat aku adalah cewek yang duduk di bangku depanmu di kelas 12, kamu tentunya ingat juga kejadian di gudang belakang sekolah waktu itu, kan? Kamu seharusnya ingat aku nggak pernah lagi masuk sekolah setelahnya. Aku ujian sendirian setelah orang tuaku memperjuangkan keadilan untukku. Aku jadi bahan gunjingan teman-teman, orang tua siswa dan para guru karena dianggap menyikapi kenakalan teman sebayaku secara berlebihan. Pandu juga sudah diskors, meski nggak dikeluarkan. Orang tuaku seharusnya puas, bukannya menuntut supaya aku diizinkan belajar di rumah dan mendesak diadakannya ujian terpisah sebagai akibat dari trauma berkepanjangan.
Aku memang melindungi namamu demi menutupi rasa maluku, tapi... masa kamu lupa?
Harusnya pertanyaanmu, tuh, kamu ke mana aja waktu itu? Apa yang terjadi sama kamu setelahnya? Apa kamu baik-baik aja? Atau paling enggak... jelaskan kenapa kamu memperlakukanku seperti sampah. Apa salahku?
Kembalikan uang saku yang kutabung selama enam tahun supaya bisa membelikanmu kado ulang tahun, mengumpulkan majalah dan artikel tentang musik dan cabang olah raga yang kamu suka supaya aku bisa memahamimu lebih dalam, waktuku yang terbuang buat mengambil jalan memutar sepulang sekolah supaya bisa lewat depan rumahmu, juga cokelat-cokelat mahal setiap hari Valentine. Jangan lupa seluruh masa remajaku! Juga hatiku yang kamu hancurkan!
"Jadi kamu nggak pernah ketemu teman-teman SMA lagi," gumamnya, menyimpulkan. "Sama. Aku juga. Aku juga nggak di sini selepas SMA. Kalau aku masih di sini... mungkin aku nggak akan jadi begini. Kamu sendiri... di Singapura, kan?"
Aku mau nanya, dari mana dia tahu itu, tapi dia keburu menjelaskan, "I did my research," katanya. "Aku selalu background check duluan orang yang mau kerja sama sama aku, tapi karena kulihat kita sekolah di SMP dan SMA yang sama... research-ku jadi lebih menyeluruh. Aku juga tahu kamu hobi nulis—"
Aku menyahut, "Jadi dari situ kamu tahu tentang bukuku?"
"Mungkin," jawabnya. "Kamu tahu, nggak, Nggrid? Menurut ilmu psikologi, salah satu penyebab seseorang suka oversharing adalah karena saat kita masih kecil... kita kurang diperhatikan? Nggak ada yang mau mendengarkan kita?"
"Aku nggak oversharing!" hardikku membela diri.
"Terus ngapain kamu cerita panjang lebar tentang hobimu menulis di biodata perusahaan yang bergerak di industri garmen? Kamu berharap ada redaksi penerbitan yang mungut berkasmu setelah kubuang di jalan?"
"Ya... karena kupikir kolom itu harus kuisi."
"It's okay by the way...," katanya.
Lalu hening sebentar.
"I did that too... oversharing," imbuhnya. Somehow... kali ini suaranya terdengar sendu. "Well... sometimes..., but I overcome it better now. My family... was a mess....."
Alisku mengerut. Hampir-hampir aja aku membantah statement-nya. Keluarganya sempurna. Ibunya dokter kandungan yang lumayan sukses di kotaku, ayahnya kepala sekolah kami waktu SMP. Orang-orang yang sangat disegani di lingkungan mereka. Rumahnya saja ada dua dan letaknya di pinggir jalan raya. Dua rumah itu digabungkan menjadi satu dan dihiasi taman bunga yang sangat cantik. Mess dari mana?
"Ups!" celetuk Pramana tiba-tiba. "I did it again... I shouldn't have said that. Nevermind."
Aku menjilat bibirku, menahan diri dari rasa penasaran yang kemungkinan besar nggak akan terpuaskan. Habis itu, dia ketiduran di sampingku. Kepalanya terantuk-antuk ke depan. Sesekali aku sengaja mengerem mendadak supaya tidurnya terganggu. Kubilang barusan ada kucing, atau nenek-nenek nyeberang jalan. Pramana mendengkus, lalu tidur lagi dengan santainya.
