Chapter 7. Kau Memang Manis, tapi Kau Iblis

Selamat Tahun Baruuu!!!


Kalau vote-nya kali ini bisa 600, dan komennya 500 (jangan spam yang kayak next-next, nulis abjad a, b, c, d, atau nulis angka 1, 2, 3 ampe banyak banget, ya?) aku update lagi.

Kalau vote dan komennya dikit, lama-lama kita update-nya, ya.


"Ambilin sendok satu lagi, Nggrid."

Aku nggak nanya-nanya lagi ngapain dia minta diambilin sendok satu lagi. Aku yang dari tadi makan ati aja nggak aku sendokin atinya. Aku telen langsung bulat-bulat sampe nyekik rasanya di tenggorokan. Pokoknya begitu dikasih kesempatan keluar dari sana, aku langsung ngibrit karena nggak tahan kepingin mewek.

Masa aku beneran mau dituntut, sih? Itu kan cuma buku abal-abal. Nggak serius. Aku orangnya kalau mimpi nggak pernah ketinggian. My dream never scares me. Mungkin aku harus mulai setting mimpi yang tinggi banget supaya lebih hati-hati. Coba aja kalau sebelumnya aku ngebayangin bukuku bakal tersebar luas, menasional, atau mendunia, lalu suatu hari sampai ke tangan Pramana, aku pasti bakal pakai nama samaran.

Mesti bayar pakai apa kalau didenda puluhan juta? Ratusan juta? Mobil aja aku beli bekas, masih nyicil. Uang mukanya dibayarin Ayah biar aku mau pulang ke Indonesia. Rumah? itu rumah Ayah. Dikasih tinggal di situ sama Bunda supaya nggak dijual lagi sama Ayah. Gajiku paling berapa, sih, jadi kacung pabrik di daerah? Bisa tahan sebulan aja syukur, jarang-jarang ngopi di Starbucks. Sebulan sekali belum tentu.

Di ujung lorong, Vero sama Yuni ternyata nungguin. Mereka udah siap-siap mau pulang.

"Kita udah mau pulang, dia belum kelar juga sama kamu? Benci... apa cinta, sih, sebenernya?"

Aku nangis lagi. Aku memang cengeng banget anaknya. Vero memelukku.

Veronica harusnya yang jadi supervisor-ku, bukan sebaliknya. Dia udah kerja jauh lebih lama di sini dan lebih tangguh secara mental dan emosional. Kalau dia nggak suka mengentengkan sesuatu dan ngebantah omelan Ms. Fok, secara leadership dia lebih unggul. Vero bisa bilang, "Udahlah cuman satu jarum aja, ribuan yang lainnya kan udah sempurna!" waktu sewing department supervisor melaporkan salah satu jarumnya hilang dan dia nggak yakin benda itu nggak terselip di salah satu garmen yang siap ekspor.

Sialnya, Ms. Fok dengar, dan mulai dari situ dia dicoret dari daftar promosi. Apalagi, beberapa bulan sebelumnya dia sempat cuti hamil tiga bulan. Ms. Fok paling nggak suka anak buahnya hamil. Sebab, mereka harus cuti melahirkan, habis bayinya lahir pasti sering menolak kerja lembur. "Pusing aaa... haiyaaa... hamil-hamil terus a... seperti kucing a," katanya.

Tapi bagiku... Vero is badass. Dia berani karena yah... menurutnya... kalaupun perusahaan kena penalty dari buyer, toh itu bukan uangnya. Kalau dipecat, dia tinggal ngamuk-ngamuk. Kalau perusahaan bangkrut, dia dapat pesangon dan masih bisa cari kerjaan lain.

"Dia nggak bilang mau balik jam berapa? Udah mau jam sembilan, lho, ini. Dia nunggu tengah malam?"

"Harusnya sih kerjaan hari ini udah kelar... nggak tahu dia mau ngapain lagi. Aku kan nunggu dia nyuruh aku pulang duluan. Makanannya juga belum disentuh. Takutnya aku disuruh nungguin sampai dia kelar makan malam. Supirnya udah datang belum?"

