Chapter 64. Strawberry Shortcake (BACA SPECIAL EXTRA PART 8 DI KARYAKARSA)

Factory Romance Extra part 8 udah hadir dengan label special, ya...

Artinya mengandung mature konten. Baca cerita ini sampe akhir, aku kasih spoiler special extra part 8 di bawah. Hanya bisa dibaca di Karyakarsa.

Selamat membaca chapter 64. Cerita hanya akan dipost sampai chapter 70. Selanjutnya akan ada lanjutan chapter 71-100 versi wattpad dengan harga hemat di karyakarsa.

Chapter 64

Strawberry Shortcake

Urban Light Coffee and Kitchen menyediakan hidangan yang lumayan, tapi nggak istimewa. Aku memesan kopi dan kudapan yang nggak kusentuh sampai uapnya hilang karena kurang menggugah selera. Kota ini sejak dulu sama. Mudah tertular. Hampir nggak pernah menciptakan trend dan lumayan keras untuk perkembangan usaha dalam jangka panjang, terutama untuk usaha-usaha terobosan baru. Saat di kota lain menjamur kedai-kedai kopi di setiap sudutnya, kota ini nggak ada bedanya. Dari beberapa tempat yang kukunjungi, hampir semuanya nggak menawarkan sesuatu yang unik, atau berbeda. Aku duduk dengan bosan, menggulai secangkir kopi yang hanya kuhirup dan lebih memilih menyalakan rokok. Diana yang seorang ibu mungkin anti asap rokok, tapi aku bisa pindah ke mana saja kalau dia menghendakinya. Kedainya masih sangat sepi.

Sebelum Diana datang, aku lebih dulu mengambil inisiatif pindah ke ruangan bebas asap. Pelayan laki-laki membantuku memindahkan hidangan dari meja ke meja, lalu meninggalkanku sendiri dengan sopan. Aku baru akan meminum kopi panasku ketika seorang perempuan yang nyaris nggak kukenali mendekat, sosoknya tampak buram di balik uap panas yang mengepul di atas cangkirku. Aku urung menempelkan bibirku ke cangkir dan mengembalikannya ke atas cawan. Kepalaku mendongak.

"Hai," sapa Diana dengan senyum manis dan pipinya yang berlesung. Dia melambai kecil sambil mengerutkan hidung. Meski terlihat jauh lebih dewasa mengenakan rok selutut dan blazer merah muda berhias mutiara, kesan imutnya saat remaja masih mudah kutangkap. Diana mengingatkanku pada kue kesukaannya, strawberry shortcake. Aku mengingatnya karena dia datang menghampiriku dengan kue berhias buah stroberi di tangannya.

Aku berdiri sambil mengulurkan tangan salah tingkah. Diana menyambutnya.

"Aku hampir nggak ngenalin kamu!" serunya nyaring tertahan, jabat tanganku belum dilepasnya. "A hug wouldn't harm anyone, Pram. Atau... kamu juga sudah berkeluarga?"

"Nggak akan merugikanku selama hal itu nggak merugikanmu, Di," balasku. Dengan tangan masih saling menjabat, aku mengitari meja untuk memeluknya sekilas. Tapi, Diana ternyata berlama-lama. Aku berusaha tetap kaku dan enggan membalas, membiarkannya mengambil keputusan kapan akan berhenti mendekap.

Diana supermenarik. Dia jenis perempuan yang terlihat lebih bersinar saat mendekati tiga puluhan, menua dengan semestinya. Seperti inilah perempuan-perempuan seusiaku yang sudah menikah dan punya anak. Mereka jadi lebih supel dan menyenangkan. Karenanya, aku menemui sedikit kesulitan saat menghadapi Inggrid dengan segala kerumitan yang dibuatnya sendiri. Inggrid seperti nggak beranjak ke mana-mana, masih seperti perempuan remaja. Sampai-sampai kadang aku merasa aku sudah banyak berubah, sedangkan dia tidak. Ada sesuatu yang terus menyeretku kembali ke ingatan-ingatan yang tercerabut itu. Membuatku kesal dan nggak berdaya di sampingnya.