Aku membangunkannya tepat di depan gerbang apartemen dan dia turun setelah menyampaikan satu pesan singkat yang absolut dan nggak terbantahkan, "Jemput aku besok pagi. Kalau aku telat sampai di kantormu, itu salahmu."
Rekan kerja-rekan kerja tai babi.
Rekan kerja macam apa yang bertingkah seperti bos begitu?
Setengah jam kemudian aku tiba di rumah. Setelah mandi, gosok gigi dan siap-siap mau tidur, ponselku berdering. Dari kode negara yang terpampang di layar ponsel, aku bisa menebak siapa yang menghubungiku. Gandhi.
Langsung saja, begitu permintaan panggilan video itu kurespons, sebelum Gandhi berbasa-basi busuk yang ujungnya selalu mau tahu kalau tidur aku pake BH atau enggak, aku duluan menanyainya, "Kamu kenal Pramana, nggak? Orangnya Baronnes. Kalau nggak salah... kamu pernah cerita... kamu di-interview Baronnes, tapi nggak lolos, kan? Terus kamu diterima di Lanoste?"
"Pramana?" Gandhi melepaskan dasi dan melonggarkan kancing paling atas kemejanya. "Aku nggak begitu paham orang-orang Baronnes. Orangnya kayak gimana?"
Aku mengeringkan mukaku dengan handuk, lalu membawa ponsel yang semula kutaruh dalam posisi berdiri di samping wastafel ke tempat tidur. "Orangnya galak banget kayak singa betina mau beranak," kataku sambil menguap.
Gandhi tertawa.
Tubuhku terhempas di atas permukaan kasur hingga memantul. Ponsel di tanganku menghadap ke langit-langit, tapi aku masih bisa mendengar Gandhi berkata, "Kamu udah mau tidur? Kamu pakai baju apa malam ini? Aku pengin lihat kamu pakai baju tidur, Inggrid...."
Bola mataku memutar jijik, tapi aku tetap bersikap ramah, "Aku nggak pakai baju tidur."
"Kamu telanjang?" serunya.
Aku mendengkus sambil mengangkat kembali ponselku dan menghadapkan layarnya ke tubuhku. Gandhi melihatku berbaring mengenakan kaus dan celana pendek. Sama sekali nggak ada seksi-seksinya.
"Pakaian yang tertutup selalu bikin makin penasaran. Aku boleh nanya sesuatu, nggak?" tanyanya lagi.
"Kamu pakai pakaian dalam, nggak, kalau mau tidur?"
"Kamu pakai pakaian dalam, nggak, kalau mau tidur?"
Gandhi tertawa kencang mendengarku membeo kalimatnya.
"Mau nanya seribu kali pun... nggak akan kujawab," kataku kesal.
Kalau nggak ingat kami masih punya tanggung jawab pada Lanoste, aku ingin sekali me-reject telepon lelaki mesum satu ini. Apa mau dikata? Sebelum feedback Lanoste kami terima perihal ekspor terakhir, aku masih terikat kewajiban meng-'entertain' buyer QA, atau mereka nggak akan mem-back-up-ku kalau-kalau terjadi sesuatu.
Something like this sering terjadi karena kebanyakan in house QC berjenis kelamin perempuan dan buyer QA kebanyakan laki-laki. Nggak semua tentu saja, tapi kadang pattern laki-laki dan perempuan begini memang ada untungnya. Kalau Buyer QA-nya perempuan, the result will be fixed, nggak bisa diutak-atik. Laki-laki selalu lebih mudah dirayu.
"Show me your under garment, Baby...," rayu Gandhi tanpa malu-malu. "Dikiiit aja...."
"Gan... ingat istrimu di rumah," kataku.
"Istri yang mana, ya?" ledeknya. "Calon istriku maksudmu? Nah ini... yang lagi telponan sama aku. Masa calon suami minta PAP dikit aja nggak mau? Dosa lho nolak keinginan calon suami, Nggrid...."
Yuck... aku jadi kepengin muntah.
"Aku bisa ngelaporin kamu dengan tuduhan pelecehan, lho, Ndhi... kalau kamu terus begini," ancamku.
"Aku kan cuma becanda, Nggrid...," kelitnya. "Tapi kalau kamu mau... aku sih nggak keberatan. Namanya juga usaha."
Dih....
