Chapter 70. Intimate (TAMAT)

Selalu deg-degan kalau mau nutup cerita.

Factory Romance versi Wattpad kuakhiri di chapter ini, ya.

Sudah kubikinin lanjutan chapter 71-100 untuk pembaca Wattpad di Karyakarsa dalam bentuk PDF. Berita bagusnya, harganya hemat dan versinya nggak beda banyak dari beli satuan di karyakarsa. Selamat mendukung dan membaca.

Setelah membaca sampai tamat, kamu bisa baca 10 extra part-nya juga di sana, dan sudah ada paketnya biar kamu nggak dukung satuan lagi.

Buat yang mau dapetin gratis FR lanjutan, silakan follow akun instagramku: Kincirmainan_19 dan kin.kincirmainan, lalu DM: FR Lanjutan Wattpad

Aku akan kasih hanya ke tiga (3) orang terpilih.

Buat yang ngerasa nggak pernah menang undian, sisihkan aja IDR 49.000 buat menuntaskan rasa penasaranmu sebab di sepanjang 30 part terakhir, Factory Romance justru semakin intens.

Selamat membaca chapter 70, chapter akhir ini juga bisa kamu lanjutin di karyakarsa. Nggak bisa ku-post di sini karena isinya terlalu dewasaaah. LOL



Chapter 70.

Intimate


"Kalau kamu nggak bilang sebelumnya... kamu dan Diana sepakat pacaran buat bikin aku cemburu... aku bakal nanya... apa karena itu kamu nggak pernah nyium Diana di rumahmu? Karena ibumu orangnya nggak asyik?"

Kami masih melantai. Pramana duduk dengan dua kaki mengangkang lebar. Siku-sikunya berada di atas lutut. Tangan kanannya mencengkeram erat pergelangan tangan kirinya. Dia menatap dinding bercat putih dengan retakan kecil di hadapannya. Benny pernah mencoba memakunya, tapi gagal. Saat Pramana menoleh padaku, aku sedang menekuk kakiku di depan dada, berusaha menutupi pahaku yang nggak pakai celana.

"Diana yang bilang."

"Kalau itu kamu... aku juga nggak akan nyentuh kamu di dalam rumahku, Nggrid. Aku mungkin nggak akan bawa kamu ke sana sama sekali... supaya kamu nggak pernah tahu betapa nggak asyiknya hidupku."

"Semua orang mengira hidupmu luar biasa, Pram. Papamu kepala sekolah di SMP kita, ibumu dokter dan masih punya waktu buat ngurusin yayasan ini, itu. Taman bunganya juga selalu indah. Apa kamu tahu... sampai kejadian itu... ibuku sering bilang ke ayah... pengin dibikinin taman seperti punya Dokter Sri Astuti... saking terkenalnya keluargamu di lingkungan tempat tinggal kita?"

"Harga buat reputasi bagus memang kadang terlalu mahal, Nggrid... mungkin karena itu juga... aku nggak pernah make a move. Ke kamu... atau ke cewek lain. Saat kamu masih muda, kamu pikir kamu harus hidup seperti bagaimana orang tuamu hidup. Kamu belum tahu apa yang kamu inginkan, belum paham arti kebenaran buat dirimu sendiri. I waited for you to stand in front of me and tell it to my face. They taught me that pride."

"The same pride you always show me in our working environment?" tuduhku sinis, mengerling tajam padanya.

Sudut bibir Pramana tertarik menjadi senyuman miring, perlahan dia membalas lirikan mataku. "I dated Diana to encourage you, sampai kemudian suatu hari orang tuaku marah karena Diana terlalu sering ke rumah. Kubilang ke mereka, nggak masalah. Cewek itu bakal segera kuputusin. Kuva datang ke kamarku malam harinya... nasehatin aku... kalau kamu suka dia, jangan diputusin. Kalian bisa pacaran diam-diam di luar"—Pramana tertawa sendiri—"Setelah kubilang niatku macarin Diana cuma buat bikin kesel cewek yang kutaksir, Kuva ngetawain aku. Itu tindakan paling konyol. Cuma cewek yang pakai taktik kayak begitu. Aslinya pasti Diana beneran naksir aku."