"Belum."

"Ms. Fok udah balik?"

"Udah...."

"Duh.... driver-nya Agus apa bukan?"

"Nggak tahu. Lagian kalau mobil Ms. Fok masih ada... yakin dia bakal mau numpang?" sahut Yuni.

Aku cuma bisa manyun.

Buyer besar seperti Baronness biasanya menyewa mobil beserta sopir dan apartemen yang diakomodir oleh mereka sendiri buat menghindari kemungkinan nepotisme kalau QA mereka terlalu banyak dijamu.

Meski begitu, kalau QA-nya bukan Pramana, sih, kami bakal tetap ngejamu mereka, seperti yang kami lakukan ke Gandhi. Ngeliat kegalakan Pram dan mengingat apa yang udah kulakuin ke NAMA BESAR-nya, aku nggak yakin kami bisa ngelakuin hal yang sama. Padahal kalau dari QA spec hantu penunggu gunung berapi kayak Pram, kami nggak akan minta banyak. Cukup dengan berhenti membentak dan bikin semua orang depresi.

"Gila sih Baronnes ngirim monster begituan ke kita, kayaknya mereka serius soal zero defect atau nggak akan ada repeat order sama sekali. Pasokan material kita dari Vietnam di-cek ulang semuanya sebelum dikirim kemari, padahal kita udah spare 25%. Barusan Ms. Fok masuk ke sana supaya kamu bisa keluar makan malam, atau pulang sekalian, ditolak juga, ya?"

Oh... jadi tadi Ms. Fok bermaksud menyelamatkanku?

Aku baru mau dibimbing ke pantri ngambil sendok, tahu-tahu suaranya terdengar menggelegar, "Inggriiid!!!"

"Dia manggil," keluhku gemetaran.

Yuni meringis, "Padahal pintunya ditutup, suaranya masih kenceng aja."

"Kalau gitu, aku duluan, ya?" pamit Vero.

"Ver... please...."

"Anakku tuh udah nungguin, Nggrid. Dia kan masih nyusu. Kalau keseringan minum dari botol, nanti dia lupa sama pentil ibunya. Ujungnya aku sama anakku jadi berkurang bonding-nya. Kamu kan tau aku harusnya udah pulang sebelum malam. Kalau enggak, aku resign. Aku nungguin bayi ini udah tahunan, Nggrid. Prioritasku cuma anak sekarang. Persetan lembur. Aku cuma mau lembur kalau kedesak ekspor. Itu udah komitmenku sama suami dan Ms. Fok juga udah setuju. Makanya dia milih kamu jadi supervisor. Yang jodohnya belum jelas, kemungkinan nikah sama punya anaknya belum kelihatan!"

Aku makin terisak-isak.

"INGGRIIIDDD!"

Ya Allah....

"Yaaa...," jawabku, terpaksa melepas kepergian Veronica. "Bentaaar.... sendoknya habis... mesti dicuci dulu!"

Paling enggak, dia berhenti manggil.

Aku memijat pundak kananku dengan tangan kiri sambil berjalan gontai ke dapur.

Aku pernah kerja dari pagi sampai pagi lagi, ngecek ribuan garmen yang udah terkemas dalam ratusan karton hanya gara-gara satu jarum supervisor departmen jahit nggak lengkap dan dicurigai masih tertinggal di salah satu garmen berwarna toska, pulang naik taksi karena terlalu ngantuk untuk menyetir, tapi rasanya nggak semelelahkan ini.

Sampel yang tadi kupakai udah kugantung rapi ke dalam lemari kaca, puluhan sampel lain yang harus direvisi besok pagi udah kurapikan supaya aku bisa pulang duluan, sekarang malah disuruh ngambilin sendok segala.

Yang bikin aku selelah ini bukan lantaran aku masih berada di kantor sampai pukul sembilan malam. Bukan karena seharian ngerjain setumpuk sampel yang normalnya baru selesai dalam dua hari. Yang bikin energiku menguap seolah aku habis begadang dua hari dua malam demi ngejar deadline ekspor adalah dendam kesumat Pramana padaku.