Siapa bilang orang good looking selalu bisa dimaklumi? Justru kalau tingkahnya bikin ilfil gini, good looking-nya malah jadi nilai minus.
"Okay... okay.... Jangan bete, dong. Aku cuma kangen dan pengin denger suara kamu....'
Kalau cuman pengin denger suara doang, kenapa video call?
"Let's talk about something else," bujuknya. "Jam berapa ini di sana? Kenapa kamu baru mau tidur?"
Mungkin apa yang dibilang Pramana soal oversharing itu benar. Aku tuh nggak banyak teman, nggak ada tempat nyaman untuk mengadu segalanya. Aku dan Gracia baru dekat setelah kejadian pelecehan yang kualami waktu SMA. Jarak usia kami juga terpaut lumayan jauh. Kedua orang tuaku sangat penyayang, tapi mereka berdua selalu sibuk bekerja. Begitu kudengar nada bicara Gandhi berubah, aku langsung meluapkannya, "Ya ngapain lagi coba? Dia nahan aku seharian, Ndhi. Marah-marah besar di depan semua orang, nyuruh aku ngulang Fit Sample yang harusnya selesai dua-tiga hari dalam kurang dari dua belas jam, lalu waktu aku tunjukkin ke depan hidungnya karena dia keburu nggak sabaran, dia nguliahin aku tentang Fit Sample yang belum di-pressing!"
"Kalau kamu punya fit sample dalam keadaan belum pressing, ya lebih baik kamu nggak usah kasih sekalian. It's basic. Kami akan jauh lebih menghargainya daripada kamu menyerahkan unfinished garment, Inggrid...," tanggap Gandhi tenang.
Aku memutar bola mata secara terang-terangan.
Berdebat sama sekali bukan ide yang bagus untuk melewatkan malam ini, yang kubutuhkan itu dukungan untuk menjelek-jelekkan Pramana!
"Okay... siapa nama lengkapnya?" tanya Gandhi.
Gandhi tahu mood-ku langsung drop dan dia belum mau mengakhiri panggilan. Dia menelepon dari Turki, yang artinya sekarang baru pukul delapan malam. Suaranya masih segar dan energik, pasti seharian dia dikelilingi gadis Turki yang cantik-cantik. Gandhi pernah bilang, sebelum akhirnya kami terlibat office romance yang mendebarkan, dia paling suka kalau ada kunjungan ke Turki. Gadis-gadis sana menyerahkan lubang dubur mereka untuk disetubuhi karena nggak ingin merusak keperawanan demi para calon suami. Aku nggak ingin membahas kenapa dia tidak sedang menikmati bokong gadis Turki dan malah meneleponku. Itu namanya memancing binatang buas.
"Malik Syarifudien Pramana," jawabku sambil mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur di dekat nakas. Kusambungkan ponselku dengan kabel pengisi daya, kutarik selimut sampai dagu.
"Still can't recall anyone by that name," gumam Gandhi. Suaranya agak bergema, dia masuk ke kamar mandi. "Hey... wanna hear something funny?"
"No."
"Come on...."
"Aku ngantuk, Gandhi...."
"Kamu udah dapat kabar soal feedback expor kalian yang terakhir? Kalau nggak salah kontainernya sudah datang semalam dan sekarang dalam proses transfer ke gudang Lanoste," katanya, dengan nada mengancam.
Bukannya aku sok cantik, tapi posisi Gandhi sekarang lagi di kamar mandi. Di depan urinoir. Apa coba yang mau dia bahas selain tititnya?
Aku menarik napas dalam-dalam.
Kalau aku mengadu dibeginikan, Ms. Fok pasti akan bilang, siapa yang menyuruhmu berdekatan dengannya secara pribadi? Ujungnya dia pasti akan membelaku, sih, tapi pasti aku diamuk duluan. Diam-diam perempuan itu protektif sama anak buah dan kolega yang dimaki-makinya setiap hari. Kalau supervisor di lantai produksinya dimarahi sama expatriate lain aja dia pasang badan. Cuma dia yang boleh memaki-maki anak buahnya. Tapi tahu sendirilah dunia patriarki bagaimana, perempuan harus disalahkan lebih dulu.
"Okay... what's so funny?" tanyaku pasrah.
Lihat aja... pasti urusannya sama kelamin.
"Aku lagi kebelet kencing... tapi nggak bisa keluar. Tahu nggak kenapa?" tanyanya. "I am having an erection."