"What brings you here?" tanyanya, masih dengan nada ceria. Dia memesan minuman manis, selain kue di tangannya. Dia pasti rajin berolah raga, nggak punya banyak pantangan dalam mempertahankan bentuk tubuhnya.

"Pekerjaan," jawabku. "You never leave town?"

"Aku justru kembali ke sini setelah menikah, mengikuti dinas suamiku. Aku berhenti bekerja setelah melahirkan anak pertama."

"Ah... good for you," tanggapku.

"Are you staying?" dia banyak bertanya.

"For couple of months, maybe," dan aku lebih suka menjawab.

"Aneh sekali rasanya kembali ke sini, kan? Setelah lulus, ayahku masih aja pindah-pindah. Aku menetap di Bandung melanjutkan studi dan bekerja. Semarang cuma salah satu kota yang pernah kusinggahi, sampai kemudian suamiku betah di sini, dan mungkin kami nggak akan ke mana-mana lagi. Kurasa... itu lebih baik buat tumbuh kembang anak-anak, kan?" celotehnya ramai dan riang. "Dulu aku nggak pernah punya teman dekat yang bertahan lama. Ke sana kemari mematahkan hati banyak cowok, dan menjalin hubungan baru. Makanya kembali ke sini terasa aneh, apa kamu nggak merasa begitu?"

"Seingatku... aku nggak banyak matahin hati orang, tapi yah... aku ngerti maksudmu. Memang agak... aneh... tapi cukup menyenangkan...."

"Kamu?" pekiknya. "Nggak matahin hati banyak cewek? Semarang langsung bersalju kalau itu benar, Pram!"

Aku hanya ikut tertawa, membebaskannya berasumsi tentangku.

"Kamu sendiri gimana, Pram? Menikah? Nggak menikah? Punya anak? Nggak punya anak?"

"Punya anak," jawabku. "Tapi belum menikah."

Mata Diana membola. Tawa riangnya seketika lenyap, senyumnya memudar. Sedetik kemudian, setelah aku menyeringai sambil mengambil cangkir kopiku di meja, Diana baru tertawa lagi. Menganggap omonganku hanya candaan.

"Serius, Pram. Nggak ada salahnya catching up sama teman lama, kan? Atau... boleh kubilang... mantan pacar? Selebihnya... hanya kita yang tahu, kan?"

"Belum menikah, Di...," ralatku santai. "Kirain kamu masih suka becanda... masih suka membohongi cowok-cowok lugu juga, enggak?"

Diana tersipu-sipu. Mungkin, pertanyaanku terdengar seperti pujian baginya. Entah dari sudut pandang mana. "Beruntung sekali kamu belum nikah. Masih banyak yang belum kamu capai, Pram?"

"Belum nemu jodohnya aja."

Bibir Diana mencibir. "Aku nggak nyangka kamu belum nikah."

"Serius?"

"Ya," angguknya yakin. Aku hanya perlu menunggu dan Diana membeberkan teorinya tentangku tanpa kuminta. "Mungkin dulu nggak banyak orang yang tau tentang kamu, tapi aku belajar banyak tentang cowok dari kamu. Aku nikah sama suamiku karena dia ngingetin aku sama cintamu."

"Cintaku?"

"Ya... cintamu."

Mataku memincing, mencoba mencerna ucapannya, tapi nggak berhasil. Bagian mana lagi dari diriku yang masih terselip dan nggak bisa kuingat?

"Kamu menyukai cewek yang sama, sama sekali nggak berusaha menerima cinta lain hanya karena kamu bisa. Suamiku juga kayak kamu. Dia ngikutin aku ke mana-mana, meski kutolak berkali-kali. Tapi kamu juga salah tentang satu hal... mungkin karena dulu kamu masih muda. Makanya kubilang aku banyak belajar dari kamu."

"Aku nggak ngerti."