Okay... aku salah. Aku ngejelek-jelekkin namanya. Buat laki-laki straight, dikatain gay pasti melukai maskulinitas mereka. Tapi... memangnya dia nggak punya rasa bersalah sedikit pun padaku? Memang kejadiannya udah berlalu belasan tahun, tapi luka di hatiku nggak pernah kering.

Aku berdiri di muka pintu ruang inspeksi dengan sendok tergenggam erat seperti senjata. Bergeming. Is it worth it, Inggrid, tanyaku pada diri sendiri. Kamu menghabiskan uang Ayah untuk sesi-sesi terapi demi mengatasi traumamu, menguras tabungannya buat nyekolahin kamu di Singapura, ngerepotin keluargamu di sana, dan lain sebagainya. Kamu tahu kamu belum sembuh. Kamu tahu trauma itu masih di sana. Menunggu-nunggu triggering moment untuk kembali menyerangmu dengan kepanikan dan rasa malu.

Is it worth it?

Di lain sisi... ada satu bagian di diriku yang merasa senang bisa melihatnya lagi.

Dia masih semenarik yang dulu dan di situlah letak mengerikannya semua ini.

Dia marah-marah. Dia membenciku. Dia bersikap seakan-akan dia nggak mengingatku. Lebih parahnya lagi... dia tega nanya apa aku ingat sama dia, atau enggak. Seriously, Pram? Kamu pikir seorang anak perempuan bisa lupa kejadian seperti itu meski dia sudah beranjak dewasa? Kami masih orang yang sama, Pramana.

Waktu mungkin bisa menyembuhkan luka, tapi nggak bisa menghapus sesuatu yang pernah terjadi.

Pintu di depan mukaku dibuka dari dalam.

"Inggrid Clara Yuniar...," sebutnya. "Aku udah lihat bayangan kakimu sejak lima menit yang lalu... apa kamu sengaja menguji kesabaranku?"

Aku hanya bisa diam terpaku sambil menatap wajahnya. Napasku terembus lelah. Kenapa kau bisa begitu manis, Wahai Cinta Pertama?

"Inggrid...? Are you okay?"

Tanganku terulur.

Pramana menunduk melihat sendok di tanganku, "Memangnya kamu nggak bisa nyuruh OB ngambilin sendok baru?"

Kenapa nggak terpikirkan olehmu, Wahai Inggrid Clara Yuniar?

Oh... aku ingat. Karena aku pengin buru-buru nangis tadi. Aku nggak punya uang buat bayar denda, Pram. Aku miskin. Kalau kamu mau ambil mobilku, ambil lah, tapi kamu lanjutin cicilannya, ya?

Pram geleng-geleng kepala lagi ngelihat aku terus bungkam sambil memandangi wajah tampannya. "Dasar cewek aneh," gumamnya, lalu mundur dan kembali duduk di balik laptopnya.

Beberapa saat kemudian, Pramana mematikan laptop dan melipatnya. Dia melirikku, lalu mendiamkanku, dan menyibukkan diri mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Aku berdiri di balik meja inspeksi yang sudah kubersihkan, nggak berani mengatakan sesuatu sampai dia bertanya, "Mobilku udah datang?"

"Akan saya cek," kataku.

"Nggrid...."

"Ya?'

"Do you have to be so polite with me?" tanyanya.

Alisku mengerut. Ya.. kalau dia bersikap lebih bersahabat, bersikap seperti teman lama yang udah belasan tahun nggak ketemu, syukur-syukur melupakan niatnya menuntut, dia pantas nanya begitu.

"Just act normal," keluhnya, seolah-olah perlakuannya padaku itu normal. "Kamu bikin aku nggak nyaman."

"Biar aku cek dulu," kataku, nggak mau memperpanjang masalah.

I should have done this belasan tahun lalu waktu dia ngatain aku pelit. Aku tinggal bilang, "ini Pram... ternyata aku bawa penghapus."