"Dia memang naksir kamu," gumamku. "Makanya waktu kamu putusin... dia bilang ke aku kamu sebenarnya gay."

Pramana mengumpat.

Ketegangan di antara kami mencair saat tawa kecilku pecah tak tertahankan. Pramana menatapku dengan mata memincing kesal. Aku membiarkannya mendekat dan duduk tepat di sisiku, bersandar di kaki ranjang. Dia menyelipkan lengannya di lenganku dan mengambil tanganku. Pramana menggelesot lebih rendah, lalu kepalanya disandarkan di pundakku. Dalam gamitan tangannya yang lembut, rasa sakitku kembali mengabur. Aku melemaskan otot leher dan menempelkan pipiku di puncak kepalanya.

"Aku memang konyol. Hampir aja aku bikin kekonyolan yang sama di tempat kerjamu. Marah-marah kayak gitu nggak bikin cewek tertarik sama kita, kan? Untung aku sadar lebih cepat dan nggak ngebiarin Gandhi beneran ngerebut kamu dari aku...."

Rambut Pramana tebal dan wangi. Aku menghidunya dalam-dalam.

"Kupikir aku pintar. Aku membubuhkan inisial namaku, persis seperti yang kamu lakukan. Kupikir itu romantis," katanya.

"It wasn't my initial at the first place. It's I see you, artinya aku selalu melihatmu."

"Itu dibacanya I see why, kalau itu bukan inisial namamu," bantahnya.

"Kupikir kalau kutulis ICU, kamu akan bingung."

Kami tertawa lagi.

Kepala Pramana bergerak di atas pundakku. Rahangnya menggesek kulitku dan membuatku refleks mengerutkan pundak ke depan. Lengan Pramana yang terselip di lenganku dan tangannya dalam gamitanku secara bersamaan menekan perut dan dadaku gara-gara reaksi yang sama saat merespons kecupannya di tempurung bahuku. Kehangatan yang nyaman sekaligus meresahkan melingkupiku. Aku memberanikan diri menggerakkan otot leherku ke kanan, mempertemukan wajahku dan wajahnya di atas bahuku.

"Aku sempat berpikir Mamaku benar. Gimana kalau kamu nggak tahu P itu aku? Kamu nulis inisial namamu secara lengkap, sedangkan aku cuma P aja. Secara pola, cara berpikir kita berbeda. Dia sempat membuatku berpikir... bahwa kamu memang ke sana karena mengira surat itu dari Pandu. Gara-gara inisial dalam suratku itu."

Sebelum mengakuinya, Pramana lebih dulu merenggut pinggangku erat. Dia tahu aku akan segera memprotesnya. "I know. Aku mengutuk diriku sendiri karena hampir mempercayai itu, Nggrid."

"You always know I like you... gimana kamu bisa hampir percaya gagasan jahat seperti itu?"

"Aku nggak tahu... tapi dulu itu sempat terdengar masuk akal buatku. Aku dan Diana sempat nggak saling bertukar sapa sejak kejadian itu. Baru beberapa saat setelah ujian akhir, Diana berani nunjuk mukaku. Ngatain aku dan ibuku sama jahatnya."

"Diana bilang begitu?"

Pramana mengiakan dengan gerakan kepalanya. "Inggrid nggak akan ada di gudang itu kalau dia nggak yakin surat cinta itu dari kamu, begitu katanya. Kamu tahu itu, Pram. Kamu tahu dia ngasih kamu kado sejak kalian masih SMP. Kalaupun surat cinta itu dari Pandu, Inggrid akan datang ke sana karena dia berharap itu dari kamu!"

Aku menarik napas panjang yang menyesakkan dada. Diana bilang begitu?

"Aku juga menderita, Nggrid... karena rasa bersalah.... Mungkin sampai sekarang Diana masih menanggung perasaan itu. Diana berani menudingku habis ujian akhir waktu itu karena dia tahu udah nggak ada lagi yang bisa menekannya. Did you know she tried to contact you many times after the graduation day? She told me."

"I know... but it's too late...."

"Semua orang menderita waktu itu Nggrid. Di kelas kita, terutama. Jam kosong seperti apapun nggak pernah seceria sebelumnya. It was scary. Semua orang tercekam. Semua orang berspekulasi. Gudang sekolah ditutup, semua peralatan olah raga dipindahkan ke aula yang terang benderang. Aku ngelihat cowok-cowok di gudang sore itu, Nggrid... mereka bukan siswa-siswa sekolah kita—"

"Karena itu Pandu nggak pernah mau bicara?"