"Jangan biarkan orang yang kamu cintai mengejarmu. Seandainya saja kamu menyadari hal itu sebelum terlambat... mungkin sekarang kamu sudah menikah."

Kelopak mataku mengerjap. Diana... Diana... batinku. Dia masih saja manipulatif seperti waktu remaja. Entah kenapa aku punya anggapan seperti itu. "Kalau yang kamu maksud itu kita berdua... aku mau mengingatkanmu bahwa kamu sudah menikah, Di. Jangan merayu pria lajang sepertiku. Ibu-ibu muda kayak kamu pasti kebanyakan baca novel romantis."

"Jangankan membaca, aku melakukan apa saja buat mengisi waktu. Kadang aku memaksa suamiku membeli lebih banyak properti supaya kami kehabisan uang dan nggak punya sisa untuk membayar pembantu rumah tangga. Kami pernah mencobanya selama sebulan dan aku menyerah. Lebih baik kelebihan waktu luang, daripada kekurangan!"

"I couldn't agree more," kataku setuju.

Kemudian, kopi susu Diana diantar ke meja. Dia agak kesal karena lupa memberitahu pelayan supaya memisahkan gulanya, tapi sepertinya terlalu malu untuk meminta kopi susu baru.

"Ngomong-ngomong... aku nggak bicara tentang kita berdua," katanya sambil mengaduk es kopinya. "Barusan aku ngomongin kamu."

"Okay... sebenarnya... memang itu tujuanku ke sini. Ngomongin diriku sendiri, tapi bukan dari perspektifku, melainkan perspektifmu, Di."

"I know...," kesahnya pendek sembari memasang sedotan pada gelas plastiknya. "Kayaknya aku tahu apa yang mau kamu omongin, Pram. Seperti yang kubilang... aku membaca semua buku yang bisa kubaca untuk membunuh waktu luangku...."

Diana meggantung kalimatnya di sana.

Aku maju perlahan sekali, mencondongkan tubuh bagian atasku ke arahnya seolah hendak mengatakan sebuah rahasia yang sangat penting. Diana melakukan hal yang sama. Dia menunggu, dan aku mengatakannya, "Apa kamu membaca sesuatu yang saat ini kupikirkan?"

"Yang membuatmu mengirim email dan minta bertemu denganku?"

Aku mengangguk.

Senyum Diana mengembang perlahan, menarik napas dalam. Sepertinya, dia sudah menunggu-nunggu saat seperti ini dalam hidupnya. "Aku membaca setiap katanya, semua yang tertuang di sana persis seperti yang pernah kuceritakan padanya. Waktu itu kita sudah hampir berhasil, Pram... sayang sekali... sungguh... sayang sekali."

"You never reach out to her?"

Diana menggeleng. "Aku nggak mau ngebasahin luka lamanya. Aku yakin... dia belum... dan mungkin nggak akan pernah sembuh. Aku hanya berharap, nggak ada yang menemukan tulisan itu selain aku. Nggak lama kemudian, tulisan itu hilang. Akunnya muncul lagi, tapi karya itu nggak kembali. Makanya aku ngirimin kamu surel, Pram. Aku menunggu-nunggu balasanmu. Aku curiga kamu menemukannya."

"Aku memang menemukannya."

Diana menggigit bibirnya resah.

"Jadi benar... kamu yang ngomong ke Inggrid bahwa aku gay?"

"Waktu itu aku sakit hati, Pram.... Rencananya kan kita akan menjelaskan semuanya ke Inggrid sore itu, setelah kamu ngungkapin perasaan ke dia. Bahwa kita nggak beneran pacaran. Aku sengaja ngajak kamu bikin dia cemburu setelah aku tahu kamu diam-diam juga naksir dia. Setelah kupikir-pikir sekarang... bodohnya kita waktu remaja. Mana kutahu aku jadi jatuh cinta beneran sama kamu, sakit hati betulan dan nyebarin fitnah? Setengahnya aku cuma becanda... kupikir Inggrid juga nggak percaya. Buktinya... dia masih mau ngirimin kamu cokelat, kan?"