Apa kalau dulu aku meralat keputusanku gara-gara grogi dia mengajakku bicara, dia nggak akan ngerjain aku di gudang belakang sekolah dan menghancurkan hatiku?

"Nggak perlu!" tepisnya.

Dasar laki-laki babi.

"Biar aku aja yang nelepon. Ini orang dikasih hati, katanya bakal dateng telat karena ada urusan pribadi, tapi jam segini nggak muncul-muncul juga. Nggak tahu orang laper, udah malam, pada nguji emosiku aja," repetnya. "Kamu tunggu aja di meja makan. Habis ini aku nyusul."

"Mac and Cheese-nya udah dingin, mau kuangetin lagi?" tawarku, biar aku nggak perlu ada di sana waktu dia ngomelin supirnya.

"Nggak usah," jawabnya. "It's getting pretty late and I am exhausted."

Coba tebak, siapa yang lebih exhausted di ruangan ini selain dia?

Aku.

Aku, Pram!

Teleponnya tersambung, dan dia langsung berteriak, "AGUS!!! Where the fuck are you? Didn't I tell you to get back here an hour before nine?!"

Astaga....

Badanku langsung kaku.

Jadi dia memang bicara ke semua orang dengan nada kayak begitu? Agus yang dibentak, aku yang kena mental. Lagian... emangnya Agus ngerti Bahasa Inggris? Dia driver dari vendor langganan yang biasa kerja sama dengan perusahaan kami buat ngelayanin QA-QA buyer. Lulusan SD. Ms. Fok aja minta ganti supir karena terkendala bahasa sama Agus.

Pramana membelakangiku. Dia mendekat ke jendela kaca. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat keseluruhan lantai produksi yang sudah kosong. Lampunya bahkan udah dimatikan semua. Kami cuma tinggal berdua sama tiga orang satpam jaga di lobi.

Dia mengomel dan mengomel dan mengomel.

Dari omelannya, aku tahu Pram sudah bermurah hati memberi Agus izin menengok orang tuanya di Karanganyar, which is sekitar satu jam dari sini. Gara-gara Agus, dia terpaksa harus makan siang dan makan malam di dalam ruangan, juga berisiko melanggar peraturan perusahaan. Mobil dan sopir yang keluar tanpa supervisi nggak akan ditanggung oleh perusahaan jika terjadi kerusakan di jalan. Pram bilang, dengan nada lebih lunak, dia berharap Agus menghargai kemurah-hatiannya.

Oh, yeah... kemurah-hatian... pongah sekali kedengarannya.

Apakah ini Pram yang kuuntit selama enam tahun belasan tahun yang lalu?

Pram yang kukenal...?

Atau jangan-jangan... dulu aku hanya melihat apa yang ingin kulihat?

Aku nggak pernah memproyeksikan Pramana berada di dunia manufacturer, terlebih garmen. He always have this fun, cheerful, but also cool personality's vibe. Kalaupun dia memilih karir yang lebih serius, kupikir dia bakal jadi guru atau dosen, seperti ayahnya yang seorang kepala sekolah dan anggota yayasan, atau dokter seperti ibunya. Mungkin dia akan cocok jadi bankir atau pengacara yang sukses? Seorang arsitek yang profilnya ada di majalah? Yang jelas bukan pemusik, mengingat suaranya yang sumbang.

Karena aku pernah menjadi pengagumnya, aku berharap dia bersinar lebih terang.

Entah apa yang melukai Pramana sampai dia bisa jadi seperti ini. Kalau dibilang tuntutan pekerjaan, enggak juga. Semua QA punya style ketegasan masing-masing, dia nggak perlu tarik urat seperti itu tiap hari.

Aku tersentak. Tahu-tahu Pram sudah melintas di depanku buat menghampiri mac and cheese-nya. Sambil bertanya sinis, dia menarik kursi dan duduk, "Are you done day dreaming?"

"Eum... kalau udah selesai... apa aku boleh pulang?" tanyaku.

Pram membuka tutup mac and cheese dan menelanjangi garpu plastiknya, "Kamu mau ninggalin aku sendirian?" tanyanya.