"Urusan jalanan, menurutku. Dia sempat keluar rumah dan ditemukan di jalan—"

"Ya, aku tahu. Mereka nuduh aku ngehancurin hidupnya. Lalu gimana sama hidupku yang udah mereka hancurin? Aku harap dia... dan semua anak laki-laki di gudang waktu itu... benar-benar hancur hidupnya. Pram... kupikir aku punya andil ngehancurin masa depannya karena aku diam.... I have been blaming myself for years demi nutupin rasa malu. Dia nggak hanya nyium paksa aku... dia pantas dapatin itu...."

Pramana memindahkan tangannya dari pinggangku dan merangkul pundakku. Bibirnya melekat di pelipisku begitu dalam dan lama. "Kupikir selama ini aku begitu kacau dengan ingatan yang rusak dan carut marut. Setelah bertemu Diana, setelah membongkar semua barang yang sejak kemarin kudiamkan karena kupikir percuma, aku baru sadar... ingatanku nggak rusak dan terapisku dulu benar. Hilangnya ingatanku yang aneh dan nggak bisa dijelaskan secara tepat apa penyebabnya adalah caraku ngatasin trauma. Alam bawah sadarku memutuskan... satu-satunya cara untuk kembali hidup normal tanpa perasaan bersalah adalah ngelupain semuanya. Tapi, Nggrid... ingatanku terenggut justru saat aku berusaha menebus kesalahan...."

"Karena itu kamu kecelakaan di dekat rumahku... karena kamu mau ngelurusin semuanya ke aku.... That's why... you remember where I used to live...."

"Beberapa hal memang tiba-tiba muncul di ingatanku, aku sendiri kadang kaget karena nggak nyangka aku ingat soal itu. I remember your face..., senyummu, matamu, aku ingat di mana kita duduk di kelas itu. Potongan-potongan ingatan itu bikin aku percaya sama kebohonganmu, bahwa kita pernah pacaran. That's why I can't remember anything about us being together karena kenangan itu nggak pernah ada di sana. But you know what...? What we have is more than that, Nggrid... lebih dari sekadar cinta monyet saat usia kita belasan. We share the pain... and it's more intimate than that...."

Aku menahan napas. Bulu kudukku meremang. Kata-kata Pramana menari-nari di telingaku bagaikan denting-denting sedih piano di malam yang sunyi. Uap napasnya hangat membelaiku. Dia sengaja mencari celah di mana kehangatan itu dapat langsung menyentuhku tanpa terhalang helaian rambut. Ekspresinya begitu serius. Aku berpaling ke depan menyadari gairah yang sangat pekat sedang melumuri wajah Pramana. Saat dia mencubit daguku dan mempertemukan tatap denganku, aku memangkas jarak dengan lebih dulu mencium bibirnya. Ciuman yang sangat basah itu hanya terjadi sepintas.

Aku memperingatkannya, "Don't romanticize the pain, Pram...."

Pramana mencubit bibir bawahku dengan gigitan samar. Aku mengerang.

"A warning that's too late. If it is, it's done," katanya, berbalap dengan dengkusan. Napasnya nggak memburu, napasnya justru mati-matian dikendalikan hingga wajahnya memerah. "But it's not, because it's true, Inggrid... yang kita punya memang lebih kuat dari sekadar kisah cinta masa lalu"

Aku hanya diam saat Pram berhenti memeluk dan duduk di depanku. Lututku yang menyatu di depan dada dipaksanya membuka. Aku menggeleng mempertahankannya. Untuk berkompromi, aku duduk bersila. Pramana membentangkan jari-jari tanganku dengan jemarinya, lalu jari-jarinya yang terbuka bergeser, menekuk, dan menggenggam. Dengan genggaman erat jari-jari tangannya, Pramana mengentakku ke depan. Posisiku menjadi sangat sulit. Lututku yang membentur lantai saat tubuhku menyentak terasa sakit. Aku meringis.

Sebelum keseimbanganku benar-benar hilang, Pramana  menggulatku di lantai.