"Wait... jadi kenapa Inggrid masih nulis cerita bohong itu kalau dia nggak percaya sama omonganmu?"

"Apa?"

"Kalau dia masih ngirimin aku cokelat seperti yang kamu bilang dan rencananya sore itu aku mau ngungkapin perasaan ke dia... kenapa dia membenciku sampai sekarang? Kenapa dia nulis cerita itu? What did I do to her, Di? Aku nggak bisa mengingat satu detail itu. Hanya itu. Apa yang terjadi setelah sore itu?"

"Oh... Pram...."

"Apa aku menyakitinya?"

Diana manatapku dengan bola mata bergetar. Setelah beberapa saat, perlahan dia bersandar dan menutup mulutnya dengan tangan. Aku menunggu. Saat Diana bicara, bukan hanya matanya yang berkaca-kaca, suaranya pun parau. "Bertahun-tahun aku berusaha memaafkan diriku sendiri, Pram. Waktu itu kita masih anak-anak, apa yang bisa kita lakukan?"

"Apa kita berbuat jahat pada Inggrid sore itu, Di? Please... aku ingin tahu. Aku nggak bisa ingat apapun tentang itu."

"Bukan sore itu, Pram... sore itu di luar kuasa kita. Tapi hari-hari setelahnya... apa yang kita lakukan... nggak akan bisa dimaafkan."


Baca chapter 64 lebih lengkap di Karyakarsa.

Jangan lupa follow akun social mediaku ya 😘

Cuplikan Factory Romance Special Extra Part 8. Beautiful in White
(Hanya di Karyakarsa)

POV Pramana


...

Jelas aku bingung, "Kamu bawa baju dinas apa gimana... mau ditelanjangi kok malah mau ganti baju?"

"Ihhh...! Bukaaan... aku nggak pake apa-apa—"

"Jangan malah makin mancing, dong, Sayaaang...."

"Bukan gitu... maksudnya... aku nggak pakai... baju yang bagus...."

Tanganku meraba-raba ke segala penjuru. "Bukannya kamu memang nggak pake apa-apa?" tanyaku, lalu agak membisik. "Pakai daleman doang?"

"Iyaaa!" raungnya, makin merah mukanya. "Maksud aku... tadi aku kan mau langsung mandi, terus nggak jadi. Mau bangunin kamu dulu. Jadi habis buka baju, aku pakai jubah, terus ke sini."

"Ya terus?"

"Ya... pakaian dalamku... nggak seksi...."

Gimana nggak membara nafsuku dengar orang yang kusayang ngomong gitu? Buku kuduk di tengkukku aja langsung pada berdiri. Rahangku sampai ikutan menggemeretak. Pakaian dalamnya memang ada yang nggak seksi? Bahkan korsetnya yang sampai perut aja menurutku lucu dan seksi. Yang penting kan bukan itunya. Yang penting nanti juga dilucuti semuanya. Suka nggak paham sama perempuan....

"Coba kulihat...."

"Enggak."

"Biar aku yang menilai."

"Praaam...!"

"Inggrid... coba sini kulihat... kok malu-malu gitu, sih, udah jadi calon istri? Restu juga udah turun...."

"Ya namanya masih calon istri... memang masih harus malu-malu!" katanya membela diri.

"Jadi nanti kalau kamu udah jadi istri... bakal nggak malu-malu gini?" tanyaku. "Kirain emang kamu orangnya malu-malu. Udah berkali-kali bercinta sama aku, masih aja kadang ditutup-tutupin badannya..."

"Ya iya, dong... kalau udah sah... nggak akan maluuu...."

"Makin berani?"

"Iya."

"Nggrid... jadi makin kepingin...!"

"Aku ganti baju dulu."

"Nggak usah!"

"Ganti dulu!"

Kami rebutan jubah jadinya. Aku mau ngebuka, Inggrid melindungi dirinya. "Emang mau ganti yang kayak apa lagi, sih, Sayang?"

...

Baca panas2 manisnya special part dari sudut pandang Pramana. Hanya di karyakarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top