"Ya udah... aku tunggu sampai Pak Agus datang," kataku sabar.

"Kamu udah makan malam?"

Kamu nanya?

Kamu nggak lihat dari tadi aku lenggak-lenggok di depan hidungmu? Kamu lihat aku ngunyah sesuatu selain kutikula-ku?

"Belum...," jawabku. "Aku makan di jalan aja."

"Kamu naik apa pulangnya? Nggak bareng aku aja nanti?"

"A—aku bawa mobil...."

"Ohhh... kamu bawa mobil? Kalau gitu aku bareng kamu aja nanti. Nunggu Agus lama. Habis ujan pula, pasti macet. Sini duduk, aku nggak bisa ngabisin ini sendiri," katanya, terdengar empuk seperti mentega yang dibiarin di suhu normal. Mau nebeng mobilku? Jadi aku masih harus melanjutkan penyiksaan ini sambil menembus hujan, mungkin bahkan banjir, dan jalanan macet?

Aku menggeleng sungkan, "Enggak usah."

"Duduk," tegas Pram. "Ini bukan permintaan, ini perintah. Aku nggak suka buang-buang makanan. Mana sendokmu tadi? Aku nyuruh kamu ambil sendok biar bisa ngabisin ini bareng. Kamu nggak akan mau gantian sendok dan tukeran ludah sama aku, kan?"

Glek.

Ludahku terteguk.

Tu—tukeran ludah?

Sama Pramana?

"Inggrid...?"

"Iyaaah...."

Pram mengernyit. Aku mendesah terlalu kencang.

Aku pun duduk di hadapan Pramana. Dia menusuk mac and cheese dan menyuapnya. Aku menusuk di tepi terjauh dan mulai makan.

Sepanjang kami makan, Pramana nggak mengucapkan satu kata pun. Dia menekuri permukaan hidangannya, menyuap, mengunyah sebentar lalu menelan. Setelah berhasil menghabiskan setengah bagian loyang dan menghabiskan sebotol air mineral, aku masih berusaha menelan suapan ketigaku.

"Lama banget ngunyahnya... kamu itungin?" tanyanya. "Sebanyak apa yang bisa kamu abisin?"

"Ha?"

"Kamu kelamaan, Inggrid. Nanti Agus keburu nyampe."

Lah...? Bukannya bagus? Jadi dia nggak perlu nebeng mobilku?

"Segini?" tanyanya lagi sambil membuat garis di tiga per empat sisa loyangnya. Artinya, dia mau menghabiskan seperempat dari setengah loyang lagi.

Aku membuat garis di tengah.

"Kenyang kamu makan segitu? Habis seharian kerja. Sakit nanti kamu. Makan lebih banyak dan cepetan!"

Kalau dia pikir gampang makan seloyang berdua sama orang yang habis bentak-bentak kamu sampai nangis, hatinya pasti udah mati.

Pram lanjut makan secepat sebelumnya. Waktu mencapai garis batas yang dia buat sendiri, garpunya dan sendokku bersinggungan. Kami serempak menariknya, tapi sendokku malah tersangkut di garpunya. Bola mata kami sama-sama naik, tatapan kami bertemu.

Out of the blue, dia mengucap gamang, "Aku ingat kamu di sekolah. Kamu duduk di bangku depanku di kelas 12, kan?"

Sendokku terlepas.

Kamu duduk di bangku depanku di kelas 12, kan? Sungguh mati, aku sangat tersinggung.

Dia sudah merusak masa remajaku dan hanya itu yang diingatnya tentang aku? Duduk di bangku depannya di kelas 12? Bagaimana dengan surat cintamu? Bagaimana dengan inisial 'P'-mu? Bagaimana dengan senyum manis yang kamu lemparkan padaku waktu jam pelajaran berakhir? Bagaimana dengan kekejianmu di gudang belakang sekolah, Pram?

Pram... kamu bukan manusia.

Kamu memang manis.

Tapi kamu iblis. 

Dream cast Veronica udah aku post di instagram. Jangan lupa dilike.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top