"Maafin aku, Nggrid," katanya.

Punggungku terbentur meski nggak terlalu keras. Untung aku bisa menahan kepalaku dari benturan lain dengan refleks otot leherku yang cukup bagus.

"Maaf buat ini?" geramku kesal. Kaki-kakiku yang terpaksa membuka mengangkangi pinggang Pramana membuatku makin jengkel. "Kepalaku bisa kebentur, Pram!"

"Masa?" tanyanya. "Coba taruh kepalamu ke belakang...."

Aku nggak perlu membuktikan kata-katanya. Bayangan lengannya di sisi kepalaku menandakan bahwa dia sudah memperhitungkan terjadinya benturan di tempurung kepalaku.

Pramana merunduk, membayangi celah bibirku dengan mulutnya. "Kamu tahu siapa yang benar-benar terbentur dan nggak masalah dengan benturan itu?"

Dia menggesek kejantanannya yang mengeras di antara kakiku.

"Kamu harus mengecek perbendaharaan katamu, Pram, buat tahu bedanya benturan dan gesekan," aku mengerang, mencoba melepaskan diri, tapi gagal. "Praaam...!"

"Merengek cuma akan bikin aku makin terangsang, Nggrid...," katanya kurang ajar. "Maafin aku dulu...."

"Posisi ini agak terlalu aneh buat ngomongin itu, Pramana...."

"Ini posisi yang praktis," kata Pramana enteng.

"Praktis?"

"Iya. Begitu kamu maafin, aku mau melanjutkan dengan pertanyaan kedua. Posisi ini mungkin akan menguntungkan buatku."

"Pertanyaan macam apa yang bikin kamu berpikir posisi kayak gini bakal menguntungkanmu?" tanyaku curiga.

"Forgive me," desaknya.

Aku meneguk ludah. "Itu perintah... atau permintaan?"

Tatapan Pramana menajam. Dia serius dan nggak lagi berniat meladeniku mengulur waktu.

"Itu bukan salahmu," kataku. "Aku nggak bisa maafin orang yang nggak bikin salah sama aku."

"Berhenti berbohong, Inggrid...," titah Pramana dingin.

"Apa yang mau kamu tanyain kalau aku maafin kamu, Pram?"

"I will ask you to give yourself to me... all of you.... Your body... your heart... your love...  everything...."

***

Seingatku, terjadi percakapan, tapi aku nggak bisa mengingatnya.

Aku berusaha terus mendebat permintaan maafnya hanya karena aku malu memikirkan apa yang akan Pramana lakukan padaku jika aku berhenti bicara. Mulutku sedang mengoceh panjang lebar ketika kusadari di mana arah tatapannya berlabuh. Saat itu aku tahu kami sama-sama nggak peduli pada apa yang kubicarakan.

"Inggrid Clara Yuniar.... I am going to kiss you now...."

Pramana menggesekkan kejantanannya yang mengeras di antara kakiku. Itu yang kurasakan selain bibirnya yang melumat khidmat penuh gairah, di antara desau napasnya yang tertahan. Aku mencoba untuk tetap bernapas dalam ciumannya yang menuntut balas, meskipun sulit. Bibirnya seakan menjelajah di setiap sudut bibirku, pelan melumat, namun tangkas. Seperti anak kecil yang baru belajar jalan, aku membalas dengan susah payah. Setiap kali aku balas memagut, Pramana sudah beranjak ke bagian lain bibirku dan mengunyah. Jika kudiamkan dia akan mengisap bibir bawahku dan menariknya gemas, lalu mengulum-ngulumnya seperti mencegahku merengek kesakitan. Kalau saja dia tahu, ciumannya sama sekali nggak akan membuatku merengek. Aku hanya akan memohon supaya dia berlama-lama melumatku. Sampai habis kalau perlu. Lidahnya menjilat membasahi daguku, menyeruak ke dalam rongga mulut dan membelit lidahku. Mulutku dan mulutnya bertaut, saling memagut.

Suhu tubuhku melejit. Panas membara.