Nah, kan?
"So?"
"Aneh, ya? Masa aku langsung ereksi cuman gara-gara dengar suara kamu...," dia mengekeh seakan itu lucu. "It has never happened before. Cuma suara kamu yang bisa bikin aku begini."
"Terus... aku dapat medali enggak kalau bisa bikin kamu kayak gitu?" gurauku sinis.
"Do you want to see it?" tanya Gandhi dengan nada menggoda dan mata mengerling, seolah melihat ereksinya bakal bikin aku horny dan rela mengorbankan jam tidurku yang tinggal sedikit untuk melayani virtual sex dengannya.
I mean... kenapa, ya, cowok tuh bisa segede itu egonya? Mereka pikir perempuan ngiler-ngiler ngelihat alat reproduksi mereka memuncratkan sperma kayak mereka ngiler ngelihat perempuan menanggalkan bajunya?
"I am so tired, Gandhi. I have to say no."
"Are you sure...?"
"I am sure."
"Oh... sayang sekali... padahal kalau mau, kamu akan mendapat pengalaman mengesankan kali ini. Aku janji."
"Oh ya? Wah... aku termasuk perempuan yang merugi, dong, ya?" sindirku.
Gandhi meringis dan menyerah dengan mudah. Aku tahu dia lelaki yang cukup cerdas. Daripada maksa anak orang ngelihat alat penyembur pipisnya, mending dia minta ditemani gadis-gadis yang lebih cantik. All he has to do is ask. Aku yakin mau di sini, mau di Turki, sama aja. Kalau dia mau, perusahaan yang dikunjunginya pasti akan dengan senang hati menjamu.
"Good night, Gandhi...."
"Send me your smiling picture buat obat kangen aku, Nggrid...," dia masih usaha.
"Sorry, Ndhi... aku capek...."
"Just your face... nothing dirty."
"Ya udah... nih aku senyum... kamu screenshot aja!"
Seriously. Aku butuh istirahat. Senyum aja tuh udah susah banget buatku. Aku sudah lelah fisik dan mental seharian.
Gandhi memutuskan panggilan. Aku memasang penutup mata yang di baliknya terselip kantung air supaya mataku dingin dan konon mempercepat proses berpindah ke alam mimpi.
Seharusnya aku mematikan ponsel untuk menjaga kualitas tidurku, tapi terakhir kali aku melakukannya, Ms. Fok meneleponku sebanyak lima belas kali bahkan sebelum fajar menyingsing untuk memastikan apakah aku sudah mematikan AC di ruang inspeksi. Sejak itu dia mengklaim waktu tidurku termasuk dedikasi pada perusahaan selama aku masih bekerja sebagai seorang quality assurance.
Dan benda itu berdering.
Nada dering umum, berarti bukan hal mendesak. Lupakan fakta bahwa ini sudah lewat tengah malam. Bukan nada dering Ms. Fok, jadi bukan perkara hidup dan mati. Bukan dering keluarga, berarti bukan dari Bunda yang kalau kujawab akan bikin aku terjaga sampai pagi, tapi kalau kubiarkan akan membuatku lebih sengsara lagi.
But it keeps ringing.
Aku menyahut ponsel di atas nakas tanpa membuka penutup mataku dan menyalak, "Ya?! Ini sudah jam satu pagi. Ada perlu apa?!"
"I remember Malik from Baronnes!"
Suara Gandhi.
"Kalau nggak salah, dia harusnya sekarang udah nikah. Yah... kalau pertengkaran yang bikin heboh waktu itu nggak menggagalkan rencananya, tentu saja!"
Ini jelas lebih menarik daripada menontonnya memijat tongkat kemaluannya. Aku berdeham dan membuka penutup mataku.
"Apa imbalan buatku?" tanya Gandhi.
"Kalau ceritanya menarik, aku kirimin kamu PAP tete."
"Deal!"
"Tapi pakai BH sama kaos."
"Itu sih namanya bukan PAP tete, Inggrid."
"Just tell me the story!"
Udah follow instagramku belum?
Siapa tau nanti ada part-part yang kushare khusus followers?
Kok ribet, sih, Kak?
Baru tau ya kalau aku anaknya suka ribet? 🤣🤣🤣
Emang. Yang follow lama pasti udah tau. Terus kalau dikatain ih ribet, malah makin ribet lagi. Wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top