Kulitku wajahku yang sejuk menghangat, tersapu lidah Pramana yang mengusap. Aku menggeliat. Lidah nakal itu berhenti di cuping telingaku, mengentakkan tubuhku dengan ujungnya yang menggelitik. Pembuluh darah di leherku melebar, berdenyut di gendang telinga. Aku mulai resah, tubuhku dalam tindihannya menggelinjang di lantai yang dingin. Miliknya semakin rapat meningkahi geliat pinggangku yang gelisah.

"Inggriiid...," raungnya di telingaku. Aku hanya bisa mengerang menahan gejolak saat suaranya yang dalam seakan merasuk ke dalam jiwaku. Pramana menjelajah, mengecup dan membelai rahang serta leherku dengan bibir dan lidahnya. Sekujur tubuhku menggelegak di lantai. Dadaku yang membusung menghantam dada bidangnya yang menindih. Kedua tanganku tergamit erat di sisi-sisi kepala. Aku mendongak. Hanya tempurung kepala dan pinggulku yang masih bersentuhan dengan permukaan lantai.

Pram melepaskan satu tanganku. Bibirnya masih menyusur di leher dan tulang selangkaku, jari-jarinya memburai kancing kemejaku satu per satu.

"Praaam," aku melenguh.

Seiring makin banyaknya butiran kancing yang terbuka, bibir Pramana semakin dekat menyentuh perpotongan dadaku yang telanjang.

"Ah...!" pekikku.

Mulut Pram yang nggak sabar mengulum puting di balik kemeja yang belum sepenuhnya terbuka. Aku mengejang. Milikku dalam rapat gesekan pinggangnya semakin banyak menghasilkan pelumas. Tubuhku menggelinjang resah. Panggulku yang gelisah bersekresi dengan cepat. Lidah Pramana terus menstimulus puncak dadaku hingga mengeras dan berdenyut. Kemeja piamaku basah di satu sisinya saat sisi yang lainnya tersingkap. Aku menjerit. Bibir Pramana mencubit dan mengisap.

Aku berpaling menghindari tatapannya yang seakan siap melahapku bulat-bulat.

Di atas tubuhku, di antara kakiku yang terpancang, Pramana berlutut tegap. Telapak tangannya menelangkup tepat kedua belah payudaraku, membiarkan puncaknya terselip di antara dua jarinya yang mencapit.

"Praaam...," rintihku, kugigit jariku erat.

Otot-otot wajah Pramana menegang. Urat-urat di pelipisnya membiru bertonjolan. Tangannya yang menempel erat di dadaku bergerak, berlawanan arah satu sama lainnya. Dia begitu fokus pada kedua tangannya, sama sekali abai pada reaksiku. Aku hampir menangis karena malu melihat ekspresinya yang begitu serius, padahal apa yang dilakukannya begitu... mesum.

"Pram!" hardikku.

"Hm...?"

"Pramana!"

"Hah?"

Baru dia tergeragap.

Angannya yang melayang entah ke manabaru kembali gara-gara bentakanku. Mukanya merah kebingungan.

"You should look at your face," gerutuku. Aku sendiri merah padam.

"You should look at this," balasnya, tanpa malu-malu. Dia mendekat pada tubuhku, kembali menindih bagian bawahku. Dadanya yang bidang dan keras melekat di tulang kemaluanku, kedua tangannya masih terus memiijat. Bibirnya tergigit menahan luapan hasrat. Kepalaku menggeleng dan kembali berpaling darinya. Pramana sungguh meresahkan. Aku menggeliat, menyamankan diri dari jari-jarinya yang mulai menggelitik. Memilin-milin yang tercubit di ibu jari dan telunjuknya. Napasnya membelai panas kulitku.

Aku membusung merintih, lalu tiba-tiba menjerit, "Ah! Praaam!"

Mataku membeliak. Sengatan yang terjadi saat mulutnya melahap kali pertama belum selesai menggelenyarkan syaraf-syaraf di seluruh tubuhku—dari ujung rambut ke ujung kakiku menggeriap hebat—berturut-turut mulutnya mengulum putingku. Pramana semakin buas menjejali mulutnya dengan bagian tubuhku yang dirematnya. Aku tersentak menggelepar, milikku yang keras terkunyah ganas mulutnya. Daging lembut di dadaku memadat, membengkak dalam mulutnya. Tubuhku menggelinjang ke segala arah, mencoba menghindar, tapi berat tubuh Pram memenjarakanku sepenuhnya. Jeritanku menjadi rintihan. Lengan Pramana menelangkup pinggangku, membawa punggungku naik terpisah semakin jauh dari lantai. Wajahnya terbenam semakin dalam di dadaku. Mulutnya mengisap semakin kuat. Lidahnya menari liar membasahiku.

"Pram... oh...," aku mencicit, letih menjerit dan memekik.

Pramana masih asyik mengulum, tapi tangannya yang semula sibuk mengeraskan butiran lain yang sedang beristirahat dari ganas mulutnya, diam-diam menyusur membelai tulang kemaluanku. Aku menangkap pergelangan tangan yang menjalar semakin ke bawah itu sebelum jemarinya membelai milikku yang basah.

Tangkapan itu turut memause gerakan nakal lidah Pramana di seputar aerolaku. Dia memuntahkan payudaraku dari mulutnya dan menatapku bingung, "What? Why? Do you want me to stop?"

Do I want him to stop?

"I will stop if you don't want to. Or... I can take you to bed... mungkin lantainya terlalu keras dan dingin buat kamu?"

"T—take me... to bed," pintaku gugup, berbaring tertindih di lantai yang keras bikin tulang-tulangku linu.

Pram memindahkanku tanpa kesulitan. Berat tubuhku seakan seringan kapas. Dia menyentak pinggulku ke depan, membawaku melayang sedetik sebelum kembai mendarat di atas lengannya.  Senyumnya mengembang jahil, dia maju hendak menyasar dadaku lagi, tapi aku mencegah dengan mendorong pundaknya. Tubuhku dibanting pelan di atas peraduan, dihimpitnya lagi dengan pinggangnya.

Secepat kilat, Pramana menanggalkan kemeja yang beberapa kancingnya sudah terburai melewati kepala dan ambruk menimpaku. Mulutnya menaut bibirku, haus menenggak salivaku lewat lidahnya yang membelit penuh nafsu. Berkali-kali aku tergeragap dan merintih, tapi Pramana justru semakin gesit menggulat tubuhku. Di sana-sini lengannya, tangannya, bahkan kakinya memenjarakanku. Aku seperti kepiting yang diikat dan siap direbus, terkekang dan terengah. Napasku tersengal.

"Praaam...."

Pram memagut, menarik bibir bawahku sampai jauh, kemudian dilepaskan dan ditangkap kembali buat dikulumi.

"Nggg... Pram...."

Bertubi-tubi dia mengunyah dan melahap bibirku seperti nggak ada habisnya. Berat badannya ditindihkan sepenuhnya padaku, napasku semakin sulit, ruang gerakku juga semakin sempit. Tubuh dan pinggulnya mengayun rapat, digesekkan pada dada dan pinggangku. Entah sejak kapan dia melonggarkan kait celananya, tapi saat kusadari bagian dalam pahaku sudah bersentuhan dengan kulitnya.

Pramana mengerang buas, bibirku yang terbebas berdenyut nyeri. Bola matanya yang berkilat berlumur hasrat hampir-hampir membuatku ngeri. Aku bergidik. Nggak berkutik. Jemariku tergenggam di sisi kepala, terbenam di atas permukaan kasur yang tertindih. Pramana tepat di atasku, berayun-ayun menikmati dirinya sendiri. Miliknya yang keras menindih dan menggesek intens area pribadiku yang terbuka, menstimulus genitalku agar semakin basah. Di antara deru napasnya yang memburu berat, akhirnya dia menundukkan kepalanya ke bawah, mengadu tatapannya yang nyaris beringas denganku yang mengerut ketakutan.

"Pram...," sebutku, sebelum Pramana yang kukenal benar-benar lenyap ditelan gairah. Aku khawatir dia bakal kesurupan.

"It's your first time... I know," katanya.

"Please... do it gently...," rintihku.

***SENSOR***


Terima kasih buat kesetiaan kalian membaca versi Wattpad, juga karyakarsa.

Untuk pendukung semua part di karyakarsa, termasuk extra part, sudah bisa diklaim PDF-nya di emailku: kincirmainan.klaimpdf @ gmail.com

Hanya pendukung semua part dan extra parts yang berhak menyimpan PDF-nya, ya

Nantikan romcom-ku selanjutnya, Unmatch The Parents.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top